Monday, December 31, 2007

Tidak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik dan rindunya
pada pohon berbunga itu


Puisi ini begitu menyentuh saya.

Mungkin karena mengingatkan saya pada diri sendiri.


[Re-upload, posting lamanya bertanggal 18 Oktober 2006]

???

Yang bisa saya lakukan saat ini adalah bertanya.

Tapi seperti halnya kegiatan menulis saya (menulis di blog/diary/artikel koran/apapun), pertanyaan itu tidak muncul. Yang akhirnya muncul adalah: Ada apa denganku?

Belakangan ini saya merasakan situasi yang campur aduk. Kesal, resah, bingung, kehilangan pegangan, soliter, sakit perut, kehilangan (HP--baruuuuu aja, ilangnya tanggal 28 Des kemaren), ketinggalan, dikejar-kejar deadline, berharap, tidur tidak nyenyak, seperti berjalan ke arah yang salah....

Kalau mau diperpanjang, bisa saja sih. Tapi saya sendiri masih belum bisa memetakan masalah saya. Intinya, yang saya ketahui sekarang adalah bahwa saya merasa ada yang tidak beres dalam hidup saya.

Apa yang harus saya lakukan?

Saya merasa kalau saya berada di 'simpul mati'. Simpul mati bukannya tidak bisa diurai. Bisa kok. Masalahnya, simpul jenis ini terlalu kuat ikatannya, sehingga butuh kesabaran dan tenaga ekstra untuk bisa mengurainya.

Saat saya membaca buku, saya tidak bisa bertahan lebih dari sepuluh menit. Ketika saya mencoba berpikir 'apa yang belum saya kerjakan', saya juga belum bisa menemukannya. Ketika menjalani hari, saya merasa kalau saya harusnya berada di tempat lain. Tapi ketika saya bertanya pada diri sendiri, dimana seharusnya saya berada, saya tidak tahu.

Sungguh. Yang saya ungkapkan barusan bukanlah kiasan. Itulah yang saya rasakan setahun belakangan. Seolah ada yang menarik-narik pikiran saya supaya memikirkan hal lain, tapi saya tidak tahu apa.

Seolah-olah, apa yang saya lakukan selama ini tidak penting. Tidak ada yang penting. Tapi yang sesungguhnya harus saya lakukan, yang 'penting dan utama' itu, belum saya ketahui. Jadi apa sih yang terjadi pada saya?

Apa yang harus saya lakukan? Saya belum tahu.

Apakah ada yang bisa membantu? Saya belum tahu.

Sunday, December 30, 2007

Rumet

Entahlah, tampaknya kehidupan saya sedang berada dalam area 'simpul mati'...


Awalnya tidak sengaja. Kata 'rumet' itu terketik begitu saja. Tapi setelah dipikir-pikir, kata itu menggambarkan keadaan saya dengan tepat sekali: ruwet dan mumet.

Malam ini saya tidak terlalu berlapang hati. Pulsa belum masuk. Akibatnya beberapa sms teman belum bisa saya balas. Jaringan saya belum tercantum di web. Kerjaan saya banyak sekali (terjemahan). Belum lagi keadaan kesehatan yang belum stabil betul. HP baru saja hilang hari Jumat kemarin (28 Des '07).

Entahlah, tampaknya kehidupan saya sedang berada dalam area 'simpul mati'. Saya kesal, tapi tidak cukup kesal untuk membuat saya marah. Tapi kalau didiamkan, perasaan saya tidak enak. Serba tanggung.

RUMET!

Tuesday, December 04, 2007

Heran

[Ini adalah tulisan berisi selintasan ide atau komentar saya terhadap apa yang saya lihat atau ketahui. Terkadang ide atau komentarnya sinis. Mohon maklum ya. Masih banyak ide yang akan saya tambahkan. Jadi sering-sering saja mengecek blog ini.]

Nabi atau Rasul. Begitu aku mereka. Itu loh, orang-orang seperti pemimpin Al Qiyadah Al Islamiyah atau Eden. Menurut saya, kalau bukan rekayasa menjelang pesta politik, keberadaan kelompok 'menyimpang' ini adalah bukti kuat tentang pemimpinnya: mereka mungkin menderita skizofrenia.

Orang dengan penyakit mental ini kan memang menunjukkan gejala 'dapat-melihat-apa-yang-tak-terlihat', mengalami waham kebesaran (merasa dirinya tokoh besar), dan tetap terlihat sehat (tidak seperti orang yang sakit jiwa, maksudnya). Padahal mereka dapat membahayakan kewarasan orang lain yang manggut-manggut dan percaya pada kata-kata mereka.

Jadi, bila satu saat bertemu dengan orang yang mengaku-aku sebagai nabi atau rasul baru, segeralah hubungi salah satu dari dua pihak: polisi atau psikiater. Yang kerap dilakukan oleh pemuka agama adalah menghubungi yang pertama. Padahal menurut saya, besar kemungkinan yang perlu dihubungi adalah yang kedua.

Saturday, October 27, 2007

Indramayu

Indramayu itu keren!

Kabupaten ini disebut Kota Mangga bukan tanpa sebab. Kalau di Bandung kita akan sering menjumpai pohon akasia di pinggir jalan atau sebagai pohon peneduh, di Indramayu pohon mangga ada di segala penjuru. Di rumah, di hotel, di kantor pemerintah, di halaman mesjid, di halaman sekolah, di depan sekolah, di pinggir jalan, di tengah sawah. Kemanapun mata memandang, yang kita lihat adalah dominasi pohon mangga. Segala jenis pohon mangga lokal akan kita lihat di sini. Bila ada rumah yang tidak memiliki pohon mangga, rasa-rasanya rumah itu 'dikutuk' (inget lho, saya ngasih tanda kutip).


Sekolah-sekolah di sana juga keren-keren dan luas lahannya. Benar-benar luas dalam arti sebenarnya. Saya membandingkannya dengan lahan sekolah di Bandung
sih. Karena luas, hampir semua fasilitas pendukung belajar bisa disediakan tanpa khawatir menempatkannya di mana.

Bahkan ada sebuah sekolah yang bernama SMU 1 Sindang, yang direncanakan untuk menjadi sekolah dengan 'kelas internasional. SMU ini adalah SMU pertama di Indramayu dan menjadi SMU favorit sekarang. Kelas internasional yang dimaksud memiliki pendingin udara 2 unit, sebuah TV, 1 set komputer, dan tape+radio+pemutar CD. Semua alat itu ditujukan untuk mendukung kegiatan belajar yang nyaman dan
full multimedia. Sekarang baru ada sekitar tiga kelas internasional. Berdasarkan info dari guru di sana, tahun 2012 SMU 1 Sindang akan menjadikan seluruh kelasnya sebagai 'kelas internasional'.

Menurut salah satu guru SMU 1 Sindang yang lain, anggaran untuk pendidikan di APBD Indramayu mencapai 39%.


Masih ada kaitannya dengan pendidikan:
Menurut salah satu guru SMU 1 Sindang yang lain, anggaran untuk pendidikan di APBD Indramayu mencapai 39%. Sebelumnya saya sudah pernah mendengar fakta ini dari teman. Tapi saya tidak percaya.
Hampir 40%? Ah, yang bener? Penuturan guru tadi membenarkan perkataan teman saya.

Wuiiih, 39% untuk pendidikan? Gede banget (bila dibandingkan dengan anggaran pendidikan di APBN). Gak pake ribut-ribut. Dan digunakan dengan serius (seperti digunakan untuk pembangunan gedung-gedung sekolah baru).

