Thursday, September 15, 2005

Sejuta Bintang

Fly me to the moon

And let me swing among those stars...

(Frank Sinatra, Fly Me To The Moon)

Salah satu keinginan saya adalah menyepi ke suatu tempat yang tenang dan nyaman untuk menatap sejuta bintang di langit malam yang cerah.

Sewaktu saya masih tinggal di jalan Wiranta 79B, kegiatan favorit saya di atas jam delapan malam adalah menatap langit dan menikmati keindahan malam. Hampir tiap malam saya nangkring di teras. Tentu saja saya melakukan kegiatan itu bila saya tidak memiliki tugas kuliah dan langitnya sedang cerah. Berbekal jaket untuk menahan dinginnya udara malam, saya bisa duduk selama satu hingga dua jam sebelum akhirnya saya masuk ke kamar untuk tidur.

Kamar kos saya berada di bagian belakang rumah, di lantai dua. Kamar saya berhadapan langsung dengan area terbuka untuk menjemur pakaian dan atap bagian depan rumah. Karena berada di belakang, suasana di sekeliling kamar gelap plus tidak ada rumah tetangga yang tingginya lebih dari dua lantai. Sebuah kondisi yang mendukung agar cahaya bintang terlihat dengan jelas. Sayang sekali tempat kos saya yang sekarang tidak memiliki teras terbuka langsung ke langit.

Satu saat, saya benar-benar akan melakukan kegiatan “menatap langit” itu lagi, jika punya kesempatan. Untuk Bandung dan sekitarnya, barangkali daerah Bandung Utara atau Lembang yang memiliki tempat yang saya idam-idamkan itu. Sendirian, terlentang di rerumputan, dengan kedua telapak tangan di belakang kepala, ditemani suara serangga malam di kejauhan, saya menikmati suguhan parade bintang yang jaraknya beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan bermiliar-miliar tahun cahaya dari bumi kita.

Justru jarak itulah yang membuat mereka tampak indah...

Sambil berbaring, saat itu saya mungkin akan berpikir tentang bintang yang berasal dari masa lalu. Karena jauhnya jarak mereka dari bumi, sementara kecepatan cahaya hanya tiga ratus juta meter per detik, bisa saja sebenarnya bintang-bintang itu sudah tiada. Cahaya mereka baru sampai di bumi entah berapa tahun cahaya kemudian, yaitu sekarang. Sesungguhnya, dengan menatap mereka saat ini, kita menatap masa lalu.

Dalam diam, barangkali saya akan berpikir tentang orang-orang yang telah hadir dalam hidup saya. Entah keluarga, teman-teman, sahabat, orang-orang yang tidak dikenal yang sekedar berpapasan di jalan, kekasih, atau anak-anak saya; betapa mereka telah memberi arti bagi hidup saya. Satu persatu, wajah-wajah mereka terbayang di dalam benak saya.

Di bawah kesunyian, hanya ada saya yang dikelilingi keluasan angkasa raya yang tiada tara, diri ini terasa sangat kecil. Mungkin saya akan menitikan air mata karena takjub akan keindahan alam yang terbentang di hadapan saya. Lalu saya berpikir tentang keindahan dari Sang Pencipta yang telah memberi saya kesempatan untuk sekedar memandangi ciptaanNya.

Mungkin kemudian saya akan menangis tersedu-sedu, memikirkan bahwa saya tiada daya dan tiada arti dibandingkan dengan langit yang luas dan bintang-bintang yang megah itu. Mungkin saya juga akan merasa sedih karena saya telah melewatkan banyak keindahan alam yang setiap harinya memanggil untuk dihayati. Tangis saya pun akan makin keras karena menyadari bahwa saya tidak akan selamanya berada di bumi ini; bahwa saya akan pergi untuk menghadap Sang Penguasa yang telah mengaruniakan kepada saya kehidupan yang sangat luar biasa; bahwa saya akan meninggalkan semua keindahan itu. Seperti bintang-bintang yang cahayanya baru sampai ke bumi saat ini. Padahal mereka sudah berhenti bersinar, di suatu waktu di masa lalu.

Belum lagi tangis saya selesai, saya mungkin akan berpikir, apakah saya bisa seperti bintang-bintang, yang meski sudah tiada, cahayanya tetap terpancar, yang keindahannya senantiasa menghiasi langit, yang kerlipannya mampu mengobati hati yang lara? Mampukah saya seperti itu?

Entahlah. Saya belum jua mengetahui...

No comments: