Monday, January 15, 2007

Musik Indonesia

Saya pertama kali mengenal grup musik The Corrs lewat lagu mereka yang berjudul Only When I Sleep. Saya benar-benar terpesona oleh aransemen lagu dan liriknya. Begitu unik. Setelah saya mengetahui latar belakang kebudayaan Corrs bersaudara, saya tidak heran dengan nuansa dan ciri ceria khas musik Irlandia yang dalam lagu-lagu mereka. Salah satu faktor penentu kesuksesan mereka adalah kebanggaan akan warna budayanya. Termasuk kekayaan irama musik Irlandia yang mereka masukkan dalam musik mereka.


Sejak itulah saya menjadi penggemar lagu-lagu mereka.


Album terbaru mereka bertajuk ‘Home’. Hasil pencarian saya hanya memberikan enam lagu dari album itu—atau memang hanya ada enam lagu mungkin. Setelah menyimak keenam lagu itu, mau tidak mau saya kembali terpesona.


Album ini benar-benar tepat menggambarkan ‘home’ bagi The Corrs. Bila di album-album sebelumnya Yhe Corrs banyak membuat lagu bernuansa pop yang temponya cepat, maka di album terbaru ini didominasi oleh lagu bertempo lambat sampai sedang. Simak saja lagu Spancill Hill dan Buachail on Eirne. Khusus dua lagu ini, nuansa kental Irlandianya begitu terasa, terutama lagu terakhir yang liriknya berbahasa daerah Irlandia, bukan bahasa Inggris. Di lagu lain, ciri khas Irlandia terdengar dari tarikan tiupan seruling, gesekan biola, petikan gitar, atau lirik-lirik yang menceritakan memori di tanah kelahiran. Benar-benar Irlandia!


Kedua lagu tadi mengingatkan saya pada lagu The Corrs dalam album ‘Unplugged’ yang berjudul Toss The Feathers, Rebel Heart, dan Lough Erin Shore. Ketiganya adalah lagu instrumental yang masih saya gemari hingga saat ini. Paduan apik antara gitar, drum, biola, flute, dan piano, meski absen dari button accordion atau bagpipe, sudah cukup untuk membawa nuansa etnik Irlandia.


Di tengah-tengah kegiatan mendengarkan Spancill Hill, saya merenung karena terbawa suasana lagu itu. pikiran saya melayang sampai titik di mana saya mempertanyakan bagaimana dengan lagu-lagu daerah Indonesia sendiri yang sebenarnya punya ciri khas etnik yang unik yang tak kalah bagusnya..... TUNGGU DULU! Lagu daerah?!


Benar! Lagu daerah Indonesia tidak kalah bagusnya. Kalau berbicara keunikan, musik Indonesia pun tak kalah unik. Saya jadi bersemangat memikirkannya. Memikirkan kemungkinan pemaduan musik khas Indonesia dengan musik modern.


Saya pernah menyaksikan tayangan rekaman video dari pagelaran musik untuk unit gamelan SMU Loyola Semarang. Ceritanya salah seorang alumni berinisiatif untuk menyumbangkan sesuatu bagi almamaternya. Maka jadilah acara yang memadukan musik orkestra dan gamelan Jawa—saya lupa jenis gamelannya—yang langka. Gamelan ini dikatakan langka karena rentang nadanya cukup besar sehingga bisa dipadukan dengan hampir setiap jenis musik manapun. Termasuk orkestra.


Acara ini turut diisi oleh Adie MS dan istrinya, Memes (iya, Adie MS, konduktor orkestra itu), penyanyi tenor (pria) terbaik Indonesia—saya lupa namanya, dan tentu saja anak-anak SMU Loyola yang tergabung pada unit gamelan tahun itu. Acara ini juga diisi oleh pemain gitar ternama dan pemenang kejuaraan gitar nasional sebanyak empat kali (atau tiga kali ya?). Katanya, ketika dia hendak ikut kejuaraan untuk yang kelima kalinya, dia dilarang untuk ikut oleh panitianya karena dia dipastikan akan menang lagi. Pokoknya orang itu benar-benar hebat. Saya sendiri kagum melihat penampilannya.