Belum lagi Bapak Bupatinya. Saya belum sempat berinteraksi secara langsung dengannya. Namun dari cerita-cerita banyak orang, saya cukup salut pada beliau. Salah satu hal yang membuat saya salut adalah anggaran pendidikan tadi. Belum lagi keseriusan beliau untuk memberantas 'gadis Indramayu' yang membuat citra Indramayu negatif itu. Siswi yang muslim diwajibkan untuk mengenakan baju panjang dan kerudung bila sekolah, dari SD hingga SMU. Pegawai negeri wanita yang muslim sudah terlebih dahulu diwajibkan mengenakan kerudung.


Ini cerita dari dosen UPI: Bapak Bupati benar-benar serius dalam meningkatkan kondisi pendidikan Indramayu. Beliau tidak segan untuk turun ke lapangan langsung dan mengecek pembangunan gedung sekolah. Mulai dari adukan semen, hingga kekuatan dinding dan pondasi. Bila sebuah dinding diketok terdengar kopong, maka beliau tidak segan menyuruh pihak kontraktor membuat ulang dinding itu. Bila dinding itu rapuh, maka Pak Bupati akan mendorong dinding itu hinga runtuh dan meminta kontraktor untuk membangun ulang dinding.

"Saya udah bayar mahal! Jadi yang bener!"

Yaaaaah, nafsu untuk melakukan korupsi yang dapat menyebabkan dinding sekolah kopong atau rapuh.

Semua hal positif tadi tidak lantas menutup hal-hal lain yang belum sempurna. Misalnya, fasilitas dan kondisi pendidikan di Indramayu belumlah merata hingga saat ini. Bukan karena dana hanya berkumpul di pusat kabupaten, tapi kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan belumlah merata. Jadi nampaknya Bupati berfokus pada tempat-tempat yang bisa 'dijangkau' terlebih dahulu, sambil memeratakan kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan. Belum lagi masalah korupsi yang ada di tubuh Dinas Pendidikan Indramayu. Klasik. Tipikal birokrasi di Indonesia.

Belum lagi masalah 'mangga manis' Indramayu yang terkenal itu. Sangking kepengennya masalah PSK asal Indramayu berkurang, Bupati pernah sampai meminta setiap SMP-SMU untuk mengadakan tes keperawanan bagi setiap siswi yang diterima. Pihak sekolah geger dan banyak yang menolak. 'Itu kan privasi masing-masing orang' adalah argumen untuk penolakan tersebut.

"Itu bahasa politis saja sebenarnya. Padahal intinya ingin agar masalah ini berkurang."

Saya berkesempatan untuk mengunjungi Indramayu dan berinteraksi langsung dengan guru-guru di sana. Saya belajar banyak hal dan melihat banyak hal (meski belum semua). Fakta-fakta yang saya beberkan di atas adalah sebagian dari hasil belajar saya. Mau tidak mau saya kagum melihat kabupaten Indramayu.

Prestasi Indramayu bisa saya lihat dari guru-gurunya. Mereka begitu antusias untuk meningkatkan kompetensi mereka dan mereka haus akan wawasan baru. Akses untuk itu memang belum semudah di Bandung. Tapi semangat mereka patut diancungi jempol. Mereka ingin maju dan saya yakin mereka akan maju dengan cepat. Tanpa banyak ribut-ribut lagi.
They do, not just talking.

Saya baru tahu kenapa orang-orang banyak menyebut Bupati Indramayu sebagai orang dengan prestasi yang bagus. Bila banyak orang yang mendukung beliau untuk menjadi Gubernur Jabar, saya tidak akan heran lagi.

Sebagai penutup, saya cuma mau bilang: Sukses Indramayu!

Saturday, October 20, 2007

Catatan di Umur 23 Tahun

Well, disinilah aku, di pojok belakang sebuah warnet deket rumah di Alur Laut, Plumpang, Jakarta Utara. Sempet su'udzon kalo warnet di daerah sini pada gak ada yang beres (baca: sekeren Comlabs ITB atau di Lab. Matematika ITB atau dimanapun di ITB dan sekitarnya). Tapi udahlah. Yang penting sekarang aku bisa buka Friendster, Blogger, dan Yahoo Mail dengan nyaman. Akses internetnya lumayan cepet kok...

Udah lama gak nulis di blog, diary, artikel, atau apapun yang berhubungan dengan kegiatan menulis, membuat otak rada-rada beku. Karena komputer adanya di Bandung, sementara itu di rumah sama sekali gak ada komputer (hidup macam apa itu?!), akhirnya kegiatan kreatif seperti curhat atau sekedar main Soliter, gak bisa dikerjain.

Kalau udah punya komputer dan hidup ada di seputar komputer, rasanya tanpa komputer sehari aja membuat aku jadi manusia purba. Meski aku bisa menulis dengan tangan, memasak dengan kuali, dan menjahit dengan mesin..., tetap saja gak nyambung! Oke, kembali ke topik. Meski dulu aku terbiasa untuk menulis diary dengan tulisan tangan, sekarang kebiasaan itu terasa menyusahkan. Enakan ngetik di Word atau blog.

Udah jadi manusia komputer kali ye?

[Ini kalimat yang standar banget, yang biasa kutulis kalo udah kelamaan gak nulis:]

Banyak yang sudah terjadi selama dua bulan ini. Pertama, Papa meninggal tanggal 17 September kemarin. Sirosis di levernya udah parah. Sudah ketentuan Allah. Aku sedih, tapi sudah bisa kuprediksi. Papa itu orangnya keras kepala. Udah tau kalo dia sakit, tapi maksa pengen terus kerja. Alhamdulillah Papa berpulang dalam keadaan ringan, tidak mengalami kesusahan yang berat. Semoga Papa mendapat tempat yang baik di sisi Allah...

Kedua, usiaku menginjak 23 tahun tanggal 30 September kemarin. Aku melewatinya dalam keadaan yang biasa saja. Memangnya mau bagaimana lagi? Tapi seneng juga sih, tahun ini banyak yang ngasih kado. Thanks for all of you, my friends! I love you all...

Ketiga, udah dua minggu ini aku flu. Badan ini terasa lemes. Flu ini muncul sejak aku minum Propolis (air liur lebah) Brasil. Aku tau kalo flu yang kualami merupakan reaksi DOC (Direct of Cure) yang biasa muncul kalo kita minum obat herbal. Tapi lemes-lemes gini, jadi curiga. Tapi sudahlah..., insya Allah sembuh dalam waktu yang singkat.

Dan ini yang paling penting, yang keempat:
Sejak di rumah, aku jadi banyak nonton TV. Dan seperti yang kita tau, kebanyakan acara TV adalah acara yang kurang bermutu (kecuali film box office, acara semacam si Bolang, Jejak Petualang, acara2 di Metro TV, Kick Andy). Yang disajikan adalah hiburan dalam bentuk indah, artis berwajah indah, jalan cerita sinetron yang indah, latar sinetron yang indah, dan yang indah2 lainnya. Acara gosip pun menyoroti kehidupan selebriti yang 'indah-indah'.

Bukannya aku kepengen memasuki dunia itu. Tapi menyaksikan kehidupan para selebriti itu, aku jadi berpikir. Umurku sudah 23 tahun. Sementara itu banyak sekali selebriti yang umurnya lebih muda dariku, tapi sudah sukses begitu. Aku sendiri bagaimana? Kuliah belum juga beres. Aku belum menentukan target pencapaian hidupku yang pasti (misalnya aku mau jadi orang yang ahli di bidang apa, trus pengen keliling Indonesia dan dunia, punya rumah sendiri, dan seterusnya). Penghasilan masih di bawah dua juta rupiah sebulan. Mimpi-mimpiku besar. Tapi, keadaanku sekarang belum sejalan dengan impian.

Melihat diriku dan membandingkannya dengan kehidupan para selebriti membuatku merasa tertinggal. Mereka sudah sampai mana, aku masih di mana... Bingung jadinya. Ketinggalan begini.

