Wednesday, December 28, 2005

The Way You Make Me Feel

Gara-gara baca blognya Ikram, saya jadi inget pengalaman di bank Mandiri waktu mau buka tabungan...

Saya baru aja dari Simprug, itu loh, daerah di deket Pondok Hijau di Jakarta Selatan. Jauhnya bukan main dari Priuk. Saya yang naik bis harus capek badan dan capek hate gara-gara nyariin daerah yang namanya Simprug itu. Udah tau jauh, ngapain ke sana?

Dulu, sewaktu SMA, saya pernah ikutan lomba menulis esai dalam acara Jakarta Book Fair 2000. Karena menang, saya dapet hadiah berupa tabungan sebesar Rp 300,000.-. Yang nyeponsorin adalah Bank Mandiri, jadi tabungannya dibuat dari teller di stan Mandiri yang memang ada di pameran buku itu. Di buku tabungan tertulis 'Bank Mandiri cabang Simprug'. Waktu itu yang kebayang adalah Simprug itu adalah daerah perkantoran di seberang Senayan (maklum, belom kenal betul Jakarta waktu itu).

Setelah tahu kalo saya gak tau sama sekali Simprug itu dimana, saya bergerilya seharian di Jakarta Selatan.

Ok, ok. Gak seharian dan gak di seluruh Jaksel. Di sekitar Pondok Hijau aja.

Setelah ketemu banknya, saya kuras tabungan yang tersisa, terus saya pulang.
I'm coming back home...

Sampe di Priuk, saya langsung ke bank Mandiri cabang Yos Sudarso dan buka tabungan baru. Huf, bakal aman deh uangku sekarang.

Ngapain saya mindah-mindahin rekening? Begini, Jakarta Selatan itu jauh. Sementara aktivitas saya di Priuk. Jadi saya pikir lebih baik saya mindahin tabungan. CAPEK kalo harus bolak-balik Simprug-Priuk cuma untuk ngurus tabungan.

Sesampainya di sana bank Mandiri Yos Sudarso, saya ke bagian customer service dan langsung minta formulir pembukaan rekening. Hanya perlu sekejap untuk saya terpesona.

Yang melayani saya itu seorang mbak-mbak yang berwajah manis. Wulan namanya. Matanya coklat jernih seperti batu ambar. Wajahnya mungil, kulitnya putih, orangnya ramah. Baru kali itu saya ketemu pegawai bank yang simpatiknya gak dibuat-buat sama sekali. Tulus. Keliatan kalo pribadinya memang bagus banget. Gak bosen-bosen saya memperhatikan Mbak Wulan ini (oke, saya perempuan normal dan kekaguman saya sebatas normal, oke?).

Tutur katanya lembut dan menyenangkan. Pokoknya seneng banget dilayani oleh Mbak Wulan itu. Setelah saya beres mengisi semua form dan buku tabungan saya jadi, saya pulang dengan hati lapang.

Sebulan kemudian saya baru sempat pulang ke Priuk lagi untuk ngambil kartu ATM. ATM saya baru jadi seminggu dari tanggal pembukaan rekening saya. Tapi karena saya masih kuliah di Bandung dan baru bisa pulang empat minggu setelahnya, saya baru ke Mandiri, ya empat minggu kemudian.

Masuk ke bank, saya langsung masuk ke bagian pengambilan ATM. Setelah menunggu beberapa lama, saya dipanggil. Yang melayani adalah seorang mbak yang lumayan cantik. Tapi kemudian...

"Hmmm...," katanya, sambil nyari amplop berisi kartu ATM saya, "...udah sebulan gak diambil ya, Mbak??" nadanya menyalahkan. Saya jadi ikutan merasa bersalah. Si Mbak gak senyum sama sekali. Tapi saya tau kalo saya masih BERHAK ngambil ATM saya sebulan setelah tanggal pembuatan karena batasnya enam bulan.

"Ini, silahkan tanda tangan di sini." Saya tanda tangan.

Dia merobek amplop ATM dan menunjukkan bagian yang ada nomor PIN saya. "Ini nomor PIN-nya," dia menunjukkannya dengan cepat sekali dengan cuma menyorongkan tangannya trus langsung ditarik lagi. Matanya gak memandang sekalipun ke saya. Lalu si Mbak nyerahin amplop itu.

"Makasih," kata saya. Saya berlalu dengan gondok. Tapi dalam hati saya mencoba untuk menerima bahwa mungkin suasana hati si Mbak lagi gak enak.

Fuuuuh, orang memang gak bisa diprediksi. Ternyata gak gampang untuk menemukan orang seperti Mbak Wulan yang ramah itu. Meski di bank sekaliber bank Mandiri sekalipun.

Bener ya, ternyata jadi pekerja yang berada di frontline susah-susah-gampang. Meski cuma senyum aja, kita perlu usaha keras. Apalagi kalo lagi ada masalah. Repotnyaaa. Tapi yang saya alami cuma satu itu aja. Sebelumnya saya belum pernah ketemu pagawai bank Mandiri sejutek Mbak tadi. Tapi sekalinya nemu, saya langsung merasa gak enak.

Wah, kalo SPG/teller kayak gitu semua, mana ada pelanggan yang mau datang lagi? Semoga aja enggak.

It's the way you make me feel...

Wednesday, December 21, 2005

Janji Joni

Jadi ceritanya saya mau bercerita tentang nonton di bioskop.

Sudah bertahun-tahun semenjak saya pergi ke bioskop untuk yang terakhir kalinya. Seingat saya, terakhir kalinya saya ke bioskop adalah ketika di SD kelas empat. Saya baru datang ke bioskop lagi tahun ini, sekitar bulan Agustus kemarin.

Kenapa saya jarang ke bioskop? Bukannya saya tidak mampu untuk membeli tiket bioskop, tapi saya pikir lebih baik saya menonton di komputer atau di TV saja kalau saya mau melihat film-film tertentu. Atau saya menyewa DVD/VCD dan saya tonton di rumah. Lebih hemat. Saya bisa membeli buku atau pulsa lebih kalau saya tidak ke bioskop.

Satu hari saya diajak teman saya dari unit kegiatan untuk menonton film Batman Begins. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya setuju karena yang ikut menonton lumayan banyak. Yah, hitung-hitung mempererat hubungan pertemanan. Bertahun-tahun tidak duduk di kursi bioskop membuat saya kaget juga. Saya tidak terbiasa dengan lebar layar bioskop dan sound system yang sedemikian menggelegarnya. Film Batman Begins menjadi film yang berkesan buat saya, selain karena efek yang ditimbulkan dalam bioskop.

Semenjak itu saya jadi memperhatikan peredaran film yang ada di bioskop.

Kali lain, saya menonton film Janji Joni di komputer teman saya. Sebelum menonton itu, saya punya satu prasangka jelek pada film-film dan sinetron-sinetron Indonesia di kepala saya (selain Petualangan Sherina). Apalagi setelah hebohnya film Buruan Cium Gue itu. Pokoknya film Indonesia itu enggak sebanding deh dengan film barat yang lebih profesional penggarapannya, lebih bagus akting pemainnya, lebih baik jalan ceritanya, dan "lebih-lebih" lainnya.

Tapi setelah film Janji Joni selesai, saya berkesimpulan kalau film itu bagus juga. Oke, saya memang sudah keliru karena memperumum masalah yang kurang tepat kalau diperumum. Seharusnya saya lebih objektif dan optimis kalau para sineas Indonesia sedang berupaya mengembangkan film Indonesia menuju film-film yang lebih baik.

Karena film Janji Joni itu juga saya jadi tahu kalau ada pekerjaan semacam pengantar film. Bukannya yakin, saya malah mempertanyakan keberadaan profesi itu. Bener gitu?

Sewaktu saya sedang antri untuk membeli tiket film Harry Potter 4, saya baru ngeh kalau ada petugas berpakaian hijau yang mondar-mandir dari arah studio 2 ke studio 7 di bioskop BIP sambil membawa gulungan film yang dibungkus tas kain sederhana. Oh, pikir saya, ternyata beneran ada pekerjaan sebagai pengatar film itu. Tapi yang di BIP itu enggak seperti si Joni di Janji Joni yang harus bolak-balik ke dua bioskop.

Dalam film Janji Joni juga diceritakan tentang pita film yang kadang suka memberikan tanda-tanda tertentu kalau mau habis gulungannya. Trus salah satu tokoh yang menyebalkan dalam film itu ngomel-ngomel tentang 'pita film yang udah stretch kalau filmnya diputar untuk hari kedua dan seterusnya'.Dan diceritakan juga kalau penonton kecewa karena filmnya terputus di tengah jalan gara-gara Joni terlambat sampai di bioskop. Saya berpikir kalau hal-hal itu juga cuma ada di film. Saya lagi-lagi bersikap skeptis.

Nah, ketika saya sedang menonton film Narnia yang pertama di BIP hari Senin lalu, saya mendapati hal yang serupa. Untungnya film enggak putus di tengah jalan. Tapi sempet ada potongan iklan yang muncul secara cepat sebelum film berlanjut. Penonton sempat mengeluarkan teriakan 'bhuuuuuuu'. Pada kesempatan lain ketika film diputar, gambar yang diproyeksikan tidak tajam. Beberapa lama kemudian gambar tajam lagi.

Apa yang saya alami sendiri itu paling tidak memberi saya bukti bahwa yang diceritakan di film Janji Joni tidak fake. Yah, artinya dalam penilaian saya film Indonesia cukup kompeten dalam segi isi, tidak sekedar mengandalkan wajah tampan atau cantik dari aktor-aktrisnya.

Akhirnya saya mendapat pengetahuan baru dan pelajaran bahwa saya harus banyak-banyak 'membaca' sekitar saya agar pikiran saya tidak sempit.

Thursday, December 15, 2005

Heran

Saya sering mendapati orang terheran-heran dengan saya. Mereka heran dengan apa mereka sebut ‘wawasan luas’ yang saya miliki. Semenjak saya SMP (ketika saya sudah mulai bisa berpikir dan menimbang dengan benar) hingga sekarang, saya sering mendapat keheranan itu. Padahal saya pikir itu biasa saja.

Contoh yang paling dekat adalah ketika saya mengikuti Latihan Mujahid Dakwah 159 dari Salman pada 21-24 Oktober yang lalu. Ketika kami, para peserta LMD, sedang menikmati makan malam bersama, saya sempat disangka anak jurusan Biologi. Apa pasalnya? Sambil makan, saya berbicara dengan salah seorang panitia dan menyarankan agar susu murni tidak diberikan pada peserta sebagai ta’jil untuk berbuka puasa. Saya bilang kalau kasein dalam susu adalah bagian yang sulit dicerna. Kalau susu diberikan pada saat berbuka, perut biasanya akan kaget. Bagi yang memiliki lambung yang kuat tidak masalah. Tapi bagi yang tidak, perutnya bisa terkena diare.

Para peserta yang semeja dengan saya rupanya mendengar dengan seksama dan beberapa orang bertanya beberapa hal lebih lanjut. Lantas mereka bertanya apakah saya dari jurusan Biologi. Saya jawab, “Matematika”. Mereka terkejut. Hal itu terlihat jelas dari wajah mereka setelah mengatakan kalau saya dari jurusan Matematika. Beberapa jam setelah itu ada satu orang peserta yang bertanya, darimana saya bisa mendapat ‘pengetahuan yang luas’ itu. Saya bilang kalau saya mendapatkannya dari membaca (tampaknya saya membaca dua atau tiga kali lebih banyak dari mereka). “Waaaaah,” katanya. Saya menambahkan kalau pengetahuan saya tentang kesehatan semacam itu berguna sekali di masa mendatang, terutama nanti kalau kita menjadi orangtua dan harus membesarkan anak-anak. Dia manggut-manggut mendengar saya berkata begitu.

Saya masih ingat sampai sekarang, satu momen di tengah pelajaran Geografi di SMP. Si Ibu sedang membahas potensi ekonomi beberapa daerah di Indonesia. Saat itu, Ibu Guru bertanya apakah ada yang tahu siapa pengusaha kuda yang lumayan tersohor di Indonesia. Murid satu kelas saling menengok ke kiri dan ke kanan. Mereka semua angkat bahu. Tidak ada yang tahu. Akhirnya mata si Ibu mengarah ke saya. Saya langsung berkeringat dingin. Saya tahu kalau si Ibu akan melihat saya karena saya adalah si Rangking Satu (saya tidak terlalu bangga akan hal itu; masalahnya, setiap kali ada apa-apa, saya yang diandalkan; padahal saya tidak selalu tahu; kan repot kalau tidak bisa menjawab).

“Eeeeeeeee...,” saya mengulur waktu sebentar. “Bob Sadino, Bu,” akhirnya saya menjawab sekenanya.

Tanpa dinyana, si Ibu Guru berkata begini, “Yaa. Betul, Les. Bob Sadino, anak-anak...”

Hah?! Bener ya? Padahal..., sumpah, gua cuma nebak-nebak.

