Tuesday, May 31, 2005

(Proyek) Kebersihan Kampus

[Artikel ini sudah dimuat di harian Pikiran Rakyat Bandung pada tanggal 31 Mei 2005. Yang saya taruh di blog ini adalah versi aslinya. Yang dimuat di PR sudah diedit. Namun ternyata tidak banyak yang dirubah..]

Saya tidak ingat persis kapan tempat sampah dengan tutup berwarna merah-kuning-hijau (di langit yang biruuu…) itu mulai dipasang di kampus saya. Tapi bila dikira-kira, ya, di semester ganjil tahun 2003. Di semester sebelumnya, saya bersama kelompok dalam mata kuliah Pengetahuan Lingkungan, membu at makalah yang idenya sama seperti yang baru terealisasi sebagian itu: Pengelolaan sampah semenjak dibuang (tempat sampah terpisah), hingga akhir yang baik. Tempat sampah dengan tutup warna-warni itulah salah satu realisasi dari mimpi kami tentang kebersihan di kampus. Rupanya pada saat yang bersamaan, pihak kampus punya ide yang sama.

Masing-masing tempat sampah mencerminkan jenis sampah yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Yang tutupnya hijau untuk sampah organik, yang tutupnya merah untuk sampah kertas, dan yang tutupnya kuning untuk sampah plastik/botol/cup. Tempat sampah ini disebar di seantero kampus, di tempat-tempat strategis. Setiap hari mobil pengangkut sampah berkeliling kampus untuk mengosongkan tempat-tempat sampah itu, dan mengumpulkannya di TPS kampus, persis di depan gedung jurusan saya.

Sayang. Sungguh, sayang! Tempat sampahnya saja yang baru dipisah. Begitu sampah-sampah diangkut dari tempatnya, mereka langsung tercampur-baur tanpa peduli suku dan ras lagi di bak belakang mobil pengangkut! Tak terkira banyaknya saksi mata yang menyaksikan ritual itu setiap pagi. Tempat sampah yang memisahkan jenis sampahnya itu nampaknya masih berupa “pemanis” saja.

Padahal bila pihak kampus mau berupaya sedikit saja, sampah-sampah yang sudah dipisahkan itu bisa sangat bermanfaat. Misalnya sampah organik. Lahan kampus saya yang dipenuhi oleh berbagai tanaman bisa dijadikan “konsumen” dari pupuk organik yang bisa dihasilkan dari sampah-sampah organik itu. Cukup sediakan sedikit lahan untuk pemrosesan, dan sedikit ramuan, ditunggu beebrapa waktu, jadilah pupuk organik. Dan biaya untuk pupuk bisa dikurangi.

Misalnya lagi sampah kertas. Orang Indonesia masih belum bisa dikalahkan dalam mempertinggi nilai sampah kertas. Buktinya bisa dilihat di tukang-tukang gorengan di seluruh negeri ini. Maka, mengapa tidak dimanfaatkan saja hal itu? Bila tidak berguna untuk keperluan kampus, ya dijual saja. Dan bila mau repot sedikit, mahasiswa departemen Teknik Kimia bisa diberdayakan. Entah mendaur ulang kertas itu atau membuat suatu produk dari kertas bekas.

Sama halnya dengan sampah plastik. Pemisahan yang sudah dilakukan di level tempat sampah sebenarnya mempermudah pekerjaan dinas kebersihan kampus. Sampah-sampah plastik itu bisa dijual ke bandar penampungan sampah plastik. Mungkin uang yang diperoleh tidak seberapa. Tapi sekecil apapun nominalnya, uang tetap uang. Dan siapa bilang potensi yang satu ini tidak menguntungkan? Setiap hari kampus saya menghasilkan sampah yang tidak sedikit (saya tahu karena lokasi TPS-nya memungkinkan saya untuk mengamati fluktuasi sampah harian).

Di dalam makalah kelompok saya, terdapat ide tentang dibuatnya instalasi pengolahan limbah kampus. Yang mengelola adalah pihak kampus bekerja-sama dengan mahasiswa berbagai departemen di kampus. Entah itu mahasiswa Teknik Kimia, Teknik Lingkungan, Biologi, Teknik Industri, Teknik Mesin, Matematika, atau yang lainnya. Selain menguntungkan kampus karena masalah sampah bisa teratasi, instalasi pengolahan limbah ini bisa dijadikan media untuk menerapkan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di bangku kuliah. Hitung-hitung buat tugas akhir. Nilai ekonomis sampah pun menjadi lebih tinggi dan rantai manfaat sampah lebih panjang. Sampah bermanfaat, dapat uang pula! Begitulah kira-kira.

Instalasi semacam ini bisa dijadikan model bagi instalasi pengolahan limbah masyarakat, tentu saja dengan skala yang lebih besar. Masalah sampah yang menimpa kota-kota berpenduduk padat seperti Jakarta dan Bandung bisa teratasi seandainya pengelolaannya lebih cerdas. Seperti yang sudah diterapkan di Jepang. Saya ingat betul cerita dosen Pengetahuan Lingkungan saya sewaktu tingkat satu. Beliau bercerita bahwa setiap hari, sampah yang diambil dari rumah-rumah penduduk di salah satu distrik di Jepang, berbeda-beda. Saya tidak ingat persis urutannya, tapi ada hari dimana yang diambil hanya sampah kertas, besoknya sampah plastik dan botol, besoknya lagi sampah kayu. Kemudian ada hari khusus dimana sampah yang diambil adalah sampah elektronik dan baterai bekas (Tingkat konsumsi barang elektronik orang Jepang sangat tinggi, rusak sedikit langsung dibuang. Harga barang elekronik murah di sana). Ada pula hari khusus untuk mengambil sampah minyak goreng bekas (minyak goreng bekas bila dibuang ke saluran air akan mempercepat kerusakan pipa). Dan yang menarik, bila sampah yang tersedia di depan rumah penduduk tidak sesuai dengan yang seharusnya diambil hari itu, sampah-sampah itu akan dibiarkan saja tidak diambil. Suatu bentuk kedisiplinan yang luar biasa!

Setelah hari pengambilan yang khusus itu, penanganannya istimewa pula. Sampah tidak hanya menjadi barang yang ditinggikan nilainya, tapi juga bermanfaat dalam segi ekonomis bagi masyarakat. Nilai ekonomis disini tidak sekedar keuntungan berupa profit, tapi juga keuntungan berupa kebersihan lingkungan. Coba hitung berapa biaya yang bisa dihemat dari pengelolaan sampah seperti ini? Karena dikelola dengan baik, masalah seperti yang terjadi di Leuwigajah tidak terjadi dan masyarakatnya terhindar dari penyakit yang disebabkan lingkungan yang jorok. Biaya kesehatan dan perawatan keindahan kota dihemat sekaligus.

Itu di negara orang. Kapan ya di negara kita seperti itu? Yah, karena mimpi itulah saya bersemangat sekali dalam menggembar-gemborkan ide ini lewat tulisan (bila kesempatannya ada). Bila di tingkat negara belum bisa, di tingkat propinsi belum bisa, di tingkat kotamadya belum bisa, maka saya harap di kampus saya bisa terlaksana. Tidak perlu langsung yang besar-besar. Yang penting bisa mengakomodir sampah kampus dan kreativitas mahasiswa dengan baik. Lokasinya juga tidak perlu di dalam kampus. Yang penting strategis.

Judul di atas bukannya ditulis tanpa maksud. “Proyek” saya beri tanda kurung karena saya belum tahu apakah pihak rektorat sudah mengagendakan ide di atas atau belum. Yah, barangkali saya hanya bisa bermimpi saat ini...

Monday, May 30, 2005

Then U Look At Me...

[Untuk orang-orang yang telah membantuku keluar dari keterpurukanku...]

Laugh and cry
Live and die
Life is a dream we're dreaming

Day by day
I find my way
Look for the soul and the meaning

Chorus:
Then you look at me
And I always see
What I have been searching for
I'm lost as can be
Then you look at me
And I am not lost anymore

People run
Sun to sun
Caught in their lives ever flowing
Once begun
Life goes till it's gone
We have to go where it's going


Chorus

And you say you see
When you look at me
The reason you love life so
As lost I have been
I'll find love again
And life just keeps on running
And life just keeps on running
You look at me and life comes from you.
From you.


[Celine Dion]

Tentang Papa

[25 Mei 2005]

Kemarin baru saja aku mendapat izin untuk meminjam buku lagi dari temanku, ZA. Aku baru membaca buku P.K. Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia itu hingga bab dua. Namun desakan pikiran ini tidak mau menunggu. Ia memaksa untuk dikeluarkan.