Tapi aku yakin bukan cuma aku yang merasa begini. Kurasa ini adalah fase ketika seseorang yang dewasa muda mulai membiasakan diri dengan kemandirian-dan-mulai-lepas-dari-tanggungan-orangtua. Serasa ada di tengah-tengah. Diri udah bisa mencari penghasilan sendiri, tapi masih tinggal dengan orangtua. Diri udah bisa nentuin kemauan sendiri, tapi orang tua masih dominan dalam menentukan keputusan (bukan berarti nantinya ortu gak akan jadi ortu kita lagi setelah kita berkeluarga lho).

Rasanya gamang.

Dulu, kukira orang yang berumur 23 tahun itu orang yang sudah mapan dari segi pemikiran. Paling tidak kukira aku akan begitu. Tapi sekarang aku malah merasa gamang. Hal-hal yang kukira kumengerti dengan baik (saat aku berumur belasan tahun), ternyata sekarang sulit kumengerti. Semakin aku mengerti, aku malah semakin tidak mengerti banyak hal (ini kalimat yang filosofis, bukan harfiah).

Dengan kemandirian yang harus kujalani ini, aku merasa seperti berada di tepian samudra luas tanpa ada petunjuk. Aku sendiri yang harus menentukan aku mau kemana, mau bagaimana, mau bersama siapa. Aku jadi rindu saat-saat ketika orangtua masih menentukan hampir semua langkah kita, yaitu saat kita masih berusia belasan. Sekarang orangtua hanya memberi saran saja. Dalam kasusku, 'orangtua' yang kumaksud adalah paman-bibiku.

Aku belajar dua hal dari pengalamanku. Pertama, menurutku, usia berapapun kita, kita tidak akan pernah 'dewasa'. Yang ada adalah 'lebih dewasa' karena kita membandingkannya dengan kondisi usia kita yang lebih muda saat kita melihat orang yang lebih tua. Usia yang kita pandang 'usia dewasa' ternyata memiliki tantangannya sendiri. Kita akan terus belajar dan belajar dan belajar. Kita harus terus belajar juga. Kedua, menjadi tua itu pasti, tapi dewasa belum tentu (iklan A Mild bangeth!).

Oke, aku merasa puas sekarang. Aku sudah mengeluarkan uneg2 yang kusimpan selama beberapa bulan berkaitan dengan bertambahnya umurku. Bener lho, aku udah mikirn ini selama beberapa bulan. Baru kesampean sekarang untuk nulisnya. Aku lega. Alhamdulillah...

Well, see ya again in my next posting: Indramayu. Dadah...

Wednesday, August 15, 2007

Memberi Nilai Lebih, Dimanapun

Apa sih yang bisa dilakukan seseorang dengan ijasah PGA (Pendidikan Guru Agama) di Jakarta?

--Syaiful Jamil


Dari siang, banyak orang sudah hilir mudik di kantor YPM Salman ITB. Hari itu, tanggal 9 Agustus 2007, banyak orang bersiap untuk pergi ke Jakarta. Anggota asrama putra, asrama putri, aktivis dari unit kegiatan mahasiswa, peserta National Leadership Youth Camp (NLYC) tanggal 3-7 Agustus, pengurus mesjid, manajer-manajer lembaga. Mas Samsoe Basaruddin bertanya padaku, “Enggak ikut ke pengajian KALAM?” Aku menjawab tidak.

Sebenarnya aku sudah punya janji temu sore itu jam lima. Aku sudah menundanya dua kali. Sebenarnya tidak apa bila kuundur, tapi aku ragu. Aku beraktivitas seperti biasa lagi di kantor YPM. Namun jam tiga, seorang anggota asrama putra mengajakku. Aku berpikir kembali.

Eeerrrgh. Gimana ya? Pengajiannya malam. Baru selesai jam setengah sepuluh. Kemudian rombongan langsung kembali ke Bandung. Padahal besok pagi aku harus mengurus acara jam tujuh. Gimana ya?

Entah mengapa, instingku mendorongku untuk ikut. Hatiku ragu. Tapi kemudian kubulatkan tekad. Selama ini aku belum pernah mengikuti pengajian Keluarga Alumni Mesjid Salman yang diadakan sebulan sekali itu. Sebelumnya, aku akan senang sekali untuk ikut. Tapi tidak hari itu. Pekerjaanku banyak. Namun toh kubatalkan janji temu hari itu menjadi hari Jumat.

Aku berangkat bersama Masri (FT’03), Ghina (El’04), dan Mas Syarif (pengurus mesjid Salman, dosen Elektro), menggunakan mobil Mas Syarif. Kami berangkat pukul empat. Rencananya kami akan tiba pukul setengah tujuh di Komplek Perumahan Mensekneg, Slipi. Tapi Jakarta malam itu sedang dalam keadaan macet-macetnya. Ada sebuah bank yang terbakar di sisi tol Cawang-Priok. Entahlah, namanya juga Jakarta. Satu bisul di jalur jalan saja membuat seluruh jalur jalan raya terganggu. Parah lagi.

Alhasil, kami tiba pukul delapan kurang lima belas. Yang naik bis sewaan tiba pukul setengah sembilan. Yang naik bis bercerita, “Kami mah udah pasrah deh tadi.”

***

Di sana, di rumah dinas sementara Mensekneg baru, Hatta Rajasa, pengajian bulan ini diadakan. Tapi Bang Hatta sedang ke Semarang bersama Pak Presiden, jadinya tidak bisa menyambut tamu. Begitu masuk rumah dan beramah-tamah dengan anggota KALAM, aku dan Ghina langsung ke tempat makanan. Lapar. Setelah selesai makan, kami bergabung dengan peserta pengajian KALAM di ruang tengah. Acara sudah dimulai.

Pembicara yang diundang kali ini adalah Pak Syaiful Jamil (maaf kalau ada salah eja nama), Meneg BUMN baru. Setelah sambutan dari Bang Mus (Muslimin Nasution), Pak Syaiful dipersilakan menyampaikan materinya, tentang ‘BUMN Untuk Kesejahteraan Rakyat’. Segera setelah saya mendengar penuturannya Pak Syaiful selama lima menit, saya tidak menyesal karena telah datang ke pengajian KALAM malam itu.

Dia bercerita tentang latar belakangnya sebagai lulusan PGA. “Aslinya saya ini penceramah, bukan intelek. Saya bisa ada di sini semata karena saya telah memperoleh pendidikan. Pendidikanlah yang dapat menaikkan derajat seseorang. Tidaklah saya bisa berada di sini (menjabat posisi menteri dalam dua bidang) tanpa pendidikan.”

Tapi bukan itu yang menjadi topik utama pembicaraannya. Pak Syaiful bercerita panjang lebar tentang keadaan BUMN saat ini. Tanpa ragu, Pak Syaiful menceritakan betapa carut-marutnya kondisi BUMN dan betapa BUMN tinggal menunggu waktu kematian saja bila tidak segera diobati. Selama ini, BUMN Indonesia yang merupakan warisan dari Belanda dijalankan secara birokratis. Padahal sesungguhnya BUMN tidak ubahnya perusahaan. Namun karena tidak dijalankan dengan semestinya, seperti layaknya korporasi, semakin lama BUMN makin lemah.

Belum lagi adanya orang-orang tidak kompeten yang menjalankan BUMN. Bukan sekedar ‘ada’, tapi ‘banyak sekali’. Pak Syaiful menceritakan keadaan di PTPN. Selama ini, kepala bagian keuangan PTPN tidak ubahnya bendahara saja. Bendahara hanya menyimpan dan mengeluarkan uang. Tapi tidak mengelola keuangan perusahaan. Ketika Pak Syaiful meminta seluruh staf terbaik bidang keuangan dari dalam PTPN untuk diseleksi menjadi Manajer Keuangan, tidak satupun memenuhi syarat.

