Friday, November 07, 2008

My New Hang Out Place

You know, the reason I'm not being around lately is because I post my story here, my new blog. So, yeah, check any updates from me in that blog.

Thank you for being so kind visiting my blog ^^

Monday, August 11, 2008

Gimana Cara Kamu Belajar Bahasa Inggris?

[Untuk membaca versi bahasa Inggris tulisan ini, silahkan klik di sini.]

Beberapa orang pernah nanya gitu ke saya. Atau semacam itulah.

Mereka tampak heran ketika mengetahui saya bisa cas-cis-cus berbahasa Inggris. Saya malah heran mengetahui mereka heran terhadap saya.

Kayaknya gak segitunya deh.

Seorang teman bilang ke kakaknya kalau saya pernah tinggal di luar negeri (makanya saya bisa bahasa Inggris). Padahal saya belum pernah! (Bingung juga saya; dapet ide dari mana dia?) Mungkin karena itulah kakaknya percaya banget ke saya dan minta tolong ke saya untuk nerjemahin beberapa bahan TA dia (jurnal psikiatri lho). Sekitar lebih dari sepuluh jurnal gitu.

Itu sih banyak banget!

Teman saya yang lain yang sedang kuliah di Melbourne pernah sms-an sama saya. Saya lupa dia nanya tentang apa. Yang saya inget saya ngejawab dengan bahasa Inggris. Balesan sms dia begini: “Wah, bahasa Inggrisnya bagus banget.”

“...”

Saya bingung.

Saya bales lagi begini: “Kayaknya salah deh. Justru kamu yang bahasa Inggrisnya (mestinya) lebih bagus dari saya. Kan tiap hari ngomong pake bahasa Inggris? Saya jarang-jarang nginggris di sini.”

“Tapi teteh pede menggunakannya! Kesannya emang jago.”

“Oh.., oke. Terserah deh...”

Trus ada kejadian aneh lainnya. Waktu itu di Salman ada diskusi terbatas tentang masalah agama. Yang jadi pembicara adalah tiga orang mahasiswa Amerika yang juga sedang ikutan sekolah misionaris. Mereka lagi maen ke Bandung selama di Amerika lagi summer. Teman-teman yang aktif di The Center (tempat untuk belajar bahasa Inggris) jalan Setiabudi yang mengundang mereka ke Salman ITB. Terbatas di Salman aja diskusinya.

Wah, menarik nih, pikir saya. Saya ikutan diskusi itu dan ternyata banyak orang di Salman yang juga tertarik untuk ikutan. Sang moderator adalah teman dari The Center yang disiapkan untuk jadi penerjemah. Pas sesi tanya-jawab, saya langsung bertanya dengan bahasa Inggris.
Belum beres saya ngomong, salah satu dari pembicara itu motong sambil ngomong gini: "Wow, your English is goood...,” dengan nada heran campur terpesona.

Di depan seratusan orang.

"..."

Saya bengong sesaat.

Sumpah! Gak ada hubungannya dengan pertanyaan saya. Saya kan jadi malu.

Dalam hati saya mikir, Emang gak pernah ketemu dengan orang Indonesia yang bisa bahasa Inggris yak? Atau jangan-jangan dia pikir orang Indonesia gak ada yang bisa ngomong dengan bahasa Inggris kalee?

Jadi tambah bingung...

Saya sama sekali gak bermaksud nyombong. Tapi mereka yang saya sebutin tadi menganggap bahasa Inggris saya bagus... Banget!

Kayaknya gak gitu-gitu amat deeh...

Gak ada yang istimewa sih dalam cara saya belajar bahasa Inggris. Sama aja kayak kebanyakan orang. Kadang, kalo ditanya gimana saya belajar bahasa Inggris dan di mana, saya sebenernya pengen nanya balik, “Emang kamu belajar bahasa Inggrisnya gimana dan dimana seh? Saya gak beda jauh kok...”


(Tapi cuma nanya dalam hati, demi alasan kesopanan ^_^)

Jawaban formal saya biasanya gini: “Dulu pernah ikutan kursus di LIA (gak dibayar untuk ngiklan soalnya) pas SMA.” Maksudnya, dari situlah saya belajar bahasa Inggris.

Entah mereka percaya atau enggak.


***

Dulu

Saya menganggap diri saya belum menguasai bahasa Inggris dengan baik sampai tingkat dua kuliah. Sebelum itu, saya belajar bahasa Inggris di sekolah dengan cara yang sama dengan banyak siswa lain: membaca paragraf atau cerita dalam bahasa Inggris, menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan bacaan, belajar tata-bahasa (tenses) sedikit-sedikit, latihan menggunakan tata-bahasa tersebut, menambah perbendaharaan kata, dan seterusnya. Cara yang tradisional, kaku, dan parsial menurut saya.

Sedikit banget ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris di sekolah. Kalau ada bahan percakapan di buku, paling guru cuma nyuruh beberapa murid untuk ngebacain keras-keras. Menurut saya, metode belajar bahasa Inggris itu cuma mengasah kemampuan teknis dan dasar. Dasaaaaaaaar... banget.


Membosankan. Dan lambat.

(Makanya banyak lembaga kursus bahasa Inggris yang laku ^_^ )

Maksud saya, gimana siswa Indonesia bisa bersaing kalo cara belajar bahasa Inggrisnya gitu-gitu aja?

Kenyataannya, sewaktu kuliah, saya masih kesulitan untuk membaca buku teks matematika dalam bahasa Inggris. (“Membaca saja sulit...”) Skor TOEFL saya cuma sedikit di atas angka 500 (TOEFL institusional lho, skala ITB ajah, yang gak pake tes wawancara, dan juga gak pake tes English writing, satu kemampuan yang dianggap paling ‘atas’ dalam bahasa Inggris). Saya juga masih rada gagap kalo disuruh ngomong dalam bahasa Inggris. Kalo mau ngomong, masih kebanyakan “eem” atau berhenti di tengah jalan.

Rasanya belum cukup deh. Saya pengen banget punya skor TOEFL (internasional) di atas 600, juga bisa cas-cis-cus dengan nyaman sama bule, dan bisa membaca dengan mudah buku-buku berbahasa Inggris. Bisa menulis buku dalam bahasa Inggris, kayaknya..., ide yang cukup keren. Pokoknya, menguasai bahasa Inggris dengan sangat baik (seperti teman saya
Ikram—hehe... Halo, Kram?).

