Thursday, September 29, 2005

B21: Impian

Ini memang aneh dan saya sendiri belum tahu mengapa saya bisa begitu. Sampai sekarang saya belum mengetahui dengan pasti kenapa saya hanya cenderung pada hal-hal itu. Tapi keinginan itu timbul begitu kuatnya dan terus-menerus meneror saya dengan hasrat ingin memiliki. Saya benar-benar ingin memiliki ketiga hal itu dan hidup saya rasanya tidak lengkap tanpa ketiga hal itu. Hanya tiga hal itu yang sampai saat ini bisa membuat saya punya keinginan sebesar itu. Setelah saya memiliki dua hal pertama, saya merasa hidup saya cukup. Saya tidak ingin yang macam-macam lagi. Kalaupun ada keinginan, rasanya tidak sebesar ketiga hal itu.

Oke, oke. Tapi apa sih yang kamu omongin, Les?

Anda boleh tertawa. Semenjak saya kuliah, tiba-tiba saja saya punya tiga impian yang mendesak saya terus-menerus. Okelah, saya terobsesi untuk memiliki tiga hal ini. Apa saja? Pertama ponsel, kedua komputer, dan ketiga—piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip...

Maaf, maaf. Karena kebijakan intern, yang ketiga tadi disensor. Hal ketiga tadi tidak bisa disebarluaskan di media yang dapat diakses oleh khalayak umum seperti ini. Harap dimaklumi karena hal ketiga berkaitan dengan masalah pribadi. Hanya kalangan tertentu yang dapat mengetahuinya. Bila Anda punya kepentingan mendesak sehingga harus mengetahui hal yang ketiga, silahkan menghubungi penulis.

Alhamdulillah, benda pertama yang saya impikan saya peroleh di semester kedua tingkat satu. Meski saya diberi yang bekas dan sudah tidak seberapa sempurna, entah kenapa, ponsel Nokia 8210 itu benar-benar sesuai dengan yang saya butuhkan. Meski di sekitar saya saat itu sedang gencar-gencarnya ponsel dengan layar berwarna (polikromatik) beredar, saya tidak peduli. Saya benar-benar mendapatkan apa yang saya butuhkan: ponsel yang ringan, tipis, kapasitas penyimpanan nomor telepon 250 nama (plus kapasitas di kartu SIM 250 nomor juga), baterai tahan lama, menu yang pas dengan kebutuhan saya, warna layar ponsel yang putih terang (bukan biru yang bikin sakit mata), dan ada fasilitas untuk membuat dering telepon sendiri.

Saya memiliki ponsel itu hingga tingkat tiga semester pertama. Entah mengapa, pada semester itu Papa tiba-tiba menelpon dan mengatakan akan mengganti ponsel saya dengan yang lebih ‘canggih’. Saya tidak menyangka kalau saya akan diberikan ponsel baru. Saya tidak meminta sama sekali. Tapi saya senang saja. Siapa sih yang mau menolak untuk dibelikan ponsel yang lebih gress? Oke. Barangkali ada yang menolak. Tapi saya sih tidak.

Nokia seri 6610. Itulah yang Papa berikan pada saya. Layar polikromatik dengan ukuran pixel yang besar, bahkan lebih besar dari ponsel-ponsel merk lain yang dilepas ke pasaran pada saat yang sama dengan N6610, dering poliphonik, ada radio, ada fasilitas GPRS untuk koneksi ke internet (belum pernah saya gunakan), waktu pengisian baterai hanya satu setengah jam untuk empat hari, tapi tidak ada kamera. Seri N6610i yang ada kameranya. Dengan tambahan beberapa fasilitas lainnya, saya merasa yang saya dapatkan itu lebih dari cukup. Fitur MMS jarang saya gunakan. Saya tidak punya keinginan sedikitpun untuk memiliki ponsel berkamera. Teknologi yang ada sekarang belum cukup untuk membuat hasil jepretan ponsel berkamera cukup bagus. Saya lebih senang bila saya memiliki kamera digital sendiri, terpisah dari fungsi ponsel. Lagipula biaya yang dikeluarkan lebih murah. Apalagi sekarang banyak sekali merk yang menawarkan produk kamera digital plus ukuran pixel yang semakin besar dengan harga yang makin terjangkau (5 megapixel menjadi mainstream saat ini).