Aku teringat Papa ketika aku membaca buku itu. Terkenang wajahnya yang sudah penuh dengan garis-garis usia tua, kulitnya yang coklat gelap karena terkena sengatan sinar matahari Jakarta setiap hari, teringat bahwa tahun ini Papa akan berusia enam puluh tahun, sama seperti usia NKRI, tak terasa air mata menggenangi wajah.

P.K. Ojong adalah peranakan orang Cina perantauan. Aku adalah keturunan ke-sekian dari generasi pertama keluarga besar Papa yang merantau ke Sumatera. Ayah P.K. Ojong adalah wirausahawan tembakau setelah sebelumnya “makan gaji" dari orang lain selama beberapa waktu. Papaku adalah wirausahawan restoran. Ayah P.K. Ojong meraih kesuksesan dari usaha tembakaunya itu. Papaku meraih kesuksesan dari usaha restoran di Bandar Lampung. Dulu, di awal tahun 80-an, ketika di awal kesuksesan restoran Papa, orang rela antri hanya untuk bisa makan di sana. Omzetnya mencapai angka tiga juta rupiah tiap hari. Padahal kurs rupiah waktu itu...

Ayah P.K. Ojong mengajarkan kerja keras, keuletan, kesederhanaan, kejujuran, kerajinan, pada anak-anaknya, meskipun pada saat itu kehidupan mereka berkecukupan. Papaku mengajarkan hal yang sama pada kami. Aku teringat bahwa satu kali aku harus menghabiskan semua nasi hingga ke butir terakhir padahal perutku rasanya sudah mau pecah. Sejak itu aku mengambil makanan secukupnya.Kami pun diajarkan untuk tidak memilih-milih makanan. Apapun yang tersedia di meja makan harus dinikmati. Oleh karena itulah kami adalah tukang makan yang lahap, hehehe...

Aku dan adik laki-lakiku, Agi, dibiasakan untuk berbelanja ke pasar Bambu Kuning. Bukan sekedar berbelanja untuk makan sendiri, tapi berbelanja bahan-bahan untuk restoran. Berapa usia kami waktu? Kalau tidak salah usiaku tujuh-delapan tahun saat aku pertama kali disuruh berbelanja. Usia Agi kurang lebih sama saat dia mulai mendapat tugas berbelanja. Tapi itu tidak berjalan begitu saja. Awalnya kami diajak untuk ikut berbelanja bila sedang libur sekolah. Kami ikut berkeliling kios-kios di pasar dan menyaksikan Mama atau pegawai restoran berbelanja. Dari situlah kami berdua paham betul fluktuasi harga sembako dan berbagai keperluan lain untuk restoran di pasar. Harga telur, cabe keriting, daging sapi, susu kental manis, gula pasir, kecap manis, sayur-mayur, buah-buahan, dan lain-lain.

Aku tidak ragu untuk berbelanja sendirian. Dan nampaknya pedagang di pasar tidak peduli dengan mudanya usiaku dan adikku. Aku dibekali uang dan daftar belanjaan plus pulpen. Bila aku mendapat barang yang dicari, kucoret nama barang itu dari daftar. Bila tidak ada, maka setelah aku mengirim barang belanjaan yang sudah kudapat dengan oplet, aku harus mencari sisa barang di pasar lain. Setelah mendapat semuanya, aku pulang ke rumah untuk melapor ke Mama.

Terkenang semua itu membuatku tersenyum. Betapa Papa memupuk kemandirian kami semenjak dini. Namun kedua adikku yang lain (kami empat bersaudara) tidak merasakan hal yang sama karena usia mereka masih sangat kecil waktu Papa masih memiliki restoran. Pelajaran itu melekat dalam kepribadianku hingga kini. Di antara teman-temanku aku dikenal sebagai orang yang tahan banting dan fleksibel terhadap kondisi apapun. Karena aku terbiasa menghadapi berbagai macam orang di pasar. Bahkan ketika pasukanku sedang istirahat latihan Paskibra sewaktu SMU, aku bisa tertidur sejenak di bawah terik matahari. Kami disuruh berbaring di tengah lapangan dan menutup wajah kami dengan topi. Bagiku, bila aku sedang lelah, aku tidak peduli medan, pokoknya aku mau tidur. Hehehe...

Terlepas dari segala keburukannya, Papa sudah memberi kontribusi yang sangat besar bagi pembentukan kepribadianku. Salah satunya adalah kejujuran. Aku akan mengatakan segala sesuatu apa adanya, sesuai dengan apa yang ada dalam pikiranku. Kecuali bila aku perlu melakukan kebohongan putih. Namun karena itu orang menyebutnya “terlalu terus terang” dan “polos”. Aku heran dengan sebutan itu. Namun setelah umurku bertambah, aku mengerti bahwa bahasa yang kugunakan dalam berterus-terang itu terlalu mentah. Kini aku sudah tahu bagaimana menyampaikan pikiranku dengan halus.

Papa. Aku sungguh ingin bertemu dengannya saat ini. Kadang kerinduan itu tidak bisa dipenuhi karena jarak. Walau sudah ada teknologi yang dapat memudahkan komunikas, kehadiran menuntut untuk ada. Aku ingin melangkah bersamanya menapaki masa lalu. Menapaki jejak-jejak yang telah dibuat oleh Papa dan Mama hingga kini, hingga kami anak-anaknya hadir di dunia ini. Menghadiri reuni keluarga, acara penikahan Paman dan Bibi di masa lalu, menghadapi masalah keluarga, dan masih banyak lagi. Aku sungguh ingin melakukan itu secepatnya.

Secepatnya...

Reminder

Apa kabar, sobat? Lama tak bersua denganmu. Kita hanya bisa saling menyapa lewat dunia maya saat ini. Tapi, kuharap persahabatan diantara kita tidak pupus lantaran jarak yang memisahkan kita.

Keadaanku baik-baik saja saat ini, sobat. Dan mungkin kau belum tahu bahwa aku baru saja sembuh dari satu penyakit yang lumayan berat. Ya, itulah yang terjadi padaku selama kita tak berjumpa. Namun aku sungguh bersyukur menderita penyakit ini. Janganlah kau terheran-heran dulu. Aku akan menceritakan padamu alasanku bersyukur karena penyakit ini.

Ingatkah kau akan obrolan-obrolan yang kita lakukan dulu, sobat? Di saat kita baru saling mengenal? Semenjak awal kau sudah terkagum-kagum dengan keadaanku. Kau mengatakan bahwa sungguh menyenangkan untuk menjadi diriku. Bukan kekayaan atau kebagusan rupa yang kau kagumi dariku, tapi kesehatan fisik dan pikiranku yang kau kagumi. (Aku sebenarnya tidak terlalu mengindahkan hal ini sebelumnya).

Kau berkata bahwa aku orang yang sangat sehat. Hal itu bisa dilihat dari segala macam kegiatan yang aku jalani. Aku aktif dalam organisasi Paskibra, menguasai salah satu bela diri, bisa berbagai macam olahraga, dan aku rutin jogging minimal dua kali seminggu. Kemudian kau mengatakan kalau aku adalah tipe orang yang serba bisa. Kecerdasan emosi, matematika dan logika, linguistik, musik, fisik, berkembang dengan baik dalam diriku. Ditambah lagi kau mengklaim bahwa wawasanku luas (padahal itu hanya karena hobi membacaku). Sungguh, sobat, aku tidak merasa bahwa hal itu merupakan suatu keistimewaan. Sampai kau mengatakannya.

Kemudian kita tidak pernah berjumpa lagi. Kita berpisah karena kau bersekolah di negeri orang, sobat. Aku sendiri diterima di sebuah perguruan tinggi yang prestisius di negeri kita. Mulailah aku menjalani hari-hari yang penuh warna di dunia kampus. Jadwalku padat dengan kuliah dan kegiatan kemahasiswaan. Namun aku sangat menikmatinya. Tidak ada kata “lelah” dalam kamusku. Aku menjalani semua itu dengan penuh semangat.

Tiba-tiba di tahun kedua semuanya berubah. Aku yang awalnya dikenal sebagai orang yang aktif, harus merasakan kepahitan. Di kelas aku sering mengantuk. Aku heran mengapa aku bisa kelelahan seperti itu. Sepadat apapun kegiatanku, aku senantiasa mengatur jadwal agar aku beristirahat dengan cukup. Hal itu membuat nilai-nilaiku turun. Karena kupikir kegiatan yang aku jalani sudah melewati batas (sehingga aku kelelahan), aku mengurangi beberapa kegiatan. Jadilah aku mahasiswa “biasa” yang tidak terlalu banyak kegiatan selain kuliah.