Saya benar-benar perlu sebuah lompatan dalam mempelajari bahasa Inggris.

***

Akhirnya...

Saya mempelajari bahasa Inggris dengan cara yang, bisa dibilang, santai dan menyenangkan.

Sewaktu saya masih tingkat dua, sekitar tahun 2003-an, saya memaksa diri untuk membaca novel Stephen King yang berjudul “Four Past Midnight”. Isinya adalah empat cerita misteri: “The Langoliers”, “Secret Window” (udah difilmkan lho, yang jadi pemeran utamanya Johnny Depp), “Library Police”, dan “Sun Dog”.

Saya cuma sanggup baca dua cerita pertama aja. Itupun dengan gambaran samar-samar tentang isi ceritanya. Banyak kata-kata yang belum saya ketahui artinya. Tapi saya teteep nerusin baca, gak peduli ngerti atau enggak. Hajar bleh! aja pokoknya.

Saya juga baca beberapa buku lagi dalam bahasa Inggris waktu itu. Semakin banyak saya baca, makin lumayan pengertian saya tentang isi buku. Saya juga ngebaca buku anak-anak. Buku DONGENG, sodara-sodara! Setelah saya ngebaca buku itu, saya sadar bahwa kemampuan bahasa Inggris saya setara dengan anak umur sembilan tahun yang memang hidup di negara berbahasa Inggris.

Jadi, saya memang masih ‘anak-anak’ dalam bahasa Inggris. Tapi memang begitulah cara saya belajar bahasa Inggris: seperti anak-anak belajar bahasa. Diawali dengan memperhatikan dan meniru orang lain dalam berbicara. Trus saya mencoba untuk membaca bahan bacaan yang sederhana (apa lagi kalau bukan buku anak-anak?) dan ber-GAMBAR. Bagian 'bergambar' iini penting. Dengan buku bergambar (ya buku anak-anak), pemahaman kita terhadap kalimat dalam bahasa Inggris menjadi lebih luas. Seringkali, ketika kita membaca arti suatu kata dalam kamus, kita masih perlu mengira-ngira maksudnya apa dan penempatannya bagaimana. Maksud saya, satu kata itu bisa bermakna ganda. Dengan adanya gambar, kita bisa mengerti apa 'konteks' dari penggunaan suatu kata atau istilah.

Nah, sekarang, bagaimana caranya supaya saya ngerti kalo ada bule yang ngomong dan bisa menimpali dikit-dikit?

Alhamdulillah ada banyak banget lagu dan film yang bisa dijadikan media belajar. Saya belajar cara mengucapkan kata-kata dari ngedengerin artis bernyanyi. Niru aja, niru. Sementara itu saya belajar untuk memahami omongan orang bule--kebanyakan--lewat film (terima kasih untuk para Rilekser di ITB \\ ^o^ // ). Ya, cuma itu. Tentunya tanpa teks bahasa Indonesia di layar. Kalo teksnya bahasa Inggris, mendingan lah. Oh iya, siaran berita bahasa Inggris Metro TV juga membantu banget.


Tapi kok bisa, cuma lewat lagu dan film aja? Coba deh, diinget-inget. Kalo kita nonton film barat yang ada teks bahasa Indonesia, mata kita cenderung mengarah ke teks, bukannya merhatiin filmnya dengan detail. Kadang antara teks dengan apa yang diucapin aktor-aktrisnya gak persis sama. Kadang penerjemahnya ngaco juga dalam nerjemahin (saya juga baru tau belakangan, hehe...).

Karena nonton film dengan teks bahasa Indonesia itulah, kemampuan kita memahami pembicaraan orang bule tetap minim. Soalnya pas nonton bukannya ngedengerin yang diomongin (mengerahkan telinga), kita malah merhatiin terjemahan (dengan mata). Padahal mungkin udah bertahun-tahun kita nonton film barat. Pas gilirannya praktek (ketemu bule beneran), kita masih tertatih-tatih untuk bisa memahami omongannya. "Ngomongnya cepet banget", menurut kita. Yaah, orang yang masih belajar sih emang bakal ngomong gitu.

Makanya, saya bersyukur kalo ada film yang gak ada teks bahasa Indonesianya. Saya jadi lebih fokus untuk mendengarkan pembicaraan dalam film. (Saya sering bilang ke teman-teman untuk nonton film barat tanpa teks kalau mereka mau cepat menguasai kemampuan listening mereka. Ngedengerin lagu barat gak cukup.) Sekali lagi saya tekankan: hajar bleh! Ngerti gak ngerti, hajar bleh!

Sekarang kemampuan menulis dalam bahasa Inggris. Kemampuan menulis saya dalam bahasa Inggris diasah lewat ketidak-sengajaan sebenarnya. Ya lewat teman-teman saya yang minta tolong. Mereka, yang kemampuan bahasa Inggrisnya lebih minim dari saya, minta saya untuk menerjemahkan bahan kuliah mereka. Karena saya agak susah nolak permohonan orang yang lagi kepepet begitu, saya mengiyakan aja biasanya.

Sewaktu menerjemahkan, saya benar-benar membutuhkan kamus Inggris-Inggris. Harus begitu. Soalnya menerjemahkan itu bukan sekedar ‘mengartikan’ saja. Kita perlu menyusun arti kalimat sudah kita peroleh, trus kita bentuk kalimat tadi dengan struktur logika yang benar dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu saya perlu tahu definisi dari berbagai istilah dalam bahasa Inggris. Setelah tahu, saya dengan mudah bisa menemukan padanan kata atau frasenya dalam bahasa Indonesia. Contohnya ini:



prowl·er [prówler]
(plural prowl·ers)
noun

1. somebody prowling with unlawful intent: somebody who moves stealthily around an area looking for an opportunity to commit a criminal act (seseorang yang menyelinap dan berputar-putar dalam sebuah area, mencari kesempatan untuk melakukan tindak kriminal)
Kalau kita tahu definisi dari ‘prowler’ di atas, tentunya kita punya perkiraan tentang apa artinya kan? Dalam bahasa Indonesia, gak ada padanan persisnya selain ‘penjahat’ atau ‘kriminal’. Tapi frase ini mungkin cocok untuk mengartikan 'prowler': ‘penjahat yang lagi cari kesempatan’.

