Tuesday, April 24, 2007

Kapan Harus Menginggris

SUMBER: Kompas, 13 April 2007

[Pengantar: Dosen mata kuliah Karir Dalam Matematika saya, bu Indah, sangat kritis terhadap bahasa. Beliau sering bercerita tentang beragam kekeliruan dalam berbahasa di kalangan orang Indonesia, bahkan di kalangan dosen dan mahasiswa yang 'katanya' intelek. Hari Jumat lalu, beliau membawa file tulisan ini dan menampilkannya di depan kelas. Saya tertarik untuk mengutipnya juga di sini; bagi-bagi informasi. Semoga saja kita lebih mawas dalam berbahasa, tidak sekedar berbicara "asal keren". Silahkan dinikmati...]


Jauh sebelum kami berkunjung di Indonesia beberapa bulan yang lalu, saya sudah memutuskan untuk tak cepat terbawa emosi ketika melihat bahasa Indonesia dan bahasa Inggris bergaul dengan ria dan liar. Saya sudah yakin pergaulan ini menjadi-jadi dan tak kenal batas kewajaran.

Tak ada gunanya, saya berkata kepada diri sendiri, menjadi kebakaran jenggot hanya karena sejumlah kosakata dan bentuk tata bahasa Inggris berdansa di tengah-tengah kata dan gramatika Indonesia. Tak ada gunanya, saya berkata pula, menggaruk kepala yang sudah gundul guna mencari alasan perihal ini. Tak ada gunanya perduli.

Sebelum berangkat saya bahkan punya pikiran bahwa saya sendiri bisa ikut-ikutan nginggris guna tampil lebih keren. Setidaknya sesekali biar anggota keluarga lain tak terlalu malu. Dengan demikian, situasi bahasa tak akan menjengkelkan , tapi mungkin malah menyenangkan.



Tak ada gunanya, saya berkata pula, menggaruk kepala yang sudah gundul guna mencari alasan perihal ini.

Itu teorinya. Praktiknya lain. Sesudah beberapa hari di Indonesia, saya sudah yakin bahwa saya tak bakal bisa menyelipkan kata-kata Inggris ke dalam kalimat berbahasa Indonesia. Mengapa? Apakah memang tidak bisa berbahasa Inggris? Ya bisa, tapi saya tak bisa mengerti persisnya kapan dan dalam situasi bagaimana saya harus nginggris.

Mungkin sekarang sebagian pembaca mengatakan: “Lo, itu kan easy sekali!” Bisa juga pembaca lain bilang: “Lo, that’s mudah sekali!” Ada juga yang berkata: “Lo, itu kan very mudah!” Yang benar menurut logika bahasa Inggronesia, saya tidak tahu. Mungkin semua benar, atau semua salah.

Mertua saya senang membuat kue. Beliau tentu saja punya koleksi resep dari sejumlah sumber. Salah satu sumber ini sebuah tabloid wanita. Di situ saya menemukan resep “ cake wortel”. Bukan “kue carrot”, “wortel cake”, “carrot kue”. Di koran yang Anda sedang pegang sekarang saya juga melihat ada hotel yang menyediakan “ruang meeting”. Mengapa tidak “room pertemuan”? Dan lebih penting lagi, bagaimana cara tahu yang mana yang “benar”?



Di koran yang Anda sedang pegang sekarang saya juga melihat ada hotel yang menyediakan “ruang meeting”. Mengapa tidak “room pertemuan”?

Jika pernah membuka situs Kompas di internet (www.kompas.com), Anda mungkin pernah melihat tulisan kecil-kecil di bagian bawah, yang menyediakan sejumlah informasi mengenai koran ini. Saya kira mungkin terdapat beberapa kunci bahasa Inggronesia di sana, koran terbesar di negeri ini.

Di sana orang dapat membaca tentang sejumlah “Subject” seperti “nasional”, “internasional”, dan “hiburan”. (Menarik juga sebuah subyek disuguhi dengan kata sifat.)Di sana ada juga rubrik “Interes”, entah bahasa apa itu. Adapun “Kontak Jodoh”, “Informasi Kerja”, dan (tiba-tiba) “News by Email”. Kemudian ada informasi “Tentang Kami”, “Iklan”, dan (lagi-lagi tiba-tiba) “Subscribe”. Yang paling menarik ialah rubrik yang disuguhi hampir terakhir:”Elektronik Edisi”. Kedua kata ini sudah dalam bentuk bahasa Indonesia, tapi susunanya mengikuti pola Inggris. Barang tentu susunan Indonesia yang lebih lumrah dipakai ialah “Edisi Elektronik”.

