Wednesday, September 13, 2006

Akar

Tadi pagi, saya baru menghidupkan radio sekitar pukul setengah sembilan. Biasanya, saya sudah tune in jam setengah tujuh. Dua-tiga hari ini saya sedang malas menghidupkan radio. Jadi, ketika saya sudah beres dengan komputer dan bersiap untuk mencuci baju--daripada mencuci dalam keheningan--mending sambil dengerin radio MQ.

Topik untuk Risalah Pagi (sebuah acara diskusi dengan tema-tema yang sedang panas saat ini) kali ini adalah 'Acara-acara di Media Menjelang Ramadhan'. Atau kurang lebih begitulah temanya. Karena saya baru dengerin jam setengah sembilan, saya cuma ngedenger narasumber ketiga (biasanya ada tiga narasumber). Pak Ma'ruf Amin sedang berbicara tentang harapannya pada acara di media televisi.

Penyiar berbicara sebentar setelah pak Ma'ruf selesai dan sebelum menerima penelpon. Dalam kalimatnya beberapa penelpon, saya cukup tergelitik ketika mendengar yang mereka sebut dengan 'penyebab dari tayangan2 gak bermutu di TV'. Mulai dari pengelola stasiun TV yang yang terlalu mengutamakan rating sampai masalah moralitas. Saya tergelitik bukan karena pendapat itu salah. Saya tergelitik lebih karena penyebab yang mereka maksud itu ya itu-itu juga, tidak jauh berbeda atau senada dengan penyebab keterpurukan pendidikan, ekonomi, dan korupsi di negeri ini. Jadi, saya berpikir kalau analisis yang diuraikan penelpon maupun penyiar sudah klise dan basi. Yaaaah, tiap tahun menjelang Ramadhan yang muncul lagi-lagi masalah beginian tanpa ada penyelesaian yang berarti. Sama juga dengan masalah pornografi, ekonomi, pendidikan yang gaaaaaaaaaaaaak ada habis-habisnya.

Tapi saya bukannya bersikap skeptis terhadap adanya usaha-usaha perbaikan. Saya juga gak pesimis. Saya pun tidak berdiam diri kalau ada yang bisa saya lakukan terhadap masalah-masalah seperti ini. Yang saya ingin katakan adalah, para pemirsa radio dan penyiarnya kurang dalam ketika membahas 'penyebab' yang mereka maksud.

Tau gak sih akar masalah dari isu seperti tayangan porno-mistis-gosip-gak-mutu di media, mental 'rating' pengelola media, pendidikan, korupsi, dan sebagainya di negeri ini? Bangsa ini gak punya harga diri! Atau seperti itulah kurang lebih para pemimpinnya.

[Sori, saya menggunakan ukuran huruf yang lebih besar bukan untuk 'gak punya harga diri' bukan untuk memojokkan saudara sebangsa sendiri--terutama yang jasanya tak terkira bagi negeri. Tapi saya kesal dengan cara negeri ini diurus di era sekarang.]

Mari kita lanjutkan lagi. Kenapa gak-adanya-harga-diri-pemimpin-Indonesia menjadi penyebab dari masalah media menjelang Ramadhan maupun di bulan lain? Ceritanya panjang. Pendahulu kita, ketika dijajah Belanda, menunjukkan harga diri yang luar biasa dan tidak mau bertekuk lutut pada mereka. Ketika Sumpah Pemuda, para pemuda menunjukkan harga diri yang luar biasa sebagai anak bangsa. Tapi sejak masa orde baru, harga diri ini digerogoti habis-habisan. Mulai deh ngutang ke negara lain. Mulai deh KKN mengakar. Mulai deh pemerintahan 'raja', bukan 'pelayan rakyat'. Mulai deh menganut gaya hidup enak dan permisif. Mulai deh penyebaran mimpi-mimpi semu lewat sinetron, majalah, gaya hidup metropolis--padahal miskin. Mulai deh silau dengan gaya hidup barat yang serba instan dan individualistis. Mulai deh nyombong ke Cina (pak Habibie). Mulai deh bertingkah konyol (Megawati dan Gusdur). Mulai deh rebutan kekuasaan dalam Pemilu. Mulai deh ketahuan korupsi, tapi teteeeeeeeeep aja gak mau ngaku (udah maling masih sok banget). Mulai deh 'mulai-mulai' lainnya.

Kita jadi sibuk dengan urusan internal intinya. Kenapa bisa begitu? Rupanya setan telah berhasil membuat kita sibuk sendiri dengan berbagai keinginan-keinginan yang gak realistis dan bukan kita banget.

(To be continued...)

Tuesday, September 05, 2006

Mengerikan!!!

Kemarin saya baru saja mengikuti kuliah Manajemen Inovasi bersama pak Gede Raka, dosen Teknik Industri ITB. Selama dua setengah jam, saya tidak mengantuk sama sekali. Seperti spons saya menyerap semua informasi yang disampaikan Pak Raka.

Salah satu fakta mengerikan dari Cina, tutur Pak Raka, adalah jumlah devisa yang mereka miliki. Bayangkan, mereka memiliki 800 milyar US dolar. Itu baru Cina daratan. Belum termasuk Taiwan dan Hongkong. Kalau dijumlah-jumlah, devisa ini setara dengan devisa Jepang, sekitar 900 milyar US dolar.

Indonesia?

Indonesia punya devisa 30 milyar US dolar. Tapi jangan lupa hutang kita sekitar 100 milyar US dolar. Jadi, kalau kita harus bayar semua hutang kita, negara ini bangkrut, krut, kruuuuuuut! Devisa yang dimiliki Cina itu bersih tanpa hutang sedikitpun. Dari duit itulah Cina membangun jalan tol sepanjang 40.000 kilometer tanpa ribut-ribut. Beda dengan kita. Baru ngebangun jalan tol sebanyak 60 kilo lebih (Cipularang), ributnya bukan main (karena menyambut peringatan KAA). Udah gitu sempet ada yang ambruk lagi. PAYAH!

Oleh karena kekayaan Cina yang begitu besarlah mereka menuntut untuk punya posisi yang nomor satu di PBB: salah satu Dewan Keamanan yang punya hak veto. Mereka juga tidak tanggung-tanggung untuk ikut pesta olahraga: peserta Olimpiade dan penyelenggara Piala Dunia.

Merasa perbandingan yang saya ambil terlalu jauh? Oke, kita liat Asia Tenggara.

Vietnam? Malaysia? Singapura? Kita tertinggal jauh dari mereka. Vietnam yang baru merdeka aja punya taraf pendidikan yang jauh di atas kita. Duuuuh, malu-maluin banget!

Jadi malu sama pemimpin Indonesia... Bukan malu jadi orang Indonesia. Indonesia mah keren potensinya, yang bodoh itu pemimpinnya. Abiiiis, gak bisa ngurus negara dengan bener. Atau jangan-jangan memang para pemimpin kita bukan orang-orang yang kompeten untuk ngurus negara ini?

[Waw, sinis banget yak tulisannya? Udah lama gak ngisi blog. Udah banyak yang terjadi. Banyak kata tak terucap. Banyak memori tak tertuang. Banyak momen yang tidak terabadikan. Semoga tidak kapok membaca blog ini ye...]