Pada masa itu, di televisi sering disiarkan iklan yang menampilkan Bob Sadino di tengah ranch miliknya sambil berkuda. Saya lupa iklan apa. Mungkin iklan teh. Iklan dengan Bob Sadinonya itu tidak menjelaskan secara eksplisit kalau Bob Sadino adalah pengusaha kuda. Yang digambarkan adalah satu makna hidup, entah apa. Saya tidak bisa ingat secara persis, habis sudah lama sekali. Tapi dari iklan itulah saya mendapat kesimpulan sembarangan bahwa Bob Sadino adalah pengusaha kuda, bukan dari buku Geografi. Kesimpulan itu yang saya gunakan untuk menjawab pertanyaan si Bu Guru.

Belakangan saya sering berpikir, apa jangan-jangan si Ibu Guru bertanya tentang pengusaha kuda gara-gara melihat iklan itu juga ya? Entahlah. Tapi paling tidak, saya mendapatkan gambaran jelas bahwa sebagian besar siswa sekolah saya waktu itu minat membacanya sangat rendah. Yang saya maksud adalah membaca buku atau teks. Dan fakta itu berimbas pada pola pikir mereka. Buktinya iklan yang saban hari terpampang di hadapan mereka tidak membuat mereka mendapatkan sesuatu. Mereka tidak terbiasa membaca teks sehingga ‘membaca’ yang lain pun tidak bisa. Tapi lagi-lagi ini hanya kesimpulan saya yang sembarangan.

Saya bersyukur memiliki orangtua yang memiliki minat baca tinggi meski mereka hanya lulusan SMU. Wawasan mereka luas dan bahasa Inggris mereka bagus sekali. Minat membaca itu pun mereka tularkan kepada kami anak-anaknya. Mereka berlangganan majalah Tempo, Gatra, koran Kompas dan Pos Kota. Kadang mereka membeli majalah Humor (sekarang majalah itu sudah tidak pernah saya lihat lagi di pasaran). Saya jadi ikut membaca bacaan-bacaan orangtua itu. Untuk kami anak-anaknya, mereka membelikan majalah Donal Bebek dan Bobo. Ketika majalah remaja Kawanku terbit pun, Mama saya membelikannya. Belum lagi novel-novel karya Enid Blyton dan Agatha Christie yang senantiasa dibaca oleh Mama.

Saya melihat bahwa keheranan orang-orang pada saya adalah sesuatu yang wajar. Mereka melihat saya sebagai orang yang tahu banyak tentang berbagai hal. Tapi ada ‘tapi’-nya. Saya menilai bahwa orang-orang melihat wawasan yang saya miliki dengan kekaguman itu, tidak—atau mungkin belum—menyadari bahwa diri mereka sendiri pun memiliki pengetahuan yang tidak saya miliki. Yah, singkatnya, rumput tetangga lebih hijau.

Terlepas dari kekaguman orang-orang itu, saya tidak merasa bahwa wawasan yang saya miliki suatu hal yang patut dibanggakan (dan semoga saya tidak bangga karena mengatakan ini). Saya mengetahui semua itu karena saya memang ingin mengetahuinya. Lagipula saya memang membutuhkannya. Seperti sedikit pengetahuan saya tentang kesehatan dan cara kerja tubuh. Pengetahuan itu berguna sekali ketika saya sedang sakit dan membutuhkan pertolongan pertama. Saya jadi tidak terlalu tergantung pada obat-obatan kimia yang memang tidak terlalu baik untuk kesehatan bila digunakan terus-menerus. Saya pun dapat membantu teman-teman saya bila mereka sakit, tentunya sebatas yang saya mampu. Intinya, ilmu yang saya miliki itu sangat bermanfaat.
Tapi tetap saja orang heran pada saya.

Wednesday, December 14, 2005

Bookz Freak!

Ini dia blog temen Ales yang sama-sama monster buku! Namanya Nana. Dia mengulas beberapa buku yang sempet dia baca. Silahkan kunjungi ya....

Tuesday, December 06, 2005

Aku Cinta Indonesia!

Seumur-umur, belom pernah deh berurusan dengan polisi. Bukannya takut sih, tapi belom pernah aja. Nah, tanggal 3 Desember kemaren adalah peristiwa perdana dari 'Ales berurusan dengan polisi'. Gak sendirian sih, tapi berdua dengan Teh Yuti.

Jadi ceritanya pagi itu kita berdua abis lari bareng (acara rutin-gak-rutin setiap Sabtu pagi anak-anak Aksara Salman). Seperti biasa, saya pulang menumpang motor Teh Yuti. Karena helmnya cuma ada satu, ya saya gak pake helm. Biasanya, gak ada masalah dengan ketiadaan helm di kepala saya pas ngelewatin jalan layang dan perempatan Dago Stock Export. Tapi dasar nasibnya bakal ditilang, ada polisi pagi itu.

Teh Yuti nyetop motornya. Si Polisi yang masih keliatan muda dan baru keluar dari Akpol meminta SIM Teh Yuti. Motor itu diberhentiin di depan toko mainan di seberang DSE. Si Polisi nyebrang ke DSE, ke tempat temennya nongkrong sambil baca koran. Kita berdua pandang-pandangan. He? Kita diminta ke sana juga ya?

Yah, daripada bingung-bingung, kita ikutin aja tuh polisi ke seberang. Sampe di sana, si Polisi kelihatan pasang aksi untuk ngelama-lamain prosedur penilangan. Sambil nungguin si Polisi beres nulis nota penilangan, Teh Yuti nanya.

"Eh, aku bener gak ya ngasih SIM-nya? Yang diminta SIM motor kan? Aku punya dua SIM, SIM mobil dan SIM motor. Aku salah ngasih gak ya?"

GUBRAK!

Setengah gak percaya, saya nerangin kalo yang namanya SIM A itu SIM mobil dan SIM motor itu SIM C.

"Oh, aku baru tau," katanya sambil cengar-cengir.

Huahahahahahahahaha....

Padahal kita berdua saat itu lagi tegang. Tapi ada aja yang membuat kita berdua senyum-senyum. Gak lama si Polisi nanya.

"Tadi mau ke mana? Kenapa gak pake helm?"

Kita bertanya-jawab seputar itu trus si Polisi ngasih nasehat kalo naek motor itu mesti pake helm semua. Kita manggut-manggut. Trus si Polisi bilang nanya, "Tanggal 7 bisa sidang?"

"He? Tanggal 7?"

Tanpa tanda apa-apa, si Polisi kedua yang lagi baca koran nyeletuk dengan sok, "Udah, tanggal 14 aja. Biar lama sekalian!"

Teh Yuti motong, "Pak bisa cara cepet gak?"

"Cara cepet? Gini aja deh, punya 25 ribu gak?"

"Eh, 20 aja ya, Pak. Baru abis bulan nih, jadi cuma punya 20 ribu."

"Ya udah."

Uang dua puluh ribu itupun berpindah tangan. Gak lama, satu orang polisi datang naek motor (jadi, totalnya ada tiga polisi di situ). Dia berwajah lebih ramah daripada dua orang sebelumnya. Dia nanya tentang kenapa Sabuga keliatan macet. "Emangnya ada acara apa?", tanya Pak Polisi yang ramah ini.

Weleh, mana kita tau! Kita jawab seadanya aja. Trus pas kita mau pulang, kita berdua bingung. Karena abis ditilang, Teh Yuti dan saya bingung apa saya harus naik angkot atau ikut motor Teh Yuti aja. Tapi Pak polisinya bilang, kita berdua boleh naek motor kok. "Kalo ada yang nilang lagi, bilang aja udah ditilang di sini (sama polisi-polisi itu maksudnya)."

YA udah, kita berdua melanjtukan perjalanan. Dalam pikiran ini, berkecamuk berbagai pikiran. Mulai dari kenyataan pahit yang harus kita berdua hadapi sampai fakta bahwa kebanyakan polisi masih menganggap semua orang harus dihadapi dengan sok dan garang, hanya karena kesalahan sederhana atau bukan. Tidak ada keramahan di sana.

Aku Cinta Indonesia!

[Sinis banget yak?]

Tuesday, November 29, 2005

To Be A Great Man

One day, I asked my father. "Papa, why you gave 'Sari Alessandra' for my name?"

He answered, "Why do you ask?"

"Well, I know the meaning of my name. 'Alessandra' derived from 'Alexander'. 'Alexander' derived from 'Alexo' which means 'to defend, help'."

I continued, "I'm asking you to know the reason you gave me that name. So do Agi. Why did you gave him 'Robby Khossagi' for his name? How about Liza? And Rubi? Why, Pa?"

It took a while for Papa to reply.

"I gave you those names because I want you to become a great people," my father replied.



[I've just watch Gladiator. Maximus is a great man. I wish that I could have such honour and spirit like him. For my name have not reflect its greatness. But I still have time.... ]

Tuesday, November 22, 2005

22 November 2005

Dear diary,

Why do we always make mistakes?

After I made one, I always hope that I've never done it. But it's already happened. I can not do anything to change something that already happened.

Arrrrrrrrrgh! I can feel my own guilt runing trough my blood and stab me every where and every time I remember my mistakes.

But after I think about it again, we made mistake to learn about our shortcomings and life it self. If we never made one, what's the point of living?

Well, I feel better now. Even I still could feel the pain of guilt, sooner or later i'll forget how it feels.

(Forgive me my friends, for everything I've done to you that might cause some tears to your eyes or wound to your heart... I really mean it. I really, really am.)

Friday, November 18, 2005

Mencintai atau Dicintai?

Teringat akan perkataan seorang teman baik, "mungkin kita mendapat pilihan 'mencintai' dulu..karena Tuhan mau kita belajar ikhlas. Sehingga bila tiba saatnya kita dicintai oleh 'orang yang tepat.." semuanya akan terasa lebih indah."

Saya mengutip kalimat itu dari blog teman baru saya, Yaya. Dan saya berkomentar begini di blognya:

Tau enggak, menurut saya memilih yang lebih baik antara mencintai atau dicintai tidak penting. Kenapa? Karena kita tidak mungkin hanya akan berada pada satu kondisi "mencintai" atau "dicintai" saja. Hidup kita akan diisi oleh keduanya secara bergantian dan terus-menerus. Baik kita hanya akan mencintai atau dicintai saja pada satu selang waktu, atau kita mengalaminya secara simultan. Selalu begitu.

Justru yang penting itu adalah bagaimana kita bisa belajar saat kita mengalami salah satu atau keduanya. Kalimat yang saya kutip itulah salah satu hikmah yang saya dapat mengenai "mencintai".

Thanks, Yaya. Tulisanmu memberi saya penerangan baru agar hidup ini lebih bermakna.

Bagaimana menurut Anda?

Thursday, October 20, 2005

Syukur

Sabtu, 15 Oktober 2005, 16.40 WIB

Saya hendak membuka tirai dari jendela yang berada di sisi barat laut kamar kos saya. Jendela itu memberi pemandangan langsung ke jalan di depan kos saya yang menghadap timur laut. Tapi saya tidak bisa melihat jalan di depan kos saya persis karena jendela itu berada di sisi samping kos. Sore ini langit mendung karena baru saja hujan. Oleh karena itu saya hendak membuat cahaya sore yang temaram itu masuk sebanyak-banyaknya ke dalam kamar saya. Ketika saya hendak menyibak tirai, mata saya menangkap sesuatu di luar jendela. Yang saya lihat adalah seorang bapak sedang berjalan sambil kepayahan.

Saya tertarik untuk mengamatinya. Tidak jadi menyibak tirai, saya hanya membuka sedikit agar ada celah bagi saya untuk mengamati dengan aman. Bapak itu menggendong tas selempang di bahu kanannya. Tangan kanannya memegang sebagian kain hijau yang tersembul dari dalam tas. Bapak itu rupanya penjual tirai. Dari keningnya yang berkerut, jalannya yang agak terseok, dan bibirnya yang sedikit menganga terlihat jelas bahwa bapak itu menahan lelah. Ketika dia menghilang dari pandangan dan sedang melewati depan kosan saya, saya mendengarnya mengucapkan, “Hordeng! Hordeng!”. Setelah itu dia berlalu.

Hadirnya bapak penjual tirai itu membuat saya termenung. Saya tertohok. Saya lantas membuka sebagian tirai dan beranjak ke jendela di sisi barat daya kamar untuk memandangi langit yang disaput awan kelabu-ungu.

Saya menilik keadaan saya. Saya malu bila membandingkan bapak penjual tirai tadi dengan saya. Beliau dengan kerasnya berusaha sehingga kelelahan. Tapi saya? Saya ternyata belum berupaya sekeras bapak tadi berupaya. Ketika pada yang sama ada (bahkan mungkin banyak sekali) orang di sekitar saya bersusah-payah mencari barang sesuap nasi, saya malah bersantai-santai di tengah segala kemudahan yang saya dapat. Selama ini saya tidak berusaha dengan keras hingga kelelahan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban saya. Saya lebih banyak menuruti kehendak hati. Aaaaah, saya malu.

Dulu, ketika keadaan saya tidak selonggar sekarang, saya sangat mengidamkan kelonggaran. Saya berpikir bahwa dengan adanya kelonggaran itu, saya akan lebih mudah dan giat dalam berupaya. Namun ketika kini saya berada dalam kelonggaran itu, saya justru bukannya bertambah giat, saya malah terlena dan melemah semangatnya.