Cukup dulu deh omongan tentang ponsel. Apa keinginan keduanya?

Maaf, maaf. Keasyikan cerita tentang ponsel. Sekarang saya akan cerita tentang keinginan saya yang kedua. Benda itu adalah komputer.

Ketika saya tingkat dua, saya mengikuti kuliah yang sangat menuntut untuk mengerjakan tugas. Setiap minggu ada tugas yang mengharuskan saya menyelesaikannya dengan komputer. Bukan sekedar komputer biasa lagi. Komputernya harus dilengkapi dengan program matematika dan pengolahan data statistik. Jarang ada rental komputer yang menyertakan program statistik pada komputer-komputernya. Yang saya tahu komputer seperti itu hanya ada di lab komputer departemen Matematika ITB.

Masalahnya, saya hanya bisa menggunakan komputer di lab itu sampai jam tujuh malam. Dengan adanya kuliah dan pratikum di lab itu, otomatis kesempatan saya terbatas. Ketika saya ada kesempatan di sore hari, komputer di lab itu dipenuhi orang-orang yang main game online seperti... Walah, saya lupa apa nama game itu. Itu lho, kita menjadi seorang penembak yang notabene seorang tentara. Saya masih tidak ingat juga namanya. Yang saya ingat selain game tadi adalah Warcraft dan Ragnarok. Saya sebal bukan main melihat kenyataan itu. Saya gondok. Tapi saya bertahan dengan keadaan yang serba terbatas itu. Akhirnya semester itu berlalu. Saya senang. Saya bersyukur. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa satu lab (ada dua lab di departemen Matematika) yang memang sering digunakan untuk main game online terserang virus sehingga jaringannya kacau. Otomatis lab itu aman dari orang-orang tidak bertanggungjawab yang kerjaannya hanya main game melulu, bukannya menggunakan waktunya untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna.

Fiuuuuuuuh...

Satu saat, beberapa hari sebelum pernikahan sepupu saya yang anak bungsu di keluarganya, saya mendapat ilham. Pada hari itu, entah bagaimana, saya merasa jalan bagi saya untuk memiliki komputer sendiri terbuka lebar. Sangat lebar. Setelah dua setengah tahun menunggu dan berharap-harap cemas bagaimana saya bisa memiliki komputer. Saya punya tabungan yang cukup. Dengan tambahan dana dari ortu dan sedikit poci-poci ke ortu, saya diperbolehkan untuk memiliki komputer!

Yippiiiiiiiiiiiiii! Selama ini saya merasa kalau saya tidak akan bisa punya komputer. Biaya untuk sekolah adik saya di Sekolah Menengah Farmasi sedemikian besar sehingga keperluan-keperluan dengan dana yang besar bisa dibilang masih agak sulit untuk dipertimbangkan. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah... Jadi, saya punya komputer secara resmi pada akhir Mei. Setelah saya bongkar-bongkar lagi perhitungan uang saya, saya masih bisa membeli printer. Akhirnya saya membeli printer. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah...

Kalau dihitung-hitung, jarak antara terkabulnya dua impian saya yang pertama sekitar dua tahun. Yang pertama di semester kedua tingkat satu dan yang kedua di semester dua tingkat tiga. Kalau saya boleh berharap, saya mengekstrapolasikan waktu dua impian sebelumnya dan mendapat waktu terkabulnya impian ketiga saya, yaitu sekitar satu tahun delapan bulan dari sekarang. Yah, hitung-hitung sekitar semester dua tahun kelima saya kuliah, saat saya mau lulus. (Amin!)

Apa sih impian ketiganya?

Saya sudah mengikrarkan harapan di depan Bibi saya tercinta, Bu Dara, bahwa saya berdoa dan berharap, bahwa impian saya terkabul saat saya mau lulus nanti insya Allah. Saya mengatakan pada seorang teman dekat saya lebih spesifik lagi kalau saya berharap dalam waktu dua tahun ini saya ingin mengejar impian saya yang ketiga itu. Hayooo, yang merasa dirinya ‘teman dekat’saya dan mendengar omongan saya tentang itu, ngacung!

Mohon doanya juga ya.

I’m a girl with many wishes...

