Wednesday, December 21, 2005

Janji Joni

Jadi ceritanya saya mau bercerita tentang nonton di bioskop.

Sudah bertahun-tahun semenjak saya pergi ke bioskop untuk yang terakhir kalinya. Seingat saya, terakhir kalinya saya ke bioskop adalah ketika di SD kelas empat. Saya baru datang ke bioskop lagi tahun ini, sekitar bulan Agustus kemarin.

Kenapa saya jarang ke bioskop? Bukannya saya tidak mampu untuk membeli tiket bioskop, tapi saya pikir lebih baik saya menonton di komputer atau di TV saja kalau saya mau melihat film-film tertentu. Atau saya menyewa DVD/VCD dan saya tonton di rumah. Lebih hemat. Saya bisa membeli buku atau pulsa lebih kalau saya tidak ke bioskop.

Satu hari saya diajak teman saya dari unit kegiatan untuk menonton film Batman Begins. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya setuju karena yang ikut menonton lumayan banyak. Yah, hitung-hitung mempererat hubungan pertemanan. Bertahun-tahun tidak duduk di kursi bioskop membuat saya kaget juga. Saya tidak terbiasa dengan lebar layar bioskop dan sound system yang sedemikian menggelegarnya. Film Batman Begins menjadi film yang berkesan buat saya, selain karena efek yang ditimbulkan dalam bioskop.

Semenjak itu saya jadi memperhatikan peredaran film yang ada di bioskop.

Kali lain, saya menonton film Janji Joni di komputer teman saya. Sebelum menonton itu, saya punya satu prasangka jelek pada film-film dan sinetron-sinetron Indonesia di kepala saya (selain Petualangan Sherina). Apalagi setelah hebohnya film Buruan Cium Gue itu. Pokoknya film Indonesia itu enggak sebanding deh dengan film barat yang lebih profesional penggarapannya, lebih bagus akting pemainnya, lebih baik jalan ceritanya, dan "lebih-lebih" lainnya.

Tapi setelah film Janji Joni selesai, saya berkesimpulan kalau film itu bagus juga. Oke, saya memang sudah keliru karena memperumum masalah yang kurang tepat kalau diperumum. Seharusnya saya lebih objektif dan optimis kalau para sineas Indonesia sedang berupaya mengembangkan film Indonesia menuju film-film yang lebih baik.

Karena film Janji Joni itu juga saya jadi tahu kalau ada pekerjaan semacam pengantar film. Bukannya yakin, saya malah mempertanyakan keberadaan profesi itu. Bener gitu?

Sewaktu saya sedang antri untuk membeli tiket film Harry Potter 4, saya baru ngeh kalau ada petugas berpakaian hijau yang mondar-mandir dari arah studio 2 ke studio 7 di bioskop BIP sambil membawa gulungan film yang dibungkus tas kain sederhana. Oh, pikir saya, ternyata beneran ada pekerjaan sebagai pengatar film itu. Tapi yang di BIP itu enggak seperti si Joni di Janji Joni yang harus bolak-balik ke dua bioskop.

Dalam film Janji Joni juga diceritakan tentang pita film yang kadang suka memberikan tanda-tanda tertentu kalau mau habis gulungannya. Trus salah satu tokoh yang menyebalkan dalam film itu ngomel-ngomel tentang 'pita film yang udah stretch kalau filmnya diputar untuk hari kedua dan seterusnya'.Dan diceritakan juga kalau penonton kecewa karena filmnya terputus di tengah jalan gara-gara Joni terlambat sampai di bioskop. Saya berpikir kalau hal-hal itu juga cuma ada di film. Saya lagi-lagi bersikap skeptis.

Nah, ketika saya sedang menonton film Narnia yang pertama di BIP hari Senin lalu, saya mendapati hal yang serupa. Untungnya film enggak putus di tengah jalan. Tapi sempet ada potongan iklan yang muncul secara cepat sebelum film berlanjut. Penonton sempat mengeluarkan teriakan 'bhuuuuuuu'. Pada kesempatan lain ketika film diputar, gambar yang diproyeksikan tidak tajam. Beberapa lama kemudian gambar tajam lagi.

Apa yang saya alami sendiri itu paling tidak memberi saya bukti bahwa yang diceritakan di film Janji Joni tidak fake. Yah, artinya dalam penilaian saya film Indonesia cukup kompeten dalam segi isi, tidak sekedar mengandalkan wajah tampan atau cantik dari aktor-aktrisnya.

Akhirnya saya mendapat pengetahuan baru dan pelajaran bahwa saya harus banyak-banyak 'membaca' sekitar saya agar pikiran saya tidak sempit.

1 comment:

za said...

....Akhirnya saya mendapat pengetahuan baru dan pelajaran bahwa saya harus banyak-banyak 'membaca' sekitar saya agar pikiran saya tidak sempit....

Makannya Les, membaca itu jangan diartikan sempit sebatas mengartikan makna dibalik rangkaian huruf.

Cuma dengan mata elang kita bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat. Sayangnya, cuma sedikit orang yang berani terbang tinggi dan menjadi elang di atas sana. Karena menjadi elang itu tidak mudah dan penuh resiko.

Dan menjadi elang bukan berarti tidak berani untuk turun gunung.