Monday, May 05, 2008

Fact & Prejudice

“Pak Reza jadi sering ngisi di DT sekarang.”

Saat itu suasana sudah tidak terlalu ramai di depan meja yang kami jaga. Semua peserta Excellent Learning Forum (ELF) sedang khusyu’ di dalam ruang masjid Salman, mendengarkan uraian materi “The Magic of Learning” yang dibawakan Pak Reza M. Syarief. Waktu menunjukkan pukul sepuluhan pagi.

Saya menjadi petugas di meja pendaftaran peserta ELF tanggal 3 Mei ini. Sementara Bapak yang berbicara barusan adalah petugas promosi buku Pak Reza Syarief. Bapak ini mengisi waktu jaga dengan mencoba beramah-tamah pada saya, bertanya ini-itu tentang latar belakang saya. Saya tidak keberatan menjawabnya. Tapi, tanpa bermaksud tidak sopan, saya hanya mampu menjawab saja, tanpa menjadikan komunikasi kami sebuah dialog yang interaktif. Pasalnya, saya sedang sibuk dengan urusan administratif peserta yang mesti saya selesaikan sebelum acara usai. Saya tidak banyak bertanya pada Bapak itu. Paling ketika saya tertarik dengan buku yang dipajang, saya meminta izin untuk melihat-lihat.

Si Bapak ini kemudian bercerita tentang dirinya, yang menjadi bagian dari tim kerja Pak Reza Syarief. Dalam pembahasan itulah si Bapak mengatakan bahwa Pak Reza sering mengisi kegiatan pengajian di DT akhir-akhir ini.

Si Bapak melanjutkan. “Abis si Aa’ Gym udah gak aktif lagi. Jadinya Pak Reza sering ke DT sekarang. Aa’ udah jarang ngisi... Sibuk sama yang kedua..., “ tuturnya sambil menatap ke kejauhan.

Saya terdiam. Yang kedua. Setelah berpikir sejenak, saya memalingkan wajah ke arah si Bapak.

“Itu pendapat atau fakta, Pak?”

Tadinya, saat saya sedang berpikir, saya ingin memakai kata ‘prasangka’, alih-alih ‘pendapat’.

Si Bapak mengerti apa yang saya maksud dengan ‘itu’. ‘Itu’ yang dimaksud adalah kalimatnya yang terakhir. Tentang ‘yang kedua’.

Si Bapak tidak langsung menjawab. Saya menatapnya, menunggu jawaban. Karena si Bapak masih berpikir, saya kembali menatap kertas berisi data peserta yang sedang saya rapikan.

“Yaaaaah, fifty-fifty kayaknya…”

Secara logika, tidak ada yang namanya ‘setengah-pendapat-setengah-fakta’. Karena si Bapak ragu akan pernyataannya sendiri, saya berkesimpulan (dengan yakin), bahwa ‘itu’ hanya pendapat si Bapak saja.

Saya berpaling ke Bapak itu kembali. “Kalau begitu, itu pendapat, Pak.”

Si Bapak hanya tersenyum tidak jelas, terdiam. Saya melanjutkan.

“Aa’ Gym masih sering ngisi kok, Pak. Memang gak terlalu aktif di manajemen DT lagi (benarkah saya bilang begini?). Saya masih sering denger Aa’ ceramah subuh-subuh, lewat radio.”

“Ooooh…”

Sampai di situ percakapan kami berhenti. Si Bapak tidak berminat melanjutkan pembicaraan nampaknya. Sementara saya sendiri masih sibuk menata data, ditambah lagi ada beberapa peserta yang baru datang dan mendaftar. Setelah itu, saya pergi dari meja sejenak, untuk membelikan panitia snack dan minuman.

Ketika acara usai dan peserta mulai memenuhi meja-meja kami, ke meja saya untuk bertanya tentang kapan sertifikat kegiatan bisa diambil, ke meja si Bapak untuk membeli buku, kami belum berbicara lagi. Baru setelah semua beres, peserta sudah pulang, si Bapak berpamitan.

Saya bahkan belum menanyakan namanya.

***

Dari pengalaman tadi, saya mau berkomentar:

Pertama, saya tidak terlalu mengenal Aa’ Gym dan keluarganya. Bahkan pernikahannya yang kedua pun baru saya ketahui sekitar dua-tiga bulan sejak peristiwa itu ramai dibicarakan orang. Well, I’m not much a gossiper. Saya yakin bahwa si Bapak pun tidak terlalu mengenal Aa’ Gym. Memang bisa jadi pendapatnya 'itu' benar. Tapi apakah Bapak itu yakin? Ketika saya tanya, malah dijawab dengan 'fifty-fifty'. Lagipula, tanpa niat menyamakan semua orang, bila seseorang sudah mengatakan ‘sibuk dengan yang kedua’ dalam konteks seperti ini, apa sih nilai rasa yang biasa kita rasakan? Pencelaan bukan?

Ini memang prasangka saya pada Bapak itu: Memangnya kalau Aa’ Gym sedang ‘sibuk dengan yang kedua’, apa coba urusannya dengan Bapak itu? Memangnya salah bila Aa’ sedang ‘sibuk dengan yang kedua’? Lha, wong istri sendiri kok. Jadi—tanpa bermaksud membela Aa’ Gym—bagaimana mungkin si Bapak bisa dengan entengnya berpendapat begitu?

Kedua. Hasil obrolan saya dengan si Bapak menunjukkan satu contoh tentang orang masih belum bisa membedakan antara pendapat (terlebih lagi yang berupa ‘prasangka’) dan fakta. Sebuah opini atau pendapat, kerapkali disamakan dengan fakta. Kenapa itu bisa terjadi? Mungkin karena informasi yang diterima tidak dipikirkan dengan baik (disaring dengan benar). Atau mungkin karena software pikiran yang Bapak itu gunakan keliru. Kemudian, karena suatu pendapat dianggap fakta, sedangkan fakta biasanya diterima sebagai sebuah kebenaran, atau penguat kebenaran, maka jadilah pendapat tadi sebagai sebuah kebenaran, yang akan mendasari setiap pikiran, ucapan, dan tindakan di masa mendatang si Bapak berkaitan dengan topik itu.

Inilah masalah yang melanda kebanyakan manusia. Mereka kerap mendasarkan aktivitasnya pada sebuah pondasi rapuh.

Ah..... Urusan sendiri aja udah banyak. Jadi, boro-boro mau mikirin urusan orang lain. Apalagi berkomentar miring. Au ah, elap!


prej·u·dice [préjjədiss]

noun (plural prej·u·dic·es)

1. opinion formed beforehand: a preformed opinion, usually an unfavorable one, based on insufficient knowledge, irrational feelings, or inaccurate stereotypes

2. holding of ill-informed opinions: the holding of preformed opinions based on insufficient knowledge, irrational feelings, or inaccurate stereotypes

3. irrational dislike of somebody: an unfounded hatred, fear, or mistrust of a person or group, especially one of a particular religion, ethnicity, nationality, sexual preference, or social status

4. law disadvantage or harm: disadvantage or harm caused to somebody or something

[Microsoft® Encarta® 2008. © 1993-2007 Microsoft Corporation. All rights reserved.]