Ditambah lagi dengan keadaan di TELKOM, Pertamina, dan PLN. Mengenai Pertamina, Pak Syaiful bercerita tentang Medco. Medco makin lama akan menjadi saingan yang serius bagi Pertamina. Produksi minyak Medco perhari jauh lebih besar daripada yang dihasilkan Pertamina. Ladang minyaknya tersebar di beberapa negara asing. Dan kecepatan serta perkembangan usaha minyak Medco jauh lebih tinggi dari pada Pertamina yang sudah berdiri sejak lama. Maksudnya, berapa sih umur Medco? Berapa sih umur perusahaan minyak Medco?

***

Selain BUMN, Pak Syaiful pun membahas tentang situasi politik (tapi berkaitan dengan BUMN), tentang kekuatan Cina yang luar biasa saat ini (punya uang 1,300 milyar dolar AS tanpa utang), tentang pengalamannya sekolah di AS (beliau doktor di bidang pasar modal), dan kehidupannya sendiri. Sungguh panjang tulisan ini kalau mau diceritakan semua kata-katanya. Tapi salah satu bagian yang berkesan bagiku adalah ketika dia bercerita tentang teman kuliahnya di AS.

Satu kali temannya hendak pindah apartemen. Di AS, dalam hal sewa apartemen, bila ketika kita masuk apartemen kosong, keluar juga harus kosong kembali. Nah, saat itu Wayne Wide, teman Pak Syaiful sedang beberes. Namun dia bukan sekedar membereskan barang-barangnya saja—ini yang membuat Pak Syaiful heran. Lampu-lampu yang sudah rusak diganti kembali, bak cuci yang penyok diganti dengan baru, karpet yang sudah usang diganti dengan yang baru, dinding di seluruh penjuru apartemen dicat. Ketika ditanya Pak Syaiful apakah ini termasuk dari bagian perjanjian, jawab Wayne adalah tidak.

Pak Syaiful lebih heran lagi mendengar jawaban itu. Maksudnya, buat apa sih repot-repot mengeluarkan uang untuk sesuatu yang bukan kewajiban kita. Dia bertanya kenapa Wayne melakukan itu, yang menghabiskan sekitar 200 dolar untuk semua perbaikan di apartemen yang hendak ditinggalkannya.

Jawab Wayne sederhana: “Saya punya satu prinsip. Dimanapun saya berada, saya harus memberi nilai lebih.”

Sejak itu, cerita Pak Syaiful, diri Pak Syaiful berubah. Wayne, yang bukan muslim, yang barangkali tidak pernah mendengan hadis Rasul tentang “hari ini harus lebih baik dari kemarin” dan seterusnya, mengatakan dengan gamblang tentang sebuah prinsip yang dianjurkan Rasul. Pengalaman itulah yang memberi semangat pada Pak Syaiful untuk berbuat yang terbaik dan lebih baik lagi di manapun dia berada. Termasuk ketika menjabat sebagai Menneg BUMN. Memberi nilai lebih.

Mendengar penuturan Pak Syaiful Jamil, dari pukul delapan hingga sebelas malam, menyadarkan saya. Kesadaran ini muncul bersamaan dengan memori tentang aksi demo yang pertama kali (dan yang terakhir) saya ikuti. Saya langsung kapok dan tidak pernah mau ikut aksi lagi. Memori itu, berbaur dengan pengetahuan baru tentang keadaan BUMN, tentang rumitnya pekerjaan yang harus diselesaikan penyelenggara negara seperti Pak Syaiful, yang tidak sesederhana pendapat para mahasiswa (yang kebanyakan hanya pengamat saja), menjadikan segala protes itu tidak berarti. Sungguh mahasiswa tampak ‘tidak tahu apa-apa’ malam itu.

Entahlah, itu adalah persepsi saya. Sungguh malam itu saya menyadari betapa tidak berartinya pengetahuan mahasiswa dibandingkan dengan pengetahuan orang-orang seperti Pak Syaiful, yang sudah ditambah dengan pengalaman nyata di dalam pekerjaannya. Menjadi penyelenggara pemerintahan dan mengurus banyak orang tidaklah mudah. Tidak semudah yang ‘para pengamat’ kira.

Sungguh malam yang luar biasa. Meskipun solat magrib dan isya baru bisa dilaksanakan pukul satu malam di Bandung, meski tidur hanya dua setengah jam setelah itu, meski badan kelelahan, saya tidak menyesal. Dengan senang hati saya menanti kesempatan untuk bertemu Pak Syaiful lagi; juga dengan Pak Syaiful-Pak Syaiful lainnya. Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memberi nilai lebih, dimanapun mereka berada.

Friday, August 10, 2007

PR Kita Masih Banyak

Di sekolah mengemudi, seseorang yang ingin bisa menyetir mobil hanya diajarkan bagaimana cara mengemudi dengan baik. Well, sebelum saya lanjutkan, saya mesti memberitahu anda kalau saya belum bisa mengemudi mobil. Saya pun belum mengambil kesempatan untuk belajar menyetir, baik lewat sekolah maupun lewat gratisan (dari temen). Jadi, opini saya berikut ini adalah opini seseorang yang tidak punya pengalaman tentang sekolah mengemudi.

Yang saya beri cetak tebal adalah 'mengemudi dengan baik'. Benar, sepanjang yang saya amati, saat seseorang belajar mengendarai mobil atau motor, dia hanya belajar bagaimana dia bisa mengemudi dengan baik. Selepas itu, ada sedikit tambahan materi tentang peraturan lalu-lintas dasar seperti 'kalau lampu merah anda harus berhenti, lampu hijau berarti anda boleh melaju terus'. Mendasaaaaaar... banget! Terakhir, bagaimana dia akan menghadapi jalan raya, bagaimana cara nyelip atau nyalip, itu dipelajari secara otodidak lewat jam terbang.

...bagaimana dia akan menghadapi jalan raya, bagaimana cara nyelip atau nyalip, itu dipelajari secara otodidak lewat jam terbang.


Salah? Tidak. Memang sejauh itulah yang seseorang butuhkan supaya dia selamat sampai tujuan dalam berkendaraan. Tapi pertanyaannya: apakah sekedar bisa mengemudi dengan baik saja cukup? Tidak. Calon pengemudi masih perlu belajar tentang bagaimana bertata-tertib dan berlalu-lintas yang
benar dan beradab.

Sejauh yang saya tahu, di sekolah mengemudi (apalagi di
perguruan mengemudi swasta--di mana pengajarnya adalah orang yang dekat dengan kita), tidak ada kurikulum baku dan standar tentang bagaimana seharusnya pengemudi kendaraan itu bertata-tertib dan berlalu-lintas yang benar dan beradab. Kalaupun belajar tentang tata tertib mendasaaaaaaaaaar... banget, ya..., mendasar banget. Seperti 'zebra-cross' itu piranti bagi pejalan kaki untuk menyebrang jalan (atau jangan-jangan ada yang tidak tahu artinya?). Cuma sampai segitu saja.

Jadi tidak heran bila lalu lintas semrawut, tingkat kecelakaan di jalan raya tinggi, dan penduduk kota Jakarta banyak yang
tua di jalan sangking lalu lintas lebih sering macet ketimbang lancarnya. Bahkan di jalan tol sekalipun!