Baru setahun kemudian aku mengetahui bahwa yang menjadi penyebab kelelahanku adalah virus yang menyerang hati. Dan pada saat-saat itu kesehatanku memang semakin memburuk. Bila aku belum makan, aku lemas. Setelah makan pun aku lemas. Dokter menyarankan aku untuk istirahat total. Beruntunglah aku, karena aku mengetahui penyakit yang kuderita di akhir semester kedua. Sehingga aku punya waktu tiga bulan untuk berobat dan beristirahat.

Tahukah kau sobat, aku sering mengeluhkan penyakit yang kuderita ini. Aku yang biasanya berjalan tanpa beban, kini tidak bisa lagi menikmati berjalan dengan tegap. Aku menjadi pesakitan! Dan aku harus menghadapinya sendiri karena keluargaku berada jauh dari kota tempat kuliahku. Namun aku masih terbantu oleh perhatian teman-temanku di sini.

Namun semakin lama aku menyadari bahwa mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Penyakit ini memberiku banyak waktu untuk merenungi apa-apa yang sudah kujalani. Aku yang diberi kesehatan maksimal oleh Tuhan, jarang mensyukuri kesehatan itu. Aku sering meremehkan orang lain (meski hanya dalam hati) yang kuanggap lebih lemah. Aku sebal dengan mereka yang lebih lambat dalam bergerak dan berpikir. Aku merasa lebih baik dari mereka!

Kini, aku tidak ubahnya dengan mereka. Aku pun mengalami bagaimana rasanya menjadi tidak berdaya dan lemah dalam bergerak. Aku mengetahui betul rasanya tidak bisa berkonsentrasi penuh dalam satu hal karena keterbatasanku. Aku akhirnya menyadari bahwa setiap orang diberi kadar kemampuan yang berbeda dari Tuhan. Dan aku tidak bisa seenaknya meremehkan mereka hanya karena aku diberi kelebihan di atas mereka.

Akupun mengetahui betapa banyak orang yang sudah kuabaikan karena kesibukanku. Mereka sebenarnya ingin berteman denganku dan belajar banyak hal dariku, namun aku terlalu acuh terhadap mereka. Kini aku yang ternyata membutuhkan bantuan mereka, sobat! Misalnya si A yang sering kurendahkan karena kelambanannya. Sekarang justru dialah yang paling banyak membantuku dalam berobat. Apa yang kuanggap sebagai kelambanan ternyata merupakan sikap hati-hati dalam bertindak, sobat. Ternyata aku masih harus banyak belajar memahami orang lain, satu hal yang jarang kulakukan ketika aku masih sehat...

Itulah, sobat, alasan mengapa aku justru bersyukur karena aku menderita penyakit ini. Aku kini mau memperhatikan hal-hal kecil yang ternyata sangat berarti. Penyakit ini seperti reminder di hp yang alarmnya sering berdering ketika aku masih aktif berorganisasi. Aku diingatkan bahwa aku harus memperlambat langkahku sesekali, agar teman-temanku bisa mengejar langkahku, agar kami bisa berjalan bersama-sama, sobat.

Oleh karena itu, bilamana engkau tersandung di jalan suatu kali, berhentilah sejenak, sobat. Barangkali itu peringatan bagimu, karena sebelumnya engkau lupa tersenyum pada temanmu yang paling pendiam di kelas. Atau barangkali kau telah menyakiti temanmu walaupun tidak sengaja. Atau mungkin ada teman lamamu yang merindukanmu, namun kau tak kunjung ingat untuk bersilaturahmi dengannya. Atau hal-hal kecil lainnya yang kau lupakan...

Sekian dulu kabar dariku, sobat. Semoga kau tidak lupa pada teman-teman yang ada si sekelilingmu. Karena suatu saat, kau pasti akan membutuhkannya...

IADTMYBP

Kepanjangan dari judul di atas adalah Insiden Anjing Di Tengah Malam Yang Bikin Penasaran. Seperti judulnya, buku ini memang membuat saya penasaran juga awalnya. Dan rasa penasaran saya terpuaskan.

Buku ini terbitan Gramedia pada tahun 2004. Sampulnya berwarna pink seperti kertas spotlight yang mencolok. Pengarangnya mendapat penghargaan bergengsi dari … Dan satu hal lagi, ceritanya pun se-mentereng sampulnya.

Tokoh utamanya bernama Christopher Boone. Dia biasa dipanggil Christopher. Dia berusia 15 tahun …bulan dan … hari saat cerita ini dimulai (saya lupa berapa bulan dan harinya). Dialah penutur dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kisahnya. Dia adalah penderita sindrom Autis Asperger. Ciri-ciri penderita sindrom ini adalah kurangnya kemampuan dalam bersosialisasi terhadap orang lain, tak mau disentuh oleh orang lain (bahkan oleh orangtuanya sendiri), umumnya sangat cerdas, pola pikirnya paralel (dalam satu waktu dapat memikirkan beberapa hal sekaligus-orang lain akan menganggapnya sebagai pola pikir yang tidak teratur), dan sangat senang keteraturan.

Ketidak-runtunan itulah yang akan kita rasakan dalam membaca buku ini. Pada saat yang sama, kita akan mendapati bahwa Christopher sangat menyenangi keteraturan. Hal ini akan tampak seperti sebuah kontradiksi. Lalu kita akan disajikan berbagai hal yang berhubungan dengan logika dan matematika (dia sangat ahli dalam bidang ini). Itulah yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, Christopher adalah penutur cerita dalam buku. Mau tidak mau kita harus mengikuti jalan pikirannya.

Kisah Christopher ini akan tampak sederhana pada awalnya. Namun semakin jauh kita membaca, semakin kita sadari bahwa peristiwa terbunuhnya seekor anjing tetangganya itu melibatkan pihak orangtuanya dan tetangganya dengan rumit. Paparan peristiwa yang “tidak sederhana” itu dilakukan dengan kaku, sangat mengikuti tata bahasa yang baku, dan nyaris tanpa emosi. Namun jujur dan blak-blakan.

Kisah berlanjut kepada konflik antara Christopher dan ayahnya. Konflik terjadi karena ibunya yang dikatakan telah meninggal ternyata masih hidup. Lalu ibunya ternyata berselingkuh dengan suami tetangganya yang anjingnya terbunuh. Dan (ternyata!) anjing itu dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sampai pada akhirnya orangtuanya kembali rujuk.

Ceritanya menarik dan layak untuk diikuti hingga akhir (jika Anda sabar). Paling tidak menarik buat saya. (Saya tidak akan banyak mengungkapkan secara detail isi buku ini. Walau tugas yang diberikan pada saya adalah “semacam” resensi buku yang saya sukai, saya menganggap tugasnya itu lebih ke menjelaskan “mengapa saya menyukai buku ini”).

Buku ini sangat saya sukai karena melalui tokoh Christopher, saya bisa memahami diri saya sendiri lebih jauh. Sedikit banyak, saya menemukan banyak kesamaan antara saya dan Christopher. Selain itu juga, dia menyukai matematika dengan sangat (sesuai dengan pola pikirnya). Saya pun bergelut dalam dunia matematika.

Satu contohnya adalah dia tidak pernah berbohong. Pikirannya teratur dan logis, sehingga tidak “menyenangkan” baginya untuk berbohong. Berbohong itu sulit. Karena kebohongan yang satu akan memancing kebohongan lainnya. Namun bukan berarti dia tidak bisa melakukan kebohongan ”putih”. Dia kadang melakukan kebohongan putih karena terdesak. Saya baru tahu darinya bahwa ”bohong putih” itu berarti hanya tidak mengatakan sesuatu secara lengkap. Bukan berarti mengada-adakan sesuatu yang tidak ada.

Karena mengikuti ”kemauan” Christopher, bab dalam buku ini ditulis dengan bilangan prima, bukan bilangan asli seperti layaknya buku-buku lainnya. Lalu banyak contoh-contoh penerapan logika dalam kehidupan sehari-hari yang saya sendiri baru menyadarinya dari Christopher.

Akan lebih menyenangkan bila buku ini diapresiasikan oleh Anda sendiri. Keunikannya hanya dapat dirasakan masing-masing pribadi. Sehingga Anda dapat mengetahui dengan baik ”kedalaman” buku ini, yang membuatnya mendapat penghargaan bergengsi...

Pak Tegas Budi Prasojo (alm.)

Setelah sekian lama saya tidak memikirkan kematian, akhirnya hal itu menjadi bahan renungan saya belakangan ini.

Pertama kalinya kalbu saya benar-benar tersentil oleh masalah “mati” adalah ketika saya selesai menonton dua buah film di komputer saya: The Constantine dan The Others. Keduanya bertemakan kematian.