Selain itu, lewat kegiatan menerjemahkan jurnal, saya juga belajar bagaimana menggunakan tata-bahasa Inggris dengan benar. Lha wong yang saya terjemahin jurnal atau buku teks semua. Ya terpaksa. Terpaksa jadi pinter grammar, hehe...Pastinya jurnal-jurnal itu ditulis dalam tata bahasa yang sangat formal dan sangat benar. Oleh karena itu kegiatan menerjemahkan bisa dijadikan media belajar tata bahasa Inggris yang sangat bagus.

Nah, kesempatan untuk meningkatkan kemampuan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris datang saat teman saya dari Planologi menawarkan pekerjaan sebagai guru les privat matematika. Muridnya sekolah di Bandung International School (BIS). Syaratnya, si pengajar mesti dari jurusan Matematika (gampaaang...) dan bisa mengajar dalam bahasa Inggris (lumayan, udah pernah sekali).


Syarat yang kedua ternyata benar-benar diperhatiin sama ortu murid. Soalnya saya pake diwawancarain dengan bahasa Inggris segala sama guru ngajinya anak itu. Awalnya saya kira karena anak itu sekolah di BIS dan memang mesti menggunakan bahasa Inggris. Ternyata karena memang anaknya berkebangsaan Inggris! (Bule, bule...)

Waktu itu murid saya ini masih kelas tujuh (masih saya ajar sampe sekarang). Perempuan. Walaupun ngakunya dia menggunakan aksen British standar, saya kadang teteeep aja masih gak nangkep apa yang dia omongin. Saya aja yang masih belajar untuk menangkap pembicaraan bule Amerika dengan baik, merasa terpojok. Saya mikir: Ya Allah! Cara ngomongnya yang kayak orang ‘kumur-kumur’ itu loh. Gak jelas!


Tapi proses belajar matematikanya berjalan lancar kok. Meski awalnya saya masih pakai bahasa Inggris ala tarzan untuk berkomunikasi.

Contohnya gini. Dia pernah mengucapkan ‘our town’ seperti pengucapan ‘athan’ (azan). Gini nih caranya: “Aaw... thaan,” tanpa kedengeran bunyi ‘r’ di kata ‘our’ dan bunyi ‘w’ di kata ‘town’. Saya harus bilang, “Sorry?” sampe tiga kali baru saya ngerti apa yang dia omongin. Saya baru ngerti kalo yang diomongin ini: “Awwer... thaawn”.


Masya Allaaah!

Well, lama-lama biasa kok. Haruus... Gimana bisa komunikasi dua arah kalo sayanya gak ngerti-ngerti?

***

Intinya Sih...

Kesimpulannya, selama lima tahun terakhir, dengan santai, saya belajar bahasa Inggris:
1. dengan membaca buku-buku fiksi bahasa Inggris
2. lewat lagu dan film
3. pas saya ngajar siswi BIS tadi
4. pas saya nerjemahin bahan-bahan kuliah teman

Saya sangat bersyukur karena saya mendapatkan banyak sekali kesempatan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya. Saya bisa belajar sendiri sambil langsung mempraktekkan. Gak perlu bayar apa-apa lagi (kecuali kalo saya beli buku atau kaset). Malah saya dibayar karena udah nerjemahin buat teman dan mengajar matematika, hehe... Itulah sebabnya saya menyebutnya ‘belajar bahasa Inggris dengan menyenangkan'. Memang kadang ‘terpaksa’ untuk bisa. Tapi asyik kok.

Jadi, bagaimana dengan cara anda belajar bahasa Inggris?




Wednesday, July 23, 2008

Teka-teki Matematika

Teka teki I
Pak Janson, seorang tukang cukur dari Sumatera Utara, sesumbar bahwa dia mencukur rambut semua orang di desanya yang tidak mencukur rambutnya sendiri.
Siapakah yang mencukur rambut Pak Janson?

Teka-teki II
Ahmad Dani akan dihukum karena kesalahannya.
Sebelum dihukum, ia diminta untuk mengucapkan satu kalimat. Jika kalimat yang diucapkannya bernilai benar, ia akan dihukum gantung dan jika yag diucapkannya salah, ia akan dilistrik.
apa yang harus dikatakan Ahmad Dani supaya ia terbebas dari kedua hukumannya tersebut?


Komentar:
Ini teka-teki yang menggunakan logika, bukan asal tebak.
Beberapa orang sudah saya beri teka-teki ini.
Ada yang menjawab dengan serius, ada yang ngawur.
Mari kita lihat jawaban teman-teman... (hihi...)

Tuesday, July 08, 2008

My Old Motto

Batas Dewasa

Semuanya berawal ketika saya masih kelas enam SD.

Waktu itu, semua siswa-siswi kelas enam sedang berbaris di tengah lapangan sekolah. Jarak masing-masing adalah sejauh kedua tangan terentang ke samping. Barisan yang kami buat teratur, sesuai dengan urutan kelas dan abjad. Karena saya kelas 6-D (dari enam kelas) dan nama saya diawali dari huruf S, jadilah saya berada di daerah belakang-kiri, kalau dilihat dari belakang. Tapi tak jauh di sebelah kiri saya, ada Wina, pelajar teladan tahun itu.

Apa sih yang kami lakukan saat itu? Kami sedang dibariskan untuk mendengarkan petuah dari kepala sekolah, karena kami akan menghadapi EBTANAS. Ditambah dengan pengingatan berbagai aturan selama mengerjakan soal ujian. Barisan kami pun sesuai dengan urutan nomor ujian kami.

Memang sudah seharusnya bersiap begitu kan?

Di tengah pidato pak Kepsek, saya menengok ke kanan, ke deretan kelas dekat perpus. Ada dua atau tiga siswa berseragam putih-biru tua yang sedang menonton kegiatan kami bersama beberapa orangtua. Hari itu belum terlalu siang. Tapi karena di SMP pun ada persiapan EBTANAS, pastinya siswa kelas satu dan dua pun menikmati pulang-sekolah-lebih-cepat. Mungkin sedang ikut orangtuanya menjemput adiknya (entah siapa).

Momen itu masih terpatri dalam ingatan saya. Melihat siswa-siswa SMP itu, terbersit keinginan dalam diri saya untuk bisa menjadi bagian dari pemakai seragam putih-biru tua itu. Entah mengapa, hari itu mereka tampak begitu dewasa di mata saya.
Sebuah keinginan yang bercampur dengan kekaguman.

