Wednesday, October 12, 2005

B21: On Becoming Super Woman

Pertama, saya belum menikah.

Kedua, saya menyadari di saat saya masih SMA, ketika saya sedang membantu Bibi saya—Bu Dara—di dapur, bahwa menjadi seorang ibu adalah tugas yang berat. Kenapa berat? Karena selain menjadi ibu, seorang wanita harus menjadi seorang istri, anak menantu, dan manusia mumpuni di tengah masyarakat sekaligus.

Ketiga, cita-cita saya sekarang adalah menjadi ibu yang baik dan mumpuni.

Belakangan ini, semenjak saya memasuki semester tujuh tepatnya, keinginan saya untuk menjadi wartawan menguap. Mungkin karena semangat untuk jadi wartawan itu ‘disimpan’ dulu untuk kebaikan saya sendiri yang sedang mengerjakan TA. Atau memang karena profesi itu sudah tidak menarik lagi bagi saya? Entahlah. Tapi yang jelas, belakangan ini di pikiran saya sedang bermain-main yang namanya wacana ‘menjadi ibu yang baik’.

Akan saya ceritakan beberapa peristiwa yang terkait dengan wacana itu. Salah satunya tentang Acit. Peristiwa ini terjadi sekitar tiga-empat bulan yang lalu.

Saya sedang duduk di depan komputer di sekre Aksara Salman saat Acit masuk. Ada seorang teman saya juga saat itu. Kami berdua sedang mengerjakan sesuatu dengan komputer-komputer di depan kami.

Tadinya Acit berada di sekre sebelah—sekre UPT Kaderisasi—lalu bermain sendiri di lorong depan tangga. Tak lama kemudian dia mulai menjelajahi sekre Aksara. Teman saya itu mengajaknya bermain bulu tangkis dengan raket yang dibawa oleh Acit. Mereka berdua cukup menikmati permainan mereka.

Setelah agak bosan, Acit mendekati komputer teman saya itu. Dia memainkan mouse. Padahal saat itu teman saya sedang mengerjakan sesuatu di Corel Draw. Teman saya mencegah Acit dari merusak pekerjaannya dengan membuatkan gambar yang diinginkan Acit di lembar kerja baru Corel. Acit kemudian memperhatikan dengan khidmat saat teman saya membuat gambar truk gandeng.

Memperhatikan mereka berdua yang langsung akrab, saya tercenung. Acit adalah anak yang lincah dan sedikit hiperaktif. Begitu mendengar apa yang dilakukannya di sekre sebelah—sebelum dia masuk ke sekre Aksara—saya langsung kurang menyukainya. Saya sadar betul bahwa dia adalah anak yang sedikit sulit untuk ditangani; perlu kesabaran ekstra dalam menghadapinya. Tapi kemudian saya mengembalikan hal itu pada diri saya sendiri. Apakah saya bisa menjadi ibu yang baik? Ibu yang sabar dan lemah lembut dalam menghadapi anak-anaknya? Ibu yang bijak dan dapat menjadi tempat curahan hati anak-anaknya?

Dengan mudahnya teman saya ‘menjinakkan’ Acit. Saya? Saya tidak merasa mampu untuk melakukannya. Saya tidak berdaya. Saya masih jauh dari figur ‘calon ibu yang baik’. Mengurus diri sendiri saja belum tentu beres.

Kemudian ada peristiwa yang baru-baru ini terjadi. Tepatnya pada Minggu malam yang lalu. Saya sedang duduk di warung milik bapak kos. Ada putrinya yang sedang menjaga warung. Saya kadang mampir ke warung itu untuk sekedar mengobrol atau membaca koran. Malam itu saya menemani si Teteh yang sedang sakit kepala dan melihat-lihat iklan ponsel second di PR. Saya sedang membaca-baca koran PR dari tumpukan di dekat kaki saya. Lalu mata saya menangkap judul artikel pada suplemen ‘Khasanah’ PR. Setelah saya ambil dan perhatikan baik-baik, artikel-artikel pada halaman itu bertema kasus selingkuh yang terjadi di dalam rumah sendiri.

Setelah selesai membaca semua artikelnya, saya bergidik. Saya langsung beristighfar dan berdoa agar kehidupan rumah tangga saya nanti tidak ada hal seperti itu.