Dalam film The Constantine, si pembuat film menggambarkan neraka sesuai dengan imajinasinya. Neraka itu isinya sama saja dengan dunia. Tapi di segala penjuru terdapat lidah api yang membuat isi “dunia” di dalam neraka itu merah membara dan panas. Orang-orang yang terdapat di dalamnya terdapat di lubang-lubang jurang di bawah jalan dan mereka digelayuti oleh mahluk neraka yang bentuknya mengerikan.

Kemudian di adegan lain dari film itu ada tokoh malaikat. Wajah dan suara malaikat itu seperti perempuan, tapi gaya berpakaiannya seperti laki-laki tulen: Berjas rapi dan kelimis. Ada juga tokoh yang merupakan pemimpin neraka. Mahluk ini digambarkan berupa pria berwajah pucat yang agak gemuk dengan wajah sinis. Dia mengenakan jas putih, namun tidak beralas kaki. Ketika tersenyum, terlihat deretan gigi kuning khas perokok (kalau yang ini saya tidak tahu apakah memang karena pemerannya memang sengaja dipilih yang demikian atau tidak ada kesengajaan).

Hal-hal itulah yang menyebabkan saya mulai memikirkan kematian: Surga, neraka, malaikat, iblis, penjaga neraka, dan kematian. Saya tidak menyetujui konsep alam gaib yang dijabarkan dalam film itu. Konsepnya bertentangan dengan apa yang telah saya yakini. Namun penggambaran dalam film itu cukup untuk mengingatkan saya tentang kematian. Tiga hari kemudian saya mendapat sentilan tentang kematian lagi.

Hari selasa malam yang lalu (24 Mei 2005), saya mendapat sms dari teman saya di Bekasi. Isi sms itu cukup singkat dan padat. Kira-kira begini: “Innalillahi wa innailaihi ro’jiun, telah meninggal dunia Pak Tegas Budi Prasojo di ICU RSU Bekasi pada pukul 19.30. Mari kita doakan beliau dan harap sebarkan (kabar ini) kepada yang lain”. Saya langsung mengirimkan sms itu kepada dua teman saya yang merupakan alumni SMU 2 Bekasi, Krisnawan dan Malazi. Tak seberapa lama kemudian saya mendapat kabar yang serupa dari dua teman yang berbeda. Dan kira-kira dua hari kemudian, saya melihat ada kabar itu di buletin board Friendster saya. Yang mengirimkannya adalah Krisnawan.

Saat dikirimi sms, saya sempat ragu, Pak Tegas? Saya mencoba memeriksa bank memori saya tentang Pak Tegas. Namun karena sudah lama tidak mendengar kabar tentang beliau, saya ragu apakah saya masih ingat siapa gerangan Pak Tegas. Pada saat yang sama, memori visual saya memunculkan gambaran seseorang dalam benak saya: Sosoknya tinggi, tegap, atletis, berkacamata, berkulit agak gelap, dan profesinya adalah guru pendidikan jasmani di SMU 2 Bekasi.

Dua hari kemudian terbukti bahwa memori visual saya lebih baik dan cepat dari memori plain text saya. Ternyata benar bahwa yang telah wafat adalah Pak Tegas yang itu! Dalam pikiran saya menari-nari berbagai kenangan tentang beliau sewaktu saya masih bersekolah di sana. Tak menyangka Allah akan memanggilnya begitu mendadak. Kami (anggota Paskibra SMUNDA) cukup dekat dengan beliau. Kehadirannya cukup berkesan bagi saya.

Lalu saya teringat tentang almarhum Trisno. Trisno adalah senior saya di Aikido ITB. Beliau wafat di awal tahun 2003. Perkenalan kami (anggota baru Aikido) terhadapnya hanya beberapa bulan. Penyakit yang dideritanya bertambah parah di hari terakhir sebelum beliau berpulang ke hadirat Allah SWT. Saya merasa sangat kehilangan. Almarhum Trisno adalah pribadi yang baik dan ramah. Ketika saya mendengar kabar itu dari teman saya sesama Aikidoka, saya sempat terbengong-bengong sebentar sebelum akhirnya menyadari dengan sepenuhnya bahwa beliau sudah tiada.

Peristiwa-peristiwa itu memaksa saya untuk menyadari bahwa kematian tidak menjemput manusia hanya di saat usia mereka sudah uzur menurut ukuran dunia. Selama ini saya berpikir kalau bagi saya senantiasa ada hari esok. Tapi kemudian saya berpikir, aku berpendapat demikian karena aku masih muda, kan? Lantas, bila masa muda itu sudah lewat, apakah pemikiranku barusan masih relevan? Itupun bila Allah memang memberi umur panjang untukku di dunia. Bagaimana nantinya bila masa tuaku tiba? Apakah aku baru berpikir tentang kematian saat itu? Saat badan sudah tidak lagi sebugar dulu? Saat pikiran tidak setajam dulu?

Manusia bisa dipanggil untuk kembali padaNya kapan saja. Kita benar-benar tidak akan dapat menghitung kapan persisnya jiwa ini terlepas dari raga. Yang dapat kita lakukan adalah berusaha sebaik mungkin agar saat itu, kita benar-benar dalam keadaan ridho terhadap Allah dan Allah pun ridho terhadap kita. Makna “ridho” di sini sangat dalam, tidak sekedar “rela” saja. Butuh pembelajaran hingga berpuluh tahun untuk bisa memahami “ridho” dalam “ridho terhadap Allah” dan “Alah ridho terhadap kita”.

Kenapa bisa sampai berpuluh tahun? Saya tidak akan menjawabnya secara langsung. Namun saya malah menanyakan ini sebagai “jawaban”: Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul pada usia berapa? Beliau diangkat ketika kebijaksanaannya sudah sejauh mana? Beliau diangkat ketika sudah mencapai kedudukan seperti apa di dalam masyarakatnya?

[Dibuat sebagai kenangan terhadap alm. Pak Tegas Budi Prasojo dan sebagai nasihat untuk jiwa ini...]

Wednesday, May 18, 2005

Apa Adanya...

#1
“Ya ampuuuuuuun, Ales! Elo itu lempeng amat sih jadi orang?!”
“Kalo aku yang ‘ngalamin itu, pasti aku udah keluar ruangan saat itu juga, trus pulang ke rumah, dan nangis”
“Kamu itu orangnya..., gimana ya? Bukan cuek, tapi..., wah bingung deh!”
“Kayaknya kalo ada angin ribut lewat, kamu gak bergeming deh!”
“Kalo nyebrang jalan kok santai amat, sih?”

Sebut saya narsis, egois, cinta diri, atau apapun juga. Terserah saja. Karena saya tetap akan menceritakan segala sesuatu tentang saya pada tulisan kali ini. Tulisan ini merupakan “reaksi” saya atas komentar-komentar seperti di atas. Ternyata banyak aspek dari diri saya yang tidak dimengerti oleh orang lain. Dan saya tidak menyadari hal itu. Saya merasa (lagi-lagi “merasa”) kalau saya bersikap biasa saja dalam masalah pribadi. Tapi tidak demikianlah yang terjadi. Rata-rata orang bilang kalau saya orang yang tidak ramah atau jutex atau judes kalo baru ketemu. Tapi akhirnya mereka berpendapat kalau saya hanya perlu lebih sering senyum aja (memangnya selama ini gak senyum?!).

Yang tidak terlalu dekat dengan saya bilang kalau saya tidak terlalu terbuka tentang masalah pribadi. Bahasa lainnya, orang tidak tahu terlalu banyak tentang saya dan keluarga saya. Tapi itu dulu. Dan untuk orang yang tidak terlalu dekat dengan saya.

Banyak yang bilang kalau saya orangnya “gak liat kiri-kanan”, “maen tabrak aja”, kurang basa-basi, cuek abis, kurang care, gak fokus pada apa yang dijalani, dan bla-bla-bla lain yang sejenis. Dan ada yang merasa sangat terganggu dengan hal itu. Dan saya baru menyadari hal itu setelah mereka mengatakannya pada saya.

Ada yang bilang kalau saya tampak tidak tanggap dengan permasalahan yang saya hadapi. Maksudnya tampak santai saja terhadap masalah. Tidak histeris, tapi tidak menanggapi dengan serius juga. Cuek, lah. Itu yang dimaksud dengan pernyataan di baris kedua di atas. Padahal dalam hati saya merasa menanggapi permasalahan yang ada di depan saya kok. Tapi yang tampak oleh orang lain adalah kecuekan. Saya jadi heran. Bukankah lebih baik begitu? Daripada heboh gak jelas, kan? Barangkali saya terlihat tidak bereaksi layaknya orang “normal” dalam menghadapi masalah. Air muka saya tetap datar, katanya....