Ketika saya sudah berada di SMP, saya menemukan momen itu lagi setiap kali saya melihat kakak kelas saya. Tapi ada tambahannya. Saya juga merasakan momen itu ketika melihat teman-teman sebaya saya yang sudah berpacaran. Entah mengapa, ketika mereka sedang berbicara satu sama lain, ketika sedang berjalan berdua, ketika mereka sedang berusaha memahami satu sama lain..., mereka terlihat begitu dewasa.

Apa saya menganggapnya begitu karena mereka menjalani sebuah 'fase kedewasaan 'lebih dulu daripada saya?

Ketika saya sedang berjalan bertiga bersama sahabat, ketika kami hendak survei calon SMU, saya mendapatkan momen itu lagi. Momen-momen dimana saya terpesona melihat rombongan siswa SMU yang baru keluar dari sekolah, berjalan berlawanan arah dengan kami yang baru mau ke sekolah mereka.

Waktu itu kami survei ke SMU 2 Bekasi. Kami hanya survei ke SMU 2 Bekasi sebenarnya. Karena merasa sungkan, melihat begitu banyak anak SMU, kami berjalan agak ke pinggir. Bahkan sempat berhenti dan ‘membiarkan mereka lewat’, sementara kami berteduh di bawah pohon. Kami menanti jalanan sepi dari siswa SMU 2. Tak lama aku melihat wajah seorang kakak kelas dari SMP kami.

Dia dulu senior kami di Paskibra. Jadi dia segera mengenaliku ketika aku memanggilnya. Ternyata dia siswa SMU 2! Kami bercerita maksud kunjungan kami. Kami hendak mencari informasi tentang pendaftaran siswa baru di SMU 2. Setelah memberi beberapa petunjuk, beliau pamit untuk pulang. Kami pun berjalan ke arah SMU 2 yang sudah agak sepi.

Diam-diam, karena senang ada kakak kelas yang jadi siswa SMU2, sementara alumni SMP (Dewa) 19 Bekasi lainnya lebih banyak yang masuk ke SMU 4, saya berjanji dalam hati: Saya akan jadi siswa SMU 2.

Alhamdulillah, sayapun diterima di SMU 2. Saya juga mendaftarkan diri ke ekskul Paskibra, sama seperti ketika di SMP. Saya pun menemukan kesenangan luar biasa dari perpustakaan SMU2. Momen-momen keterpesonaan pun masih sering saya alami. Tapi hanya sampai pada kakak kelas tertua, kelas tiga.

Sampai di situ saya berhenti memperoleh momen seperti yang saya alami ketika SD. Saya tidak mengalami keterpesonaan yang sama ketika melihat mahasiswa. Penilaian saya terhadap tingkatan mahasiswa berbeda. Mungkin karena ketika SMU tidak ada contoh senior yang sudah jadi mahasiswa yang sering saya temui ya?

***

Kini, saya mengalami kegamangan dalam menentukan batas kedewasaan. Saya membicarakan batas dewasa bagi diri saya sendiri. Batas yang jelas, sejelas seragam putih-biru tua dan putih-abu. Nampaknya dunia mahasiswa tidak memberi batasan seperti itu. Dunia yang satu ini ibarat samudra, sementara saya hanyalah satu pohon di tepiannya.

Para dosen tidak ubahnya dengan guru ketika saya masih SD, SMP, SMU. Ketika menjadi mahasiswa pun, saya banyak berinteraksi dengan kalangan berbagai umur dan keadaan. Ada yang ketika masih tingkat dua sudah menikah. Ada yang sudah punya usaha plus sendiri sejak tingkat satu. Ada yang masih kekanak-kanakan sekali meskipun sudah tingkat empat. Ada yang malah gak mikirn kuliah, malah bisnis aja yang dipikirin. Ada yang sudah lama banget jadi mahasiswa, belum lulus juga. (Saya sih masih mending, kuliah udah beres, tinggal TA-nya yang ditunda terus—hehe, pembenaran...)

Semua elemen yang dulunya saya anggap sebagai tanda kedewasaan, malah bercampur-baur dengan kehidupan mahasiswa dan kampus. Sementara, mahasiswa tetaplah seorang ‘siswa’. Bedanya, ada ‘maha’ di depan ‘siswa’. Status sih tetap saja ‘pelajar’ yang masih dapat beasiswa dari ortu (maupun pihak lain). Baju yang dikenakan mahasiswa pun ‘seragam bebas’, sama dengan yang dikenakan oleh penduduk sipil.

Akibatnya, yang sudah lulus kuliah dan bekerja agak lama pun tidak saya anggap lebih dewasa dari saya. Mungkin karena dulunya teman sejurusan atau teman satu kampus. Pada saat yang sama, saya sendiri sudah bersentuhan dengan generasi alumni yang bermacam-macam. Sebagai bagian dari mahasiswa, saya sudah dituntut untuk merancang masa depan sendiri, belajar mandiri, membuat keputusan sendiri tanpa banyak bantuan orangtua... (Oh..., I miss the time when my parents still take a great part in making decisions for me.)

Rasanya aneh. Pada saat yang bersamaan, saya masih merasa kalau saya ini ‘pelajar’ dan ‘anak-anak’, di sisi lain saya sudah dipanggil ‘Ibu Guru’ (saya pengajar privat). Dengan anak SMU udah gak terlalu nyambung lagi, tapi dengan bapak-bapak atau ibu-ibu juga tidak sebaya. Saya belum merasa kalau saya adalah ‘orang dewasa’ yang patut dituakan. Saya belum merasa kalau saya adalah bagian dari kelompok orang dewasa.

Kalau dipikir-pikir, bisa jadi ini salah saya sendiri. Saya mungkin harus merekonstruksi bawah sadar saya tentang definisi ‘dewasa’. Di dunia orang dewasa, ‘kedewasaan’ adalah sebuah konsep yang abstrak, dimana parameternya tidak hanya satu aspek fisik seperti ‘warna baju seragam’. Rasanya, parameter kedewasaan lebih banyak berupa karakteristik pribadi, yang termanifestasi dalam bentuk pencapaian atau prestasi secara sosial.

Mungkin begitu. Entahlah...

Yaaaah, well..., nampaknya, menjadi dewasa di dunia orang dewasa tidak sesederhana ketika saya masih SD.

Wednesday, June 04, 2008

...