Saya sedang diuji. Ujiannya tidak mudah lagi. Saya diuji dalam bentuk kenikmatan. Seperti yang dikatakan Sang Bijak, manusia akan tabah bila diuji dalam bentuk kesulitan. Namun ketika diuji dalam bentuk kenikmatan, manusia tidak tabah lagi. Persis seperti yang sedang saya alami sekarang. Saya kufur nikmat.

Selain itu, saya sedang diuji pada titik terlemah saya. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda bahwa saya akan lolos dari ujian ini. Titik kelemahan saya itu membuat saya bergantung pada sesuatu yang tidak pasti. Otomatis saya kehilangan banyak ruang dalam pikiran saya yang seharusnya digunakan untuk menjalankan kewajiban saya. Saya juga kehilangan kebiasaan untuk merenung atau berpikir tentang keberadaan saya di bumi ini. Saya menjadi gamang.

Ketika ada orang yang memuji saya, bukannya senang saya malah prihatin pada diri saya. Rasanya pujian mereka tidak pada tempatnya. Mereka tidak mengetahui betapa buruknya saya yang sebenarnya, betapa lemahnya saya, betapa menggelikannya saya, betapa tidak hebatnya saya, dan betapa rapuhnya saya. Kemudian saya berpikir bahwa tertutupinya segala kejelekan saya tidak lepas dari pertolongan Allah.

Kehadiran bapak penjual tirai itu sungguh berarti bagi saya. Lewat beliulah saya mendapat pelajaran hari ini. Sesungguhnya tidak ada yang istimewa darinya. Namun raut wajahnya yang kelelahan itu begitu menusuk hati saya. Keadaan saya yang serba santai, tidak terencana, dan tidak terarah disindir habis-habisan. Wajahnya itu seakan berkata: Lihat! Lihat baik-baik! Saya mengerahkan segala tenaga untuk menjalankan profesi saya. Sampai kapan kamu akan bersantai-santai? Menunggu ajal menjemput dulu? Setelah kamu diberi segala kelonggaran, masih juga kamu bersantai? Saya berdoa, berharap agar Allah mengaruniakannya ampunan, kesejahteraan lahir dan batin, serta keselamatan dunia dan akhirat. Amin.

Berdagang

Jum’at, 14 Oktober 2005, 23.00 WIB

Di ujung jalan kecil yang menuju mesjid Salman, yang berada di sebelah taman Ganesha dan yang berada di seberang gerbang utama ITB, Anda akan mendapati ada beberapa pedagang yang saban hari berjualan di situ. Ada pedagang koran dan majalah, kemudian di sore hari ada beberapa pedagang makanan termasuk tukang gorengan dan penjual tajil untuk berbuka puasa. Terakhir ada pemuda yang berdagang film-film dalam VCD dan DVD.

Saya baru melihat pemuda itu berjualan sekitar satu-dua minggu yang lalu. Dia menebarkan dagangannya di sisi kiri ujung jalan kecil bila kita melihatnya dari arah gerbang ITB. Sebenarnya saya tidak yakin dengan waktu yang saya sebutkan barusan. Bisa saja pemuda itu baru berjualan di bulan Ramadhan ini. Entahlah. Saya tidak ingat dengan persis. Yang jelas saya baru melihatnya belakangan ini.

Pada awal dia mulai berjualan, saya hanya melewatinya tanpa mampir. Kadang secara sekilas saya melirik ke arah film-film yang dijualnya, barangkali ada yang menarik buat saya. Tapi lirikan sekilas itu tidak bisa membuat saya berhenti karena biasanya saya sedang berjalan dengan terburu-buru di sore hari ke arah mesjid Salman. Baru pada awal minggu ini saya dapat berjalan dengan santai dan berhenti untuk melihat-lihat dagangannya. Namun saya belum jua membeli. Film Flight Plan yang dibintangi oleh Jodie Foster belum ada di antara dagangannya. Yang ada barulah The Corpse Bride. Tapi film animasi yang salah satu pengisi suaranya Jhonnie Depp itu tidak menjadi prioritas utama dalam daftar tonton film saya. Jadi saya hanya bilang pada pemuda itu kalau saya tidak membeli karena film yang saya cari belum ada.

Lalu tadi sore saya lewat jalan kecil itu lagi. Dan mata saya menangkap sampul film Flight Plan yang saya tunggu. Tanpa menunggu lagi saya menghampirinya dan langsung membeli film itu. Pemuda itu berkata kalau saya bisa datang kembali padanya kalau ada masalah dengan DVD yang saya beli. Itulah yang membuat saya senang dengan keberadaan pemuda itu. Dia berjualan setiap hari sehingga saya bisa dengan cepat mengklaim bila ada apa-apa dengan DVD yang dia jual. Dia sempat menawarkan film Tehe Corpse Bride yang sempat saya pegang ketika saya mampir sebelumnya. Tapi saya tidak menerima tawarannya. Saya masih harus mempertimbangkan pengeluaran saya. Apalagi sebelumnya saya lebih memilih untuk menyewa film daripada membelinya.

Bukan apa-apa, sebelumnya saya punya pengalaman membeli DVD di salah seorang pedagang film yang berjualan di pasar Jumat mesjid Salman. Sesampainya saya di rumah, DVD itu tidak bisa diputar sama sekali. Saya lantas bingung. Bila saya mengembalikan ke pasar Jum’at pada minggu berikutnya, apakah saya bisa ingat pada siapa saya membelinya? Namanya juga pasar yang hanya ada seminggu sekali, tidak ada jaminan bahwa pedagang yang menjual film pada saya akan menempati tempat yang sama dengan sebelumnya. Apalagi waktu itu saya lupa untuk membawa DVD yang rusak itu ke kampus pada dua Jum’at berikutnya. Ya sudahlah, sudah nasib saya.

Setelah selesai menonton film yang saya beli tadi sore, saya teringat pada pemuda yang berjualan film itu. Kalau dipikir-pikir, barangkali usianya tidak terpaut jauh dengan saya. Entahlah, saya tidak mengamati dengan baik ketika saya membeli tadi. Yang sekarang menari-nari dalam benak saya adalah kegiatan yang dilakukan pemuda itu, yaitu berdagang.

Mendengar bujukannya pada saya agar menggenapkan pembelian saya menjadi dua film (termasuk film The Corpse Bride), saya bisa mengerti bahwa dia sangat berharap agar dagangannya laku banyak. Saya membayangkan keuntungan yang bisa didapatnya untuk setiap keping DVD yang dijualnya adalah seribu rupiah. Kalau saya membeli dua DVD, dia akan mendapat dua ribu rupiah. Kemudian saya menebak-nebak berapa yang bisa dia dapatkan dalam sehari.

Pemuda itu membangkitkan kenangan akan diri saya sendiri di tingkat satu. Saat itu saya giat berjualan kue kepada teman-teman sekelas saya. Tiga hari dalam seminggu saya berangkat pukul enam pagi untuk mengambil kue pesanan. Lalu saya bergegas ke kampus. Saya menjualnya dengan harga yang sama atau lebih rendah dari mahasiswa lain yang berjualan kue juga. Saya berprinsip bahwa saya tidak akan membuat teman saya mengeluh karena harga yang saya berikan terlalu tinggi. Saya bisa mengerti hal itu karena saya juga bisa merasakan bagaimana terkurasnya kantong bila harga kuenya mahal.

Bila teman-teman saya berjualan untuk menambah pemasukan bagi kegiatan yang akan mereka adakan, saya berjualan murni karena ingin mendapat penghasilan. Karena kegiatan itulah saya dikenal sebagai wiraswastawati oleh teman-teman saya. Untung yang didapat tidaklah terlalu besar. Rata-rata saya mendapat 2500 hingga 5000 rupiah setiap kali berjualan, tergantung banyaknya kue yang saya jual. Tapi paling tidak lumayan untuk menambah uang makan siang satu kali yang agak mewah buat saya.

Apakah saya kekurangan uang bulanan saat itu? Tidak. Saya tidak kekurangan. Lebih dari cukup malah. Tapi kenapa saya bertindak seperti mahasiswi yang uang bulanannya terbatas? Waktu itu saya baru merasakan bagaimana hidup mandiri dan jauh dari orang tua. Itu artinya semua pengeluaran dan kebutuhan saya harus saya tangani sendiri sesuai dengan jatah yang didapat. Selama masih tinggal dengan orangtua, saya tidak tahu persis berapa uang yang harus dikeluarkan untuk keperluan saya sehari-hari. Jadi karena sekarang harus mengurus sendiri, saya berhati-hati dalam mengeluarkan uang.

Anda boleh tidak percaya kalau dulu saya hanya mengeluarkan tiga ratus hingga empat ratus ribu sebulan untuk berbagai keperluan, termasuk ongkos angkot dan uang buku. Teman akrab saya yang saya tahu bukan orang berada pun tidak percaya ketika saya bercerita bahwa saya hanya menghabiskan uang di bawah seratus ribu rupiah untuk makan tiap bulannya. Saya bisa lebih hemat daripada dia! Namun kini saya tidak seketat itu. Sebagai mahasiswi yang sudah mapan kemandiriannya, saya sudah tahu beberapa pekerjaan sampingan yang bisa saya lakukan untuk mendapat tambahan uang bulanan yang lumayan.

Pengalaman berjualan kue selama satu tahun itu memberi banyak sekali pengalaman buat saya. Pertama, saya lebih cepat mengenal kota Bandung. Kedua, saya belajar untuk ‘bermuka-tembok’ dalam arti tidak merasa rendah diri atau menganggap diri saya hina dan tidak berharga bila berjualan. Ketiga, saya belajar memahami beragam watak orang sehingga saya tidak merasa segan berada di antara banyak orang yang saya tidak saya kenal. Saya menjadi luwes dan egaliter dalam bergaul. Keempat, yang paling penting, saya belajar menghargai tiap sen uang. Nilai uang itu menjadi sedemikian besarnya. Lalu ada kepuasan tersendiri ketika mengetahui uang yang didapat adalah hasil jerih payah saya sendiri. Seperti yang dikatakan salah seorang teman saya, I got it with my own tears and blood. Meski jumlahnya tidak seberapa, kepuasan yang saya dapat tidak dapat dibandingkan dengan apapun.

Aaaah, masa-masa itu. Mengingatnya saja membuat hati saya hangat. Kerja keras yang saya lakukan dan waktu yang saya korbankan selama berjualan kue tidaklah sebanding dengan uang yang didapat. Tapi pengalaman yang saya peroleh tidak ternilai! Pijakan kaki saya lebih kuat, hati saya lebih mantap, dan pikiran saya lebih terarah dibanding sebelumnya. Tidaklah salah bila Rasulullah mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada di bidang perdagangan. Saya yakin ‘rezeki’ yang dimaksud dalam hadis itu bukan sekedar rezeki berupa harta saja, tapi juga berupa ilmu dan teman atau jaringan pergaulan.

Maha Kaya Allah, Maha Bijaksana Allah.

Wednesday, October 12, 2005

B21: On Becoming Super Woman

Pertama, saya belum menikah.

Kedua, saya menyadari di saat saya masih SMA, ketika saya sedang membantu Bibi saya—Bu Dara—di dapur, bahwa menjadi seorang ibu adalah tugas yang berat. Kenapa berat? Karena selain menjadi ibu, seorang wanita harus menjadi seorang istri, anak menantu, dan manusia mumpuni di tengah masyarakat sekaligus.

Ketiga, cita-cita saya sekarang adalah menjadi ibu yang baik dan mumpuni.

Belakangan ini, semenjak saya memasuki semester tujuh tepatnya, keinginan saya untuk menjadi wartawan menguap. Mungkin karena semangat untuk jadi wartawan itu ‘disimpan’ dulu untuk kebaikan saya sendiri yang sedang mengerjakan TA. Atau memang karena profesi itu sudah tidak menarik lagi bagi saya? Entahlah. Tapi yang jelas, belakangan ini di pikiran saya sedang bermain-main yang namanya wacana ‘menjadi ibu yang baik’.

Akan saya ceritakan beberapa peristiwa yang terkait dengan wacana itu. Salah satunya tentang Acit. Peristiwa ini terjadi sekitar tiga-empat bulan yang lalu.

Saya sedang duduk di depan komputer di sekre Aksara Salman saat Acit masuk. Ada seorang teman saya juga saat itu. Kami berdua sedang mengerjakan sesuatu dengan komputer-komputer di depan kami.

Tadinya Acit berada di sekre sebelah—sekre UPT Kaderisasi—lalu bermain sendiri di lorong depan tangga. Tak lama kemudian dia mulai menjelajahi sekre Aksara. Teman saya itu mengajaknya bermain bulu tangkis dengan raket yang dibawa oleh Acit. Mereka berdua cukup menikmati permainan mereka.

Setelah agak bosan, Acit mendekati komputer teman saya itu. Dia memainkan mouse. Padahal saat itu teman saya sedang mengerjakan sesuatu di Corel Draw. Teman saya mencegah Acit dari merusak pekerjaannya dengan membuatkan gambar yang diinginkan Acit di lembar kerja baru Corel. Acit kemudian memperhatikan dengan khidmat saat teman saya membuat gambar truk gandeng.