Mengenai hal yang barusan, barangkali penyebabnya ini:
Yang berkomentar seperti yang saya tuliskan di atas adalah orang-orang yang bersosialisasi di kampus dan dojo Aikido. Dan memang hanya satu orang yang mengetahui persis masalah keluarga saya di departemen Matematika. Tapi itu pun bukan orang yang dekat dengan saya (alasannya panjang, gak bisa di-zip penjelasannya). Jadi, kalau saya telihat tidak aware dengan masalah di seputar kampus, barangkali alasannya adalah permasalahan yang saya hadapi dalam keluarga saya lebih pelik. Dan tanpa saya sadari, pikiran saya ada di keluarga saya, bukan di kampus. Itu mungkin penyebab dari “penampakan” saya yang acuh terhadap sekeliling saya di kampus.

Ngomong-ngomong, tadinya saya tidak merasa permasalahan keluarga saya cukup pelik sampai ada orang yang saya ceritakan tentang itu. Dan dia berkomentar, “Oh, ya Allah, Ales... . Gue ngerti sekarang kenapa elo begitu lempengnya jadi orang. Ternyata berat juga ya yang elo alamin...”

Saya hanya menjalani saja semua pemberian Allah itu. Dan saat itu saya tidak berpikir apakah yang saya alami berat atau tidak. Yang saya pikirkan adalah bagaimana saya menghadapinya dan survive. Barangkali penyikapan saya terhadap masalah yang cenderung cuek menurut teman saya itu sebenarnya bukan bentuk kecuekan, hanya saja itulah hasil bentukan Allah selama ini. Saya tidak langsung “meledak”. Saya memilih diam dulu bila, misalnya, saya marah kepada seseorang. Dan saya akan menjauhinya sampai amarah saya reda. Saya sadari betul kalau “sumbu” saya pendek. Dan saya sadari betul kalau saya biarkan diri saya “meledak”, kata-kata saya (yang paling minimal) tidak akan bagus sama sekali untuk didengar. Tapi kalau saya marah, biasanya cepat reda. Semoga saya bisa menjadi orang yang lambat marah dan cepat reda. Amin.

Ya. Sikap “diam sejenak” itulah yang barangkali diterjemahkan oleh orang lain menjadi “kecuekan” terhadap masalah. Barangkali karena lamanya “diam sejenak” itu terlalu lama buat orang lain. Dan barangkali juga, selama masa diam itu saya memilih untuk tidak menumpahkan kekesalan saya pada orang lain, menceritakannya pada teman saya pun tidak. Saya lebih memilih untuk mengomel panjang-pendek dalam hati.

Ah, begitulah...

#2
Kebanyakan dari tulisan saya di blog ini adalah tentang “aku”. Tentang kehidupan “aku”, tentang perasaan “aku”, dan lain-lain. Yah, sekali lagi saya mengatakan kalau Anda boleh saja menyebut saya narsis, egois, cinta diri, dan lain-lain. Tapi saya harus menceritakan semua tentang “aku” itu. Karena pada periode tertentu dalam hidup saya, saya pernah mengalami masa dimana saya sangat tertekan oleh pihak yang paling dekat denngan saya: Keluarga. Banyak aspek dari “aku” yang tidak dapat diekspresikan dan direfleksikan. Sekaranglah saatnya.

Namun semalam saya mendapat pemikiran. Apa yang saya lakukan ini tidak masalah. Karena paling tidak saya terhindar dari membicarakan hal-hal yang tidak berguna tentang orang lain. Singkatnya: Ngegosip! Namun saya sadari betul kalau saya belum sempurna. Semoga saja Allah menyempurnakannya.

Sudah dulu....

Nanti insya Allah saya sambung lagi “Apa Adanya” ini.

Thursday, May 12, 2005

[Buruk Rupa Mahasiswa Teknik *******]

...berita hangat! Berita hangat! Berita hangat!....

(Bandung/12.30 WIB) Di study hall departemen Matematika ITB diadakan pertemuan antara dosen penanggung-jawab pengawas ujian dan para mahasiswa yang menjadi pengawas di ujian Kalkulus II. Dalam pertemuan ini dibahas kasus yang terjadi pada pelaksanaan ujian Kalkulus II baru-baru ini. Telah ditemukan beberapa pelanggaran dalam ujian oleh peserta ujian, antara lain menyontek dan praktik joki. Dan dibahas pula metode-metode penanggulangan hal-hal semacam ini.

Saya turut hadir dalam pertemuan yang diadakan hanya sekitar setengah jam ini. Dan saya mendapat informasi berharga yang merupakan salah satu alasan langsung & tersembunyi dari diadakannya pertemuan ini. Ternyata telah terjadi tindakan pengancaman terhadap pengawas ujian Kalkulus II oleh oknum mahasiswa yang mengaku senior dari departemen Teknik *******.

Keterangan itu saya dapat dari satu sumber yang sangat terpercaya di TU Departemen Matematika. Menurut beliau, pengawas itu diancam karena telah menolak sogokan yang diberikan oleh oknum senior tersebut. Sogokan itu dimaksudkan agar pengawas memperlancar jalan juniornya dalam memperoleh nilai yang baik.

Akhirnya pengawas itu melaporkan kejadian itu kepada TU Matematika. Oleh Departemen Matematika, laporan itu langsung diteruskan ke pihak rektorat ITB. Dan pihak ITB sudah menindak pelaku dengan memberikan sanksi. Belum didapatkan keterangan lebih lanjut apa bentuk sanksinya.

Pada tahun ini saja, diperkirakan terdapat 700 mahasiswa yang terancam drop out dari TPB. Standar yang diteatpkan ITB untuk mahasiswa TPB adalah IP 1,5 dengan waktu satu tahun. Bila mereka mendapat IP kurang dari 1,5 , maka mereka langsung DO. Tapi bila semester pendek diadakan, maka 700 orang itu berkesempatan untuk memperbaiki nilainya. Angkatan-angkatan sebelumnya memperoleh kesempatan yang lebih longgar. Yaitu dengan standar IP kelulusan TPB 2 dan dapat ditempuh dalam 2 tahun. Dengan kelonggaran ini pun, masih banyak mahasiswa angkatan 2003 yang terancam DO. Namun sumber saya tidak merinci berapa jumlahnya.

Tindakan oknum senior itu sangat disayangkan. Namun peristiwa semacam ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi di kampus ITB. Dulu pun sudah sering terjadi kasus-kasus semacam ini. Diharapkan para pengawas yang lain pun bertindak sama seperti pengawas yang diancam oleh senior Teknik ******* ini.

Latihan

[10 Mei 2005]

"Katanya mo buat buku, Les?"
"Eh, kata siapa?"
"Kata si Na..."
"Oh..., itu."

Sore itu aku sedang berada di taman bacaan milik temanku sesama Aikidoka. Letak taman bacaan itu di dekat Universitas Widyatama di Cikutra. Aku baru saja mengembalikan "buku aneh" (menurut Teh Yuti) yang kupinjam dari situ. Sudah terlambat seminggu dari waktu yang seharusnya. Kena denda deh...

Di sana aku sempat menonton anime dan mengobrol dengan Merry, salah satu temanku yang sedang berjaga. Dia sendirian. Makanya aku menemani dia beberapa puluh menit. Dan kami membicarakan kabar teman-teman kami. Lalu salah satu teman dia dikabarkan sedang menulis buku, berupa dwilogi. Lalu bla...bla...bla..., pembicaraan kami berlanjut sampai Merry menanyakan pertanyaan di atas padaku.

Aku menjawabnya dengan menjelaskan ini:
"Waktu itu udah ada idenya. Tapi pas mau nulis, sangking banyaknya ide yang udah numpuk di kepala selama ini, malah hang nulisnya. Ales selama tiga tahun terakhir udah jarang nulis. Yang minimal aja enggak, nulis diary. Jadi Ales udah gak terbiasa lagi menulis..."

Kusambung lagi:
"Udah kacau begitu, malah mau nulis yang serius kayak novel. Ya gak bisa! Akhirnya Ales milih untuk nguras semua ide yang ada di otak selama tiga tahun ini, tapi dibiarin ngambang di otak. Jadilah blog Ales penuh dengan tulisan. Dan sekali posting bisa sampe lima. Kalo enggak sebanyak itu, rasanya otak hang karena ada file yang gak di simpen atau ditata di tempat lain (maksudnya ditulis). Itu yang harus dilakukan supaya bisa mengimbangi kecepatan aliran ide yang keluar dari otak (abisnya selama tiga tahun diendapin)...."

Ya. Itulah yang menyebabkanku jadi "gila-gilaan" (menurut beberapa orang) dalam mengisi blog ini. Aku, katakanlah demikian, "terpaksa gila-gilaan" karena kalau tidak, pikiranku tidak akan jernih. Seperti tertutup oleh semacam hijab yang menyebabkanku tidak bisa konsentrasi pada hal yang kujalani sehari-hari.