Wednesday, September 28, 2005

Being 21

( 2 days to go... )

Bismillahirahmanirahiim.

21 tahun. Sebentar lagi umur saya genap 21 tahun insya Allah. Sejujurnya saya takjub sendiri mendengar angka ‘21’ disebut. Rasanya tidak percaya kalau saya sudah mau 21 tahun.

Fiuuuuuuh, masih tetap takjub...

Entah kenapa saya bisa takjub. Barangkali karena saya tidak menyangka kalau menjadi ‘Ales yang berumur 21 tahun’ akan begini rasanya. Tidak pernah terbayang kalau saya akan mencapai 21 tahun. Maka di sinilah saya, hampir berumur 21 tahun dan masih merasa kalau diri saya belum dewasa, belum mencapai kematangan yang sebenarnya, belum utuh, belum banyak pencapaian yang bisa saya banggakan, dan masih banyak ‘belum-belum’ lainnya. Masih ada yang kurang dari diri saya; masih sangat banyak malah.

Entahlah. Ketika kecil saya sempat punya bayangan kalau berumur di atas dua puluh tahun akan jauh lebih dewasa dari keadaan saya sekarang ini. Yah, tentu saja keadaan saya jauh lebih dewasa daripada ketika saya berumur 12 tahun.

Ketika saya baru masuk kuliah di ITB, umur saya 17 hampir 18 tahun. Masa umur belasan atau umur dengan angka ‘satu’ sebagai angka umur pertama merupakan masa yang sangat panjang dan lama saya rasakan. Pada dasawarsa kedua dari hidup saya itu, saya mengalami banyak sekali peristiwa dan gejolak perubahan. Benar-benar masa yang penuh perjuangan. Ketika saya baru menginjak umur 20, saya merasa berat untuk meninggalkan umur belasan itu; berat untuk meninggalkan segala kenyamanan dan perlindungan keluarga; berat untuk meninggalkan segala perlindungan dunia untuk manusia yang berumur belasan; berat untuk menjalani kewajiban-kewajiban manusia dewasa yang harus mengurus dirinya sendiri. Masa remaja adalah masa yang penuh kesenangan dan keamanan.

Tapi waktu tidak bisa berkompromi. Saya harus menghadapinya. Maka saya jalani umur 20 itu dengan penuh sukacita. Namun waktu tidak dengan kejamnya membiarkan saya berjalan tanpa ilmu dan petunjuk. Saya mendapat banyak sekali pengetahuan tentang bagaimana seharusnya manusia dewasa bersikap dan menghadapi dunianya. Saya pun mendapat banyak masukan mengenai sikap mental manusia dewasa dan satu hal yang menjadi isu hangat di sekitar saya: pernikahan.

Well, saya sudah ditanya oleh beberapa orang mengenai hal itu. ‘Kalo gitu kapan undangannya saya terima?’, ‘Kapan nyusul?’, ‘Emang udah ada temen kuliah yang mau serius?’, dan lain-lain, adalah beberapa dari pertanyaan yang teman tanyakan pada saya yang berkaitan dengan pernikahan. Sudah waktunya sih memang. Orang dengan umur seperti saya sudah sepatutnya memikirkan pernikahan. Namun entah kenapa, semangat yang ada sekitar setahun yang silam sekarang menguap. Masih banyak hal yang belum saya selesaikan. Bukan berarti rencana-rencana itu tidak bisa saya kompromikan dengan kehidupan pernikahan sebenarnya. Hanya saja..., saya belum bisa membayangkan bagaimana repotnya saya menyelesaikan semua rencana saya dibarengi dengan menyesuaikan diri terhadap kehidupan pernikahan.

...

Saya hendak memperkenalkan tokoh-tokoh dalam diri saya. Yang pertama adalah ‘Saya’ yang punya karakter tenang, dewasa, tegas, serius, anggun, dan logis. Yang kedua adalah karakter ‘Aku’ yang agak manja, agak histeris kadang-kadang, cepat khawatir, khas remaja yang belum stabil, periang, moody, dan kurang serius. Yang ketiga adalah ‘Gue’. Karakter ini agak seenak-perutnya sendiri, cuek, blak-blakan, berani, setia kawan, agak kasar, tomboy, grasa-grusu, suka main perintah, dan dingin. Karakter keempat bernama ‘Ales’. Dia adalah penengah dari ketiga karakter sebelumnya, misalnya kalau si Aku lagi dimarahi oleh Saya.