Jadi bila banyak supir angkot yang melanggar lampu merah, motor nyelip di luar jalur seharusnya, sampai membentuk 'bisul' (terjadi di jalan raya utama Cimahi perempatan Soekarno Hatta-Pasir Koja), dan area untuk penyeberangan (zebra-cross)
dimakan oleh mobil/motor saat lampu lalu lintas sedang merah, jangan buru-buru menyebut mereka 'gila', 'goblok', 'gak tau diri', atau 'egois'. Saya justru bertanya: memangnya mereka pernah diajari tentang 'menghargai hak jalan orang lain'? Memangnya mereka itu diberitahu tentang bertata-tertib dan berlalu-lintas yang benar dan beradab saat belajar mengemudi dulu? Memangnya mereka pernah belajar tentang itu?

Saya justru bertanya: memangnya mereka pernah diajari tentang 'menghargai hak jalan orang lain'? Memangnya mereka itu diberitahu tentang bertata-tertib dan berlalu-lintas yang benar dan beradab saat belajar mengemudi dulu?


Rasanya sih tidak.


Yah, PR (pendidikan tentang bagaimana cara menjadi warga negara yang tertib dan beradab) kita masih banyak. Daripada teriak-teriak tentang ketidaktertiban orang lain, ketidakbecusan orang lain, dan ketidak-ketidak orang lain lainnya, mending kita belajar menertibkan diri sendiri. Tapi kemudian harus diterapkan, jangan sekedar dipelajari saja.

[Maaf kalau belakangan ini pemilihan kata saya terlampau blak-blakan--siapa tahu ada yang menilai demikian. ^_^ ]

Friday, August 03, 2007

Enggak Setuju

Kini, setiap kali saya mendengar istilah 'prophet' untuk merujuk Nabi atau Rasul, saya sedikit mencak-mencak.

Pasalnya begini. Coba tilik kata 'prophet'. Kata ini dekat sekali hubungannya dengan 'prophecy'. Secara harfiah (ya mau yang mana lagi?), 'prophecy' berarti 'ramalan'. Nah, kalau begitu, orang yang disebut dengan 'prophet' itu berarti 'peramal dong?

Saya tidak mengerti, bagaimana mungkin tidak pernah (setahu dan sependengaran saya) ada orang yang protes tentang ini. Lantaran katanya arti dari 'prophet' itu adalah 'nabi', maka informasi itu diterima saja bulat-bulat tanpa dipikirkan secara teliti.

Arti harfiah dari 'rasul' itu adalah 'pembawa pesan dari Yang Maha Agung'. Singkatnya 'the messenger'. Entah bagaimana istilah 'prophet' bisa dihubungkan dengan dengan 'rasul', tapi saya tetap tidak setuju kalau Rasul itu disebut 'prophet'. Terdengar ofensif di telinga saya...


prophet

proph·et

Function: noun

Etymology: Middle English prophete, from Anglo-French, from Latin propheta, from Greek prophÄ“tÄ“s, from pro for + phanai to speak — more at for, ban
Date: 12th century

1) one who utters divinely inspired revelations: as aoften capitalized : the writer of one of the prophetic books of the Bible bcapitalized : one regarded by a group of followers as the final authoritative revealer of God's will

2) one gifted with more than ordinary spiritual and moral insight; especially : an inspired poet

3) one who foretells future events : predictor

4) an effective or leading spokesman for a cause, doctrine, or group

5) Christian Science a: a spiritual seer b: disappearance of material sense before the conscious facts of spiritual Truth

Cats

Let’s talk about cats this time.

Well, for the last four years I’ve been living in Wiranta Street. For those who don’t know where Wiranta Street is, it’s in Kelurahan Cicadas, near Cikaso Street and PPI. I live in a cozy two-stories little room, with a cheap water and electricity monthly bill. Rent it from Mr. Albert, the owner of Wiranta number 56, and pay the rent annually. The previous renter was a small family; so, officially I’m lucky to have this room for my own (or a small house, like i often call it).

Kelurahan Cicadas is a crowded neighbourhood. Yet it can be so quiet sometimes. I mean really, really quiet. This is another reason why I love this place. It will be noisy in the morning, where a lot of people go to work or students goes to school, and in the afternoon, after Asar time, when children playing with their friends and neighbours gather around in certain spot.

Now I’ll introduce you with my neighbour. On the left there is a boys dorm, for college students from Tora-tora, Middle Sulawesi. On the right there is another part of Mr Albert’s house, with three rooms, that now filled only with two male renters because the other one had moved to Cimahi after he got married. My room separated from those three so I can call my room as my small house and I call the men live in that three room as my neighbours from the next door.

The Tora-tora dorm is supervised by a man I use to call ‘Bapak from Tora-tora House’. I call him like that because I don’t know his name. Let’s just call him ‘Bapak’ for short. He has supervise Tora-tora House for around a year. He has a male cat, named ‘Manis’. Well, I think it’s name is ‘Manis’ because that’s what Bapak call it. It’s a cat with a stripped-grey fur and a white fur in it’s chest. It’s not a domestic Balinese or Javanese cat I guess; know it from its tail’s fur and behaviour. But it’s not an Angora Cat either.

I’ve been told once, that the cat are fed well by Bapak. When Bapak bought a meal for him, he choose a very decent one, often without fish or other ‘lauk’. But when he bought rice with fish or chicken, it’s guaranteed that he bought it for Manis. Bapak treat Manis better than himself. It’s more like his wife, they said, even though it’s a male cat. But why?




But when he bought rice with fish or chicken, it’s guaranteed that he bought it for Manis.


It’s smarter then the other two yellow-and-white-fur cats. It has a certain wit for not afraid of me (while the other two quite shy). It’s playful, and I often found it observed in front of my window. It dares to play outside Tora-tora house while the other two only play around the roof or the backyard. And you know what, it called me once.

When it called me, I was just about entering Mr. Albert’s front yard, intending to buy something from his store. And suddenly, “Miaow...” I’m a little bit startled so I searched for the sound. It came from the roof. ‘Cause it’s after Isya, you can’t expect to see everything on the roof clearly. Then I saw a pair of green-marble-eyes. And the cat shows it self. I said, “Hi.. What’re you doing up there?” I mean, I was really talk to the cat. It looked at me for a while, then disappear. That’s the first time I ever been called by a cat.




It’s not that cats don’t think. They do think in their own way—instinctively.


To make it simple, you’ll know that this cat’s smart from a quick observation. You can see that Manis ‘think’. It’s not that cats don’t think. They do think in their own way—instinctively. But, you can see through Manis eyes that it really think like human do. It understands human.

That’s why I prefer to call this cat (and any other cat, actually) with ‘him’ (or ‘her’), rather than ‘it’. I feel like he can understand human well. Very well indeed. And he pay attention to human’s activity more than any other cat. Well, I mean, you know, most cat seems so indifference to human if it’s not only cares about our food.

About two weeks before, around seven pm, I heard a sound from my window. When I turn my back to take a look, I saw Manis entered my room. But he quickly return outside when he saw me. Maybe he was curious about my wide open window. So he took a chance to observe. But maybe he didn’t expect to see me so he startled a bit and quickly return outside my window. But he didn’t run. He just play there, between my aloe vera pots, chasing a cockroach he found, then catch and smash it with his front paws. He knows that I’m watching him, but he didn’t afraid though I’m a stranger for him. He even accepted my over for rengginang. He like it maybe because it’s crunchy.
Yum... yum...

***

Now let’s take a look into Mr. Albert’s house. We’ll found another cat with different ‘intelligent’. Around January, a yellow-and white male kitten stranded in front of Mr. Albert’s house. I know because I was there when the kitten first came. It played around my leg and try to have my attention. It succeed; how could I ignore such cute kitten? That time, Tasha, the granddaugther of Mr Albert, saw the cat too. Two days later I found that the kitten was taken by Tasha and it become a Mr.Albert’s house cat. His name is ‘Jacky’.

