Sunday, June 24, 2007

Yang Hilang

Lima tahun yang lalu saya menginjakkan kaki ke Bandung. Paris van Java... Tempat yang menjanjikan sejuta harap, kesejukan, kesegaran, bagi kehidupanku yang terasa makin gersang di Jakarta--lupakan!

Barusan saya cuma cuap-cuap sentimentil dan mendayu-dayu aja, ketika mengingat saat pertama kali ke Bandung.

Sebagai pendatang baru di Bandung, banyak yang harus dipelajari. Termasuk bahasa Sunda, yang terdengar seperti rentetan omelan denga nada menari-nari, di telinga yang terbiasa mendengar logat Betawi. Belum lagi trayek angkot, makanan khasnya, plus tata sosial yang kental bernuansa Sunda.

Ambil contoh makanan. Saya terheran-heran ketika melihat ada cabe yang menyerupai tapi berwarna hijau muda seperti tomat mentah, dan berukuran kecil. Cabe gendot namanya. Huruf 'e'-nya dibaca seperti dalam kata 'pepes', bukan 'peuyeum'. Itu baru satu. Yang membuat saya lebih heran adalah ketika melihat kacang merah disayur!

Beneran, itu aneh. Saya sebagai orang Sumatera hanya mengenal asosiasi 'manis' buat kacang merah. Ya, di Sumatera, kacang merah digunakan sebagai bahan es campur. Kacang merah direbus dalam air gula, kadang diberi warna merah supaya makin cantik. Atau...., kacang merah dibuat bubur. Tapi saya jarang mendengar ada yang membuat bubur kacang merah.

Disayur? Bener-bener baru buat saya. Bukannya gak enak sih... Aneh aja...

***

Sekarang adat istiadat atau tata sosial di Bandung. Karena ukurannya lebih kecil dan didominasi budaya Sunda, wajar kalau orang Bandung jauh lebih 'terasa' ramah dibandingkan dengan orang Jakarta. Seramah-ramahnya orang Jakarta, masih kalah ramah dari orang Bandung saat pertama kali bertemu di jalan (artinya tidak saling kenal sama sekali).

Belum lagi dengan kebiasaan mengatakan "Punteun" di saat kita melewati orang di pinggir jalan, tidak peduli kita kenal atau tidak. Semua itu mencengangkan saya. Sungguh suatu bentuk keramahan dan kekeluargaan yang luar biasa (untuk ukuran orang Jakarta). Sungguh, saya belajar bertata-krama yang sopan (sekali) dari orang Sunda.




Tapi bukan berarti yang 'tidak sopan' tidak ada. Banyak juga yang tidak mencerminkan citra orang Sunda ideal. Biasanya anak-anak muda yang rada longgar dalam tata krama. Saya terkejut ketika mendapati ada mahasiswa Institut Gajah Duduk yang berceloteh santai menggunakan kata 'anj#*&@' berkali-kali. Gille beneerrrr, komentar saya dalam hati, menurut versi orang Betawi.



Sepreman-premannya gaya orang Jakarta, pelajar terutama, yang bisa ngomong 'anj#*&@' sering-sering itu adalah yang kasar banget, yang hidupnya memang 'pinggiran' banget. Menurut nilai rasa orang Jakarta (saya), 'anj#*&@' adalah umpatan yang sangat, sangat kasar. Kalaupun disebut, tidak sesering di Bandung (oleh pemuda tertentu).

Itu mahasiswa lho, dan mahasiswa dari Institut yang katanya berisi otak-otak terbaik di negeri ini. Tapi ternyata 'otak terbaik' itu cuma dari segi kemampuan berpikir, tidak secara keseluruhan, termasuk pribadi yang berbudi pekerti tinggi. Kalau di tempat seperti Institut Gajah Duduk saja begitu, bagaimana yang tidak di sana? Seperti di daerah Cicadas, tempat yang terkenal karena dulunya 'kawasan preman bagaimana?

Yah, saya pernah iseng menghitung, berapa kata 'anj#*&@' yang keluar dari mulut anak-anak umur 11 - 17 tahun di sekitar tempat kos saya. Alhasil, dalam satu menit, terucap kata 'anj#*&@' sepuluh sampai dua belas kali. Keren kan? Rata-rata setiap lima hingga enam detik sekali keluar kata 'anj#*&@'... Angka yang sama berlaku untuk percakapan antar teman (laki-laki biasanya) di angkot. Angka ini membuat saya berpikir, memangnya mereka gak punya kosakata lain ya? Gawat, ini gara-gara guru Bahasa Indonesianya atau gara-gara pergaulan?

***

Lima tahun kemudian, saat ini, saya bisa merasakan perubahan tata sosial di dalam masyarakat Bandung. Generasi muda yang saat saya tiba di Bandung masih duduk di bangku SD, sekarang sudah beranjak remaja. Saat mereka SD, arus globalisasi sedang gencar-gencarnya, membanjiri mereka dengan segala konsep, budaya, gaya hidup Barat, BAIK DAN BURUK. Sayangnya, dengan tipisnya lapisan 'tengah*' di Indonesia, yang berisi kaum intelek, pemikir, lulusan perguruan tinggi, jangan heran kalau yang sekarang mendominasi dari segi jumlah adalah anak-anak muda yang "Barat Wannabe".