Saya: Ah, kamu terlalu banyak khawatir, Les. Kalau dijalani enggak akan terlalu ribet kok...

Ales: Apa betul begitu, ya? Au ah, elap!

Ketika saya melihat kembali ke awal tulisan ini dan melihat angka ‘21’, saya kembali takjub. Benar ya saya akan genap berusia segitu? Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh! Saya masih merasa kalau saya belum cukup dewasa untuk menjadi orang yang berumur 21 tahun. Masih banyak yang kurang dalam diri saya. Saya terus-menerus merasa kurang, kurang, dan kurang. Hiks!

Saya: Ooooh, shut up, Sari Alessandra!

Ales: Oke, oke. Ampun, Mbak. Itu sekedar kehisterisan sesaat.

Perhatian! Perhatian! Yang sedang menuangkan idenya saat ini adalah si Ales. Bukan ‘Saya’ atau ‘Aku’ atau ‘Gue’.

...

Oke, sekarang kita keluar dari drama ‘aneh’ di dalam diri saya tadi. Itu hanya intermezzo saja. Kita kembali ke pembahasan tentang ‘umur 21’ tadi.

Tadinya saya berencana untuk membuat tulisan panjang tentang saya yang berumur 21 tahun dan akan saya masukkan ke blog ini tepat pada tanggal 30 September nanti. Tapi, karena pertimbangan kenyamanan membaca, saya akan membagi ide-ide saya itu dalam beberapa tulisan. Entah berapa tulisan. Tapi yang jelas saya akan menulis ‘B21’ yang merupakan singkatan dari ‘Being 21’ sebagai penanda bahwa tulisan saya berkaitan dengan perenungan saya tentang ‘berumur 21’. Anggaplah tulisan ini sebagai pembuka dari serial tulisan B21. Apakah hanya akan ada dua tulisan, saya tidak tahu. Yang jelas saya akan menulis lagi.

Nantikan saja tulisan saya yang berikutnya.

Monday, September 26, 2005

B21

4 days to go...

Thursday, September 22, 2005

Sejenak

Selasa, 20 September 2005

Sehelai kelopak bunga melayang melewati wajah saya dan turun hingga tergeletak di jalan. Saya berhenti. Di sekeliling saya ternyata bertebaran kelopak bunga berwarna ungu muda-putih. Kemudian saya berbalik dan menengadahkan kepala saya ke atas. Saya disambut oleh terpaan kelopak-kelopak yang berguguran dari bunganya.

Pohon itu tinggi dan terletak di samping jalan kecil yang menuju departemen Matematika dan Tehnik Industri dari arah gedung Kimia Tehnik. Warna bunganya merupakan campuran antara ungu muda lembut dan putih. Saat ini bunga-bunga di pohon itu sedang mekar penuh dan satu-persatu berguguran. Seperti bunga Sakura.

Ditemani sinar mentari yang hangat dan nyaman, entah beberapa saat saya berdiri dan menikmati terpaan kelopak bunga yang berguguran itu. Senyum pun mengembang di bibir saya. Teringat kalau saya masih memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan di Salman, saya pun menyudahi keindahan pagi itu. Saya meneruskan perjalanan.

Sepanjang jalan, saya mengamati berbagai tanaman yang ada di sekitar saya. Warna hijau muda mendominasi; menyegarkan mata dan jiwa. Dengan sejuknya udara dan lembabnya jalanan belakangan ini, musim hujan mengumumkan kedatangannya. Iya, ya. Tanpa sadar musim kering sudah hampir berakhir. Sungguh tidak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Langkah membawa saya hingga jalan di antara gedung Fisika dan Campus Center. Dari sana, saya mendapat pemandangan penuh ke langit dan pepohonan Aula Barat yang memagarinya. Hijau, hijau, hijau. Aaaaah, hati saya tersentuh. Sampai di bawah pepohonan itu, saya menghirup nafas dalam-dalam, mencoba untuk menikmati segarnya udara.

...