Memperhatikan mereka berdua yang langsung akrab, saya tercenung. Acit adalah anak yang lincah dan sedikit hiperaktif. Begitu mendengar apa yang dilakukannya di sekre sebelah—sebelum dia masuk ke sekre Aksara—saya langsung kurang menyukainya. Saya sadar betul bahwa dia adalah anak yang sedikit sulit untuk ditangani; perlu kesabaran ekstra dalam menghadapinya. Tapi kemudian saya mengembalikan hal itu pada diri saya sendiri. Apakah saya bisa menjadi ibu yang baik? Ibu yang sabar dan lemah lembut dalam menghadapi anak-anaknya? Ibu yang bijak dan dapat menjadi tempat curahan hati anak-anaknya?

Dengan mudahnya teman saya ‘menjinakkan’ Acit. Saya? Saya tidak merasa mampu untuk melakukannya. Saya tidak berdaya. Saya masih jauh dari figur ‘calon ibu yang baik’. Mengurus diri sendiri saja belum tentu beres.

Kemudian ada peristiwa yang baru-baru ini terjadi. Tepatnya pada Minggu malam yang lalu. Saya sedang duduk di warung milik bapak kos. Ada putrinya yang sedang menjaga warung. Saya kadang mampir ke warung itu untuk sekedar mengobrol atau membaca koran. Malam itu saya menemani si Teteh yang sedang sakit kepala dan melihat-lihat iklan ponsel second di PR. Saya sedang membaca-baca koran PR dari tumpukan di dekat kaki saya. Lalu mata saya menangkap judul artikel pada suplemen ‘Khasanah’ PR. Setelah saya ambil dan perhatikan baik-baik, artikel-artikel pada halaman itu bertema kasus selingkuh yang terjadi di dalam rumah sendiri.

Setelah selesai membaca semua artikelnya, saya bergidik. Saya langsung beristighfar dan berdoa agar kehidupan rumah tangga saya nanti tidak ada hal seperti itu.

To catch a husband is an art. To hold him is a job. (Simone de Beauvoir)

Seperti yang dikatakan Simone de Beauvoir, menjaga keutuhan rumah tangga adalah suatu pekerjaan. Layaknya pekerjaan atau profesi, menjaga keutuhan rumah tangga itu harus dilakukan dengan serius. Saya memang belum menikah. Tapi saya bertekad kalau saya akan berusaha semaksimal mungkin agar kehidupan rumah tangga saya sakinah-mawaddah-warahmah. Amin.

Beberapa kali saya sempat berpikir untuk langsung belajar segala keterampilan menjadi ibu rumah tangga setelah saya lulus. Seperti memasak, menjahit, mengurus rumah, dan lain-lain. Saya bukannya tidak bisa memasak, menjahit, mengurus rumah, atau yang lainnya. Keluarga saya adalah keluarga yang melakukan sendiri pekerjaan rumahnya. Tapi saya masih merasa kalau apa yang sudah saya kuasai belum cukup. Saya belum bisa memasak menu makanan yang memerlukan bumbu yang komplit seperti rendang, saya belum bisa membuat kue, saya belum bisa membuat pola pakaian, saya belum tahu cara mengukur badan untuk membuat pola, saya belum tahu cara mengurus bayi selama 24 jam terus menerus, dan masih banyak lagi.

Kenapa saya harus repot-repot melakukan semua pekerjaan itu kalau misalnya nanti saya sanggup mempekerjakan khadimat? Alasan pertama adalah tidak baik membiarkan ada wanita lain dalam rumah kita (bila hanya ada suami dan saya). Kemudian siapa yang akan mengajari khadimat untuk mengurus rumah dengan benar kalau kita sendiri tidak bisa melakukan pekerjaan rumah? Berat nian jadi seorang ibu itu.

Bila setelah saya lulus atau sebelumnya saya sudah menikah, maka saya berencana untuk tidak menjadi wanita karir ‘kantoran’. Dulu sih iya, maksudnya punya mimpi menjadi wanita kantoran. Tapi sekarang saya berencana untuk menjadi wanita yang karirnya adalah menjadi istri, menantu, ibu, dan bagian dari masyarakat yang mumpuni. Saya bisa mencari uang tanpa harus keluar dari rumah. Misalnya dengan menulis atau menjahit atau apapun yang bisa dilakukan di rumah.

Menjadi ibu rumah tangga yang baik adalah profesi yang mulia karena di balik ‘mulia’ itu ada kerja keras dan usaha yang tidak main-main. Ibu rumah tangga bertugas untuk mendidik generasi penerus agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang terbelakang. Menjadi ibu rumah tangga juga pilihan, sama halnya seperti menjadi ibu yang bekerja. Jadi saya rasa wanita tidak perlu merasa terkekang dengan menjadi ibu rumah tangga. Tergantung dari pemahaman dan cara pandang.

Ada fakta yang menarik yang saya dapat dari negeri Sakura. Fakta itu diawali dengan satu pertanyaan, mengapa anak-anak di negeri Sakura pintar-pintar? Jawabannya adalah ini:

Wanita Jepang pada umumnya adalah golongan berpendidikan tinggi. Mulai jenjang S1, S2, hingga S3. Setelah mereka menyelesaikan kuliah, biasanya mereka akan bekerja. Tetapi, setelah menikah mereka akan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga atas kemauan mereka sendiri. Jadi mengapa anak orang jepang pinter-pinter? Wajar sih..., teman main mereka di rumah punya gelar S3. Dengan kata lain teman mainnya orang berpendidikan tinggi. Bahkan mungkin lebih pinter daripada guru mereka saat mereka masih SD. Mereka tidak main sama pembantu yang hanya lulusan SD.

Jadi bila wanita-wanita yang lulus dari perguruan tinggi hanya berpikir untuk menjadi wanita karir saja, kapan negeri ini akan berubah? Tapi saya tidak mengatakan kalau wanita tidak boleh bekerja. Tergantung kesepakatan dalam rumah tangganya sendiri.

...

Hmmm, sudah panjang lebar saya mengungkapkan pemikiran saya. Silahkan ditakar, dikunyah, ditelan, dipotong-potong, atau diberi perlakuan apapun di otak Anda tulisan saya ini.

Wednesday, October 05, 2005

B21: Super Woman

Super Woman? Siapa sih?

Mereka adalah seorang wanita biasa bila Anda melihatnya--bahkan ketika Anda memperhatikannya baik-baik. Ada yang bersahaja, ada yang anggun, ada yang gemerlap, dan ada yang benar-benar tidak bias dicirikan. Biasa!

Tapi mereka disebut Super Woman. Kenapa?

Mereka menjadi istri. Itu yang pertama. Kemudian mereka menjadi anak menantu. Belum lagi mereka harus menjadi ibu. Kemudian mereka juga tidak terlepas dari yang namanya 'masyarakat' sebagai tempat berkiprah.

Saya menemui banyak sekali Super Woman-Super Woman dalam perjalanan hidup saya sampai saat ini, umur 21. Pertama ibu saya. Kedua Bu Dara (begitulah kami sebaai keponakan beliau memanggilnya), kakak tertua dari ibu saya. Ketiga dosen-dosen wanita yang pernah mengajar saya semenjak tingkat satu hingga tingkat empat. Lalu ibunda dari teman-teman yang saya sayangi (kalau bukan karena ibunda mereka, teman-teman saya tidak akan mungkin menjadi orang-orang hebat dan akan saya sayangi).

Itu yang saya temui langsung. Kemudian yang saya ketahui dari buku-buku sejarah adalah para sahabiyah Rasulullah. Mereka adalah wanita yang luar biasa!!! Mau contohnya? Tengok saja bagaimana kepribadian Khadijah, istri pertama Rasul, Sumayah, Siti Aisyah, dan Fatimah binti Ali. Saya mengagumi mereka bukan sekedar karena saya orang Islam, tapi kepribadian mereka indah. Begitu indah.

Melihat diri saya sekarang ini dan melihat mereka yang saya sebut sebelumnya, betapa jauhnya saya dari ciri-ciri kepribadian mereka! Jauh sekali!

Akankah saya menjadi semulia mereka?

Thursday, September 29, 2005

B21: Impian

Ini memang aneh dan saya sendiri belum tahu mengapa saya bisa begitu. Sampai sekarang saya belum mengetahui dengan pasti kenapa saya hanya cenderung pada hal-hal itu. Tapi keinginan itu timbul begitu kuatnya dan terus-menerus meneror saya dengan hasrat ingin memiliki. Saya benar-benar ingin memiliki ketiga hal itu dan hidup saya rasanya tidak lengkap tanpa ketiga hal itu. Hanya tiga hal itu yang sampai saat ini bisa membuat saya punya keinginan sebesar itu. Setelah saya memiliki dua hal pertama, saya merasa hidup saya cukup. Saya tidak ingin yang macam-macam lagi. Kalaupun ada keinginan, rasanya tidak sebesar ketiga hal itu.

Oke, oke. Tapi apa sih yang kamu omongin, Les?

Anda boleh tertawa. Semenjak saya kuliah, tiba-tiba saja saya punya tiga impian yang mendesak saya terus-menerus. Okelah, saya terobsesi untuk memiliki tiga hal ini. Apa saja? Pertama ponsel, kedua komputer, dan ketiga—piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip...

Maaf, maaf. Karena kebijakan intern, yang ketiga tadi disensor. Hal ketiga tadi tidak bisa disebarluaskan di media yang dapat diakses oleh khalayak umum seperti ini. Harap dimaklumi karena hal ketiga berkaitan dengan masalah pribadi. Hanya kalangan tertentu yang dapat mengetahuinya. Bila Anda punya kepentingan mendesak sehingga harus mengetahui hal yang ketiga, silahkan menghubungi penulis.

Alhamdulillah, benda pertama yang saya impikan saya peroleh di semester kedua tingkat satu. Meski saya diberi yang bekas dan sudah tidak seberapa sempurna, entah kenapa, ponsel Nokia 8210 itu benar-benar sesuai dengan yang saya butuhkan. Meski di sekitar saya saat itu sedang gencar-gencarnya ponsel dengan layar berwarna (polikromatik) beredar, saya tidak peduli. Saya benar-benar mendapatkan apa yang saya butuhkan: ponsel yang ringan, tipis, kapasitas penyimpanan nomor telepon 250 nama (plus kapasitas di kartu SIM 250 nomor juga), baterai tahan lama, menu yang pas dengan kebutuhan saya, warna layar ponsel yang putih terang (bukan biru yang bikin sakit mata), dan ada fasilitas untuk membuat dering telepon sendiri.

Saya memiliki ponsel itu hingga tingkat tiga semester pertama. Entah mengapa, pada semester itu Papa tiba-tiba menelpon dan mengatakan akan mengganti ponsel saya dengan yang lebih ‘canggih’. Saya tidak menyangka kalau saya akan diberikan ponsel baru. Saya tidak meminta sama sekali. Tapi saya senang saja. Siapa sih yang mau menolak untuk dibelikan ponsel yang lebih gress? Oke. Barangkali ada yang menolak. Tapi saya sih tidak.

Nokia seri 6610. Itulah yang Papa berikan pada saya. Layar polikromatik dengan ukuran pixel yang besar, bahkan lebih besar dari ponsel-ponsel merk lain yang dilepas ke pasaran pada saat yang sama dengan N6610, dering poliphonik, ada radio, ada fasilitas GPRS untuk koneksi ke internet (belum pernah saya gunakan), waktu pengisian baterai hanya satu setengah jam untuk empat hari, tapi tidak ada kamera. Seri N6610i yang ada kameranya. Dengan tambahan beberapa fasilitas lainnya, saya merasa yang saya dapatkan itu lebih dari cukup. Fitur MMS jarang saya gunakan. Saya tidak punya keinginan sedikitpun untuk memiliki ponsel berkamera. Teknologi yang ada sekarang belum cukup untuk membuat hasil jepretan ponsel berkamera cukup bagus. Saya lebih senang bila saya memiliki kamera digital sendiri, terpisah dari fungsi ponsel. Lagipula biaya yang dikeluarkan lebih murah. Apalagi sekarang banyak sekali merk yang menawarkan produk kamera digital plus ukuran pixel yang semakin besar dengan harga yang makin terjangkau (5 megapixel menjadi mainstream saat ini).

Cukup dulu deh omongan tentang ponsel. Apa keinginan keduanya?

Maaf, maaf. Keasyikan cerita tentang ponsel. Sekarang saya akan cerita tentang keinginan saya yang kedua. Benda itu adalah komputer.

Ketika saya tingkat dua, saya mengikuti kuliah yang sangat menuntut untuk mengerjakan tugas. Setiap minggu ada tugas yang mengharuskan saya menyelesaikannya dengan komputer. Bukan sekedar komputer biasa lagi. Komputernya harus dilengkapi dengan program matematika dan pengolahan data statistik. Jarang ada rental komputer yang menyertakan program statistik pada komputer-komputernya. Yang saya tahu komputer seperti itu hanya ada di lab komputer departemen Matematika ITB.

