Wednesday, July 23, 2008

Teka-teki Matematika

Teka teki I
Pak Janson, seorang tukang cukur dari Sumatera Utara, sesumbar bahwa dia mencukur rambut semua orang di desanya yang tidak mencukur rambutnya sendiri.
Siapakah yang mencukur rambut Pak Janson?

Teka-teki II
Ahmad Dani akan dihukum karena kesalahannya.
Sebelum dihukum, ia diminta untuk mengucapkan satu kalimat. Jika kalimat yang diucapkannya bernilai benar, ia akan dihukum gantung dan jika yag diucapkannya salah, ia akan dilistrik.
apa yang harus dikatakan Ahmad Dani supaya ia terbebas dari kedua hukumannya tersebut?


Komentar:
Ini teka-teki yang menggunakan logika, bukan asal tebak.
Beberapa orang sudah saya beri teka-teki ini.
Ada yang menjawab dengan serius, ada yang ngawur.
Mari kita lihat jawaban teman-teman... (hihi...)

Tuesday, July 08, 2008

My Old Motto

Batas Dewasa

Semuanya berawal ketika saya masih kelas enam SD.

Waktu itu, semua siswa-siswi kelas enam sedang berbaris di tengah lapangan sekolah. Jarak masing-masing adalah sejauh kedua tangan terentang ke samping. Barisan yang kami buat teratur, sesuai dengan urutan kelas dan abjad. Karena saya kelas 6-D (dari enam kelas) dan nama saya diawali dari huruf S, jadilah saya berada di daerah belakang-kiri, kalau dilihat dari belakang. Tapi tak jauh di sebelah kiri saya, ada Wina, pelajar teladan tahun itu.

Apa sih yang kami lakukan saat itu? Kami sedang dibariskan untuk mendengarkan petuah dari kepala sekolah, karena kami akan menghadapi EBTANAS. Ditambah dengan pengingatan berbagai aturan selama mengerjakan soal ujian. Barisan kami pun sesuai dengan urutan nomor ujian kami.

Memang sudah seharusnya bersiap begitu kan?

Di tengah pidato pak Kepsek, saya menengok ke kanan, ke deretan kelas dekat perpus. Ada dua atau tiga siswa berseragam putih-biru tua yang sedang menonton kegiatan kami bersama beberapa orangtua. Hari itu belum terlalu siang. Tapi karena di SMP pun ada persiapan EBTANAS, pastinya siswa kelas satu dan dua pun menikmati pulang-sekolah-lebih-cepat. Mungkin sedang ikut orangtuanya menjemput adiknya (entah siapa).

Momen itu masih terpatri dalam ingatan saya. Melihat siswa-siswa SMP itu, terbersit keinginan dalam diri saya untuk bisa menjadi bagian dari pemakai seragam putih-biru tua itu. Entah mengapa, hari itu mereka tampak begitu dewasa di mata saya.
Sebuah keinginan yang bercampur dengan kekaguman.

Ketika saya sudah berada di SMP, saya menemukan momen itu lagi setiap kali saya melihat kakak kelas saya. Tapi ada tambahannya. Saya juga merasakan momen itu ketika melihat teman-teman sebaya saya yang sudah berpacaran. Entah mengapa, ketika mereka sedang berbicara satu sama lain, ketika sedang berjalan berdua, ketika mereka sedang berusaha memahami satu sama lain..., mereka terlihat begitu dewasa.

Apa saya menganggapnya begitu karena mereka menjalani sebuah 'fase kedewasaan 'lebih dulu daripada saya?

Ketika saya sedang berjalan bertiga bersama sahabat, ketika kami hendak survei calon SMU, saya mendapatkan momen itu lagi. Momen-momen dimana saya terpesona melihat rombongan siswa SMU yang baru keluar dari sekolah, berjalan berlawanan arah dengan kami yang baru mau ke sekolah mereka.

Waktu itu kami survei ke SMU 2 Bekasi. Kami hanya survei ke SMU 2 Bekasi sebenarnya. Karena merasa sungkan, melihat begitu banyak anak SMU, kami berjalan agak ke pinggir. Bahkan sempat berhenti dan ‘membiarkan mereka lewat’, sementara kami berteduh di bawah pohon. Kami menanti jalanan sepi dari siswa SMU 2. Tak lama aku melihat wajah seorang kakak kelas dari SMP kami.

Dia dulu senior kami di Paskibra. Jadi dia segera mengenaliku ketika aku memanggilnya. Ternyata dia siswa SMU 2! Kami bercerita maksud kunjungan kami. Kami hendak mencari informasi tentang pendaftaran siswa baru di SMU 2. Setelah memberi beberapa petunjuk, beliau pamit untuk pulang. Kami pun berjalan ke arah SMU 2 yang sudah agak sepi.