Di depan gerbang, di sisi timur, saya berada saat ini. Masih dengan langkah-langkah saya. Mata saya terpaku ketika saya melewati pohon Akasia besar, pohon pertama di barisannya. Dari sela-sela rimbunnya daun mengalir cahaya temaram mentari. Melihat itu saya serasa berada di tengah hutan lebat dan sedang berada di bawah kanopi daun-daunan. Angin menyapa dengan ringan.

Langkah terus saya ayunkan. Di jalan bebatuan di samping kebun Bioter, saya melemparkan pandangan ke arah Taman Ganesha. Keteduhan merasuk ke dalam diri saya ketika menyaksikan taman dengan orang-orang yang melepas penat sejenak di sana.

Ya Allah, terima kasih atas nikmat-nikmat yang baru saja Kau beri. Sungguh, untuk bisa menikmati keindahan yang kau sajikan seperti barusan merupakan sebuah nikmat itu sendiri. Aaaaah, Kau masih saja menyayangi hambaMu ini, masih melimpahiku dengan cinta yang tiada tara. Meski aku sering lupa padaMu, meski aku sering mungkir terhadap janjiku, meski aku belum bisa menjadi yang terbaik dan mempersembahkan yang terbaik...

Haru dan hangat merebak dalam dada. Air mata memeluk mata. Terima kasih Allah.

Thursday, September 15, 2005

Sejuta Bintang

Fly me to the moon

And let me swing among those stars...

(Frank Sinatra, Fly Me To The Moon)

Salah satu keinginan saya adalah menyepi ke suatu tempat yang tenang dan nyaman untuk menatap sejuta bintang di langit malam yang cerah.

Sewaktu saya masih tinggal di jalan Wiranta 79B, kegiatan favorit saya di atas jam delapan malam adalah menatap langit dan menikmati keindahan malam. Hampir tiap malam saya nangkring di teras. Tentu saja saya melakukan kegiatan itu bila saya tidak memiliki tugas kuliah dan langitnya sedang cerah. Berbekal jaket untuk menahan dinginnya udara malam, saya bisa duduk selama satu hingga dua jam sebelum akhirnya saya masuk ke kamar untuk tidur.

Kamar kos saya berada di bagian belakang rumah, di lantai dua. Kamar saya berhadapan langsung dengan area terbuka untuk menjemur pakaian dan atap bagian depan rumah. Karena berada di belakang, suasana di sekeliling kamar gelap plus tidak ada rumah tetangga yang tingginya lebih dari dua lantai. Sebuah kondisi yang mendukung agar cahaya bintang terlihat dengan jelas. Sayang sekali tempat kos saya yang sekarang tidak memiliki teras terbuka langsung ke langit.

Satu saat, saya benar-benar akan melakukan kegiatan “menatap langit” itu lagi, jika punya kesempatan. Untuk Bandung dan sekitarnya, barangkali daerah Bandung Utara atau Lembang yang memiliki tempat yang saya idam-idamkan itu. Sendirian, terlentang di rerumputan, dengan kedua telapak tangan di belakang kepala, ditemani suara serangga malam di kejauhan, saya menikmati suguhan parade bintang yang jaraknya beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan bermiliar-miliar tahun cahaya dari bumi kita.

Justru jarak itulah yang membuat mereka tampak indah...

Sambil berbaring, saat itu saya mungkin akan berpikir tentang bintang yang berasal dari masa lalu. Karena jauhnya jarak mereka dari bumi, sementara kecepatan cahaya hanya tiga ratus juta meter per detik, bisa saja sebenarnya bintang-bintang itu sudah tiada. Cahaya mereka baru sampai di bumi entah berapa tahun cahaya kemudian, yaitu sekarang. Sesungguhnya, dengan menatap mereka saat ini, kita menatap masa lalu.

Dalam diam, barangkali saya akan berpikir tentang orang-orang yang telah hadir dalam hidup saya. Entah keluarga, teman-teman, sahabat, orang-orang yang tidak dikenal yang sekedar berpapasan di jalan, kekasih, atau anak-anak saya; betapa mereka telah memberi arti bagi hidup saya. Satu persatu, wajah-wajah mereka terbayang di dalam benak saya.