Now I finally now
That I love him so...

For my soul
always tore apart
When he took my heart

And this is the fact:
That he might love me
Or he might not

Monday, May 05, 2008

Fact & Prejudice

“Pak Reza jadi sering ngisi di DT sekarang.”

Saat itu suasana sudah tidak terlalu ramai di depan meja yang kami jaga. Semua peserta Excellent Learning Forum (ELF) sedang khusyu’ di dalam ruang masjid Salman, mendengarkan uraian materi “The Magic of Learning” yang dibawakan Pak Reza M. Syarief. Waktu menunjukkan pukul sepuluhan pagi.

Saya menjadi petugas di meja pendaftaran peserta ELF tanggal 3 Mei ini. Sementara Bapak yang berbicara barusan adalah petugas promosi buku Pak Reza Syarief. Bapak ini mengisi waktu jaga dengan mencoba beramah-tamah pada saya, bertanya ini-itu tentang latar belakang saya. Saya tidak keberatan menjawabnya. Tapi, tanpa bermaksud tidak sopan, saya hanya mampu menjawab saja, tanpa menjadikan komunikasi kami sebuah dialog yang interaktif. Pasalnya, saya sedang sibuk dengan urusan administratif peserta yang mesti saya selesaikan sebelum acara usai. Saya tidak banyak bertanya pada Bapak itu. Paling ketika saya tertarik dengan buku yang dipajang, saya meminta izin untuk melihat-lihat.

Si Bapak ini kemudian bercerita tentang dirinya, yang menjadi bagian dari tim kerja Pak Reza Syarief. Dalam pembahasan itulah si Bapak mengatakan bahwa Pak Reza sering mengisi kegiatan pengajian di DT akhir-akhir ini.

Si Bapak melanjutkan. “Abis si Aa’ Gym udah gak aktif lagi. Jadinya Pak Reza sering ke DT sekarang. Aa’ udah jarang ngisi... Sibuk sama yang kedua..., “ tuturnya sambil menatap ke kejauhan.

Saya terdiam. Yang kedua. Setelah berpikir sejenak, saya memalingkan wajah ke arah si Bapak.

“Itu pendapat atau fakta, Pak?”

Tadinya, saat saya sedang berpikir, saya ingin memakai kata ‘prasangka’, alih-alih ‘pendapat’.

Si Bapak mengerti apa yang saya maksud dengan ‘itu’. ‘Itu’ yang dimaksud adalah kalimatnya yang terakhir. Tentang ‘yang kedua’.

Si Bapak tidak langsung menjawab. Saya menatapnya, menunggu jawaban. Karena si Bapak masih berpikir, saya kembali menatap kertas berisi data peserta yang sedang saya rapikan.

“Yaaaaah, fifty-fifty kayaknya…”

Secara logika, tidak ada yang namanya ‘setengah-pendapat-setengah-fakta’. Karena si Bapak ragu akan pernyataannya sendiri, saya berkesimpulan (dengan yakin), bahwa ‘itu’ hanya pendapat si Bapak saja.

Saya berpaling ke Bapak itu kembali. “Kalau begitu, itu pendapat, Pak.”

Si Bapak hanya tersenyum tidak jelas, terdiam. Saya melanjutkan.

“Aa’ Gym masih sering ngisi kok, Pak. Memang gak terlalu aktif di manajemen DT lagi (benarkah saya bilang begini?). Saya masih sering denger Aa’ ceramah subuh-subuh, lewat radio.”

“Ooooh…”

Sampai di situ percakapan kami berhenti. Si Bapak tidak berminat melanjutkan pembicaraan nampaknya. Sementara saya sendiri masih sibuk menata data, ditambah lagi ada beberapa peserta yang baru datang dan mendaftar. Setelah itu, saya pergi dari meja sejenak, untuk membelikan panitia snack dan minuman.

Ketika acara usai dan peserta mulai memenuhi meja-meja kami, ke meja saya untuk bertanya tentang kapan sertifikat kegiatan bisa diambil, ke meja si Bapak untuk membeli buku, kami belum berbicara lagi. Baru setelah semua beres, peserta sudah pulang, si Bapak berpamitan.

Saya bahkan belum menanyakan namanya.

***

Dari pengalaman tadi, saya mau berkomentar:

Pertama, saya tidak terlalu mengenal Aa’ Gym dan keluarganya. Bahkan pernikahannya yang kedua pun baru saya ketahui sekitar dua-tiga bulan sejak peristiwa itu ramai dibicarakan orang. Well, I’m not much a gossiper. Saya yakin bahwa si Bapak pun tidak terlalu mengenal Aa’ Gym. Memang bisa jadi pendapatnya 'itu' benar. Tapi apakah Bapak itu yakin? Ketika saya tanya, malah dijawab dengan 'fifty-fifty'. Lagipula, tanpa niat menyamakan semua orang, bila seseorang sudah mengatakan ‘sibuk dengan yang kedua’ dalam konteks seperti ini, apa sih nilai rasa yang biasa kita rasakan? Pencelaan bukan?

Ini memang prasangka saya pada Bapak itu: Memangnya kalau Aa’ Gym sedang ‘sibuk dengan yang kedua’, apa coba urusannya dengan Bapak itu? Memangnya salah bila Aa’ sedang ‘sibuk dengan yang kedua’? Lha, wong istri sendiri kok. Jadi—tanpa bermaksud membela Aa’ Gym—bagaimana mungkin si Bapak bisa dengan entengnya berpendapat begitu?

Kedua. Hasil obrolan saya dengan si Bapak menunjukkan satu contoh tentang orang masih belum bisa membedakan antara pendapat (terlebih lagi yang berupa ‘prasangka’) dan fakta. Sebuah opini atau pendapat, kerapkali disamakan dengan fakta. Kenapa itu bisa terjadi? Mungkin karena informasi yang diterima tidak dipikirkan dengan baik (disaring dengan benar). Atau mungkin karena software pikiran yang Bapak itu gunakan keliru. Kemudian, karena suatu pendapat dianggap fakta, sedangkan fakta biasanya diterima sebagai sebuah kebenaran, atau penguat kebenaran, maka jadilah pendapat tadi sebagai sebuah kebenaran, yang akan mendasari setiap pikiran, ucapan, dan tindakan di masa mendatang si Bapak berkaitan dengan topik itu.