I didn’ t really pay attention to Jacky’s growth. But as I went to Mr. Albert’s house more often—to fill my water jug—I noticed that Jacky is getting bigger. I rarely saw Jacky for he’s been locked outside at noon and placed in Mr. Albert’s small store at night to keep it safe from rats. He’s bigger than any other average cat in my neighbourhood. I can see that he has a stocky and healthy figure for his age.

He always play around people’s leg for fun. And he did that to everybody, all the time, as though he never played before. He bite my leg or scratch my flip-flop when I went to Mr. Albert’s house, every time he ‘relesed’ from the backyard. And that’s hurt. Plus, he ruined the upper part of my flip-flop; made it look more ugly and unpleasant. But he amazed me by his playful spirit and friendly behavior. I guess he see my flip-flop as a white-ugly-moving creature, teasingly enough to be attacked.

When I discussed about how Jacky could be stocky and feisty with Teh Rina, Mr. Albert’s daughter, she said, “That’s because we gave him fish two-three times a day.” Well, Mr. Albert also sell ‘nasi rames’ besides daily needs, so it’s not hard to fed Jacky with fish or even chicken. “Even us, his master, don’t eat fish that much everyday. Normally, we only eat fish or chicken or meat once a day,” she added.




“Even us, his master, don’t eat fish that much everyday..."


So that’s where all the feisty behaviour and intelligence come: two-three times daily fish++. It become my personal note that to have an intelligent and healthy cat, I have to make sure that they fed well. Just like we want the children intelligent and healthy. Food determine one’s intelligence, wether it’s human or cat.

It’s a pleasure for me, a cat lover, to find two intelligent cats near me, for I never found such cats before. So, when I found one, I’m sure that cat is either non-domestic breed and/or a domestic cat that fed well since the cat still a little kitten. Anyway, it’s hard to find a smart and healthy cat in most Indonesian area. There are so many of them, over populated (there still no cat birth control here), under-nourished. There are more cats in the street than people who cares about them. Just can’t blame anyone, huh?

Tuesday, July 03, 2007

Merevisi Persepsi Tentang 'Pembantu"


Siapa yang tidak pilu melihat rupa Ceriyati setelah dia melarikan diri dari majikannya?



Sang Majikan Ceriyati sendiri.

Bila Sang Majikan memiliki rasa pilu sedikit saja, tentu mereka tidak akan sampai hati meletakkan tangan di tubuh Ceriyati, sedikitpun.

Ceriyati tidak sendiri. Ceriyati bukan yang pertama. Ada ribuan Ceriyati lain di luar sana, dengan nasib tak kalah memilukan. Tapi, sampai saat ini, Ceriyati-Ceriyati itu baru bisa berpuas diri dengan perhatian Kedubes RI, penampungannya, serta jaminan kepulangan ke tanah air. Dengan banyaknya kasus tak tuntas semacam ini, lama-kelamaan kisah kehidupan TKI hanyalah berita basi. Terulang lagi..., terulang lagi.

Bila menggunakan analisis dingin, mungkin majikan Ceriyati: 1) merasa kekayaan, status, harkat, derajat, martabat, IQ-nya lebih tinggi dari pembantunya, 2) memahami makna ‘pembantu rumah tangga’ sebagai budak yang bisa diperlakukan seenaknya. Dua alasan tadi nampaknya digunakan majikan Ceriyati sebagai pembenaran dari tindakan kejamnya.

Sampai sekarang, saya tidak habis pikir: bagaimana bisa seseorang berlaku sekejam majikan Ceriyati? Saya tidak pernah bisa mengerti, bagaimana mungkin seseorang bisa meletakkan tangannya pada orang lain secara zalim? Bagaimana bisa seseorang dipandang dan diperlakukan rendah lantaran dia mengerjakan urusan rumah tangga yang belum tentu bisa dikerjaan sang Majikan?

Saya belum menemukan logika dari tindakan yang merendahkan pembantu yang bekerja mengurus rumah tangga (ataupun pemilik pekerjaan kasar lainnya). Ada yang bisa membantu?

Ada yang tahu istilah ‘pembantu rumah tangga’ dalam bahasa Melayu? Sudah sejak lama saya penasaran dengan istilahnya serta bagaimana istilah itu dimaknai di Malaysia. Sebenarnya bukan hanya istilah Melayu saja. Saya juga penasaran, istilah apa yang digunakan orang Arab untuk menyebut para TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga mereka.

Ingin tahu saja, adakah konotasi atau mungkin nilai rasa negatif. Sungguh, dari istilah ‘pembantu’ dalam bahasa Indonesia, saya tidak menemukan sedikitpun makna yang bisa membenarkan tindakan majikan Ceriyati. ‘Pembantu’ yang pembantu, orang yang bantu-bantu. Senang gak sih kalau ada orang yang membantu meringankan pekerjaan kita?

Coba tengok jabatan ‘Purek’ alias Pembantu Rektor. Pemangku jabatan itu kan ‘pembantu’ juga. Tapi kenapa ya, saya belum pernah mendengar tindakan merendahkan dari Rektor pada Purek? Bila profesi pembantu profesi yang hina, kenapa Purek tidak pernah melarikan diri ke Polisi akibat dikasari atasannya? Apalagi sampai dibuat babak belur semacam Ceriyati.

Menilik fungsinya, pelayan dan butler di rumah-rumah bangsawan atau orang kaya Inggris juga ‘pembantu rumah tangga’ kan? Mereka mengurus segala hal, mulai dari menyiapkan makanan, bebersih, menata meja makan, mengurus pakaian, hingga menerima tamu. Namun citra pelayan Inggris ini begitu terhormat dan tinggi. Kenapa sih para TKI yang bekerja di luar negeri, yang sudah memberikan pemasukan devisa cukup besar bagi RI, tidak dibantu untuk memiliki citra seperti itu?

Keprihatinan saja tidak cukup. Ucapan janji dari pemerintah tidak akan bisa mengganti pengalaman buruk yang telah didapat para TKI, secara fisik maupun psikologis. Para TKI itu bekerja mencari nafkah secara halal, bukannya korupsi atau mencuri.

Yah, paling enggak mereka dibantu dengan serius lah... Misalnya dengan memahami makna ‘pembantu rumah tangga’ yang sebenar-benarnya, tanpa mengikutsertakan persepsi serta paradigma keliru kita—apalagi kalau bukan akibat dari kesombongan?

Beneran lho, menurut saya, definisi yang kabur dari istilah ‘pembantu rumah tangga’ sedikit banyak berperan pada nasib buruk para TKI kita. Jadi, ada baiknya bila para majikan melakukan redefinisi dari ‘pembantu rumah tangga’. Bila definisinya sudah dikembalikan ke ‘jalan yang benar’, mudah-mudahan persepsi para majikan berubah. Yakinlah bahwa setiap orang berbuat sesuai dengan persepsinya. Bila sang Majikan berlaku kejam pada Ceriyati, anda bisa mengira-ngira bukan, apa yang menjadi persepsinya?



per·cep·tion [pÉ™r sépshÉ™n]

(plural per·cep·tions)

noun

1. perceiving: the process of using the senses to acquire information about the surrounding environment or situation

· the range of human perception

2. result of perceiving: the observation or result of the process of perception

· After watching the experiment closely, he noted his perceptions in his lab notebook.

3. impression: an attitude or understanding based on what is observed or thought

· a news report that altered the public’s perception of the issue

4. powers of observation: the ability to notice or discern things that escape the notice of most people

5. psychology neurological process of observation and interpretation: any of the neurological processes of acquiring and mentally interpreting information from the senses

[14th century. Via Old French from the Latin stem perception- , from percipere (see perceive).]