Di bawah kesunyian, hanya ada saya yang dikelilingi keluasan angkasa raya yang tiada tara, diri ini terasa sangat kecil. Mungkin saya akan menitikan air mata karena takjub akan keindahan alam yang terbentang di hadapan saya. Lalu saya berpikir tentang keindahan dari Sang Pencipta yang telah memberi saya kesempatan untuk sekedar memandangi ciptaanNya.

Mungkin kemudian saya akan menangis tersedu-sedu, memikirkan bahwa saya tiada daya dan tiada arti dibandingkan dengan langit yang luas dan bintang-bintang yang megah itu. Mungkin saya juga akan merasa sedih karena saya telah melewatkan banyak keindahan alam yang setiap harinya memanggil untuk dihayati. Tangis saya pun akan makin keras karena menyadari bahwa saya tidak akan selamanya berada di bumi ini; bahwa saya akan pergi untuk menghadap Sang Penguasa yang telah mengaruniakan kepada saya kehidupan yang sangat luar biasa; bahwa saya akan meninggalkan semua keindahan itu. Seperti bintang-bintang yang cahayanya baru sampai ke bumi saat ini. Padahal mereka sudah berhenti bersinar, di suatu waktu di masa lalu.

Belum lagi tangis saya selesai, saya mungkin akan berpikir, apakah saya bisa seperti bintang-bintang, yang meski sudah tiada, cahayanya tetap terpancar, yang keindahannya senantiasa menghiasi langit, yang kerlipannya mampu mengobati hati yang lara? Mampukah saya seperti itu?

Entahlah. Saya belum jua mengetahui...

Thursday, September 08, 2005

Ada Apa Denganku?

Suatu hari seorang Bapak bertanya pada anak lelakinya yang belajar di pesantren.
"Nak, kamu solat buat apa?"
Bukannya menjawab, si anak malah bertanya balik, "Saya hidup buat apa?"
Si Bapak terdiam. Maka percakapan mereka yang sangat singkat itu pun berakhir.



Saya salut dengan anak lelaki itu. Di usianya yang belia dia sudah bisa bersikap kritis dan berpandangan jauh ke depan. Kebutuhan intelektualitasnya terpenuhi dengan baik. Buktinya dia bisa membuat Bapaknya terdiam (bukan karena kalah debat) karena ketajaman pandangannya.

Yang dimiliki anak lelaki itu tidak saya miliki hingga saya kuliah di tingkat tiga universitas saya. Sama halnya juga dengan beberapa kemampuan agar kita tidak dibodohi oleh orang lain. Perkembangan saya sebagai seorang anak tidak seberapa normal. Saya terpaksa bersikap dewasa dan menghadapi kerumitan-kerumitan permasalahan orang dewasa di usia yang belia. Oleh karena itu saya tidak sempat belajar bagaimana bertata-krama yang benar, bagaimana caranya agar dekat dengan orang lain (keluarga), bagaimana menyampaikan perasaan atau ide tanpa pemaksaan, dan berbagai keterampilan "manusia beradab" lainnya.

Tapi aku diberi anugerah yang luar biasa dengan keberadaanku di kampus ini...

Di saat orang lain sedang sibuk mengejar cita-citanya, saya masih berkutat dengan pencarian makna. Kondisi ini membuat saya sebal dengan diri sendiri. Ketika saya bercerita tentang ini pada seorang teman, jawabannya lumayan menghibur dan mencerahkan:

"Les, pencarian makna kamu itu gak salah. Coba saya kasih kamu contoh. Ada anak yang diberitahu orangtuanya kalau Tuhan itu ada. Sampai dia dewasa, dia percaya Tuhan itu ada. Kalau dia percaya begitu saja tanpa berusaha mencari sendiri keberadaan Tuhan itu, maka dia bukan percaya pada Tuhan sebenarnya, tapi dia percaya sama orangtuanya. Kalau dia mencari Tuhannya dan bertanya terus-menerus, berarti dia mencoba untuk memperkuat keyakinannya bahwa Tuhan itu memang ada..."

Lalu saya juga sedang memiliki masalah lain. Saya adalah bookacholic. Dalam seminggu bisa dua buku tebal saya habiskan kalau sedang niat betul untuk membaca. Jumlah itu belum termasuk dengan koran, majalah, komik, dan buku-buku ringan. Tapi itu dulu. Semenjak dua bulan yang lalu, bacaan bukan lagi benda yang menarik buat saya.

