Thursday, October 20, 2005

Berdagang

Jum’at, 14 Oktober 2005, 23.00 WIB

Di ujung jalan kecil yang menuju mesjid Salman, yang berada di sebelah taman Ganesha dan yang berada di seberang gerbang utama ITB, Anda akan mendapati ada beberapa pedagang yang saban hari berjualan di situ. Ada pedagang koran dan majalah, kemudian di sore hari ada beberapa pedagang makanan termasuk tukang gorengan dan penjual tajil untuk berbuka puasa. Terakhir ada pemuda yang berdagang film-film dalam VCD dan DVD.

Saya baru melihat pemuda itu berjualan sekitar satu-dua minggu yang lalu. Dia menebarkan dagangannya di sisi kiri ujung jalan kecil bila kita melihatnya dari arah gerbang ITB. Sebenarnya saya tidak yakin dengan waktu yang saya sebutkan barusan. Bisa saja pemuda itu baru berjualan di bulan Ramadhan ini. Entahlah. Saya tidak ingat dengan persis. Yang jelas saya baru melihatnya belakangan ini.

Pada awal dia mulai berjualan, saya hanya melewatinya tanpa mampir. Kadang secara sekilas saya melirik ke arah film-film yang dijualnya, barangkali ada yang menarik buat saya. Tapi lirikan sekilas itu tidak bisa membuat saya berhenti karena biasanya saya sedang berjalan dengan terburu-buru di sore hari ke arah mesjid Salman. Baru pada awal minggu ini saya dapat berjalan dengan santai dan berhenti untuk melihat-lihat dagangannya. Namun saya belum jua membeli. Film Flight Plan yang dibintangi oleh Jodie Foster belum ada di antara dagangannya. Yang ada barulah The Corpse Bride. Tapi film animasi yang salah satu pengisi suaranya Jhonnie Depp itu tidak menjadi prioritas utama dalam daftar tonton film saya. Jadi saya hanya bilang pada pemuda itu kalau saya tidak membeli karena film yang saya cari belum ada.

Lalu tadi sore saya lewat jalan kecil itu lagi. Dan mata saya menangkap sampul film Flight Plan yang saya tunggu. Tanpa menunggu lagi saya menghampirinya dan langsung membeli film itu. Pemuda itu berkata kalau saya bisa datang kembali padanya kalau ada masalah dengan DVD yang saya beli. Itulah yang membuat saya senang dengan keberadaan pemuda itu. Dia berjualan setiap hari sehingga saya bisa dengan cepat mengklaim bila ada apa-apa dengan DVD yang dia jual. Dia sempat menawarkan film Tehe Corpse Bride yang sempat saya pegang ketika saya mampir sebelumnya. Tapi saya tidak menerima tawarannya. Saya masih harus mempertimbangkan pengeluaran saya. Apalagi sebelumnya saya lebih memilih untuk menyewa film daripada membelinya.

Bukan apa-apa, sebelumnya saya punya pengalaman membeli DVD di salah seorang pedagang film yang berjualan di pasar Jumat mesjid Salman. Sesampainya saya di rumah, DVD itu tidak bisa diputar sama sekali. Saya lantas bingung. Bila saya mengembalikan ke pasar Jum’at pada minggu berikutnya, apakah saya bisa ingat pada siapa saya membelinya? Namanya juga pasar yang hanya ada seminggu sekali, tidak ada jaminan bahwa pedagang yang menjual film pada saya akan menempati tempat yang sama dengan sebelumnya. Apalagi waktu itu saya lupa untuk membawa DVD yang rusak itu ke kampus pada dua Jum’at berikutnya. Ya sudahlah, sudah nasib saya.

Setelah selesai menonton film yang saya beli tadi sore, saya teringat pada pemuda yang berjualan film itu. Kalau dipikir-pikir, barangkali usianya tidak terpaut jauh dengan saya. Entahlah, saya tidak mengamati dengan baik ketika saya membeli tadi. Yang sekarang menari-nari dalam benak saya adalah kegiatan yang dilakukan pemuda itu, yaitu berdagang.

Mendengar bujukannya pada saya agar menggenapkan pembelian saya menjadi dua film (termasuk film The Corpse Bride), saya bisa mengerti bahwa dia sangat berharap agar dagangannya laku banyak. Saya membayangkan keuntungan yang bisa didapatnya untuk setiap keping DVD yang dijualnya adalah seribu rupiah. Kalau saya membeli dua DVD, dia akan mendapat dua ribu rupiah. Kemudian saya menebak-nebak berapa yang bisa dia dapatkan dalam sehari.