Seperti sudah saya katakan, saya tidak akan kebakaran jenggot hanya karena pergaulan bebas ini. Dan memang jenggot saya masih nempel seperti sebelum berangkat. Namun, saya benar-benar tak mengerti kenapa kedua bahasa ini harus bergaul dengan begini karena hasilnya hanya kebingungan dan ketidakjelasan. Setidaknya bagi saya yang tak bisa memahami bahasa hibrida ini. Nanti kalau ada mata kuliah bahasa Inggronesia akan saya follow dengan senang hati. Sampai later!

ANDRE MÖLLER
Pengamat Bahasa, Tinggal di Swedia

Monday, April 23, 2007

Hikayat Laut nan Rendah Hati

[Puisi yang sama ditaruh di blog Friendster. Waktu itu Blogger susah diakses sih, jadinya ke Friendster aja.]

Kubertanya pada Robbi

Tentang menjadi rendah hati

Kudapati diri ini

Terlampau tinggi hati


Lama dinanti...

Jawab tak kunjung menghampiri

Dia hendak menguji diri

Sejauh apa kusungguh hati


Liku jalan kulewati

Tidaklah seindah meniti pelangi

Hingga satu hari

Sebuah ilham mendekati:

Jadilah laut, ilham mengawali

Laut luas nan dalam

Laut megah lagi perkasa

Tapi dia rebah di tempat terendah

Semata agar semua sungai tak sungkan

tuk bermuara padanya

Jadilah laut, kata ilham itu lagi

Tak semua air sungai jernih

Madu, racun, susu, darah, air mata, cinta

Semua mengalir di dalamnya

Namun kala mereka melebur dengan laut

Mereka menjadi satu: air laut segar nan jernih

Hilang semua kedirian mereka

Yang ada hanyalah suci


Penantian berhenti, jiwaku menari

Bagai sejuta kupu-kupu terbang tinggi

Kumantapkan hati tuk satu janji:

Ku kan menjadi laut yang rendah hati...

Bandung, 5 Febuari 2007

Thursday, April 19, 2007

Bahasa Menunjukkan Budaya

Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya menganggap bahwa sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Contohnya saja, orang Eskimo yang memiliki berbagai istilah untuk menamai berbagai bentuk salju, atau orang Arab yang mempunyai puluhan nama untuk buah kurma mulai dari yang masih di pohon, yang baru dipetik, sampai yang telah kering.

Whorf, pencetus dari Linguistic Relativity Hypothesis

Setelah saya membaca tulisan barusan di sebuah buku karangan K.H. Shiddiq Aminullah, Drs., MBA, saya seolah tersadar. Oh, pantes, pikir saya. Pantes aja dalam bahasa Inggris kerap ditemukan teks yang menunjukkan kalau seorang anak dapat memanggil nama kecil dari kakak atau orangtuanya, seolah-olah mereka itu teman saja, bukan orangtua dan anak. Tak hanya di teks, di film-film mereka juga kerap ditemui.

Jadi begini. Sudah lama saya mengamati kalau di dalam bahasa Inggris tidak ada istilah khusus yang mengacu pada ‘kakak’ dan ‘adik’. Yang ada hanyalah istilah sibling, sister, dan brother bagi saudara kandung, kakak maupun adik, yang notabene menyatakan kesetaraan tanpa memandang usia. Untuk membuat fokus pembicaraan menjadi lebih spesifik, kadang ditambahkan kata little di depan kata brother atau sister untuk menunjukkan ‘adik bungsu’ ataupun saudara yang lebih muda. Dan sebaliknya, untuk menunjukkan ‘kakak tertua’, ditambahkan kata eldest sebagai keterangan di depan kata sister atau brother.

Mari kita bandingkan dengan bahasa Indonesia. Dalam bahasa ini, sebutan untuk saudara kandung (ataupun orang yang bukan saudara kandung tapi kita hormati) yang lebih tua mempunyai istilah khusus yaitu ‘kakak’. Untuk saudara kandung yang lebih muda ada istilah ‘adik’. Bahkan anak tertua mempunyai istilah khusus yaitu ‘sulung’. Demikian pula anak paling kecil dalam keluarga yang biasa disebut ‘bungsu’. Namun untuk anak kedua, tengah, kakak dari bungsu, tidak ada istilah khusus. Hanya ada sebutan ‘anak ke-sekian‘ (bahasa Indonesia tidak berbeda dengan bahasa Inggris dalam hal ini). Dalam bahasa Indonesia, usia serta urutan kelahiran itu penting dan tercermin dari istilah yang ada.