Ketika dulu saya melihat buku, saya langsung bersemangat dan berkeinginan untuk membacanya. Sekarang meilhat buku saya tidak merasakan ketertarikan lagi. Saya merasa biasa saja. Bahkan bila saya sedang memulai untuk membaca sebuah buku--yang tipis sekalipun--baru beberapa halaman saya sudah "menyerah" karena tidak tertarik.

Gawat, membaca tidak kusukai lagi!

Saya mengklaim diri saya menjadi pragmatis gara-gara itu. Selain itu juga, saya tidak suka berpikir yang rumit-rumit sekarang. Maksudnya terhadap wacana atau permasalahan politik dunia ini. Wong mendengar berita dari radio, TV, koran, majalah saja tidak. Saya tampaknya sedang punya kecenderungan untuk mengisolasi diri dari peristiwa-peristiwa di luar kampus-tempat kos.

Saya pun bercerita pada seorang teman lain tentang ini. Kemudian dia menjelaskan bahwa ada tiga jenis orang. Pertama orang yang pragmatis, kedua orang yang idealis, dan ketiga orang yang realis. Dia berkata kalau saya itu (secara otomatis) sedang menjadi orang yang realis. Alasannya adalah pikiran saya itu sedang berkonsentrasi pada kuliah saya dan kegiatan di unit di Salman. Jadi saya jangan langsung mencap diri saya pragmatis.

Bagaimana menurut Anda? Ada apa dengan saya?

Seperti Apa Mereka?

Seperti apa mereka?

Pertama melihat mereka, aku bagai melihat bidadari yang suci dan terlindung oleh tangan-tangan Maha Agung yang tak kasat mata

Indah...

Kini aku bagian dari mereka
Bagaimana orang melihatku?


Mereka juga manusia kok! Yang kumaksud adalah perempuan-perempuan yang berjilbab lebar. Ya, sekarang aku adalah bagian dari mereka juga.

Dulu aku punya gambaran tertentu tentang perempuan berjilbab lebar. Mereka terlihat suci, anggun, lemah lembut, dan mereka begitu berilmu! Ketika aku baru memasuki dunia mereka, aku menyadari bahwa kenyataan tidak seindah impian. Aku terkungkung pada "seharusnya", "mestinya", "sebaiknya". Padahal aku tidak bisa seperti itu.

Lama-kelamaan, aku makin tidak nyaman dengan stereotype yang kubuat sendiri. Aku tidak merasakan kemanusiaanku lagi. Akhirnya aku memilih untuk berlaku sesuai dengan apa yang nyaman buatku. Aku bisa tertawa lagi, aku bisa berekspresi lagi, pikiranku bisa bergerak lagi, tidak terkungkung pada "seharusnya", "mestinya", "sebaiknya". Toh aku tidak berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya.

Karena aku mencoba untuk jadi manusia...

Sempat aku berpikir bahwa mereka bukan manusia. Padahal aku bagian dari mereka, bukan?


Mereka bisa tertawa
Mereka bisa menangis
Mereka juga menyukai lagu-lagu cinta
Mereka perlu tempat untuk curhat
Mereka juga bisa rapuh satu saat
Mereka juga manusia!




Rasulullah tidak pernah mengajarkan perempuan untuk tidak tertawa, tidak menangis, tidak menyukai keindahan, tidak vokal, dan "tidak-tidak" lainnya. Perempuan diperintahkan untuk menghargai dirinya, bukan mengekang potensinya. Jadi bedakanlah antara menjaga diri dan mengekang diri...


[Di sudut kecil yang nyaman...]

Monday, September 05, 2005

Andainya...

Mari kita berandai-andai sejenak. Sebelumnya saya ingin memberitahu bahwa Anda harus dengan sabar mengikuti saya yang--menurut salah seorang teman saya--agak nyleneh khayalannya. Ya. Yang sabar ya. Soalnya saya mulai mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang jarang--bahkan belum pernah--saya tuliskan.