Microsoft® Encarta® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Sunday, June 24, 2007

Yang Hilang

Lima tahun yang lalu saya menginjakkan kaki ke Bandung. Paris van Java... Tempat yang menjanjikan sejuta harap, kesejukan, kesegaran, bagi kehidupanku yang terasa makin gersang di Jakarta--lupakan!

Barusan saya cuma cuap-cuap sentimentil dan mendayu-dayu aja, ketika mengingat saat pertama kali ke Bandung.

Sebagai pendatang baru di Bandung, banyak yang harus dipelajari. Termasuk bahasa Sunda, yang terdengar seperti rentetan omelan denga nada menari-nari, di telinga yang terbiasa mendengar logat Betawi. Belum lagi trayek angkot, makanan khasnya, plus tata sosial yang kental bernuansa Sunda.

Ambil contoh makanan. Saya terheran-heran ketika melihat ada cabe yang menyerupai tapi berwarna hijau muda seperti tomat mentah, dan berukuran kecil. Cabe gendot namanya. Huruf 'e'-nya dibaca seperti dalam kata 'pepes', bukan 'peuyeum'. Itu baru satu. Yang membuat saya lebih heran adalah ketika melihat kacang merah disayur!

Beneran, itu aneh. Saya sebagai orang Sumatera hanya mengenal asosiasi 'manis' buat kacang merah. Ya, di Sumatera, kacang merah digunakan sebagai bahan es campur. Kacang merah direbus dalam air gula, kadang diberi warna merah supaya makin cantik. Atau...., kacang merah dibuat bubur. Tapi saya jarang mendengar ada yang membuat bubur kacang merah.

Disayur? Bener-bener baru buat saya. Bukannya gak enak sih... Aneh aja...

***

Sekarang adat istiadat atau tata sosial di Bandung. Karena ukurannya lebih kecil dan didominasi budaya Sunda, wajar kalau orang Bandung jauh lebih 'terasa' ramah dibandingkan dengan orang Jakarta. Seramah-ramahnya orang Jakarta, masih kalah ramah dari orang Bandung saat pertama kali bertemu di jalan (artinya tidak saling kenal sama sekali).

Belum lagi dengan kebiasaan mengatakan "Punteun" di saat kita melewati orang di pinggir jalan, tidak peduli kita kenal atau tidak. Semua itu mencengangkan saya. Sungguh suatu bentuk keramahan dan kekeluargaan yang luar biasa (untuk ukuran orang Jakarta). Sungguh, saya belajar bertata-krama yang sopan (sekali) dari orang Sunda.




Tapi bukan berarti yang 'tidak sopan' tidak ada. Banyak juga yang tidak mencerminkan citra orang Sunda ideal. Biasanya anak-anak muda yang rada longgar dalam tata krama. Saya terkejut ketika mendapati ada mahasiswa Institut Gajah Duduk yang berceloteh santai menggunakan kata 'anj#*&@' berkali-kali. Gille beneerrrr, komentar saya dalam hati, menurut versi orang Betawi.



Sepreman-premannya gaya orang Jakarta, pelajar terutama, yang bisa ngomong 'anj#*&@' sering-sering itu adalah yang kasar banget, yang hidupnya memang 'pinggiran' banget. Menurut nilai rasa orang Jakarta (saya), 'anj#*&@' adalah umpatan yang sangat, sangat kasar. Kalaupun disebut, tidak sesering di Bandung (oleh pemuda tertentu).

Itu mahasiswa lho, dan mahasiswa dari Institut yang katanya berisi otak-otak terbaik di negeri ini. Tapi ternyata 'otak terbaik' itu cuma dari segi kemampuan berpikir, tidak secara keseluruhan, termasuk pribadi yang berbudi pekerti tinggi. Kalau di tempat seperti Institut Gajah Duduk saja begitu, bagaimana yang tidak di sana? Seperti di daerah Cicadas, tempat yang terkenal karena dulunya 'kawasan preman bagaimana?

Yah, saya pernah iseng menghitung, berapa kata 'anj#*&@' yang keluar dari mulut anak-anak umur 11 - 17 tahun di sekitar tempat kos saya. Alhasil, dalam satu menit, terucap kata 'anj#*&@' sepuluh sampai dua belas kali. Keren kan? Rata-rata setiap lima hingga enam detik sekali keluar kata 'anj#*&@'... Angka yang sama berlaku untuk percakapan antar teman (laki-laki biasanya) di angkot. Angka ini membuat saya berpikir, memangnya mereka gak punya kosakata lain ya? Gawat, ini gara-gara guru Bahasa Indonesianya atau gara-gara pergaulan?

***

Lima tahun kemudian, saat ini, saya bisa merasakan perubahan tata sosial di dalam masyarakat Bandung. Generasi muda yang saat saya tiba di Bandung masih duduk di bangku SD, sekarang sudah beranjak remaja. Saat mereka SD, arus globalisasi sedang gencar-gencarnya, membanjiri mereka dengan segala konsep, budaya, gaya hidup Barat, BAIK DAN BURUK. Sayangnya, dengan tipisnya lapisan 'tengah*' di Indonesia, yang berisi kaum intelek, pemikir, lulusan perguruan tinggi, jangan heran kalau yang sekarang mendominasi dari segi jumlah adalah anak-anak muda yang "Barat Wannabe".

Tidak banyak yang bisa lolos dari sergapan pengaruh Barat, sehingga mereka melupakan identitas diri mereka (sebagi orang Indonesia) dan tidak bangga menjadi orang Indonesia. Mereka bangga dengan label dan gaya hidup Barat, yang dijiplak mentah-mentah. Bila, mungkin, yang sedang populer di film-film adalah punya mobil pribadi, barangkali mereka akan setengah mati ingin punya mobil.

Kondisi ini jelas sangat saya rasakan. Keacuhan generasi muda Bandung (meski tidak semua) makin tinggi. Mereka makin cuek, makin hedonis, dan makin sudah untuk berkata "Punteun" saat lewat di depan orang lain DAN menjawab sapaan "Punteun" dari orang lain. Sesuatu yang tadinya merupakan ekspresi kekeluargaan dan keakraban, makin lama makin memudar. Kata "Punteun" tidak lebih dari sekedar basa-basi tidak perlu. Kalau tidak bisa dikatakan 'yang hilang', yah, katakanlah berkurang di generasi muda.

Entahlah. Ini penilaian saya sebagi orang Jakarta. Sungguh, tinggal di Bandung menjadikan saya lebih lembut dan empatik. Tapi tidak demikian halnya dengan orang Bandung sendiri (generasi muda). Mungkin karena mereka hidup di tengahnya, dan merasa bosan menjadi bagian dari masyarakat yang bertata-krama, mereka ingin sekali-kali merasakan 'pemberontakan'. Mungkin.

***

Cuaca Bandung benar-benar mendukung musim kering: matahari terik bersinar, seolah jaraknya semakin dekat dengan bumi. Pepohonan di daerah jalan Diponegoro ditebangi--yang katanya untuk alasan keamanan, lantaran beberapa pohon tua sempat ambruk diterjang angin. Lama-kelamaam, kesejukan khas Bandung yang biasa saya rasakan, kadang dingin yang menggigit, tak peduli musim hujan atau bukan, menghilang. Ini baru kesimpulan saya sebagai pengamat awam, bukan ahli cuaca. Kadang gerah yang terasa tidak bisa dibedakan dari gerahnya Jakarta.




Dengan semakin banyaknya yang hilang dari Bandung, saya bertanya-tanya. Apakah ini memang alami--sesuatu yang memang mesti terjadi di satu waktu, atau ini adalah akibat dari abainya manusia terhadap yang dimiliki? Saya tidak berharap penduduk Bandung baru menyesal justru ketika mereka sudah lama kehilangan. Tipikal manusia...