Yang paling mengharukan dari pagelaran itu—dan merupakan puncak acaranya—adalah ketika Memes berduet dengan penyanyi tenor tadi untuk menyanyikan lagi ‘Bersamamu’. Saya tidak ingat lagu ini memang diciptakan khusus untuk acara ini atau bukan. Tapi satu hal, lagu ini indah sekali, baik musik maupun liriknya. Paduan orkestra, gamelan, suara penyanyi tenor, dan suara Memes membuat akhir acara itu sukses besar. Benar-benar sukses besar.


Saya tidak ingat persis detail rekaman acara itu sekarang. Tapi kesan yang tertinggal benar-benar terpatri dalam benak saya. Bayangkan, gamelan dipadu dengan orkestra! Saya tidak menyangka bisa sedemikian indahnya. Oh ya, kalau berminat membuktikan sendiri cerita saya, termasuk menyaksikan pemain gitar hebat tadi, saya diberitahu kalau VCD pagelaran itu dijual dan uang hasil penjualannya (semuanya, semua uang penjualan) diberikan untuk unit gamelan SMU Loyola Semarang. Kontak saja Pak Ananda Buddhisuharto. Beliau pengajar di SBM ITB. Beliau adalah alumni SMU Loyola dan dialah yang mencetuskan ide untuk mengadakan pagelaran itu.


Kembali ke masalah lagu daerah Indonesia. Saya merasa kalau potensi ciri khas etnik dari musik Indonesia belum pernah digarap secara intens dan dipopulerkan layaknya The Corrs mempopulerkan ciri khas Irlandianya. Saya bukannya tidak tahu kalau sebelumnya ada musisi-musisi Indonesia sudah melakukan hal serupa. Tapi setahu saya hanya untuk konsumsi terbatas. Yang saya maksudkan di sini adalah membuatnya terkenal ‘Made in Indonesia’ sekaligus dianggap keren, digemari, diburu, masuk dalam daftar hits dunia, dan mendapat banyak penghargaan bergengsi. Siapa ya yang bisa melakukannya? Membuat lagu-lagu pop berciri khas etnik seperti The Corrs dan mendunia?


Well, itulah hasil pemikiran seorang penikmat musik dan seorang warga dari sebuah bangsa yang ingin bangsanya punya kebanggaan atas ciri khas dan keunikannya. Saya sendiri tidak bisa berbuat banyak untuk menwujudkan ide tadi karena saya tidak berkiprah di bidang musik. Saya hanya bisa menyumbangkan ide dan membaginya. Dan saya harap, salah satu dari pembaca tulisan ini berkenan untuk menyimpan ide ini dalam benaknya, kemudian meneruskannya ke orang lain yang tepat. Orang yang mudah-mudahan mampu mewujudkan mimpi sederhana ini. Semoga terwujud. Amin.

A Little and Sweet Pray

Suatu malam seorang kakek mendengar cucunya di kamar sedang mengulang-ngulang huruf abjad dengan khusyuk.

Sedang apa sih kau, nak?” Tanya si kakek

Saya sedang berdoa,” gadis kecil itu menjelaskan. “Tetapi, saya tak dapat memikirkan kata-kata yang tepat malam ini. Jadinya saya ucapkan saja semua huruf yang ada. Tuhan akan merangkaikannya untuk saya karena Dia tahu apa yang sedang saya pikirkan.”

Wednesday, January 03, 2007

Saat Ku Pulang

Kau tahu kenapa kita merindu?

Karena kita terpisah darinya (yang kita rindu)

Maka, kini...

Aku tidak ingin merasakan rindu itu lagi

(Karena aku tidak ingin berpisah dengannya lagi)


Teman saya mengatakan itu pada saya satu hari. Sebuah ungkapan tentang kerinduan yang dia buat, sebagai ekspresi dari rindu yang dia pernah rasakan.


Entah bagaimana, saya ingat kata-katanya itu ketika saya mengenang kembali kepulangan saya ke rumah setelah empat bulan lebih tidak pulang. Saat itu saya sedang jenuh-jenuhnya dengan segala rutinitas kuliah dan aktivitas di mesjid Salman. Lama jauh dari rumah, saya seakan terlepas dari akar saya, kehilangan hubungan dengan masa lalu dan keluarga. Sementara itu, pada saat yang sama, masa depan bagaikan air yang hendak digenggam namun selalu lolos dari sela-sela jemari. Saya terjebak pada keabadian masa kini yang tiada habisnya. Saya kehilangan arah.