Diam-diam, karena senang ada kakak kelas yang jadi siswa SMU2, sementara alumni SMP (Dewa) 19 Bekasi lainnya lebih banyak yang masuk ke SMU 4, saya berjanji dalam hati: Saya akan jadi siswa SMU 2.

Alhamdulillah, sayapun diterima di SMU 2. Saya juga mendaftarkan diri ke ekskul Paskibra, sama seperti ketika di SMP. Saya pun menemukan kesenangan luar biasa dari perpustakaan SMU2. Momen-momen keterpesonaan pun masih sering saya alami. Tapi hanya sampai pada kakak kelas tertua, kelas tiga.

Sampai di situ saya berhenti memperoleh momen seperti yang saya alami ketika SD. Saya tidak mengalami keterpesonaan yang sama ketika melihat mahasiswa. Penilaian saya terhadap tingkatan mahasiswa berbeda. Mungkin karena ketika SMU tidak ada contoh senior yang sudah jadi mahasiswa yang sering saya temui ya?

***

Kini, saya mengalami kegamangan dalam menentukan batas kedewasaan. Saya membicarakan batas dewasa bagi diri saya sendiri. Batas yang jelas, sejelas seragam putih-biru tua dan putih-abu. Nampaknya dunia mahasiswa tidak memberi batasan seperti itu. Dunia yang satu ini ibarat samudra, sementara saya hanyalah satu pohon di tepiannya.

Para dosen tidak ubahnya dengan guru ketika saya masih SD, SMP, SMU. Ketika menjadi mahasiswa pun, saya banyak berinteraksi dengan kalangan berbagai umur dan keadaan. Ada yang ketika masih tingkat dua sudah menikah. Ada yang sudah punya usaha plus sendiri sejak tingkat satu. Ada yang masih kekanak-kanakan sekali meskipun sudah tingkat empat. Ada yang malah gak mikirn kuliah, malah bisnis aja yang dipikirin. Ada yang sudah lama banget jadi mahasiswa, belum lulus juga. (Saya sih masih mending, kuliah udah beres, tinggal TA-nya yang ditunda terus—hehe, pembenaran...)

Semua elemen yang dulunya saya anggap sebagai tanda kedewasaan, malah bercampur-baur dengan kehidupan mahasiswa dan kampus. Sementara, mahasiswa tetaplah seorang ‘siswa’. Bedanya, ada ‘maha’ di depan ‘siswa’. Status sih tetap saja ‘pelajar’ yang masih dapat beasiswa dari ortu (maupun pihak lain). Baju yang dikenakan mahasiswa pun ‘seragam bebas’, sama dengan yang dikenakan oleh penduduk sipil.

Akibatnya, yang sudah lulus kuliah dan bekerja agak lama pun tidak saya anggap lebih dewasa dari saya. Mungkin karena dulunya teman sejurusan atau teman satu kampus. Pada saat yang sama, saya sendiri sudah bersentuhan dengan generasi alumni yang bermacam-macam. Sebagai bagian dari mahasiswa, saya sudah dituntut untuk merancang masa depan sendiri, belajar mandiri, membuat keputusan sendiri tanpa banyak bantuan orangtua... (Oh..., I miss the time when my parents still take a great part in making decisions for me.)

Rasanya aneh. Pada saat yang bersamaan, saya masih merasa kalau saya ini ‘pelajar’ dan ‘anak-anak’, di sisi lain saya sudah dipanggil ‘Ibu Guru’ (saya pengajar privat). Dengan anak SMU udah gak terlalu nyambung lagi, tapi dengan bapak-bapak atau ibu-ibu juga tidak sebaya. Saya belum merasa kalau saya adalah ‘orang dewasa’ yang patut dituakan. Saya belum merasa kalau saya adalah bagian dari kelompok orang dewasa.

Kalau dipikir-pikir, bisa jadi ini salah saya sendiri. Saya mungkin harus merekonstruksi bawah sadar saya tentang definisi ‘dewasa’. Di dunia orang dewasa, ‘kedewasaan’ adalah sebuah konsep yang abstrak, dimana parameternya tidak hanya satu aspek fisik seperti ‘warna baju seragam’. Rasanya, parameter kedewasaan lebih banyak berupa karakteristik pribadi, yang termanifestasi dalam bentuk pencapaian atau prestasi secara sosial.

Mungkin begitu. Entahlah...

Yaaaah, well..., nampaknya, menjadi dewasa di dunia orang dewasa tidak sesederhana ketika saya masih SD.