Teman saya sampai mengatakan bahwa khayalan saya yang liar semacam itu membuatnya khawatir. Saya pernah ditelepon sampai lima kali karena tidak membalas smsnya. Pada panggilan kelima kalinya, saya baru bangun. Saat ditelepon saya sedang tidur dengan nyenyaknya di pukul sembilan malam. Saya sengaja tidur sehabis Isya karena mau begadang. Itu dilakukannya gara-gara di siang harinya saya memberinya nomor telepon rumah saya di Jakarta. “Untuk jaga-jaga kalau ada apa-apa”, kata saya.

Misalnya hari ini Anda meninggal. Eeeits! Tunggu dulu! Saya gak akan bertanya apa yang akan Anda lakukan dengan sisa umur Anda hari ini. Itu pertanyaan standar. Yang mau saya tanyakan berkaitan dengan sedikit imajinasi Anda:

Coba pikirkan, bila Anda meninggal hari ini, siapa saja yang kira-kira akan datang dari suatu tempat nun jauh di belahan bumi lain hanya untuk melepas jenasah Anda dan menyolatkan Anda (bila teman Anda non-muslim, paling tidak dia akan mendoakan saat melayat)? Bila Anda meninggal hari ini, siapa kira-kira yang akan menangis sedih atau merasa sangat kehilangan? Bila Anda meninggal hari ini, siapa kira-kira yang akan merasa harinya tidak akan sama tanpa kehadiran Anda? Bila Anda meninggal hari ini, siapa kira-kira yang akan merasa kehilangan teman terbaik yang dapat--minimal mendengarkan masalahnya--menjadi tempat terbaik untuk membantunya keluar dari masalah? Bila Anda meninggal hari ini, siapa kira-kira yang akan kehilangan sumber kebahagiaan?

Daftar pertanyaan itu masih panjang. Anda bisa menambahkannya sendiri. Sekarang saya meminta Anda untuk berhenti membaca sejenak dan membayangkan orang-orang yang saya tanyakan tadi. Adakah orang-orang seperti itu di dalam hidup Anda? Berapa banyak?

...

Saya bertanya demikian karena itulah yang terbersit di benak saya di satu hari yang tenang. Kemudian saya bertanya-tanya dan membayangkan siapa saja orang-orang itu. Terus terang, rasanya belum banyak orang-orang seperti yang saya tanyakan itu buat saya. Kemudian saya menjadikan ancang-ancang itu untuk mengukur sejauh mana makna kehadiran saya bagi orang-orang di sekeliling saya. Apakah saya mampu memberikan arti bagi mereka? Apakah saya bisa menerbitkan senyum di bibir mereka? Apakah saya bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi mereka dan sejauh mana?

Saya sudah menduga bahwa salah satu dari Anda akan merasa sedikit ngeri untuk membayangkan diri Anda sendiri meninggal—entah bagaimana caranya, di mana tempatnya, dan kapan. Tapi, hadapilah, kita semua akan meninggal bukan?

Saya terkadang heran dengan orang-orang yang seolah tidak tahu kalau mereka tidak akan hidup abadi.

Jadi, coba Anda bayangkan sejenak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Bila Anda sudah punya banyak teman yang rela datang dari benua lain dan membatalkan semua pekerjaannya, bila Anda punya teman yang akan mengurus semua keperluan keluarga Anda yang Anda tinggalkan, bila Anda punya teman yang akan merasa kehilangan sosok luar biasa dari hidupnya, dan lain-lain, maka selamat bagi Anda.

Namun janganlah berbangga hati dulu. Hidup masih akan berlangsung bukan? Maka tanyakanlah diri Anda, sejauh mana Anda sudah berarti bagi dunia Anda, teman-teman Anda, keluarga Anda, orang-orang yang tidak dikenal di sekitar Anda. Bila ternyata arti kehadiran Anda masih tidak banyak—semoga Anda malah tidak menjadi duri dalam daging bagi orang lain, maka carilah makna hidup yang sebenarnya. Karena sesungguhnya, jauh di dalam hati Anda, Anda akan sangat bahagia bila Anda bisa berarti, bagi diri Anda, maupun bagi umat manusia.

I'm Back!

Fufufu....

Senangnya bisa masuk lagi ke dunia maya dan sekedar menuliskan memori-memori atau kebahagiaan di sini! Yup, it's been a very looooooooooooooooooooooooong time i didn't post any writing here. Biasa..., sibuk, hehehe...