Inilah masalah yang melanda kebanyakan manusia. Mereka kerap mendasarkan aktivitasnya pada sebuah pondasi rapuh.

Ah..... Urusan sendiri aja udah banyak. Jadi, boro-boro mau mikirin urusan orang lain. Apalagi berkomentar miring. Au ah, elap!


prej·u·dice [préjjədiss]

noun (plural prej·u·dic·es)

1. opinion formed beforehand: a preformed opinion, usually an unfavorable one, based on insufficient knowledge, irrational feelings, or inaccurate stereotypes

2. holding of ill-informed opinions: the holding of preformed opinions based on insufficient knowledge, irrational feelings, or inaccurate stereotypes

3. irrational dislike of somebody: an unfounded hatred, fear, or mistrust of a person or group, especially one of a particular religion, ethnicity, nationality, sexual preference, or social status

4. law disadvantage or harm: disadvantage or harm caused to somebody or something

[Microsoft® Encarta® 2008. © 1993-2007 Microsoft Corporation. All rights reserved.]

Wednesday, April 23, 2008

Tentang Pilgub Jabar 2008

This might sound superstitious. But somehow, even before Pilgub Jabar 2008 was held, I knew that Hade couple will win.

KTP saya adalah KTP DKI Jakarta. Jadi, ketika Pilgub Jabar kali ini dilaksanakan, saya tidak punya urusan apa-apa di dalamnya, kecuali sebagai penonton saja. Pas Pilgub DKI, barulah saya mempunyai hak pilih.

Yah, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, entah bagaimana, saya yakin pasangan Hade menang. Tidak, saya tidak mendoakan pasangan manapun untuk menang. Saya pun tidak pro ke pasangan manapun. Namun entah bagaimana, ketika memperhatikan banner-banner besar, umbul-umbul, stiker, leaflet, serta berbagai media publikasi lain yang menampilkan ketiga calon pemimpin Jabar 2008-2013, saya cenderung menyenangi satu calon.

Ya pasangan Hade itu.

Entah itu perasaan simpati atau sekedar kecenderungan hati, saya tidak tahu.

Otak saya mulai menganalisis. Saya mencoba mengamati setiap banner besar yang saya temui di jalan, dari ketiga calon pemimpin Jabar. Kenapa banner? Karena ukurannya yang cukup signifikan (besarnya) sehingga saya bisa mengamati dengan setiap detil dari foto calon pemimpin beserta latar belakangnya.

Yang pertama saya temui dalam satu hari pengamatan saya adalah banner dari pasangan Aman (yang pendukungnya protes di depan KPU Jabar kemarin itu, sampai mengganggu para siswa SMK 5 yang sedang Ujian Nasional—masya Allah..., mereka menzalimi orang lain!). Atau, tepatnya, banner dari pak Agum Gumelar saja.

Ketika saya melihat foto pak Agum Gumelar di banner, dengan gayanya yang mencoba menyerupai anak muda, dengan jeans biru muda serta kemeja putih, serta jaket yang disampirkan oleh tangan kanannya di bahu, sedang berjalan menuju kamera, di sebuah taman—entah di rumah siapa, saya berpikir: maksa banget sih? Belum lagi komposisi warna hijau dan merahnya yang gak pas. Menurut selera saya sih, sebagai desainer grafis amatiran, banner ini enggak banget.

Saya tidak bisa menangkap apa maksud dari pengarahan gaya berfoto seperti itu. Memangnya kesan apa yang ingin disampaikan pak Agum pada calon pemilihnya? Bahwa dia tetap segar dan berjiwa muda sehingga masih mampu menjadi seorang pemimpin (di manapun yang dia mau) karena pengalamannya dulu di kabinet? Kemudian, bila memang Anda berniat bekerja-sama untuk memajukan Jabar, kenapa fotonya kok sendiri aja ya? Mana pasangan Cawagubnya?

Ketika foto cawagubnya bersanding, saya bisa melihat, kalau pak Nu’man memberikan tatapan bingung. Matanya terlihat tidak fokus menatap kamera. Jadi, pertanyaannya, Bapak siap tidak jadi pemimpin? Berpose saja masih setengah hati. Bagaimana bila nanti menghadapi masyarakat yang hendak Bapak pimpin?

Jadi, maaf saja. Gaya boleh terlihat keren, tapi ekspresi wajah anda mengatakan segalanya, Pak. Lagipula, terlihat sekali bahwa pak Agum hanya ingin melakukan one man show. Entah dalam banner, entah mungkin ketika memimpin nanti.

Bila Anda masih sempat menemui banner Aman, coba perhatikan ekspresi wajah pak Agum. Perhatikan baik-baik. Apa kesan yang anda dapat coba? Bila ada orang yang datang dan menawarkan ‘masa depan’ pada anda dengan wajah seperti itu, kira-kira anda mau tidak?

Yang kedua adalah banner Da’i. Foto pasangan ini cukup sederhana, dimana pasangan ini menatap kamera, dengan latar belakang berwarna kuning oranye. Well, banner yang ini bagus juga. Desainnya menarik dan tidak norak. Elegan kesannya. Nah, pada satu kesempatan lain, saya lewat banner ini di dekat Buah Batu. Lalu saya perhatikan ekspresi pasangan Da’i. Wajah pak Danny terlihat kaku, tanpa senyum. Sorot matanya juga tidak terlihat ekspresif; yang ada adalah kesan jutek-karena-lagi-pusing-banyak-urusan-jadi-jangan-dekat-dekat-saya.

Tapi ekspresi cawagubnya ramah dan terbuka. Pasangan ini jomplang deh. Mungkin yang lebih siap jadi pemimpin emang cawagubnya kali ye?

Saya memang gak banyak komentar lagi tentang pasangan nomor 2 ini, kecuali satu: saya udah bosan dengan Danny Setiawan. Dari satu foto saja sudah bisa terlihat bahwa orangnya kaku dan sudah berkarat di pemerintahan. Sudah tidak fleksibel lagi menghadapi perubahan. Memang sudah saatnya untuk turun dari pemerintahan emang.

Sekarang pasangan nomor tiga, yaitu Hade. Saya tidak kenal dengan pak Ahmad Heryawan sebelumnya. Dan jelas, bukan hanya saya, sebagian besar orang kenal Dede Yusuf. Tapi bukan itu yang menjadi bahan pertimbangan saya ketika menilai banner yang menampangkan foto mereka.