Ada temanku yang menasihatiku supaya berjaga-jaga agar jangan sampai kebiasaan mengisi blog menjadi kronis. Dan jangan sampai jadi "blogacholic".

Aku berterima-kasih dan sangat menghargai nasihat itu. Yang bisa kukatakan adalah penjelasan di atas dan penjelasan ini: Aku mengetik sebagian besar tulisan di tempat lain dan waktu lain. Tidak pada saat aku online. Jadi aku tinggal copy dan paste aja dari file MS Word.

Yah, begitulah. Aku menggunakan kegiatan menulis blog sebagai latihan "menulis kembali" setelah tiga tahun hampir vakum sama sekali. Dan menulis disini bukan sekedar menulis diary lagi. Tapi menulis pengalaman hidupku dalam bentuk yang bisa dibaca oleh orang lain juga. Jadi hal-hal personal yang tidak terlalu personal juga, seh. Nanti seiring dengan jam terbangku yang makin tinggi dalam menulis, insya Allah kemampuan menulisku terasah juga. Dan pikiranku jernih karena peristiwa yang kualami memiliki jarak denganku (baca maksud dari "jarak" ini disini).

Tuesday, May 10, 2005

Untuk Egoku...

Nuraniku membentak:
Penghargaan macam apa yang kamu harapkan?
Pujian? Harta? Nama?
Padahal kamu tahu semua itu fana!
Masihkah sebuah ego yang kerdil dimanjakan?

Jangan cengeng!
Lupakah kamu pada kekasihNya?
Dikucilkan dari dunia tidak membuatnya sedih
Dijauhkan dari dunia tidak membuat semangatnya luntur
Dilempar dari dunia tidak membuatnya kecil hati

Dunia tidak berarti
Mati adalah sesuatu yang pasti
Hendak kemana lagi kamu berlari?

Kunang-kunang


Image hosted by Photobucket.com


Tahun lalu, jadwal mengajarku* di Antapani adalah pukul empat sore. Bila aku selesai mengajar sebelum adzan Magrib, aku lebih memilih untuk langsung pulang ke kosan, tidak solat di tempat muridku. Karena belum gelap, aku hanya naik angkot satu kali, lalu turun di seberang gerbang belakang ST3. Dari situ aku berjalan melewati kompleks kampus ST3 menuju gerbang depannya yang berada di jalan Ahmad Yani. (Lihat peta)

Di waktu-waktu itu, musim masih basah. Setelah seharian mendung atau hujan, kadang di sore hari langit cerah. Itulah yang terjadi di satu hari sepulangnya aku mengajar di Antapani. Aku pulang sebelum Magrib. Sesampainya di ST3, aku berjalan melewati jalur biasa. Yang tidak biasa pada hari itu adalah pemandangan di lapangan di kampus ST3. (Lapangan itu ditumbuhi ilalang yang cukup tinggi).

Langit masih sedikit terang. Karena ketika itu hari benar-benar baru hujan, maka “penghuni” lapangan itu seolah keluar dari sarangnya untuk menikmati udara: Ribuan kunang-kunang beterbangan memenuhi lapangan! Mereka ada di sekeliling pohon bambu yang ada di pojok lapangan dan mereka pun ada di seluruh permukaan rumput ilalang. Cahaya yang mereka hasilkan memancar bagaikan bintang-bintang. Terang sekali Di senja hari saat matahari hampir terbenam, pemandangan itu sungguh luar biasa! Bahkan kata-kata rasanya tidak bisa menggambarkan pesonanya.

Aku bukannya belum pernah melihat kunang-kunang seumur hidupku. Ketika aku masih kecil, aku kadang menemukan satu-dua ekor kunang-kunang di lapangan rumput. Bahkan ketika di Bandung, aku sudah sering menemukan kunang-kunang. Bila aku melewati lapangan ST3 ini tentunya. Kalau sedang beruntung, aku bisa menangkapnya. Lalu aku akan mengamatinya, mengamati kelap-kelip cahaya mungil yang berpendar dari perutnya. Dan aku terpesona betapa cahaya itu adalah hasil reaksi kimia yang sama sekali tidak menghasilkan kalor (kalo salah, mohon maaf; masih belom dapat info lebih lanjut..).
Selain lapangan itu, aku belum pernah menemukan kunang-kunang di tempat lain. Barangkali untuk tempat yang menjadi sarang kunang-kunang, baru lapangan itu saja yang bisa kuamati. Entah apakah di tempat lain aku masih bisa menemukan kunang-kunang. Bandung yang makin padat oleh manusia seakan tidak menyisakan lagi tempat untuk serangga-serangga itu.

Belakangan ini aku sudah jarang melewati ST3. Tahun ini muridku mendapat jadwal tambahan dari sekolahnya. Karena dia sudah kelas tiga SMU, dia harus menjalani program pemantapan pelajaran. Oleh karena itulah, aku mengajarnya setelah Magrib. Otomatis aku pulang sekitar jam delapan malam. Dan aku tidak mau melewati ST3 lagi bila aku pulang malam. Lebih baik aku naik angkot dua kali untuk bisa sampai ke depan jalan Wiranta. Faktor keamanan ST3 di malam hari tidak terjamin. Meskipun banyak mahasiswa di sana.

Kini di lapangan itu sudah berdiri gedung baru ST3 yang megah. Gerbang ST3 yang berada di jalan Ahmad Yani kini menjadi gerbang belakangnya. Bangunan yang berada di sisi jalan itu digunakan untuk Balai Besar Tekstil sekarang. Semua sudah berubah...


Senin, 9 Mei 2005

Sore itu aku baru sampai di di daerah PPI-Katamso ketika Magrib. Aku turun dari angkot Caheum-Ledeng. Lalu aku menyebrang dan memasuki jalan Cikaso. Aku berjalan menuju tempat kosku. Matahati sudah tenggelam. Langit masih menyisakan sedikit cahaya yang temaram.

Di sepanjang jalan itu , di sisi kiri, merupakan area penjualan tanaman hias. Kios-kios itu membelakangi sebuah sungai yang tidak kuketahui namanya. Sampai di tengah-tengah perjalanan, mataku menangkap setitik cahaya di pinggir jalan. Cahaya itu bergerak-gerak. Kunang-kunang! Kualihkan mataku dari jalan dan kupandangi tepi sungai itu. Ratusan titik-titik cahaya kecil beterbangan di sekitar rerumputan. Cahaya mereka menghiasi temaram kegelapan dengan indahnya...

Aku menemukan tempat baru untuk mengamati kunang-kunang.


*Aku mengajar privat kepada seorang murid SMU 20. Sekarang dia kelas tiga; sedang menghadapi ujian akhir...

Membaca & Menulis

[Ini adalah tulisan yang belum sempurna. Masih ada kemungkinan untuk saya edit lagi. Tapi nikmati saja dulu tulisan ini...]

Membaca
Melatih seorang anak untuk gemar membaca semenjak dia bisa membaca sangat penting. Kenapa? Karena membaca sendiri itu sangat penting, baik secara harfiah-membaca teks, maupun “membaca” makna di dalam semua peristiwa hidup. Bukankah perintah membaca sudah ada sejak 14 abad yang lalu?

Aku berpijak dari fenomena yang ada di negeri ini. Contohnya adalah kabar yang kudapat dari koran PR. Ada sekelompok pemuda dari daerah Bandung coret yang menjalani ritual “aneh” karena terlalu banyak menonton acara mistik di televisi. Mereka mengenakan kaus hitam bergambar salib terbalik dan wanita telanjang. Dan mereka menjalankan suatu kegiatan yang mirip pembaptisan. Aku tidak tahu apa kelanjutan berita itu. Aku sungguh prihatin.

Ketika seseorang baru mulai menjalani kebiasaan membaca, dia berada dalam level membaca yang paling rendah (berdasarkan pemikiranku): Dia menerima apapun yang dibacanya. Karena apa-apa yang dibacanya itu baru diketahuinya. Pada tahap ini, dia masih belum mengetahui apapun tentang apa yang akan dibacanya. Dengan kata lain, tahap ini dia mulai membaca dengan ilmu sebanyak "nol". Namun, dari kegiatan di level awal ini, dia akan memeproleh pengetahuan dasar yang harus diketahuinya. Oleh karena itu bimbingan orang terdekat dalam pemilihan jenis bacaan penting sekali.