Pemuda itu membangkitkan kenangan akan diri saya sendiri di tingkat satu. Saat itu saya giat berjualan kue kepada teman-teman sekelas saya. Tiga hari dalam seminggu saya berangkat pukul enam pagi untuk mengambil kue pesanan. Lalu saya bergegas ke kampus. Saya menjualnya dengan harga yang sama atau lebih rendah dari mahasiswa lain yang berjualan kue juga. Saya berprinsip bahwa saya tidak akan membuat teman saya mengeluh karena harga yang saya berikan terlalu tinggi. Saya bisa mengerti hal itu karena saya juga bisa merasakan bagaimana terkurasnya kantong bila harga kuenya mahal.

Bila teman-teman saya berjualan untuk menambah pemasukan bagi kegiatan yang akan mereka adakan, saya berjualan murni karena ingin mendapat penghasilan. Karena kegiatan itulah saya dikenal sebagai wiraswastawati oleh teman-teman saya. Untung yang didapat tidaklah terlalu besar. Rata-rata saya mendapat 2500 hingga 5000 rupiah setiap kali berjualan, tergantung banyaknya kue yang saya jual. Tapi paling tidak lumayan untuk menambah uang makan siang satu kali yang agak mewah buat saya.

Apakah saya kekurangan uang bulanan saat itu? Tidak. Saya tidak kekurangan. Lebih dari cukup malah. Tapi kenapa saya bertindak seperti mahasiswi yang uang bulanannya terbatas? Waktu itu saya baru merasakan bagaimana hidup mandiri dan jauh dari orang tua. Itu artinya semua pengeluaran dan kebutuhan saya harus saya tangani sendiri sesuai dengan jatah yang didapat. Selama masih tinggal dengan orangtua, saya tidak tahu persis berapa uang yang harus dikeluarkan untuk keperluan saya sehari-hari. Jadi karena sekarang harus mengurus sendiri, saya berhati-hati dalam mengeluarkan uang.

Anda boleh tidak percaya kalau dulu saya hanya mengeluarkan tiga ratus hingga empat ratus ribu sebulan untuk berbagai keperluan, termasuk ongkos angkot dan uang buku. Teman akrab saya yang saya tahu bukan orang berada pun tidak percaya ketika saya bercerita bahwa saya hanya menghabiskan uang di bawah seratus ribu rupiah untuk makan tiap bulannya. Saya bisa lebih hemat daripada dia! Namun kini saya tidak seketat itu. Sebagai mahasiswi yang sudah mapan kemandiriannya, saya sudah tahu beberapa pekerjaan sampingan yang bisa saya lakukan untuk mendapat tambahan uang bulanan yang lumayan.

Pengalaman berjualan kue selama satu tahun itu memberi banyak sekali pengalaman buat saya. Pertama, saya lebih cepat mengenal kota Bandung. Kedua, saya belajar untuk ‘bermuka-tembok’ dalam arti tidak merasa rendah diri atau menganggap diri saya hina dan tidak berharga bila berjualan. Ketiga, saya belajar memahami beragam watak orang sehingga saya tidak merasa segan berada di antara banyak orang yang saya tidak saya kenal. Saya menjadi luwes dan egaliter dalam bergaul. Keempat, yang paling penting, saya belajar menghargai tiap sen uang. Nilai uang itu menjadi sedemikian besarnya. Lalu ada kepuasan tersendiri ketika mengetahui uang yang didapat adalah hasil jerih payah saya sendiri. Seperti yang dikatakan salah seorang teman saya, I got it with my own tears and blood. Meski jumlahnya tidak seberapa, kepuasan yang saya dapat tidak dapat dibandingkan dengan apapun.

Aaaah, masa-masa itu. Mengingatnya saja membuat hati saya hangat. Kerja keras yang saya lakukan dan waktu yang saya korbankan selama berjualan kue tidaklah sebanding dengan uang yang didapat. Tapi pengalaman yang saya peroleh tidak ternilai! Pijakan kaki saya lebih kuat, hati saya lebih mantap, dan pikiran saya lebih terarah dibanding sebelumnya. Tidaklah salah bila Rasulullah mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada di bidang perdagangan. Saya yakin ‘rezeki’ yang dimaksud dalam hadis itu bukan sekedar rezeki berupa harta saja, tapi juga berupa ilmu dan teman atau jaringan pergaulan.

Maha Kaya Allah, Maha Bijaksana Allah.

1 comment:

Anonymous said...

mirip,

cuma ku lebih beruntung dari mu,
karena waktu ku berjualan,
karena saat itu ku memang sudah harus berdagang, bukan sedang experiment,

dan,
saat itulah ku sadar betul,
bahwa,
Dia lah Allah yang maha memelihara ...

terasa sekali,
bahwa Allah menjamin rizki makhluknya,