Latar belakangnya biru terang dan komposisinya segar. Membuat mata sejuk. Warna biru memang terkenal mempunyai efek menenangkan. Kemudian foto pasangan ini. Mungkin karena sudah terlatih sebagai seorang figur publik, senyum Dede Yusuf terlihat ramah, terbuka, dan tulus. Nah, senyum pak Ahmad Heryawannya juga begitu. Kesimpulannya, mereka berdua kompak dan seirama dalam menampilkan citra yang terbuka, penuh penerimaan, dan bisa diajak ngomong.

Hanya itu memang. Tapi itu sudah cukup. Hanya dari situlah, sepertinya, saya tahu bahwa pasangan Hade yang akan menang (dan sudah diputuskan hari ini).

Dengan segudang (bahkan lebih) masalah yang masyarakat hadapi sehari-hari, kira-kira orang seperti apa yang mereka datangi? Apakah orang yang mengedepankan gaya dan latar belakangnya, atau orang dengan wajah jutek-jangan-dekat-dekat-saya, atau dengan orang yang tersenyum hangat penuh penerimaan dan siap-mendengarkan-masalah-anda?

Kesimpulan ini bukan sekedar kesimpulan yang berasal dari reaksi impulsif. Meskipun amatir dalam fotografi, saya sudah cukup lama melakukan pengamatan terhadap ekpresi orang. Hanya perlu sedikit kejelian dan banyak meluangkan waktu, untuk bisa mengetahui isi hati seseorang dari eskpresi wajahnya. Dan foto merupakan alat yang luar biasa efektif untuk mendukung aktifitas pengamatan ini.

Anda tidak harus percaya pada saya. Toh apa yang saya uraikan sedari tadi adalah murni pendapat saya. Tapi saya benar-benar menyarankan agar anda melakukan pengamatan sendiri dan ceritakan hasilnya.

Pasangan Hade telah sukses dalam mencitrakan gambaran positif tentang diri mereka. Itu baru dari gambar saja. Berbagai faktor menjadi pendukung kesuksesan pencitraan ini. Tapi satu hal yang saya ketahui dengan pasti: orang boleh saja menjadi aktor/aktris legendaris, tapi senyum tidak tulus tidak bisa membohongi orang terus-menerus.

Yah, entah karena saya suka warna biru, entah karena saya senang pada berbagai elemen pendukung grafis dari banner Hade, entah karena saya menjadi simpatisan Hade tanpa sadar. Yang jelas, saya bisa merasakan bahwa senyum yang pasangan Hade tampilkan saat berpose di depan kamera itu bukanlah senyum palsu.

Friday, April 18, 2008

Syukurku

Hal-hal yang kusyukuri hari ini:

1) ada Metro TV di Indonesia, yang menayangkan acara-acara bermutu seperti Oprah Show, Kick Andy, Safe Our Nation, dan serta stasiun TV lain yang punya acara semacam Jejak Petualang, Wisata Kuliner, dan Si Bolang, yang bisa menjadi penyejuk hati dan otak dari kegersangan acara-acara gak mutu seperti beberapa SINETRON-dengan-aktor-ganteng-aktris-cantik-yang-
ekspresinya-kosong-dan-cerita-yang-dangkal dan acara GOSIP-yang-menandakan-sebagian-besar-
penontonnya-gak-punya-kehidupan-jadinya-asyik-
mikirin-kehidupan-orang-lain


[Lagi mengeluarkan rasa sentimen ceritanya -_- i ]

2) aku bisa tahu dan membaca karya Harper Lee yang berjudul "To Kill A Mockingbird"; bagus banget, sederhana dan menyentuh (pantes aja dapet Pulitzer, bukan Nobel Sastra yang karya pemenangnya itu terkenal rumet: ruwet dan bikin mumet)

"..seperti beberapa SINETRON-dengan-aktor-ganteng-
aktris-cantik-yang-ekspresinya-
kosong-dan-cerita-yang-dangkal..."

3) aku sudah cek iris mata lima hari yang lalu dan hasilnya: aku sehat!

4) aku bisa kembali ngisi blog, setelah sekian lama sibuk ngurus bisnis dan kerjaan yang belum ada habisnya

5) berkenalan dengan para Blogger baru (para pembaca semua) yang mampir melihat-lihat blogku ini, yang kadang mellow dan sinis isinya (benarkah?)

Jadi, apakah yang teman-teman syukuri hari ini?

Tuesday, March 04, 2008

Sekedar Menggoreskan...

Manusia memang jelas-jelas bukan Tuhan (walau banyak yang merasa begitu). Buktinya, kehadirannya terbatas oleh waktu dan teknologi. Dia tidak pernah bisa berada di dua tempat yang sama, tanpa seizin Tuhan.

Misalnya saya. Lama berkutat dalam dunia nyata membuat saya tidak terlalu sering bersua di dunia maya, internet. Pun ketika saya hadir saat ini, tuk sekedar menggoreskan jejak, bukti bahwa saya masih ada, tidaklah lama. Hanya sekedar tiga putaran waktu terkecil.

Saya hanya mau menyampaikan hal tadi dan puisi berikut ini. Puisi, yang entah kenapa, kembali menghangatkan hati.... Karena jutaan maknanya:


"Kau..."
Sampai di situ aku kelu
Rasa ini mengharu biru
Dan belum jua mampu berlalu

Sejuta asa
Tak mampu bersua
Rasa ini terlalu kaya
Hingga kata tak mampu berbicara

Saturday, January 26, 2008

Mellow

Dulu saya pernah mengamati dan memikirkan fenomena orang-orang yang melarikan diri ke alkohol, narkoba, makanan, belanja, atau apapun bentuk pelariannya, ketika mereka menghadapi masalah berat dalam hidup. Saya heran, kenapa mereka malah melarikan diri ya? Kok tidak dihadapi saja masalahnya?

Saya dulu berpikir, bahwa masalahnya bisa semudah itu.

Hari ini, malam ini, saya sedang tidak dalam keadaan terbaik untuk bisa menilai diri sendiri, apalagi orang lain. Saya sedang dalam masa pemulihan setelah sakit. Masih lemah dan tidak seharusnya berjalan jauh. Selain itu, tugas, janji, tenggat, dan berbagai hal lainnya sedang menanti untuk saya urus satu-satu. Karena sedang tidak 100%, segala sesuatunya menjadi kurang, serba salah.