Tidak banyak yang bisa lolos dari sergapan pengaruh Barat, sehingga mereka melupakan identitas diri mereka (sebagi orang Indonesia) dan tidak bangga menjadi orang Indonesia. Mereka bangga dengan label dan gaya hidup Barat, yang dijiplak mentah-mentah. Bila, mungkin, yang sedang populer di film-film adalah punya mobil pribadi, barangkali mereka akan setengah mati ingin punya mobil.

Kondisi ini jelas sangat saya rasakan. Keacuhan generasi muda Bandung (meski tidak semua) makin tinggi. Mereka makin cuek, makin hedonis, dan makin sudah untuk berkata "Punteun" saat lewat di depan orang lain DAN menjawab sapaan "Punteun" dari orang lain. Sesuatu yang tadinya merupakan ekspresi kekeluargaan dan keakraban, makin lama makin memudar. Kata "Punteun" tidak lebih dari sekedar basa-basi tidak perlu. Kalau tidak bisa dikatakan 'yang hilang', yah, katakanlah berkurang di generasi muda.

Entahlah. Ini penilaian saya sebagi orang Jakarta. Sungguh, tinggal di Bandung menjadikan saya lebih lembut dan empatik. Tapi tidak demikian halnya dengan orang Bandung sendiri (generasi muda). Mungkin karena mereka hidup di tengahnya, dan merasa bosan menjadi bagian dari masyarakat yang bertata-krama, mereka ingin sekali-kali merasakan 'pemberontakan'. Mungkin.

***

Cuaca Bandung benar-benar mendukung musim kering: matahari terik bersinar, seolah jaraknya semakin dekat dengan bumi. Pepohonan di daerah jalan Diponegoro ditebangi--yang katanya untuk alasan keamanan, lantaran beberapa pohon tua sempat ambruk diterjang angin. Lama-kelamaam, kesejukan khas Bandung yang biasa saya rasakan, kadang dingin yang menggigit, tak peduli musim hujan atau bukan, menghilang. Ini baru kesimpulan saya sebagai pengamat awam, bukan ahli cuaca. Kadang gerah yang terasa tidak bisa dibedakan dari gerahnya Jakarta.




Dengan semakin banyaknya yang hilang dari Bandung, saya bertanya-tanya. Apakah ini memang alami--sesuatu yang memang mesti terjadi di satu waktu, atau ini adalah akibat dari abainya manusia terhadap yang dimiliki? Saya tidak berharap penduduk Bandung baru menyesal justru ketika mereka sudah lama kehilangan. Tipikal manusia...



*Kita bicarakan lain waktu aja soal 'lapisan bawah', 'tengah', dan 'atas' yang saya maksud. Klasifikasi ini berdasarkan taraf pendidikan, intelektualitas, dan ekonomi.

Definisi & Kerangka Berpikir

Apa itu ‘definisi’? Untuk bisa menerangkan konsep saya tentang ‘definisi’, saya tidak akan langsung mendefinisikannya. Akan lebih mudah bila saya menerangkannya begini saja: Definisi akan sesuatu itu, ternyata berisi tentang apakah sesuatu itu, gambaran tentang sesuatu itu, cakupan, serta batasannya. Secara eksplisit, tidak semua definisi memiliki semua poin yang saya paparkan barusan. Namun bila pembaca mau mencermati baik-baik, secara tersirat definisi sudah mencakup keempat poin tadi.

Nah, sekarang kita masuk ke ‘kerangka berpikir’ atau ‘paradigma’.

Kerangka berpikir seseorang dibangun oleh apa yang digunakannya sebagai ‘bata-bata definisi’. Contohnya begini: kalau sejak awal yang seseorang definisikan sebagai ‘warna hitam’ adalah warna merah yang kita kenal, maka setiap kali melihat warna merah, dia akan mengenalinya sebagai ‘warna hitam’. Tak peduli orang lain mau berteriak-teriak di telinganya hingga hilang akal, kalau dia mendefinisikan ‘warna hitam’ adalah warna merah yang kita kenal, malah dia yang akan menganggap orang lain gila.

Setiap orang memakai atau membuat definisinya sendiri. Itulah yang terjadi di dunia ini, disadari atau tidak. Namun dunia ini tidak sampai kacau karena ada ‘bata-bata definisi’ dasar yang bisa dimengerti dan diterima oleh banyak orang. Kenapa? Karena ‘bata-bata definisi’ itulah yang dialami oleh setiap orang. Contohnya begini: lewat pengalaman, akhirnya setiap orang mengetahui bahwa dia pasti jatuh terhempas kuat ke tanah, bila dia terjatuh/melompat dari atap sebuah gedung. Tak peduli dia orang baik ataupun orang jahat. ‘Bata-bata definisi’ dasar inilah yang biasa kita sebut ‘hukum (alam)’.

Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, ‘definisi’ makin intens diteliti, sehingga struktur yang ada dalam definisi itu terungkap dengan gamblang. Manusiapun makin mengerti tentang definisi dasar dan turunannya yang terjadi pada diri, lingkungan, tempat hidup, dan keseharian mereka. Dengan mengenali definisi yang berlaku pada (atau yang digunakan oleh) diri mereka, manusia makin mengenali diri mereka sendiri. Bisa dikatakan, sedikit banyak definisi-definisi inilah yang ‘membentuk’ seseorang.

[Tapi di sini saya tidak sedang berupaya untuk mendefinisikan manusia. Manusia masih terlalu kompleks untuk bisa saya definisikan sendiri. Oleh karena itu, saya menggunakan definisi yang diberikan oleh pencipta manusia saja.]

Saya akan memberi sebuah contoh berkenaan dengan pengaruh definisi terhadap kerangka berpikir seseorang. Saya pernah menemui orangtua yang sedikit-sedikit menyebut anaknya bodoh. Mulai dari karena anaknya tidak terlalu pandai dalam matematika, hingga karena anaknya ceroboh dalam membawa piring makannya, sehingga terjatuh dan pecah. Kalau hanya itu saja, mungkin kondisi anaknya sedikit ‘lebih baik’. Tapi beliau menambahkan ucapan bodohnya dengan entah cubitan, tempelengan, atau dorongan keras. Terlalu emosional nampaknya orangtua kita yang satu ini.

Bila anda sempat melihat tulisan Bodoh vs Bijaksana, anda bisa melihat bahwa beliau memiliki definisi ‘bodoh’ yang kabur, tidak terlalu jelas. Saat anaknya dinilai tidak terlalu pandai dalam matematika, wah, yang ini sih sudah jelas: si Anak tidak terlalu pandai dalam matematika. Si Anak bukannya bodoh. Dia (sudah tertulis jelas dari tadi) hanya tidak terlalu pandai matematika (atau mungkin malah belum saja?). Mungkin si Anak hanya perlu diajari matematika dengan metode lain.

Saat anaknya kurang hati-hati membawa piring, beliau menyebutnya bodoh lagi. Padahal yang terjadi adalah anaknya ceroboh, belum tentu bodoh. Kalau ‘tidak pandai’ dan ‘ceroboh’ disamakan dengan ‘bodoh’, saya curiga bahwa yang didefinisikan beliau sebagai ‘bodoh’ adalah segala hal yang dianggap tidak beres dari anaknya. Kesimpulan beliau: anaknya memang bodoh (karena apa yang dilakukannya tidak ada yang beres/sempurna). Padahal mah, rasanya pemahaman beliau tentang kata ‘bodoh’ dan anak yang perlu diperbaiki. Hm...hm...hm... Oke, saya memang belum menikah apalagi menjadi orangtua. Tapi tanpa pengalaman itupun saya mengerti bahwa seorang anak adalah seorang anak. Kalau kita mengharapkan seorang anak bisa melakukan segalanya segera setelah lahir, apa gunanya orangtua dan pendidikan kalau begitu?

Kembali ke masalah definisi. Melalui contoh barusan, saya ingin menyampaikan tentang pentingnya kita mengecek definisi yang kita gunakan sebagai landasan berpikir. Saat definisinya kabur, tidak jelas batasannya, pikiran kita akan sulit mengenali perbedaan antara dua hal. Ibaratnya mata kita menderita rabun jauh, tapi kacamata yang kita gunakan adalah untuk yang rabun dekat. Mana bisa kelihatan? Kerangka berpikir kita pun terbentuk tidak dengan baik, tidak tertata, bahkan kacau. Ujung-ujungnya, persepsi kita keliru, kesimpulan kita jauh dari benar. Dan sayangnya, karena kita bertindak menurut apa yang ada dalam pikiran kita. Jadi tindakan kita bisa menjadi tidak tepat atau keliru.

Selain mengecek definisi yang kita gunakan, kita juga harus mengecek sejauh mana kita memahami definisi itu. Kita harus betul-betul cermat tidak hanya pada definisinya, tapi juga pada pemahaman kita akan definisi itu. Bisa saja kita menggunakan definisi yang benar, tapi pemahaman kita keliru. Itu sama saja dengan ‘membuat definisi sendiri’.

Sebagai penutup, saya ingin bercerita sedikit. Belakangan ini saya dibanjiri ide dan ilham yang berkaitan dengan dua kata, ‘definisi’ dan ‘kerangka berpikir’. Beberapa pemikiran berputar di kepala saya, siap untuk ditulis. Beberapa tulisan saya setelah ini mungkin tidak memiliki topik yang serupa. Tapi benang merahnya jelas: semuanya berkaitan erat dengan bagaimana kita menggunakan dan memahami definisi serta kerangka berpikir yang dihasilkannya. Tunggu saja. Dan anda akan melihat benang merahnya. Semoga...