Setelah tahap ini, dia akan berada pada tahap kedua, yaitu diferensiasi minat. Maksudnya, ketika kebiasaan membaca itu sudah melekat, jumlah buku yang dibaca sudah n-buah. Yang jelas sudah lebih dari satu. Maka kemudian seseorang mulai menentukan jenis buku apa saja yang sesuai dengan dirinya. Dia akan memilah-milah bacaan dan informasi yang ada di dalam bacaan. Dia menjadi lebih kritis terhadap informasi yang didapat.

Kemudian, dia akan mencapai tahap yang teratas. Pada tahap ini, membaca sudah menjadi kebutuhan baginya. Dan pola yang terjadi pada saat membaca secara sadar maupun tidak sadar terbawa dalam kehidupannya sehari-hari: Dia akan memperlakukan peristiwa dalam hidupnya layaknya “buku” yang perlu dibaca, kemudian dipahami maknanya, ditelaah isinya, lantas diambil hikmah atau hal-hal yang sesuai dengannya.

Kemampuan membaca sekelompok pemuda yang diberitakan itu masih berada pada level terendah. Mereka menerima begitu saja apa-apa yang ditanyangkan di televisi tanpa mempertimbangkan baik-buruknya. Pengetahuan mereka masih "nol besar" tentang apa-apa yang harus diterima dan mana yang hanya sampah. Dan itulah juga yang terjadi pada sebagian besar generasi muda saat ini. Dengan minimnya pengetahuan yang mereka peroleh, mereka harus menjalani masa yang penuh dengan tekanan perubahan yang sangat cepat.

[Ah, jadi ngalor ngidul...]

Menulis
Menulis membantu kita menyusun semua pengalaman atau ilmu yang bertaburan dalam benak dan pikiran kita selama satu periode waktu. Menulis membantu kita mereka ulang peristiwa.

Dengan menulis, kita mengambil jarak reflektif dari pengalaman kita. Dengan jarak itu, kita bisa menganalisis apa yang kita alami dari “jauh”. Menganalisis sesuatu dari “jauh” sangat membantu kita dalam menyelesaikan masalah. Dengan mudah kita melihat bentuk masalah yang kita hadapi dan besar daya rusaknya bila kita ada "jauh" dari masalah itu, bukan ketika berada di dalam "lingkaran badai”.

Sejak aku mendapat diary untuk yang pertama kalinya (bergambar pemandangan di bawah laut yang indah sekali), aku menuliskan pengalaman harianku. Semakin lama, kemampuan refleksi-diriku bertambah. Menulis membantuku dalam hal mengenali dan menganalisis diri sejak awal. Oleh karena itu, salah satu contohnya, aku menjadi orang yang tidak percaya begitu saja pada penampilan fisik.

Aku sangat memperhatikan kapasitas intelektual seseorang, kepribadiannya, buku-buku bacaannya, dan aspek-aspek non-fisik lainnya. Sementara di luar sana, jutaan orang tenggelam dalam pemujaan pada hal-hal yang semu: Kebagusan rupa, kekayaan, jabatan, titel, ketenaran, dan lain-lain. Bukannya aku menyalahkan orang-orang yang menginginkan itu. Tidak! Sama sekali tidak! Aku pun menginginkan hal-hal semacam itu; hasrat itu sangat manusiawi. Namun harap diperhatikan frase "tenggelam dalam pemujaan”. Itulah yang tidak aku setujui.

Orang-orang yang “tenggelam dalam pemujaan” tidak bisa memisahkan apa yang menjadi keinginannya dengan apa yang menjadi kebutuhannya. Setidaknya pada saat mereka tenggelam itu. Di situlah manfaat dari kemampuan dan kebiasaan menulis. Pengambilan jarak reflektif yang diasah lewat menulis akan berimbas pada pola pikir seseorang. Pola pikir itulah yang membantu gerak hatinya. Gerak hati akan berujung pada perbuatan tertentu, sesuai gerak hatinya. Bukankah orang berbuat sesuai dengan apa yang dipahami dan sesuai dengan keadaan/kemampuannya?

Disitulah pentingnya kebiasaan menulis. Menurutku…

[Aku tidak tahu teori psikologi, sosiologi, atau bidang ilmu apa saja yang berkaitan dengan pernyataanku dalam tulisan ini. Semua ini murni sari pemikiranku sendiri. Jadi aku tidak bisa mencantumkan suatu sumber yang dapat menguatkan pernyataanku. Yah, barangkali sudah banyak orang yang berbicara sepertiku sebelumnya. Tapi yang jelas aku belum membacanya. Untuk sementara, anggap saja ini tesis pribadiku…]

Anak ITB: Dulu & Sekarang

Hari Sabtu yang lalu (7 Mei 2005), saya menghadiri acara Hari Perancis di kampus. Bukan acara itu yang mau saya ceritakan sekarang, tapi isi pembicaraan saya dengan guru bahasa Jepang saya. Sudah lama saya tidak bertemu dengan beliau.

Pembicaraan kami cukup panjang, tapi yang menarik salah satunya adalah tentang anak ITB. Beliau mengatakan bahwa pada era 70-an, mahasiswa ITB djuluki kuper. Saya bertanya apa maksudnya. Maksudnya itu begini: Bila ada mahasiswa dari universitas lain yang ingin berkenalan, mereka tidak tahu bagaimana caranya berkenalan. Tidak semua seperti itu, tapi sebagian besar.

Pernyataan ini belum saya klarifikasi. Tapi insya Allah akan saya cek kebenarannya.

Beliau mengatakan hal itu karena saya menceritakan tentang mahasiswa ITB yang disebut "mempunyai beberapa persen kadar Sindrom Asperger". Saya mendengarnya (pernyataan itu) dari seorang dokter anak dengan kebutuhan khusus. Anaknya juga mahasiswa ITB.

Dalam piramida autis, sindrom Asperger menempati level terbawah dalam hal jumlah penderita. Yang paling atas ditempati oleh orang-orang yang menderita autis dalam tingkat parah: Tidak berada di dunia fana ini. [Mohon dikoreksi bila salah...]

Tidak semua mahasiswa ITB mempunyai kecenderungan seperti ini. Tapi dokter itu mengatakan, mahasiswa ITB punya beberapa persen kadar sindrom itu.

Ngomong-ngomong, sindrom Asperger itu seperti apa? Secara sederhana, penderita sindrom ini memiliki kecenderungan untuk acuh pada sekelilingnya. Contoh yang lebih jelas lagi ada di buku IADTMYBP.

Kalau ingin tahu apa itu buku IADTMYBP, tunggu aja posting saya yang berikutnya...

Intermezzo...

Jokes:

#1 Sosis dan Telur
Suatu hari, ada sosis dan telur yang hendak digoreng. Ketika telur dimasukkan ke penggorengan, ia berteriak, "Oh Tuhan! Panas sekali!". Tiba-tiba, terdengar jeritan yang penuh ketakutan. Jeritan itu berasal dari sosis, "Aaaaaaaargh! Ada telur yang bisa bicara!"

#2 Siswa & Ujian
Di sebuah kelas, diadakan ujian. Ujian itu sudah selesai dan guru sedang mengumpulkan kertas jawaban. Kemudian, di kertas jawaban seorang murid terdapat sebuah memo dan selembar uang 100 dolar. Memo itu berbunyi, "Satu dolar per nilai."

Beberapa hari kemudian, guru membagikan kertas jawaban ujian itu. Murid yang memberi memo mendapatkan kertas jawabannya beserta uang sebanyak 54 dolar...

Tiga Pusaka Kebajikan

Rasulullah SAW bersabda, ada tiga perbuatan yang termasuk pusaka kebajikan:
1) Merahasiakan keluhan
2) Merahasiakan musibah
3) Merahasiakan sedekah

[H.R. Tabrani]


Aku baru bisa melaksanakan satu dari tiga kebajikan itu. Dua lagi? Masih jadi pertnyaan besar bagiku...

Monday, May 09, 2005

Aku Ingin Menangis!

Sungguh, aku tidak ingat kapan aku menangis terakhir kali. Entah, mungkin beberapa bulan yang lalu. Dan kini aku benar-benar ingin agar aku bisa menangis!

Kucoba beberapa kali, air mata tetap tidak bisa keluar. Padahal orang-orang berkata bahwa apa yang kuhadapi sudah seharusnya ditangisi. Namun kucari-cari di sudut hatiku, tak kunjung kutemukan kunci tangis itu.

Saat kuhadapi cobaan itu, aku pun berteriak-teriak dalam hati, kenapa aku tidak bisa menangis? Apakah sedemikian remuk-redamkah hatiku, sehingga aku sudah tidak bisa menangis lagi?

Aku sungguh ingin menangis!

Bila aku menangis, aku bisa melepas semua beban yang kugenggam erat-erat dalam hati. Aku mengakui kalau diriku ini lemah. Aku mengakui bahwa kekuatan diriku tidak sanggup untuk melalui semua cobaan. Aku.... Aku tidak bisa menangis!