Ba'da magrib tadi, saya hampir menabrak orang ketika sedang mengendarai motor. Orangnya marah. Saya sih sedang menyetir dengan pelan, tapi mata saya sempat melirik ke helm yang satunya lagi ketika itu. Jadilah saya tidak melihat orang itu lewat.

Ketika hari ini saya bertindak sesuatu, tanggapan beberapa orang tidak seberapa positif. Saya jadi merasa bersalah. Seharusnya saya gak ngomong gitu ya? Trus saya sedang kesal dengan seseorang karena perilakunya, tapi saya belum nenyampaikannya ke dia perihal kekesalan saya. Menumpuklah kedongkolan di hati saya, sampai saya ingin berteriak sekuat-kuatnya, "HA#*%; NYEBELIIIIIIIIIIIIIIIN!!!!"

Tapi itu cuma ada dalam hati. Dan semua hal tadi mencapai titik sebelum titik puncaknya. Ketika itu sedang menuju puncaknya, saya sedang mengendarai motor di Jl. Suci, menuju Sadang Serang.

...sampai saya ingin berteriak sekuat-kuatnya, "HA#*%; NYEBELIIIIIIIIIIIIIIIN!!!!"


Bahkan angin malan yang menyejukkan pun tak mampu menyejukkan hati. Di tengah semua itu, saya terpikir tentang orang-orang yang saya tahu melarikan diri dari masalah dengan 'menghibur diri dengan .... kemudian malah tenggelam dalam kecanduan terhadap ... itu, bukannya menyelesaikan masalah mereka'.

Seketika itu juga saya mengerti apa yang mereka rasakan.

Kalau saya sih tidak sampai berkeinginan untuk mencoba alkohol atau narkoba hanya untuk mengobati rasa sakit di hati. Hanya sempat terlintas dalam kepala, kalau nampaknya, belanja sesuatu akan menyenangkan dan mungkin akan mengobati hati yang sedang dirudung masalah ini.

Tapi kemudian saya berpikir. Kalau begitu, apa bedanya saya dengan orang yang melarikan diri tadi? Hanya beda bentuk pelarian saja kan? Tapi tetap saja kau mau melarikan diri kan, Les?

Ya... Kadangkala masalah yang kita hadapi begitu menekan, begitu melukai, begitu tajam, membuat hati perih dan berdarah, begitu menyakiti. Bila sudah begitu, lebih enak rasanya bila diri ini melupakan atau pergi sejenak dari masalah dan melakukan hal lain. Tidak perlu dulu memikirkan rasa sakit hati yang menerpa, tidak perlu khawatir tentang tenggat, tidak perlu peduli dengan perkataan dan gangguan orang lain untuk sementara...

Ya, memang lebih enak rasanya...

Ingin rasanya melarikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan, kemudian menyepi ke sebuah laguna dengan air yang biru jernih, pasir putih yang hangat, air yang tenang, tempat yang hening, sejuk, dan menyegarkan, bebas dari tekanan, hanya sendiri, melepaskan semua beban....

Biar gak terus-terusan mellow...

Thursday, January 03, 2008

Grrmbelrmbskrrkszt!

"Yang IM3 50 berapa?"
"Lima puluh satu ribu lima ratus."
"Oke..."

Ditungguin selama tiga puluh menit belum sampe.

Balik lagi ke tukang pulsa.

"Lagi gangguan emang teh."
"Oooh, berapa lama?"
"Wah, gak tau ya... Soalnya yang tadi siang aja baru masuk sekarang."

Alamat gak sampe nih.

"Ya udah deh..."

Saya masuk ke warnet di belakang kios pulsa itu.
Berharap pulsanya masuk ketika saya lagi nge-net.
Sampe jam sepuluh malem belum masuk juga.
Alhasil, saya pulang, berharap besok pagi pulsanya
masuk dengan mulus.


Keesokan harinya...

Sampe jam sebelas siang pulsa semalam belum masuk.
Saya saya adik sengaja ngedatengin tukang pulsa itu.
Bawaan hati sih udah pengen ngegebukin tukang pulsa
(ini cuma kiasan aja, saudara-saudara, gak beneran kok).
Kata tukang pulsa di Salman, semalam jaringan Indosat
emang lagi gangguan, tapi siang ini udah enggak lagi.
Buktinya pulsa yang saya beli di Salman bisa sampe
dalam waktu tiga puluh menit (emang lama juga sih).

Si tukang pulsa memasukan pesanan lagi. Saya nungguin
selama kurang lebih setengah jam. Katanya, "Tunggu sekitar
satu-dua jam, Teh."

Gmbernexrmbelkrksxzt!!!

Dengan gondok dan tidak sabar, saya pulang ke kosan tanpa ada hasil. Saya sempat menanyakan ke dia, gimana kalo saya gak jadi aja beli pulsanya.

Kata si tukang pulsa, "Wah, gak bisa Teh, udah dimasukin pesenannya."

"Oh..., ya udah," hati saya tambah gondok. Udah gitu, yang membuat saya tambah sebal, dia tidak mengusahakan pulsa bisa secepatnya saya terima. Padahal, sewaktu saya melirik buku pesanan pulsa punya dia, semua pulsa orang lain sudah diberi tanda centang, kecuali satu: nomor saya.

Bisa kebayang kan apa artinya?

Sampe sore, pulsa belum juga masuk. Padahal udah ditinggal tidur
siang segala. Jam lima kurang, saya udah masang tampang seramah
mungkin, dan datang ke sana dengan hati lapang. Keputusan saya:
bulat mau masuk atau tidak pulsanya, uang saya tetap saya ambil.

"Kenapa ya Kang, kok gak masuk-masuk ke nomor saya pulsanya?"

"Gangguan (jaringan) Teh. Saya juga gak bisa mastiin."

Dari pengalaman itu, saya menarik kesimpulan:
1) saya memang tidak dirhidoi untuk memperoleh pulsa dari tukang
pulsa itu, apapun alasannya,

2) ini jadi pelajaran buat saya, bahwa itulah contoh bedanya orang
sukses dengan orang biasa saja; orang sukses akan mengusahakan
yang terbaik dari situasi yang dihadapi, sementara orang biasa saja
(kalau tidak bisa dibilang 'gagal') pasrah pada keadaan dan
menjadikan
situasi buruk sebagai alasan.

Intinya: Grrmbelrmbskrrszt!