Bandingkan kembali dengan istilah dalam bahasa Inggris sister-brother yang hanya mengacu pada gender dari saudara kandung, tidak pada usia. Kita mengetahui bahwa orang barat sebagai ‘pemilik’ bahasa Inggris memiliki budaya yang mengutamakan kesetaraan dari setiap individu dan isu gender merupakan isu yang mendapat perhatian lebih. Bukan berarti masalah usia saudara atau orang lain tidak diperhatikan. Yang lebih ditekankan bukanlah usia, melainkan gender dan individu itu sendiri. Sedangkan di Indonesia, hormat pada yang lebih tua atau lebih tinggi posisinya merupakan isu utama dalam budaya masyarakatnya, terlepas dari apapun bentuk penerapannya di masing-masing daerah. Bukannya gender laki-laki dan perempuan tidak mendapat perhatian, hanya saja ‘posisi’ dalam struktur masyarakat atau keluarga menjadi fokus utamanya. Contoh yang paling jelas adalah cerita dari seorang teman saya. Dia orang Batak. Katanya, meskipun seseorang itu sudah menjadi jenderal bintang lima, tapi kalau dalam keluarganya dia ada di posisi sebagai keponakan, misalnya, maka dia yang mencuci piring di dapur. Begitulah di Indonesia, posisi dalam struktur hirearkis lebih penting.

Contoh dari perbandingan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah contoh yang memadai. Dengan melihat istilah yang dipakai dalam suatu bahasa kemudian kita melihat budaya penutur bahasa tersebut, ternyata kita bisa melakukan sebuah analisis budaya dari suatu penutur bahasa. Kita pun bisa mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, kepribadiannya, bahkan mungkin kesuksesan dari masyarakat tersebut di masa yang akan datang (untuk melakukan hal yang terakhir ini tentu dibutuhkan tambahan analisis psikologi). Hanya dengan melihat istilah-istilah tertentu yang digunakannya. Ini sungguh sebuah pemikiran yang menarik.

Tapi ini bukanlah hal yang baru dalam linguistik. Chomsky sudah melakukan analisis budaya berdasarkan bahasa yang digunakan suatu masyarakat. Whorf juga sudah. Dan hipotesis dari Whorf membuka lebar mata saya terhadap keadaan itu.

Kembali ke bahasa Inggris. Saya tidak tahu apakah: 1) penggunaan istilah sister-brother itu muncul duluan baru mempengaruhi cara pandang penutur bahasa Inggris atau sebaliknya, 2) cara pandang berbasis genderlah yang mempengaruhi munculnya istilah sister-brother. Hal ini sungguh menarik untuk ditelaah lebih jauh, apalagi bagi yang memang berminat pada linguistik (seperti saya, misalnya). Mungkin ketika saya mencari yang mana yang benar antara 1) dan 2), saya akan menemukannya dalam sejarah panjang dari kebudayaan penutur bahasa Inggris. Mulai dari masa ketika daratan Eropa masih didominasi oleh bahasa Latin, lalu masa penggunaan bahasa Inggris kuno di sekitar abad 15-16 masehi, hingga penyerapan banyak istilah dari bahasa asing seperti slalom, mathematics, levitate, oleh bahasa Inggris modern, yang membuatnya menjadi bahasa gado-gado. Tapi tidak apa, saya memang senang dengan sejarah, terutama yang berkaitan dengan isu budaya serta bahasanya.

BTW, ngulik-ngulik bahasa dan kaitannya dengan budaya memang mengasyikan ya? Terbersit dalam pikiran saya untuk mengambil S2 di bidang linguistik-budaya. Tapi di mana ya? Kalo ada yang punya info, kasih tau ya….

Tambahan dari Ernest Renan, penulis buku Sejarah Umum Bahasa-bahasa Semit:

Di antara yang mengherankan, bahasa Arab itu tumbuh dengan kuatnya dan sampai pada tingkatan yang sangat sempurna. Di tengah-tengah padang pasir dan bangsa yang gemar berkelana, bahasa tersebut mengungguli bahasa serumpun lainnya dalam kekayaan kosa kata, ketajaman arti, dan keindahan susunan bentuknya. Sebelumnya, bahasa ini tidak dikenal orang… [Dr. Malik Badri, Tafakur, 1996]