Masalahnya, saya hanya bisa menggunakan komputer di lab itu sampai jam tujuh malam. Dengan adanya kuliah dan pratikum di lab itu, otomatis kesempatan saya terbatas. Ketika saya ada kesempatan di sore hari, komputer di lab itu dipenuhi orang-orang yang main game online seperti... Walah, saya lupa apa nama game itu. Itu lho, kita menjadi seorang penembak yang notabene seorang tentara. Saya masih tidak ingat juga namanya. Yang saya ingat selain game tadi adalah Warcraft dan Ragnarok. Saya sebal bukan main melihat kenyataan itu. Saya gondok. Tapi saya bertahan dengan keadaan yang serba terbatas itu. Akhirnya semester itu berlalu. Saya senang. Saya bersyukur. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa satu lab (ada dua lab di departemen Matematika) yang memang sering digunakan untuk main game online terserang virus sehingga jaringannya kacau. Otomatis lab itu aman dari orang-orang tidak bertanggungjawab yang kerjaannya hanya main game melulu, bukannya menggunakan waktunya untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna.

Fiuuuuuuuh...

Satu saat, beberapa hari sebelum pernikahan sepupu saya yang anak bungsu di keluarganya, saya mendapat ilham. Pada hari itu, entah bagaimana, saya merasa jalan bagi saya untuk memiliki komputer sendiri terbuka lebar. Sangat lebar. Setelah dua setengah tahun menunggu dan berharap-harap cemas bagaimana saya bisa memiliki komputer. Saya punya tabungan yang cukup. Dengan tambahan dana dari ortu dan sedikit poci-poci ke ortu, saya diperbolehkan untuk memiliki komputer!

Yippiiiiiiiiiiiiii! Selama ini saya merasa kalau saya tidak akan bisa punya komputer. Biaya untuk sekolah adik saya di Sekolah Menengah Farmasi sedemikian besar sehingga keperluan-keperluan dengan dana yang besar bisa dibilang masih agak sulit untuk dipertimbangkan. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah... Jadi, saya punya komputer secara resmi pada akhir Mei. Setelah saya bongkar-bongkar lagi perhitungan uang saya, saya masih bisa membeli printer. Akhirnya saya membeli printer. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah...

Kalau dihitung-hitung, jarak antara terkabulnya dua impian saya yang pertama sekitar dua tahun. Yang pertama di semester kedua tingkat satu dan yang kedua di semester dua tingkat tiga. Kalau saya boleh berharap, saya mengekstrapolasikan waktu dua impian sebelumnya dan mendapat waktu terkabulnya impian ketiga saya, yaitu sekitar satu tahun delapan bulan dari sekarang. Yah, hitung-hitung sekitar semester dua tahun kelima saya kuliah, saat saya mau lulus. (Amin!)

Apa sih impian ketiganya?

Saya sudah mengikrarkan harapan di depan Bibi saya tercinta, Bu Dara, bahwa saya berdoa dan berharap, bahwa impian saya terkabul saat saya mau lulus nanti insya Allah. Saya mengatakan pada seorang teman dekat saya lebih spesifik lagi kalau saya berharap dalam waktu dua tahun ini saya ingin mengejar impian saya yang ketiga itu. Hayooo, yang merasa dirinya ‘teman dekat’saya dan mendengar omongan saya tentang itu, ngacung!

Mohon doanya juga ya.

I’m a girl with many wishes...

Wednesday, September 28, 2005

Being 21

( 2 days to go... )

Bismillahirahmanirahiim.

21 tahun. Sebentar lagi umur saya genap 21 tahun insya Allah. Sejujurnya saya takjub sendiri mendengar angka ‘21’ disebut. Rasanya tidak percaya kalau saya sudah mau 21 tahun.

Fiuuuuuuh, masih tetap takjub...

Entah kenapa saya bisa takjub. Barangkali karena saya tidak menyangka kalau menjadi ‘Ales yang berumur 21 tahun’ akan begini rasanya. Tidak pernah terbayang kalau saya akan mencapai 21 tahun. Maka di sinilah saya, hampir berumur 21 tahun dan masih merasa kalau diri saya belum dewasa, belum mencapai kematangan yang sebenarnya, belum utuh, belum banyak pencapaian yang bisa saya banggakan, dan masih banyak ‘belum-belum’ lainnya. Masih ada yang kurang dari diri saya; masih sangat banyak malah.

Entahlah. Ketika kecil saya sempat punya bayangan kalau berumur di atas dua puluh tahun akan jauh lebih dewasa dari keadaan saya sekarang ini. Yah, tentu saja keadaan saya jauh lebih dewasa daripada ketika saya berumur 12 tahun.

Ketika saya baru masuk kuliah di ITB, umur saya 17 hampir 18 tahun. Masa umur belasan atau umur dengan angka ‘satu’ sebagai angka umur pertama merupakan masa yang sangat panjang dan lama saya rasakan. Pada dasawarsa kedua dari hidup saya itu, saya mengalami banyak sekali peristiwa dan gejolak perubahan. Benar-benar masa yang penuh perjuangan. Ketika saya baru menginjak umur 20, saya merasa berat untuk meninggalkan umur belasan itu; berat untuk meninggalkan segala kenyamanan dan perlindungan keluarga; berat untuk meninggalkan segala perlindungan dunia untuk manusia yang berumur belasan; berat untuk menjalani kewajiban-kewajiban manusia dewasa yang harus mengurus dirinya sendiri. Masa remaja adalah masa yang penuh kesenangan dan keamanan.

Tapi waktu tidak bisa berkompromi. Saya harus menghadapinya. Maka saya jalani umur 20 itu dengan penuh sukacita. Namun waktu tidak dengan kejamnya membiarkan saya berjalan tanpa ilmu dan petunjuk. Saya mendapat banyak sekali pengetahuan tentang bagaimana seharusnya manusia dewasa bersikap dan menghadapi dunianya. Saya pun mendapat banyak masukan mengenai sikap mental manusia dewasa dan satu hal yang menjadi isu hangat di sekitar saya: pernikahan.

Well, saya sudah ditanya oleh beberapa orang mengenai hal itu. ‘Kalo gitu kapan undangannya saya terima?’, ‘Kapan nyusul?’, ‘Emang udah ada temen kuliah yang mau serius?’, dan lain-lain, adalah beberapa dari pertanyaan yang teman tanyakan pada saya yang berkaitan dengan pernikahan. Sudah waktunya sih memang. Orang dengan umur seperti saya sudah sepatutnya memikirkan pernikahan. Namun entah kenapa, semangat yang ada sekitar setahun yang silam sekarang menguap. Masih banyak hal yang belum saya selesaikan. Bukan berarti rencana-rencana itu tidak bisa saya kompromikan dengan kehidupan pernikahan sebenarnya. Hanya saja..., saya belum bisa membayangkan bagaimana repotnya saya menyelesaikan semua rencana saya dibarengi dengan menyesuaikan diri terhadap kehidupan pernikahan.

...

Saya hendak memperkenalkan tokoh-tokoh dalam diri saya. Yang pertama adalah ‘Saya’ yang punya karakter tenang, dewasa, tegas, serius, anggun, dan logis. Yang kedua adalah karakter ‘Aku’ yang agak manja, agak histeris kadang-kadang, cepat khawatir, khas remaja yang belum stabil, periang, moody, dan kurang serius. Yang ketiga adalah ‘Gue’. Karakter ini agak seenak-perutnya sendiri, cuek, blak-blakan, berani, setia kawan, agak kasar, tomboy, grasa-grusu, suka main perintah, dan dingin. Karakter keempat bernama ‘Ales’. Dia adalah penengah dari ketiga karakter sebelumnya, misalnya kalau si Aku lagi dimarahi oleh Saya.

Saya: Ah, kamu terlalu banyak khawatir, Les. Kalau dijalani enggak akan terlalu ribet kok...

Ales: Apa betul begitu, ya? Au ah, elap!

Ketika saya melihat kembali ke awal tulisan ini dan melihat angka ‘21’, saya kembali takjub. Benar ya saya akan genap berusia segitu? Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh! Saya masih merasa kalau saya belum cukup dewasa untuk menjadi orang yang berumur 21 tahun. Masih banyak yang kurang dalam diri saya. Saya terus-menerus merasa kurang, kurang, dan kurang. Hiks!

Saya: Ooooh, shut up, Sari Alessandra!

Ales: Oke, oke. Ampun, Mbak. Itu sekedar kehisterisan sesaat.

Perhatian! Perhatian! Yang sedang menuangkan idenya saat ini adalah si Ales. Bukan ‘Saya’ atau ‘Aku’ atau ‘Gue’.

...

Oke, sekarang kita keluar dari drama ‘aneh’ di dalam diri saya tadi. Itu hanya intermezzo saja. Kita kembali ke pembahasan tentang ‘umur 21’ tadi.

Tadinya saya berencana untuk membuat tulisan panjang tentang saya yang berumur 21 tahun dan akan saya masukkan ke blog ini tepat pada tanggal 30 September nanti. Tapi, karena pertimbangan kenyamanan membaca, saya akan membagi ide-ide saya itu dalam beberapa tulisan. Entah berapa tulisan. Tapi yang jelas saya akan menulis ‘B21’ yang merupakan singkatan dari ‘Being 21’ sebagai penanda bahwa tulisan saya berkaitan dengan perenungan saya tentang ‘berumur 21’. Anggaplah tulisan ini sebagai pembuka dari serial tulisan B21. Apakah hanya akan ada dua tulisan, saya tidak tahu. Yang jelas saya akan menulis lagi.

Nantikan saja tulisan saya yang berikutnya.

Monday, September 26, 2005

B21

4 days to go...

Thursday, September 22, 2005

Sejenak

Selasa, 20 September 2005

Sehelai kelopak bunga melayang melewati wajah saya dan turun hingga tergeletak di jalan. Saya berhenti. Di sekeliling saya ternyata bertebaran kelopak bunga berwarna ungu muda-putih. Kemudian saya berbalik dan menengadahkan kepala saya ke atas. Saya disambut oleh terpaan kelopak-kelopak yang berguguran dari bunganya.

Pohon itu tinggi dan terletak di samping jalan kecil yang menuju departemen Matematika dan Tehnik Industri dari arah gedung Kimia Tehnik. Warna bunganya merupakan campuran antara ungu muda lembut dan putih. Saat ini bunga-bunga di pohon itu sedang mekar penuh dan satu-persatu berguguran. Seperti bunga Sakura.

Ditemani sinar mentari yang hangat dan nyaman, entah beberapa saat saya berdiri dan menikmati terpaan kelopak bunga yang berguguran itu. Senyum pun mengembang di bibir saya. Teringat kalau saya masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan di Salman, saya pun menyudahi keindahan pagi itu. Saya meneruskan perjalanan.

Sepanjang jalan, saya mengamati berbagai tanaman yang ada di sekitar saya. Warna hijau muda mendominasi; menyegarkan mata dan jiwa. Dengan sejuknya udara dan lembabnya jalanan belakangan ini, musim hujan mengumumkan kedatangannya. Iya, ya. Tanpa sadar musim kering sudah hampir berakhir. Sungguh tidak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Langkah membawa saya hingga jalan di antara gedung Fisika dan Campus Center. Dari sana, saya mendapat pemandangan penuh ke langit dan pepohonan Aula Barat yang memagarinya. Hijau, hijau, hijau. Aaaaah, hati saya tersentuh. Sampai di bawah pepohonan itu, saya menghirup nafas dalam-dalam, mencoba untuk menikmati segarnya udara.

...

Di depan gerbang, di sisi timur, saya berada saat ini. Masih dengan langkah-langkah saya. Mata saya terpaku ketika saya melewati pohon Akasia besar, pohon pertama di barisannya. Dari sela-sela rimbunnya daun mengalir cahaya temaram mentari. Melihat itu saya serasa berada di tengah hutan lebat dan sedang berada di bawah kanopi daun-daunan. Angin menyapa dengan ringan.

Langkah terus saya ayunkan. Di jalan bebatuan di samping kebun Bioter, saya melemparkan pandangan ke arah Taman Ganesha. Keteduhan merasuk ke dalam diri saya ketika menyaksikan taman dengan orang-orang yang melepas penat sejenak di sana.

Ya Allah, terima kasih atas nikmat-nikmat yang baru saja Kau beri. Sungguh, untuk bisa menikmati keindahan yang kau sajikan seperti barusan merupakan sebuah nikmat itu sendiri. Aaaaah, Kau masih saja menyayangi hambaMu ini, masih melimpahiku dengan cinta yang tiada tara. Meski aku sering lupa padaMu, meski aku sering mungkir terhadap janjiku, meski aku belum bisa menjadi yang terbaik dan mempersembahkan yang terbaik...

Haru dan hangat merebak dalam dada. Air mata memeluk mata. Terima kasih Allah.

Thursday, September 15, 2005

Sejuta Bintang

Fly me to the moon

And let me swing among those stars...

(Frank Sinatra, Fly Me To The Moon)

Salah satu keinginan saya adalah menyepi ke suatu tempat yang tenang dan nyaman untuk menatap sejuta bintang di langit malam yang cerah.

Sewaktu saya masih tinggal di jalan Wiranta 79B, kegiatan favorit saya di atas jam delapan malam adalah menatap langit dan menikmati keindahan malam. Hampir tiap malam saya nangkring di teras. Tentu saja saya melakukan kegiatan itu bila saya tidak memiliki tugas kuliah dan langitnya sedang cerah. Berbekal jaket untuk menahan dinginnya udara malam, saya bisa duduk selama satu hingga dua jam sebelum akhirnya saya masuk ke kamar untuk tidur.