Bagaimana caranya, teman? Aku sungguh ingin menangis!

Bewara!

Hari ini hati penuh dengan gumpalan-gumpalan kekesalan. Subhanallah... Internet susah diakses. Mau masuk ke blog ini sulit. Akhirnya aku mencoba untuk mengisi blog di friendster. Berhasil!


[Another Cafe]

Friday, May 06, 2005

About Rubi

[Sigh...]
I've just received a message from my sister, Liza, trough Yahoo Messenger.
She gave me the newest news about our home in Jakarta.
And she also reminds me about our youngest brother's birthday.
May, 4th...

He's 15 years old now.


We still don't know where is he right now.
Where he sleep every night,
how he get food to eat every day,
and why he still don't want to go home...

We just don't know why...

Sajak Tanpa Judul

...Sebuah sajak yang digoreskan oleh tangan tak dikenal, di sebuah batu besar di karang Vesper.

Jiwa di air,
Jiwa di batu.
Jiwa bernama,
Jiwa tak dikenal.

Jam-jam menelan
Raga kita, tulang-belulang kita.
Tinggallah jiwa;
Satu-satunya yang tersisa.

[Taken from Abarat, by Clive Baker, Harper Collins Children's Book, 2002]

Sombrero Galaxy


Image hosted by Photobucket.com


I took it from Nasa website. Subhanallah...

Berpetualang Ke PR

Alkisah, ada dua anak manusia yang melakukan perjalanan menantang angin. Mereka hendak mendapatkan harta karun di sebuah pulau bernama PR!

Garing banget, yah!

Jadi, ceritanya udah seminggu lebih Teh Yuti bilang ke aku kalo dia mau ngambil honor nulis di kantor PR. Dan dia gak tau dimana lokasinya. Heran deh. Punya motor, tapi gak mayeng-mayeng kemana-mana. Kalo aku sih pasti udah sampe daerah-daerah Bandung coret. Dan yang lebih mengherankan lagi, sodara-sodara, honor ini adalah untuk tulisan yang ketiga kalinya dimuat di PR. Jadi, pegimane die ngambil honor untuk dua tulisan sebelumnya?

Itulah yang masih menjadi misteri, sodara-sodara!

Singkat cerita, setelah aku paksa dan aku atasi semua kesulitan (seperti "gak ada helm lagi", mau hujan, dll), hari Senin tanggal 2 Mei jam sebelas kurang kami berangkat! Karena aku sendiri gak tau lokasi persis dari kantor PR, cuma tau daerah situ aja, aku mengarahkan Teh Yuti untuk melewati stasiun KA, Otista, Tegalega, Leuwipanjang, lalu menyusuri jalan Soekarno Hatta sampai ke pasar Caringin. Dari situ aku melihat nomor dari bangunan di sepanjang jalan SH, mencari nomor 147. Akhirnya sampai.

Di sana kami hanya sebentar. Paling hanya 10 menit. Kami menunggu sebentar. Aku menonton TV (lagi nyiarin acara gosip siang tentang penyanyi yang suaranya mirip Glen Fredly, Ello) dan Teh Yuti membaca koran. Lalu kami dipanggil masuk untuk mengambil honor. Lalu kami kembali ke tempat parkir. Sambil berjalan, aku tertarik pada sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Di pintunya tertempel satu halaman depan PR yang ukurannya seperti ukuran sebenarnya. Aku penasaran apakah itu stiker atau bukan. Maka aku mendekatinya dan meraba pinggirannya untuk memastikan.... Ternyata stiker, bukan cat. Teh Yuti hanya tertawa melihatku memastikan begitu, tapi biarkan saja, rasa ingin tahuku terpuaskan.

Dalam perjalanan pulang, aku mengarahkan teh Yuti untuk meneruskan jalan ke arah jalan Terusan Pasir Koja, lalu ke arah Gardu Jati, Pasir Kaliki, Pajajaran, Cihampelas, Wastu Kencana, Tamansari, dan sampailah kami ke kampus lagi. Huuuff...

Capek, lelah, mata perih karena debu dan asap kendaraan, panas, dan jauuuuuuuuuuuuuuuh... Ternyata naek motor ke Soekarno Hatta melelahkan. Tapi sekarang aku sudah tahu jalur yang lebih cepat. Aku mengarahkan Teh Yuti untuk mengambil jalur berangkat seperti itu karena aku sendiri tidak tahu lokasi persis dari kantor PR. Kalau aku tahu, aku tidak akan mengarahkan untuk lewat jalur Tegalega dst tadi.

Tapi paling tidak pengalaman ini menyenangkan. AKu jadi tahu kantor PR plus tahu tempat pengambilam honor. Trus Teh Yuti juga mau nganterin aku kalo aku mau ngambil honor (kalo tulisanku masuk PR, insya Allah...). Alhamdulillah...

Doa'in ya, tulisanku masuk PR...

Monday, May 02, 2005

Iman Mutiara

Ini adalah theme song untuk awal bulan Mei ini. Sebuah karya dari Raihan:

Iman adalah mutiara
di dalam hati manusia
Yang meyakini Allah
Maha Esa
Maha Kuasa

Tanpamu iman bagaimanalah
Merasa diri hamba padaNya
Tanpamu iman bagaimanalah
Menjadi hamba Allah yang bertaqwa

Iman tak dapat diwarisi
dari seorang ayah yang bertaqwa
Ia tak dapat dijual-beli
Ia tiada di tepian pantai

Walau apapun caranya jua
Engkau mendaki gunung yang tinggi
Engkau merentas lautan api
Namun tak jua dapat dimiliki
Bila tidak kembali pada Allah


(Hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional)

Sunday, May 01, 2005

Adikku & Internet

Adikku

Sabtu, 30 April 2005. Malam minggu...

Aku baru saja selesai solat Isya. Mukena bahkan belum kubereskan. Aku sedang berkutat dengan ide-ide untuk sebuah tulisan di dalam benakku. Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kuambil hp, lalu kutatap layarnya. Sebuah nomor tak kukenal terpampang di layar hp. Berkode area "0721", kode area daerah Lampung. Segera saja kujawab.

Lalu aku mendengar suara yang sudah kukenal. Adikku, Agi. Sudah lama aku tidak mendengar kabar darinya. Kami pun bertukar kabar. Terakhir kali aku melihatnya adalah ketika kami berlebaran di rumah Nenek di Lampung. Sekarang dia bekerja di sana. Di akhir pembicaraan kami, aku bertanya padanya apakah dia punya email atau tidak. Dia menjawab kalau dia punya email. Bahkan dia sudah terdaftar di friendster.

Aku sangat senang dia sudah punya email dan account fFriendster. Jadi kami bisa bertukar kabar dengan mudah dan lebih sering. Menelpon ke Lampung biayanya masih menjadi kendala bagi kami. Walaupun dilakukan di malam hari, di waktu tarif telepon interlokal tidak setinggi di siang hari.

Aku pun segera menambahkan email-nya ke dalam list teman di fs.

Internet
Yang pertama kali menggunakan internet sebagai sarana berhubungan denganku adalah adik perempuanku, Liza. Kami baru sekali chatting. Habis, jadwalku berselancar di internet berbeda dengannya: Aku hanya bisa hari Senin hingga Jum'at (saat lab kompie di jurusan buka). Sementara dia punya waktu lowong hari Sabtu, di saat dia sudah tidak terlalu sibuk dengan urusan sekolah.

Tapi aku senang. Kendala "biaya telepon yang besar" teratasi.

Inilah salah satu manfaat dari internet yang kurasakan. Ketika besarnya jarak mempengaruhi biaya berkomunikasi, internet menawarkan solusi yang mudah, murah, dan cepat. Telepon memang mudah dan cepat, tapi mahal!

Aku teringat cerita Liza tentang teman-temannya yang dilanda demam chatting. Dia sih tidak ikut-ikutan. Yang membuatnya heran terhadap teman-temannya adalah bahwa teman-temannya chatting sesama teman satu sekolah di satu warnet! Buat apa bayar mahal-mahal kalau hanya digunakan untuk chatting dalam jarak yang sangat dekat?!

Aku menanggapi cerita itu dengan memberi contoh manfaat yang "seharusnya" didapat dari internet. Seperti yang kami jalani sekarang ini. Apalagi bila sudah di luar negeri. Email adalah media yang sangat bermanfaat untuk berkomunikasi antar negara. Jadi, kusarankan padanya, jangan pedulikan teman-temannya yang seperti itu. Kalau bisa sih dinasehati agar tidak boros begitu...

Zaman Purba versus Zaman Modern


Image hosted by Photobucket.com