Menjelang Ramadhan 1427 H, kesempatan untuk pulang datang. Awalnya tidak ada niatan untuk pulang. Tapi perkataan seorang teman tentang rencananya untuk pulang memberi saya ilham. Segera saya batalkan keikutsertaan saya pada pelatihan yang diadakan IOM dan WRM ITB. Waktu yang hanya dua hari di akhir pekan itu saya manfaatkan. Saya pak semua kebutuhan dan tas. Sabtu tanggal 23 September, jam enam pagi, saya berangkat dengan langkah mantap.


Dan akhirnya saya menjumpai tempat saya pulang. Masih seperti sebelumnya, tidak berubah. Sebuah hunian yang tenang, sederhana, teduh, tidak mencolok, yang ada tepat di ujung jalan Gelombang dan memiliki nomor paling buncit. Saya masuk setelah sebelumnya mengucapkan salam. Saya pun disambut oleh senyum dan tanya tentang kabar. Saya segera menyapa, tertawa, bercerita, bahkan sebelum saya sempat duduk. Ada keponakan (anak sepupu) yang sedang lucu-lucunya, yang kemudian dengan sedikit bingung mencoba untuk mengingat saya. Tak lama dia tertawa karena telah ingat Tantenya. Dia dengan ceria bercerita dan kemudian meneliti tas yang saya bawa dengan penuh rasa ingin tahu. Ada adik bungsu saya yang sebentar lagi akan ke Lampung karena dia akan menjalani masa SMU di sana. Saya pulang karena dia juga: mencoba untuk bertemu sebelum dia ke Lampung karena mungkin saja saya tidak akan melihatnya dalam waktu yang lama.


Setelah tenang dan beristirahat, saya mencoba untuk menikmati masa-masa singkat di rumah. Dalam keheningan siang yang gerah khas Jakarta, saya duduk di sofa sambil menatap langit-langit yang rendah. Yang lain sedang tidur siang. Ah, tidak banyak berubah. Waktu berjalan dengan lambat bagaikan arus air yang berada di pinggir sungai. Rutinitas rumah tangga, bangun sebelum subuh, memasak di pagi hari, makan siang, istirahat siang, bangun lagi untuk solat Asar, bebersih rumah di sore hari, magrib, makan malam, isya, menonton TV atau membaca atau mengaji, bercengkerama dengan keluarga. Semua adalah rutinitas juga. Namun begitu berbeda dengan yang saya rasakan di Bandung. Saat di Bandung saya merasa waktu selalu berlari dan mengejek saat kita tertinggal barang sedikit saja. Dunia penuh hiruk-pikuk perubahan. Saya merasa telah banyak berubah. Sementara rumah tidak banyak berubah.


Saya memang jarang pulang semenjak saya kuliah di Bandung. Di tahun pertama dan kedua, saya hanya pulang paling banyak tiga kali setahun. Padahal jarak Bandung-Jakarta tidak sejauh Bandung-Lampung. Kemudian ketika tekanan hidup makin tinggi saya rasakan, penyegaran menjadi perlu untuk dilakukan. Dan saya merasa segar kembali ketika bis Primajasa membawa saya melewati tol semakin dekat ke Priok. Saya harus sering pulang.


Ada lagi hal lain. Saya kuliah di Bandung ketika adik perempuan saya masih kelas tiga SMP. Kami bukannya tidak akrab. Hubungan saya dan adik-adik dekat dan baik. Kami saling mengerti satu sama lain. Khusus dengan adik perempuan saya, mungkin karena kami sama-sama perempuan, kami lebih dekat. Sejak kuliah, otomatis saya tidak banyak berinteraksi dengan dia karena jarang pulang dan menelpon hanya sesekali setiap dua bulan. Artinya, saya tidak banyak mengikuti perkembangan dia saat beranjak dewasa.


Kini dia berumur 18 tahun. Baru lulus dari Sekolah Menengah Farmasi, dan sekarang sudah bekerja di apotek RS PMC pelabuhan Tanjung Priok. Sudah bergaji dia. Kalah deh kakaknya. Semenjak saya sering pulang di tahun keempat dan kelima saya kuliah, saya mendapati kalau saya ternyata tidak banyak tahu tentang adik saya. Bukannya saya tidak mengenali dia sama sekali. Yang saya maksud adalah baru belakangan saja saya melihat adik saya dari kacamata sesama orang yang dewasa. Benar-benar baru melihatnya dengan cermat kalau diapun dapat menjadi dewasa yang kemudian bisa menjadi layaknya sahabat karib di sekolah.