Kamar kos saya berada di bagian belakang rumah, di lantai dua. Kamar saya berhadapan langsung dengan area terbuka untuk menjemur pakaian dan atap bagian depan rumah. Karena berada di belakang, suasana di sekeliling kamar gelap plus tidak ada rumah tetangga yang tingginya lebih dari dua lantai. Sebuah kondisi yang mendukung agar cahaya bintang terlihat dengan jelas. Sayang sekali tempat kos saya yang sekarang tidak memiliki teras terbuka langsung ke langit.

Satu saat, saya benar-benar akan melakukan kegiatan “menatap langit” itu lagi, jika punya kesempatan. Untuk Bandung dan sekitarnya, barangkali daerah Bandung Utara atau Lembang yang memiliki tempat yang saya idam-idamkan itu. Sendirian, terlentang di rerumputan, dengan kedua telapak tangan di belakang kepala, ditemani suara serangga malam di kejauhan, saya menikmati suguhan parade bintang yang jaraknya beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan bermiliar-miliar tahun cahaya dari bumi kita.

Justru jarak itulah yang membuat mereka tampak indah...

Sambil berbaring, saat itu saya mungkin akan berpikir tentang bintang yang berasal dari masa lalu. Karena jauhnya jarak mereka dari bumi, sementara kecepatan cahaya hanya tiga ratus juta meter per detik, bisa saja sebenarnya bintang-bintang itu sudah tiada. Cahaya mereka baru sampai di bumi entah berapa tahun cahaya kemudian, yaitu sekarang. Sesungguhnya, dengan menatap mereka saat ini, kita menatap masa lalu.

Dalam diam, barangkali saya akan berpikir tentang orang-orang yang telah hadir dalam hidup saya. Entah keluarga, teman-teman, sahabat, orang-orang yang tidak dikenal yang sekedar berpapasan di jalan, kekasih, atau anak-anak saya; betapa mereka telah memberi arti bagi hidup saya. Satu persatu, wajah-wajah mereka terbayang di dalam benak saya.

Di bawah kesunyian, hanya ada saya yang dikelilingi keluasan angkasa raya yang tiada tara, diri ini terasa sangat kecil. Mungkin saya akan menitikan air mata karena takjub akan keindahan alam yang terbentang di hadapan saya. Lalu saya berpikir tentang keindahan dari Sang Pencipta yang telah memberi saya kesempatan untuk sekedar memandangi ciptaanNya.

Mungkin kemudian saya akan menangis tersedu-sedu, memikirkan bahwa saya tiada daya dan tiada arti dibandingkan dengan langit yang luas dan bintang-bintang yang megah itu. Mungkin saya juga akan merasa sedih karena saya telah melewatkan banyak keindahan alam yang setiap harinya memanggil untuk dihayati. Tangis saya pun akan makin keras karena menyadari bahwa saya tidak akan selamanya berada di bumi ini; bahwa saya akan pergi untuk menghadap Sang Penguasa yang telah mengaruniakan kepada saya kehidupan yang sangat luar biasa; bahwa saya akan meninggalkan semua keindahan itu. Seperti bintang-bintang yang cahayanya baru sampai ke bumi saat ini. Padahal mereka sudah berhenti bersinar, di suatu waktu di masa lalu.

Belum lagi tangis saya selesai, saya mungkin akan berpikir, apakah saya bisa seperti bintang-bintang, yang meski sudah tiada, cahayanya tetap terpancar, yang keindahannya senantiasa menghiasi langit, yang kerlipannya mampu mengobati hati yang lara? Mampukah saya seperti itu?

Entahlah. Saya belum jua mengetahui...

Thursday, September 08, 2005

Ada Apa Denganku?

Suatu hari seorang Bapak bertanya pada anak lelakinya yang belajar di pesantren.
"Nak, kamu solat buat apa?"
Bukannya menjawab, si anak malah bertanya balik, "Saya hidup buat apa?"
Si Bapak terdiam. Maka percakapan mereka yang sangat singkat itu pun berakhir.



Saya salut dengan anak lelaki itu. Di usianya yang belia dia sudah bisa bersikap kritis dan berpandangan jauh ke depan. Kebutuhan intelektualitasnya terpenuhi dengan baik. Buktinya dia bisa membuat Bapaknya terdiam (bukan karena kalah debat) karena ketajaman pandangannya.

Yang dimiliki anak lelaki itu tidak saya miliki hingga saya kuliah di tingkat tiga universitas saya. Sama halnya juga dengan beberapa kemampuan agar kita tidak dibodohi oleh orang lain. Perkembangan saya sebagai seorang anak tidak seberapa normal. Saya terpaksa bersikap dewasa dan menghadapi kerumitan-kerumitan permasalahan orang dewasa di usia yang belia. Oleh karena itu saya tidak sempat belajar bagaimana bertata-krama yang benar, bagaimana caranya agar dekat dengan orang lain (keluarga), bagaimana menyampaikan perasaan atau ide tanpa pemaksaan, dan berbagai keterampilan "manusia beradab" lainnya.

Tapi aku diberi anugerah yang luar biasa dengan keberadaanku di kampus ini...

Di saat orang lain sedang sibuk mengejar cita-citanya, saya masih berkutat dengan pencarian makna. Kondisi ini membuat saya sebal dengan diri sendiri. Ketika saya bercerita tentang ini pada seorang teman, jawabannya lumayan menghibur dan mencerahkan:

"Les, pencarian makna kamu itu gak salah. Coba saya kasih kamu contoh. Ada anak yang diberitahu orangtuanya kalau Tuhan itu ada. Sampai dia dewasa, dia percaya Tuhan itu ada. Kalau dia percaya begitu saja tanpa berusaha mencari sendiri keberadaan Tuhan itu, maka dia bukan percaya pada Tuhan sebenarnya, tapi dia percaya sama orangtuanya. Kalau dia mencari Tuhannya dan bertanya terus-menerus, berarti dia mencoba untuk memperkuat keyakinannya bahwa Tuhan itu memang ada..."

Lalu saya juga sedang memiliki masalah lain. Saya adalah bookacholic. Dalam seminggu bisa dua buku tebal saya habiskan kalau sedang niat betul untuk membaca. Jumlah itu belum termasuk dengan koran, majalah, komik, dan buku-buku ringan. Tapi itu dulu. Semenjak dua bulan yang lalu, bacaan bukan lagi benda yang menarik buat saya.

Ketika dulu saya melihat buku, saya langsung bersemangat dan berkeinginan untuk membacanya. Sekarang meilhat buku saya tidak merasakan ketertarikan lagi. Saya merasa biasa saja. Bahkan bila saya sedang memulai untuk membaca sebuah buku--yang tipis sekalipun--baru beberapa halaman saya sudah "menyerah" karena tidak tertarik.

Gawat, membaca tidak kusukai lagi!

Saya mengklaim diri saya menjadi pragmatis gara-gara itu. Selain itu juga, saya tidak suka berpikir yang rumit-rumit sekarang. Maksudnya terhadap wacana atau permasalahan politik dunia ini. Wong mendengar berita dari radio, TV, koran, majalah saja tidak. Saya tampaknya sedang punya kecenderungan untuk mengisolasi diri dari peristiwa-peristiwa di luar kampus-tempat kos.

Saya pun bercerita pada seorang teman lain tentang ini. Kemudian dia menjelaskan bahwa ada tiga jenis orang. Pertama orang yang pragmatis, kedua orang yang idealis, dan ketiga orang yang realis. Dia berkata kalau saya itu (secara otomatis) sedang menjadi orang yang realis. Alasannya adalah pikiran saya itu sedang berkonsentrasi pada kuliah saya dan kegiatan di unit di Salman. Jadi saya jangan langsung mencap diri saya pragmatis.

Bagaimana menurut Anda? Ada apa dengan saya?

Seperti Apa Mereka?

Seperti apa mereka?

Pertama melihat mereka, aku bagai melihat bidadari yang suci dan terlindung oleh tangan-tangan Maha Agung yang tak kasat mata

Indah...

Kini aku bagian dari mereka
Bagaimana orang melihatku?


Mereka juga manusia kok! Yang kumaksud adalah perempuan-perempuan yang berjilbab lebar. Ya, sekarang aku adalah bagian dari mereka juga.

Dulu aku punya gambaran tertentu tentang perempuan berjilbab lebar. Mereka terlihat suci, anggun, lemah lembut, dan mereka begitu berilmu! Ketika aku baru memasuki dunia mereka, aku menyadari bahwa kenyataan tidak seindah impian. Aku terkungkung pada "seharusnya", "mestinya", "sebaiknya". Padahal aku tidak bisa seperti itu.

Lama-kelamaan, aku makin tidak nyaman dengan stereotype yang kubuat sendiri. Aku tidak merasakan kemanusiaanku lagi. Akhirnya aku memilih untuk berlaku sesuai dengan apa yang nyaman buatku. Aku bisa tertawa lagi, aku bisa berekspresi lagi, pikiranku bisa bergerak lagi, tidak terkungkung pada "seharusnya", "mestinya", "sebaiknya". Toh aku tidak berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya.

Karena aku mencoba untuk jadi manusia...

Sempat aku berpikir bahwa mereka bukan manusia. Padahal aku bagian dari mereka, bukan?


Mereka bisa tertawa
Mereka bisa menangis
Mereka juga menyukai lagu-lagu cinta
Mereka perlu tempat untuk curhat
Mereka juga bisa rapuh satu saat
Mereka juga manusia!




Rasulullah tidak pernah mengajarkan perempuan untuk tidak tertawa, tidak menangis, tidak menyukai keindahan, tidak vokal, dan "tidak-tidak" lainnya. Perempuan diperintahkan untuk menghargai dirinya, bukan mengekang potensinya. Jadi bedakanlah antara menjaga diri dan mengekang diri...


[Di sudut kecil yang nyaman...]

Monday, September 05, 2005

Andainya...

Mari kita berandai-andai sejenak. Sebelumnya saya ingin memberitahu bahwa Anda harus dengan sabar mengikuti saya yang--menurut salah seorang teman saya--agak nyleneh khayalannya. Ya. Yang sabar ya. Soalnya saya mulai mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang jarang--bahkan belum pernah--saya tuliskan.


Teman saya sampai mengatakan bahwa khayalan saya yang liar semacam itu membuatnya khawatir. Saya pernah ditelepon sampai lima kali karena tidak membalas smsnya. Pada panggilan kelima kalinya, saya baru bangun. Saat ditelepon saya sedang tidur dengan nyenyaknya di pukul sembilan malam. Saya sengaja tidur sehabis Isya karena mau begadang. Itu dilakukannya gara-gara di siang harinya saya memberinya nomor telepon rumah saya di Jakarta. “Untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa”, kata saya.

Misalnya hari ini Anda meninggal. Eeeits! Tunggu dulu! Saya gak akan bertanya apa yang akan Anda lakukan dengan sisa umur Anda hari ini. Itu pertanyaan standar. Yang mau saya tanyakan berkaitan dengan sedikit imajinasi Anda:

Coba pikirkan, bila Anda meninggal hari ini, siapa saja yang kira-kira akan datang dari suatu tempat nun jauh di belahan bumi lain hanya untuk melepas jenasah Anda dan menyolatkan Anda (bila teman Anda non-muslim, paling tidak dia akan mendoakan saat melayat)? Bila Anda meninggal hari ini, siapa kira-kira yang akan menangis sedih atau merasa sangat kehilangan? Bila Anda meninggal hari ini, siapa kira-kira yang akan merasa harinya tidak akan sama tanpa kehadiran Anda? Bila Anda meninggal hari ini, siapa kira-kira yang akan merasa kehilangan teman terbaik yang dapat--minimal mendengarkan masalahnya--menjadi tempat terbaik untuk membantunya keluar dari masalah? Bila Anda meninggal hari ini, siapa kira-kira yang akan kehilangan sumber kebahagiaan?

Daftar pertanyaan itu masih panjang. Anda bisa menambahkannya sendiri. Sekarang saya meminta Anda untuk berhenti membaca sejenak dan membayangkan orang-orang yang saya tanyakan tadi. Adakah orang-orang seperti itu di dalam hidup Anda? Berapa banyak?

...

Saya bertanya demikian karena itulah yang terbersit di benak saya di satu hari yang tenang. Kemudian saya bertanya-tanya dan membayangkan siapa saja orang-orang itu. Terus terang, rasanya belum banyak orang-orang seperti yang saya tanyakan itu buat saya. Kemudian saya menjadikan ancang-ancang itu untuk mengukur sejauh mana makna kehadiran saya bagi orang-orang di sekeliling saya. Apakah saya mampu memberikan arti bagi mereka? Apakah saya bisa menerbitkan senyum di bibir mereka? Apakah saya bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi mereka dan sejauh mana?

Saya sudah menduga bahwa salah satu dari Anda akan merasa sedikit ngeri untuk membayangkan diri Anda sendiri meninggal—entah bagaimana caranya, di mana tempatnya, dan kapan. Tapi, hadapilah, kita semua akan meninggal bukan?

