Monday, July 18, 2005

Evolusi Bacaan

Sewaktu TK, saya senang membaca majalah Bobo dan majalah komik Donal Bebek.

Ketika SD, saya mulai membaca buku-buku serial petualangan karya Enid Blyton. Tak ketinggalan buku-buku novel Agatha Christie melengkapi bahan bacaan saya. Komik Doraemon dan Candy-candy baru diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Sejak itulah saya mendapat tambahan bacaan baru: Komik Jepang.

Kelas tiga SD, saya mulai membaca buku-buku yang agak berat seperti novel karya Sidney Sheldon. Kelas empat SD, saya dibelikan majalah Kawanku untuk yang pertama kalinya. Harganya ketika itu seribu enam ratus rupiah. Sementara itu majalah Donal Bebek masih seribu dua ratus rupiah. Di periode ini pula, saya mengenal Wiro Sableng.

Kelas lima, SD, saya mulai mengenal cerita-cerita pembunuhan Jack The Ripper dan novel Goosebumps. Lalu di kelas enam SD, saya mulai mengenal majalah remaja seperti Gadis, Anita, dan Aneka Yess.

Selama SMP, bacaan saya belum banyak berubah. Kecuali makin banyak jenis majalah remaja dan novel orang dewasa yang saya baca.

Ketika kelas satu SMU, saya mengetahui kalau perpustakaan SMU 2 Bekasi itu adalah surganya buku sastra dari pengarang angkatan lama Indonesia. Saya sampai bertekad untuk menghabiskan semua bacaan itu hingga saya menyelesaikan masa SMU saya di sana. Tapi saya pindah ke Jakarta pada kelas dua cawu terakhir. Proyek “menghabiskan semua buku sastra di perpustakaan” saya tidak selesai.

Di kelas dua SMU, saya mulai membaca majalah Intisari. Intisari yang dimiliki oleh Bu Dara, bibi saya, dipinjam oleh kami sekeluarga. Berpuluh-puluh seri majalah kami habiskan. Kami juga mulai membaca komik Legenda Naga dan Detektif Conan.

Kelas tiga SMU, saya mulai melahap buku-buku pemikiran Islam. Novel remaja Islami pun menjadi bagian dari menu bacaan saya.

Sepupu saya adalah penggemar Pramoedya Ananta Toer. Oleh karena itu saya juga turut membaca buku-bukunya. Tapi saya belum sempat membaca tetralogi Bumi Manusia dan buku Panggil Aku Kartini-nya, hingga sekarang. Karena saya sudah keburu diterima di ITB. Kakak sepupu saya yang satu lagi adalah penggemar N.H. Dini dan serial Litle House in Prairie. Saya pun ketularan demam N.H.Dini dan serial Litle House.

Ketika kuliah, di tingkat satu khususnya, saya masih meneruskan kegemaran membaca buku-buku Islam. Setengah dari koleksi buku yang saya miliki selama di Bandung adalah buku-buku Islami. Setengahnya lagi berasal dari jenis buku yang berbeda-beda: Fiksi, how-to, pengembangan diri, bahasa asing, biografi Khulafaur Rasyidin, iptek populer, dan masih banyak lagi. Dan tentu saja, buku-buku teks kuliah Matematika.

Tapi yang saya baca lebih banyak dari itu. Sejak mengenal Zoe Corner dan teman-teman yang sama-sama bookacholic, saya mendapat kesempatan besar untuk membaca tanpa mengeluarkan sejumlah besar uang untuk membeli buku. Hingga tingkat tiga semester satu berakhir, yaitu di akhir tahun 2004.

Tiba-tiba saja, saya kehilangan minat baca terhadap berbagai jenis buku yang biasanya saya senang baca. Misalnya novel-novel Agatha Christie, Sidney Sheldon, Danielle Steel, dan berbagai novel karya “novelis best seller barat” lainnya. Tapi tidak sekaligus sih hilangnya. Saya juga mulai jarang membaca buku-buku pemikiran Islam. Saya juga kehilangan minat terhadap buku-buku How-To. Ketika saya meminjam buku serial petualangan Enid Blyton, saya tidak bisa meneruskan bacaan dari halaman pertama. Entahlah, saya merasa jenuh bahkan sebelum membacanya.

Yang masih senang saya baca adalah buku komik berbahasa Inggris yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya masih senang membaca buku-buku fiksi dan biografi tokoh tertentu. Komik-komik di Zoe Corner pun tidak banyak yang saya baca, kecuali beberapa judul yang memang saya ikuti karena ceritanya bagus. Saya hampir tidak pernah lagi membaca atau meminjam buku-buku di Zoe Corner. Bosan.

Lalu, selama seminggu pertama di bulan Juli, saya hampir tidak membaca apa-apa. Kalau pun membaca sebuah buku, di bab awal saya sudah menyerah. Kemudian saya pindah ke buku lain yang nampaknya menarik. Namun kembali pola yang sama terulang. Akhirnya saya benar-benar tidak membaca. Yang saya lakukan adalah menonton film-film pinjaman dari Zoe Corner atau teman-teman saya.

Barangkali saya memang sedang berada di titik jenuh untuk membaca buku. Saya mungkin harus melakukan sesuatu yang baru. Dan sesuatu yang baru itu seperti menonton film. Saya juga rasanya harus memanfaatkan waktu liburan saya untuk jalan-jalan keliling Bandung, menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah saya datangi. Contohnya Kebun Binatang yang ada di samping kampus ITB.

Bukan ide yang buruk, bukan?

Lagipula, arti “membaca” kan tidak sekedar membaca teks. Jadi barangkali sudah saatnya saya memperbanyak jenis “bacaan” baru yang terdapat di kehidupan saya. Kalau dipikir-pikir, barangkali kejenuhan akan membaca buku merupakan bagian dari evolusi bacaan saya. Mungkin itu sinyal bahwa saya harus beranjak ke tahap berikutnya dari membaca, tidak melulu mengandalkan buku atau teks sebagi sumber informasi.

Contohnya dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Misalnya membaca ekspresi/emosi orang lain kemudian menginterpretasikan artinya. Atau barangkali membaca adat istiadat/norma yang dijunjung pada sebuah lingkungan. Mungkin juga membaca rumus-rumus matematika. Hehehe...

Tapi kegiatan iqro yang satu ini tidak semudah kelihatannya. Saya harus mau membuka hati dan mata lebar-lebar, menajamkan telinga dan empati, serta mengasah kepedulian terhadap apa-apa yang terjadi di sekitar saya. Berarti saya memerlukan hati yang lapang, jiwa yang besar, dan pikiran yang jernih. Baru saya bisa dikatakan “membaca” dengan baik.

Saya harus memulainya, bukan?

1 comment:

ikram said...

Yak betul! Mulailah segera.

Sebelum langit runtuh, gunung2 dicampakkan....*

*lagi heroik aja. biar gaya.