To catch a husband is an art. To hold him is a job. (Simone de Beauvoir)

Seperti yang dikatakan Simone de Beauvoir, menjaga keutuhan rumah tangga adalah suatu pekerjaan. Layaknya pekerjaan atau profesi, menjaga keutuhan rumah tangga itu harus dilakukan dengan serius. Saya memang belum menikah. Tapi saya bertekad kalau saya akan berusaha semaksimal mungkin agar kehidupan rumah tangga saya sakinah-mawaddah-warahmah. Amin.

Beberapa kali saya sempat berpikir untuk langsung belajar segala keterampilan menjadi ibu rumah tangga setelah saya lulus. Seperti memasak, menjahit, mengurus rumah, dan lain-lain. Saya bukannya tidak bisa memasak, menjahit, mengurus rumah, atau yang lainnya. Keluarga saya adalah keluarga yang melakukan sendiri pekerjaan rumahnya. Tapi saya masih merasa kalau apa yang sudah saya kuasai belum cukup. Saya belum bisa memasak menu makanan yang memerlukan bumbu yang komplit seperti rendang, saya belum bisa membuat kue, saya belum bisa membuat pola pakaian, saya belum tahu cara mengukur badan untuk membuat pola, saya belum tahu cara mengurus bayi selama 24 jam terus menerus, dan masih banyak lagi.

Kenapa saya harus repot-repot melakukan semua pekerjaan itu kalau misalnya nanti saya sanggup mempekerjakan khadimat? Alasan pertama adalah tidak baik membiarkan ada wanita lain dalam rumah kita (bila hanya ada suami dan saya). Kemudian siapa yang akan mengajari khadimat untuk mengurus rumah dengan benar kalau kita sendiri tidak bisa melakukan pekerjaan rumah? Berat nian jadi seorang ibu itu.

Bila setelah saya lulus atau sebelumnya saya sudah menikah, maka saya berencana untuk tidak menjadi wanita karir ‘kantoran’. Dulu sih iya, maksudnya punya mimpi menjadi wanita kantoran. Tapi sekarang saya berencana untuk menjadi wanita yang karirnya adalah menjadi istri, menantu, ibu, dan bagian dari masyarakat yang mumpuni. Saya bisa mencari uang tanpa harus keluar dari rumah. Misalnya dengan menulis atau menjahit atau apapun yang bisa dilakukan di rumah.

Menjadi ibu rumah tangga yang baik adalah profesi yang mulia karena di balik ‘mulia’ itu ada kerja keras dan usaha yang tidak main-main. Ibu rumah tangga bertugas untuk mendidik generasi penerus agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang terbelakang. Menjadi ibu rumah tangga juga pilihan, sama halnya seperti menjadi ibu yang bekerja. Jadi saya rasa wanita tidak perlu merasa terkekang dengan menjadi ibu rumah tangga. Tergantung dari pemahaman dan cara pandang.

Ada fakta yang menarik yang saya dapat dari negeri Sakura. Fakta itu diawali dengan satu pertanyaan, mengapa anak-anak di negeri Sakura pintar-pintar? Jawabannya adalah ini:

Wanita Jepang pada umumnya adalah golongan berpendidikan tinggi. Mulai jenjang S1, S2, hingga S3. Setelah mereka menyelesaikan kuliah, biasanya mereka akan bekerja. Tetapi, setelah menikah mereka akan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga atas kemauan mereka sendiri. Jadi mengapa anak orang jepang pinter-pinter? Wajar sih..., teman main mereka di rumah punya gelar S3. Dengan kata lain teman mainnya orang berpendidikan tinggi. Bahkan mungkin lebih pinter daripada guru mereka saat mereka masih SD. Mereka tidak main sama pembantu yang hanya lulusan SD.

Jadi bila wanita-wanita yang lulus dari perguruan tinggi hanya berpikir untuk menjadi wanita karir saja, kapan negeri ini akan berubah? Tapi saya tidak mengatakan kalau wanita tidak boleh bekerja. Tergantung kesepakatan dalam rumah tangganya sendiri.

...

Hmmm, sudah panjang lebar saya mengungkapkan pemikiran saya. Silahkan ditakar, dikunyah, ditelan, dipotong-potong, atau diberi perlakuan apapun di otak Anda tulisan saya ini.

1 comment:

ikram said...

Saya sih setuju kok Les.

Berarti sekarang tinggal cari sang Super Man guna mewujudkan impianmu menjadi Super Woman.

Aih...