Saya juga baru tahu kalau saya begitu berarti bagi dia.


Bagaimana saya mengetahuinya? Itu terlihat dari sikap dia setiap kali saya pulang. Dalam kesempatan yang singkat itu, dia selalu, ya, selalu, mengajak saya untuk pergi jalan-jalan, entah itu sekedar cuci mata ke ITC Cempaka Mas, Gramedia, atau sekedar jalan-jalan ke Indomaret dan tukang bakso di dekat jalan besar. Pokoknya dia ingin memanfaatkan waktu berdua dengan saya. Saya terenyuh. Saya yang sebelumnya tidak pernah ‘memandang’ dia sebagai sesuatu yang penting luar biasa, hanya melihat status ‘adik’ yang berbeda umur sehingga dunianya tidak nyambung, merasa tersanjung. Ternyata saya disayang oleh adik saya. Itu mengejutkan. Itu luar biasa. Saat saya coba ingat-ingat pengalaman masa kecil, saya hanya teringat kalau saya bukanlah kakak yang baik yang mau mengalah dan sayang pada adik. Namun sikap dia selagi saya pulang dan testimony dia di Friendster membuktikan sebaliknya.


Di lain kesempatan, dia bahkan merajuk sedikit lewat telepon ketika saya katakan kalau saya tidak bisa pulang. Kapan dong, tanyanya? Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa waktu itu. Tapi kini saya berusaha keras untuk sesering mungkin pulang ke rumah dan memperpanjang masa pulang saya. Kalau saya hanya dua-tiga hari, dia akan protes karena saya terlalu sebentar pulangnya. Tapi tugas dan kuliah tidak bisa menunggu. Dengan berat hati dia melepas saya setelah berpesan ini-itu.


Pulang. Pulang ternyata obat mujarab bagi saya untuk mengatasi kejenuhan dan kebimbangan hati. Pulang juga membawa sejuta warna dan rasa yang manis di jiwa. Meski sesekali dihiasi oleh perselisihan dengan orangtua atau adik, saya tidak kapok untuk pulang. Karena rumah adalah tempat kita akan kembali pada akar kita, kembali pada jati diri kita.


17 Desember 2006

Ketika saya memberitahukan kalau insya Allah saya hendak pulang pada tanggal 25 Desember, selepas menghadiri walimahan teman di Bekasi, dia mengirim pesan:


Ci, datengnya g bisa lebih awal y? Soalny stlh tgl 25 aq msk pagi terus n pulangnya sore. Jd g bs kmn2.


Pesan berikutnya setelah saya katakan saya ada pekerjaan tanggal 23-24 Desember:


Aq msk paginya seminggu tau! Sampe taun baru! Aq malam taun baru aja msk malam, jd mlm taun baruan di rs. Kerja apa?


Dia kebagian giliran jaga apotek di pagi hari setelah tanggal 25 dan baru dapat giliran kerja malam saat tahun baru nanti. Lagi-lagi yang saya dengar adalah rencana jalan-jalan, menghabiskan waktu bersama sesering mungkin. Dia tampak benar-benar menantikan saat bisa bersama saya. Kakaknya ini jadi merasa malu karena dirindukan oleh adik. Malu karena dia sendiri tidak pernah bersikap serupa.


Dengan Papa serta dua adik lelaki saya yang sekarang ada di Lampung, saya terhubung lewat ponsel. Papa saya membelikan setiap anaknya ponsel ketika mereka tinggal berjauhan. Papa memang hebat. Dia dengan sigap menomorsatukan komunikasi di saat raga kami tidak bisa hadir untuk saling bersua. Bila tidak lewat sms murah IM3 yang digunakan saya dan adik lelaki pertama, ya lewat fasilitas free talk dari Mentari seperti yang dipakai adik bungsu. Tapi sekarang dia memakai Simpati, jadi sulit untuk bisa mengobrol selama hampir tiga jam penuh di dini hari seperti ketika dia memakai Mentari.

...

Maka, kini, aku tidak ingin merasakan rindu itu lagi.

Aku akan pulang!