Saya terkadang heran dengan orang-orang yang seolah tidak tahu kalau mereka tidak akan hidup abadi.

Jadi, coba Anda bayangkan sejenak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Bila Anda sudah punya banyak teman yang rela datang dari benua lain dan membatalkan semua pekerjaannya, bila Anda punya teman yang akan mengurus semua keperluan keluarga Anda yang Anda tinggalkan, bila Anda punya teman yang akan merasa kehilangan sosok luar biasa dari hidupnya, dan lain-lain, maka selamat bagi Anda.

Namun janganlah berbangga hati dulu. Hidup masih akan berlangsung bukan? Maka tanyakanlah diri Anda, sejauh mana Anda sudah berarti bagi dunia Anda, teman-teman Anda, keluarga Anda, orang-orang yang tidak dikenal di sekitar Anda. Bila ternyata arti kehadiran Anda masih tidak banyak—semoga Anda malah tidak menjadi duri dalam daging bagi orang lain, maka carilah makna hidup yang sebenarnya. Karena sesungguhnya, jauh di dalam hati Anda, Anda akan sangat bahagia bila Anda bisa berarti, bagi diri Anda, maupun bagi umat manusia.

I'm Back!

Fufufu....

Senangnya bisa masuk lagi ke dunia maya dan sekedar menuliskan memori-memori atau kebahagiaan di sini! Yup, it's been a very looooooooooooooooooooooooong time i didn't post any writing here. Biasa..., sibuk, hehehe...

Thursday, August 18, 2005

Cintailah Cinta

Tuhan anugerahi sebuah cinta
Kepada manusia untuk dapat
Saling menyayangi

Bila kebencian meracunimu
Tak kan ada jalan keluar
Damai hanya jadi impian

Kita tak kan bisa berlari dari
Kenyataan bahwa kita manusia
Tempatnya salah dan lupa

Reff:
Jika masih ada cinta dihatimu
Maka maafkanlah segala kesalahan
Cintailah cinta

Bila kamu bisa tuk memaafkan
Atas kesalahan manusia yang
Mungkin tak bisa dimaafkan

Tentu Tuhan pun akan memaafkan
Atas dosa yang pernah tercipta
Yang mungkin tak bisa diampuni

(Reff)




Lagu "Cintailah CInta" dari Dewa itu menjadi lagu tema saya belakangan ini. Lirik lagu itu mengingatkan saya agar memaafkan. Belakangan ini saya sedang kesal pada seseorang. Entah kenapa, kekesalan saya berlangsung lebih dari dua hari, sebuah rentang waktu yang tidak biasanya terjadi bila saya kesal pada orang. Paling lama juga dua hari, setelah itu selesai. Saya tidak marah lagi.

Tapi kali ini berbeda. Barangkali orangnya sendiri tidak merasa kalau saya mendiamkan dia dan tidak seberapa memperdulikannya. Begitulah sikap saya bila sedang marah pada seseorang. Saya bahkan tidak akan melihat ke arahnya sama sekali dan sebisa mungkin tidak berbicara dengannya. Hal itu saya lakukan agar saya tidak menumpahkan kekesalan saya secara berlebihan. Tentu saja agar kata-kata saya tidak menyakitkan hatinya. Jadi lebih baik saya jauhi dulu orang itu sampai saya bisa berdamai dengan kemarahan saya itu.

Saya sangat jarang marah pada orang lain. Kalau sebal sih sering. Tapi itu pun paling hanya beberapa menit atau jam. Tidak lazim bagi saya untuk kesal atau marah lebih dari dua hari. Bila sedang kesal, saya mengingatkan diri bahwa mungkin saja orang itu tidak bermaksud untuk menyakiti hati saya. Atau barangkali saya saja yang salah paham terhadap dirinya. Maka hati saya pun lega serta kemarahan akan hilang.

Tapi kali ini saya tidak bisa. Ketika saya mencari seribu satu alasan agar saya bisa memaafkan dia, yang ada hanya kekesalan yang makin menumpuk. Saya sendiri belum menemukan semua alasan yang menyebabkan saya sedemikian kesalnya pada dia. Belum semua. (Inikah pertanda bahwa saya belum mengenal diri saya secara utuh?)

Tolonglah aku teman. Bukannya aku ingin menyimpan bara dalam hati terus-menerus. Tapi bara ini tidak kunjung hilang juga...

Monday, August 15, 2005

For Me-For My Heart-For My Soul

Saya kembali lagi ke dunia maya setelah sekian lama ditelan oleh dunia nyata. Kesibukan di dunia nyata bisa sedemikian mengerikan ya?

Saya juga mengganti beberapa hal di blog ini. Termasuk mengganti slogan The way this world goes for me menjadi For me, for my heart, for my soul.

Seperti judul di atas, saya lagi mau membahas kalimat barusan.

Kalimta itu terfetus begitu saja sekitar dua tahun yang lalu, saat saya masih TPB. Entah kenapa, begitu saya mengulang lagi kalimat di atas, ada kehangatan yang mengaliri hati saya. Rasa hangat itu seolah mengatakan, "Inilah saatnya kau melakukan semuanya untuk dirimu sendiri!"

Mungkin akan terdengar sedikit egois. Namun pada dasarnya kalimat itu benar secara aqidah. Dalam Al Quran (saya minta maaf, saya belum hapal ayat-ayat yang mengacu pada yang saya maksud berikut ini), Allah menegaskan bahwa pada akhirnya, semua (amal) yang kita lakukan adalah untuk kita sendiri. Dalam surat Al Zalzalah pun telah difirmankan bahwa perbuatan seberat zarrah pun akan kembali pada diri kita masing-masing, entah itu baik atau buruk.

Oleh karena itu, bila kita beramal, yakinkan bahwa bila diri kita ikhlas (tapi jangan diklaim dengan sombong), maka kita akan mendapat seperti yang kita amalkan sebagai balasan dari Allah. Bahkan insya Allah lebih besar!

BTW, kok jadi rada gak nyambung yak? Maklum aja ye sodare-sodare, aye suka ngalor-ngidul gak jelas nih!

Tapi sekarang sih slogan itu tidak saya gunakan lagi. Karena slogan adalah bagian dari ketidakabadian, maka perubahan adalah keniscayaan... (sori nih, Q, niru judul tulisannya).

Kau

[Medio Juli 2005]

Akhirnya kau memutuskan untuk melupakannya. Melupakan dalam arti kau hanya akan menganggapnya teman biasa. Setelah selama ini perasaanmu hanya bertepuk sebelah tangan...

Namun kadang hidup ini tidak bisa ditebak alurnya. Begitu kau memutuskan kalau dia hanya menjadi teman saja, dia justru mulai bertingkah yang tidak biasa. Membuatmu jadi heran dan tidak menentu; bingung dengan sikapnya.

Ketika kau tidak memikirkan tujuanmu, justru tujuan itu akan menghampirimu...

Kau heran, kau kacau, kau bingung. Rasa itu masih ada. Namun tidak bisa kau berbuat apa-apa karena satu keyakinan yang sudah kau pegang teguh. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, kemana akan kau bawa perasaanmu itu?

Kau hanya bisa berdoa. Apabila dia baik untukmu, maka dekatkanlah dia padamu, Tuhan. Bila tidak, maka berikanlah yang terbaik bagi kau dan dia, Tuhan

Hatimu akan menyimpan suka dan lara yang terjadi karena dia. Kau menyadari, bahwa hatinya bukan milikmu, tapi milikNya. Maka kau akan menunggu, menunggu, dan menunggu...Menunggu saat Tuhanmu memberikan ketentuanNya, mana yang terbaik bagi kau dan dia.

[Medio Agustus 2005]
Perih hatimu melihat kedekatan dia dan seseorang itu. Walau kau pedih, kau tetap menyimpan semuanya di balik tawamu dan gerakmu.

Kau menyadari, dirimu dan dirinya begitu berbeda. Namun adakah perbedaan itu bisa disatukan?

Dan kau terluka karena dia begitu jauh...

Wednesday, August 03, 2005

Wisuda & Homesick

(Ini adalah sepenggal catatan dari acara syukuran atas wisudanya tiga orang anggota Aksara: Al Arif, Salim, dan Yanuar, pada tanggal 23 Juli 2005)

Yang datang pertama kali adalah Salim beserta orangtuanya. Kemudian datanglah Yanuar beserta orangtua dan kakaknya. Maka kami memulai acara tanpa Arif. Al Arif datang agak telat dan tanpa orangtuanya. Orangtua Al Arif tidak bisa lebih lama lagi di Bandung. Jadi dengan sangat menyesal, mereka tidak bisa hadir. Tapi tidak apa sebenarnya. Karena lebih baik orangtua Arif tidak datang karena kalau mereka datang, mereka harus menahan malu akibat anaknya yang narsis, hehehe...

Acara dimulai dengan pembacaan basmallah lalu tilawah Al Quran surat Al Fath dari ayat satu hingga sembilan. Berikutnya adalah acara sambutan-sambutan. Pertama sambutan dari Kang Firman. Lalu sambutan dari orangtua Yanuar. Setelah itu sambutan dari orangtua Salim. Kemudian sambutan dari Yanuar sendiri. Dan terakhir sambutan dari Salim.

Seselesainya acara protokoler tadi, para wisudawan diberikan semacam sertifikat dari anak-anak Aksara. Isinya adalah ucapan selamat atas kelulusan mereka dan doa agar mereka senantiasa berada di jalan Allah.

Yang memicu saya untuk membuat catatan ini adalah salah satu pernyataan Salim dalam sambutannya. Dia dia tidak punya kerabat dekat di pulau Jawa. Dia merasa sendiri, betul-betul sendiri, ketika tiba di Bandung semasa masih menjadi mahasiswa baru. Jarak tempat kuliah dengan rumahnya yang sedemikian jauh membuat di merindukan rumah. Dan betapa dia menghabiskan malam-malamnya dengan menangis karena ingat rumah dan keluarganya. Huhuhu...

Mendengar itu, saya teringat pada diri saya sendiri. Yang saya alami tidak jauh berbeda dengan yang Salim alami, meskipun jarak keluarga saya di Jakarta lebih dekat dan biaya sambungan interlokal ke sana tidak terlalu besar di malam hari.

Biaya telepon memang sangat gemuk di dua bulan pertama saya di Bandung. Penyebabnya adalah saya yang sering sekali menelepon rumah dan teman-teman dekat saya. Rasa rindu menggelayuti hati saya tiap malam. Rindu rumah dan rindu sahabat. Dan saya juga benar-benar merasa sendiri ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kampus ITB: Tak punya seorang pun untuk menjadi tempat bertanya, menjadi satu-satunya anak ITB di tempat kos saya, dan masih buta akan daerah Bandung. Saya benar-benar terasing di tengah negeri antah-berantah.

Namun hari-hari itu sungguh cepat sekali berlalu. Dan memang Allah memberi pertolongan dan jalan keluar bagi hambaNya dari tempat-tempat yang tiada diduga. Di awal saya diberi seorang sahabat yang menjadi sahabat baik hingga kini. Kami berdua menjalani suka-duka di ITB bersama, merasakan keadaan hidup yang tidak jauh berbeda, dan saling menguatkan hati di kala sedang letih jiwa.

Mengalami itu semua, saya bisa memahami apa yang Salim rasakan, walaupun tidak sampai menangis tiap malam. Dan saya yakin, setiap mahasiswa baru yang berasal dari luar Bandung mengalami hal yang serupa dengan keadaan yang berbeda-beda. Berada jauh dari rumah untuk yang dalam waktu yang cukup lama, semudah apapun komunikasi yang bisa dilakukan, tetap membuat kita kehilangan orientasi sejenak. Cukup untuk membuat kita merindukan orang-orang yang kita cintai tiap malam.

Oleh karena itulah, saya menjadi lebih bersemangat dalam menjalani kegiatan di kepanitiaan PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) Salman tahun ini. Saya berharap acara yang kami buat bisa memberikan semacam kenyamanan bagi mahasiswa baru di ITB dan Salman. Dan semoga hal yang kami lakukan bisa menjadi pengobat rindu akan rumah, dengan menyediakan tempat yang bisa menjadi rumah kedua untuk mereka.

Sekitar seminggu sebelum acara wisuda ini, sekre Aksara diliputi oleh suasana sedih dan muram. Walaupun tiga orang wisudawan itu tidak serta-merta pergi setelah wisuda, bayang-bayang perrpisahan sudah menghantui. Bukom sempat penuh dengan tulisan-tulisan yang bernada mellow.

Setiap pertemuan mesti disertai dengan perpisahan...

Setelah acara makan-makan selesai, seluruh anggota Aksara dan para wisudawan beserta keluarga mereka berfoto bersama di tangga di sisi koridor timur Salman. Kemudian keluarga Salim dan Yanuar pamit. Kami menyalami keluarga para wisudawan dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka di acara syukuran yang kami adakan.

Sungguh senang bisa berjumpa dengan keluarga Salim dan Yanuar. Kedua wisudawan barusan mengantarkan orangtuanya kembali ke tempat penginapan masing-masing. Orangtua Arif sudah diantar pulang olehnya sebelum dia datang ke acara syukuran. Jadi Arif tidak perlu mengantarkan siapa-siapa lagi. Beberapa orang anggota Aksara membereskan sisa-sisa makanan dan piring.

Sementara itu, senja makin temaram.

Semua Karena Cinta

Dan bila aku berdiri tegak
Sampai hari ini
Bukan karena kuat dan hebatku
Semua..., karena cinta
Semua..., karena cinta
Tak mampu diriku dapat berdiri tegak
Terima kasih cinta...

Lagu “Karena Cinta” yang dibawakan oleh Joy Tobing menjadi lagu tema bagi saya belakangan ini. Sambil mendengarkan lagu itu, saya mengingat semua yang telah berjasa dalam menghantarkan saya ke keadaan saat ini.

Terinspirasi oleh teman-teman saya yang sudah lulus atau sedang menyusun TA, saya terpikir untuk menyusun daftar orang-orang yang akan saya sebutkan dalam bab kata pengantar TA. Sampai saat ini, daftar itu belum sepenuhnya selesai. Daftar itu masih akan bertambah.

(Barangkali sempat, Sahabat bisa mengecek apakah namanya ada di dalam daftar saya itu.)

Mereka itulah yang telah memberi kesan mendalam dan menempati posisi istimewa di hati saya. Tanpa kehadiran mereka, saya tidak akan menjadi saya seperti saat ini. Mereka mengajarkan banyak hal bagi saya. Entah kata-kata mereka, perbuatan mereka, sikap mereka dalam menghadapi masalah, pribadi mereka, dan masih banyak hal lain dari diri mereka. Cinta yang mereka berikan kepada saya, baik mereka sadari atau tidak, telah menguatkan hati saya dan mengajarkan pada saya makna mencintai dan dicintai.

Berikut ini adalah daftarnya:

13 Juli 2005
1)Allah SWT: Cinta-Mu yang tiada habisnya membuat Penulis merasa sangat beruntung dan bersyukur. Sungguh, semua yang telah Kau tentukan untuk hamba-Mu ini adalah yang terbaik dan Penulis sadari itu,

2)Papa, Mama, Agi, Liza, dan Rubi: You don’t know how i love you all, wish we could meet in heaven,

3)Bu Dara, Ayah Supandi, Bang Didit, Bang Popoy, Kak Asri, Kak Nila, dan semua keluarganya: Berkah tak ternilai dari Allah bagi Penulis sekeluarga,

4)Yudi Nugraha dan keluarga, Jimmy Khalil dan keluarga, Mbak Huda dan keluarga, Dadan dan Erni, Adang, Erik, Nana, Merry, Icha, Ayu, serta teman-teman di dojo Aikido Bandung: Kalian telah mengajarkan arti teman baik yang sesungguhnya, bahkan sebelum kita menjadi teman baik seperti sekarang,

5)Euis Asriani: Sahabat pertama saya di ITB dan semoga kita selalu menjadi sahabat hingga akhir nanti,

6)Teman-teman di jurusan Matematika yang tidak bisa saya sebut semuanya,

7)Teh Nunung, Teh Maya, Teh Mimin, Teh Ana, Teh Rini, Teh Niku, Teh Depi, Teh Siam, Teh Tia, Mbak Wiwid, Teh Reni, Teh Eni, Teh Feni, Mas Toto, Kang Ronnie, Teh Wita, Teh Endang, dan banyak lagi yang tidak bisa disebut satu-persatu: Kalian sangat berjasa bagi Penulis dalam menemukan pijakan di bumi Allah ini,

8)Yuti Ariani: Mentor, sahabat, dan orang yang selalu menginspirasi saya. Semoga sukses dalam impian dan cita-citanya,

9)Yanuar Rahman: You’ve always light up my day. Mengingatnya saja membuat Penulis tersenyum, apalagi kehadirannya yang selalu membuat suasana ceria. Terima kasih untuk semua bantuannya, semua humornya, semua ajarannya, semua semangatnya, semua keceriaannya, dan semua nasihatnya. Tanpa kehadiran Yan, hari-hari Penulis tidak akan sama,

10)Salim Rusli: Teman ngobrol yang menyenangkan dan partner kerja yang asyik,

11)Ulfah Mardiah: Adik yang sangat unik ide dan kepribadiannya. Keceriaannya membuat Aksara sangat hidup,

12)Zaki Akhmad: Untuk tawanya yang khas dan rasa ingin tahunya yang tidak pernah habis,

13)Roy, Elma dan Kang Firman, Moko, Dila, Teh Ika, Teh Mita, Anil Dawam, Firman Masri, San-san, Malazi, Sa’ban, Guntur, Oske, Sra, Rifu san, Enira, Edith, dan semua anak-anak Aksara yang tidak bisa disebut satu-persatu.

Semua…, karena cinta
Semua…, karena cinta…

Friday, July 22, 2005

Rasa Iri Itu Perlu

Beberapa waktu yang lalu, di dalam sekre unit yang saya ikuti berputar isu "iri kepada teman". Tapi sebelum saya beranjak lebih jauh, perlu saya tekankan bahwa tidak ada keributan atau pertumpahan darah yang terjadi karena isu itu.

Beberapa orang mengatakan kalau mereka ngiri pada salah seorang teman yang bisa mendapat banyak job bahkan sebelum dia lulus. Sementara itu, ada yang merasa iri karena temannya punya banyak talenta, walau sebenarnya orang itu merasa tidak fokus pada satu bidang. Tahu sedikit tentang banyak hal, menurutnya.

Mengetahui itu, saya jadi teringat pada diri sendiri.

Ketika baru masuk ke unit itu, saya mendapati kalau saya dikelilingi orang-orang dengan kemampuan yang lebih baik dari saya. Saya langsung down. Untuk beberapa lama saya merenungi dengan sedih, Mereka udah segitu, elo sendiri udah sampe mana? Belom sampe mana-mana, tau!

Yah, begitulah.

Tapi, alhamdulillah, rasa sedih saya itu bertahan paling lama cuma sehari. Besoknya, saya sudah bersemangat dan menyusun strategi-strategi untuk mencapai kesuksesan. Tapi saya tidak sekedar menyusun strategi kemudian tidak dijalankan.

Dari pengalaman itu, saya berkesimpulan kalau rasa iri itu perlu. Tapi dengan sedikit catatan: Rasa iri tidak membuat kita menjadi dengki, tapi malah memacu diri kita supaya kita mencapai kesuksesan yang serupa, bahkan lebih, seperti yang dicapai orang lain. Sekali lagi saya bersyukur karena saya tidak dengki pada teman-teman saya. Soalnya saya sudah punya cukup pengalaman untuk menyadari bahwa dengki itu tidak perlu.

Bagaimana menurut Anda?

Monday, July 18, 2005

Evolusi Bacaan

Sewaktu TK, saya senang membaca majalah Bobo dan majalah komik Donal Bebek.

Ketika SD, saya mulai membaca buku-buku serial petualangan karya Enid Blyton. Tak ketinggalan buku-buku novel Agatha Christie melengkapi bahan bacaan saya. Komik Doraemon dan Candy-candy baru diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Sejak itulah saya mendapat tambahan bacaan baru: Komik Jepang.

Kelas tiga SD, saya mulai membaca buku-buku yang agak berat seperti novel karya Sidney Sheldon. Kelas empat SD, saya dibelikan majalah Kawanku untuk yang pertama kalinya. Harganya ketika itu seribu enam ratus rupiah. Sementara itu majalah Donal Bebek masih seribu dua ratus rupiah. Di periode ini pula, saya mengenal Wiro Sableng.

Kelas lima, SD, saya mulai mengenal cerita-cerita pembunuhan Jack The Ripper dan novel Goosebumps. Lalu di kelas enam SD, saya mulai mengenal majalah remaja seperti Gadis, Anita, dan Aneka Yess.

Selama SMP, bacaan saya belum banyak berubah. Kecuali makin banyak jenis majalah remaja dan novel orang dewasa yang saya baca.

Ketika kelas satu SMU, saya mengetahui kalau perpustakaan SMU 2 Bekasi itu adalah surganya buku sastra dari pengarang angkatan lama Indonesia. Saya sampai bertekad untuk menghabiskan semua bacaan itu hingga saya menyelesaikan masa SMU saya di sana. Tapi saya pindah ke Jakarta pada kelas dua cawu terakhir. Proyek “menghabiskan semua buku sastra di perpustakaan” saya tidak selesai.

Di kelas dua SMU, saya mulai membaca majalah Intisari. Intisari yang dimiliki oleh Bu Dara, bibi saya, dipinjam oleh kami sekeluarga. Berpuluh-puluh seri majalah kami habiskan. Kami juga mulai membaca komik Legenda Naga dan Detektif Conan.

Kelas tiga SMU, saya mulai melahap buku-buku pemikiran Islam. Novel remaja Islami pun menjadi bagian dari menu bacaan saya.

Sepupu saya adalah penggemar Pramoedya Ananta Toer. Oleh karena itu saya juga turut membaca buku-bukunya. Tapi saya belum sempat membaca tetralogi Bumi Manusia dan buku Panggil Aku Kartini-nya, hingga sekarang. Karena saya sudah keburu diterima di ITB. Kakak sepupu saya yang satu lagi adalah penggemar N.H. Dini dan serial Litle House in Prairie. Saya pun ketularan demam N.H.Dini dan serial Litle House.

Ketika kuliah, di tingkat satu khususnya, saya masih meneruskan kegemaran membaca buku-buku Islam. Setengah dari koleksi buku yang saya miliki selama di Bandung adalah buku-buku Islami. Setengahnya lagi berasal dari jenis buku yang berbeda-beda: Fiksi, how-to, pengembangan diri, bahasa asing, biografi Khulafaur Rasyidin, iptek populer, dan masih banyak lagi. Dan tentu saja, buku-buku teks kuliah Matematika.

Tapi yang saya baca lebih banyak dari itu. Sejak mengenal Zoe Corner dan teman-teman yang sama-sama bookacholic, saya mendapat kesempatan besar untuk membaca tanpa mengeluarkan sejumlah besar uang untuk membeli buku. Hingga tingkat tiga semester satu berakhir, yaitu di akhir tahun 2004.

Tiba-tiba saja, saya kehilangan minat baca terhadap berbagai jenis buku yang biasanya saya senang baca. Misalnya novel-novel Agatha Christie, Sidney Sheldon, Danielle Steel, dan berbagai novel karya “novelis best seller barat” lainnya. Tapi tidak sekaligus sih hilangnya. Saya juga mulai jarang membaca buku-buku pemikiran Islam. Saya juga kehilangan minat terhadap buku-buku How-To. Ketika saya meminjam buku serial petualangan Enid Blyton, saya tidak bisa meneruskan bacaan dari halaman pertama. Entahlah, saya merasa jenuh bahkan sebelum membacanya.

Yang masih senang saya baca adalah buku komik berbahasa Inggris yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya masih senang membaca buku-buku fiksi dan biografi tokoh tertentu. Komik-komik di Zoe Corner pun tidak banyak yang saya baca, kecuali beberapa judul yang memang saya ikuti karena ceritanya bagus. Saya hampir tidak pernah lagi membaca atau meminjam buku-buku di Zoe Corner. Bosan.

Lalu, selama seminggu pertama di bulan Juli, saya hampir tidak membaca apa-apa. Kalau pun membaca sebuah buku, di bab awal saya sudah menyerah. Kemudian saya pindah ke buku lain yang nampaknya menarik. Namun kembali pola yang sama terulang. Akhirnya saya benar-benar tidak membaca. Yang saya lakukan adalah menonton film-film pinjaman dari Zoe Corner atau teman-teman saya.

Barangkali saya memang sedang berada di titik jenuh untuk membaca buku. Saya mungkin harus melakukan sesuatu yang baru. Dan sesuatu yang baru itu seperti menonton film. Saya juga rasanya harus memanfaatkan waktu liburan saya untuk jalan-jalan keliling Bandung, menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah saya datangi. Contohnya Kebun Binatang yang ada di samping kampus ITB.

Bukan ide yang buruk, bukan?

Lagipula, arti “membaca” kan tidak sekedar membaca teks. Jadi barangkali sudah saatnya saya memperbanyak jenis “bacaan” baru yang terdapat di kehidupan saya. Kalau dipikir-pikir, barangkali kejenuhan akan membaca buku merupakan bagian dari evolusi bacaan saya. Mungkin itu sinyal bahwa saya harus beranjak ke tahap berikutnya dari membaca, tidak melulu mengandalkan buku atau teks sebagi sumber informasi.

Contohnya dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Misalnya membaca ekspresi/emosi orang lain kemudian menginterpretasikan artinya. Atau barangkali membaca adat istiadat/norma yang dijunjung pada sebuah lingkungan. Mungkin juga membaca rumus-rumus matematika. Hehehe...

Tapi kegiatan iqro yang satu ini tidak semudah kelihatannya. Saya harus mau membuka hati dan mata lebar-lebar, menajamkan telinga dan empati, serta mengasah kepedulian terhadap apa-apa yang terjadi di sekitar saya. Berarti saya memerlukan hati yang lapang, jiwa yang besar, dan pikiran yang jernih. Baru saya bisa dikatakan “membaca” dengan baik.

Saya harus memulainya, bukan?