*Kita bicarakan lain waktu aja soal 'lapisan bawah', 'tengah', dan 'atas' yang saya maksud. Klasifikasi ini berdasarkan taraf pendidikan, intelektualitas, dan ekonomi.

Definisi & Kerangka Berpikir

Apa itu ‘definisi’? Untuk bisa menerangkan konsep saya tentang ‘definisi’, saya tidak akan langsung mendefinisikannya. Akan lebih mudah bila saya menerangkannya begini saja: Definisi akan sesuatu itu, ternyata berisi tentang apakah sesuatu itu, gambaran tentang sesuatu itu, cakupan, serta batasannya. Secara eksplisit, tidak semua definisi memiliki semua poin yang saya paparkan barusan. Namun bila pembaca mau mencermati baik-baik, secara tersirat definisi sudah mencakup keempat poin tadi.

Nah, sekarang kita masuk ke ‘kerangka berpikir’ atau ‘paradigma’.

Kerangka berpikir seseorang dibangun oleh apa yang digunakannya sebagai ‘bata-bata definisi’. Contohnya begini: kalau sejak awal yang seseorang definisikan sebagai ‘warna hitam’ adalah warna merah yang kita kenal, maka setiap kali melihat warna merah, dia akan mengenalinya sebagai ‘warna hitam’. Tak peduli orang lain mau berteriak-teriak di telinganya hingga hilang akal, kalau dia mendefinisikan ‘warna hitam’ adalah warna merah yang kita kenal, malah dia yang akan menganggap orang lain gila.

Setiap orang memakai atau membuat definisinya sendiri. Itulah yang terjadi di dunia ini, disadari atau tidak. Namun dunia ini tidak sampai kacau karena ada ‘bata-bata definisi’ dasar yang bisa dimengerti dan diterima oleh banyak orang. Kenapa? Karena ‘bata-bata definisi’ itulah yang dialami oleh setiap orang. Contohnya begini: lewat pengalaman, akhirnya setiap orang mengetahui bahwa dia pasti jatuh terhempas kuat ke tanah, bila dia terjatuh/melompat dari atap sebuah gedung. Tak peduli dia orang baik ataupun orang jahat. ‘Bata-bata definisi’ dasar inilah yang biasa kita sebut ‘hukum (alam)’.

Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, ‘definisi’ makin intens diteliti, sehingga struktur yang ada dalam definisi itu terungkap dengan gamblang. Manusiapun makin mengerti tentang definisi dasar dan turunannya yang terjadi pada diri, lingkungan, tempat hidup, dan keseharian mereka. Dengan mengenali definisi yang berlaku pada (atau yang digunakan oleh) diri mereka, manusia makin mengenali diri mereka sendiri. Bisa dikatakan, sedikit banyak definisi-definisi inilah yang ‘membentuk’ seseorang.

[Tapi di sini saya tidak sedang berupaya untuk mendefinisikan manusia. Manusia masih terlalu kompleks untuk bisa saya definisikan sendiri. Oleh karena itu, saya menggunakan definisi yang diberikan oleh pencipta manusia saja.]

Saya akan memberi sebuah contoh berkenaan dengan pengaruh definisi terhadap kerangka berpikir seseorang. Saya pernah menemui orangtua yang sedikit-sedikit menyebut anaknya bodoh. Mulai dari karena anaknya tidak terlalu pandai dalam matematika, hingga karena anaknya ceroboh dalam membawa piring makannya, sehingga terjatuh dan pecah. Kalau hanya itu saja, mungkin kondisi anaknya sedikit ‘lebih baik’. Tapi beliau menambahkan ucapan bodohnya dengan entah cubitan, tempelengan, atau dorongan keras. Terlalu emosional nampaknya orangtua kita yang satu ini.

Bila anda sempat melihat tulisan Bodoh vs Bijaksana, anda bisa melihat bahwa beliau memiliki definisi ‘bodoh’ yang kabur, tidak terlalu jelas. Saat anaknya dinilai tidak terlalu pandai dalam matematika, wah, yang ini sih sudah jelas: si Anak tidak terlalu pandai dalam matematika. Si Anak bukannya bodoh. Dia (sudah tertulis jelas dari tadi) hanya tidak terlalu pandai matematika (atau mungkin malah belum saja?). Mungkin si Anak hanya perlu diajari matematika dengan metode lain.

Saat anaknya kurang hati-hati membawa piring, beliau menyebutnya bodoh lagi. Padahal yang terjadi adalah anaknya ceroboh, belum tentu bodoh. Kalau ‘tidak pandai’ dan ‘ceroboh’ disamakan dengan ‘bodoh’, saya curiga bahwa yang didefinisikan beliau sebagai ‘bodoh’ adalah segala hal yang dianggap tidak beres dari anaknya. Kesimpulan beliau: anaknya memang bodoh (karena apa yang dilakukannya tidak ada yang beres/sempurna). Padahal mah, rasanya pemahaman beliau tentang kata ‘bodoh’ dan anak yang perlu diperbaiki. Hm...hm...hm... Oke, saya memang belum menikah apalagi menjadi orangtua. Tapi tanpa pengalaman itupun saya mengerti bahwa seorang anak adalah seorang anak. Kalau kita mengharapkan seorang anak bisa melakukan segalanya segera setelah lahir, apa gunanya orangtua dan pendidikan kalau begitu?

Kembali ke masalah definisi. Melalui contoh barusan, saya ingin menyampaikan tentang pentingnya kita mengecek definisi yang kita gunakan sebagai landasan berpikir. Saat definisinya kabur, tidak jelas batasannya, pikiran kita akan sulit mengenali perbedaan antara dua hal. Ibaratnya mata kita menderita rabun jauh, tapi kacamata yang kita gunakan adalah untuk yang rabun dekat. Mana bisa kelihatan? Kerangka berpikir kita pun terbentuk tidak dengan baik, tidak tertata, bahkan kacau. Ujung-ujungnya, persepsi kita keliru, kesimpulan kita jauh dari benar. Dan sayangnya, karena kita bertindak menurut apa yang ada dalam pikiran kita. Jadi tindakan kita bisa menjadi tidak tepat atau keliru.

Selain mengecek definisi yang kita gunakan, kita juga harus mengecek sejauh mana kita memahami definisi itu. Kita harus betul-betul cermat tidak hanya pada definisinya, tapi juga pada pemahaman kita akan definisi itu. Bisa saja kita menggunakan definisi yang benar, tapi pemahaman kita keliru. Itu sama saja dengan ‘membuat definisi sendiri’.

Sebagai penutup, saya ingin bercerita sedikit. Belakangan ini saya dibanjiri ide dan ilham yang berkaitan dengan dua kata, ‘definisi’ dan ‘kerangka berpikir’. Beberapa pemikiran berputar di kepala saya, siap untuk ditulis. Beberapa tulisan saya setelah ini mungkin tidak memiliki topik yang serupa. Tapi benang merahnya jelas: semuanya berkaitan erat dengan bagaimana kita menggunakan dan memahami definisi serta kerangka berpikir yang dihasilkannya. Tunggu saja. Dan anda akan melihat benang merahnya. Semoga...

Thursday, May 24, 2007

Bagaimana Kau Mengingat Kematian?

Berawal dari blog pejalanjauh. Ketika melihat komentar Sang Pejalan Jauh ini, saya tertarik untuk bersua ke blognya. Melihat catatan-catatan perjalanannya, kesan tertinggal di hati ini. Kemudian aku terhenti di catatan tentang Bukan Pasar Malam dan Sang Pengguratnya, Pramoedya Ananta Toer. Pun kemudian aku melihat catatan tentang Irwan Kurniawan, adik dari Sang Pejalan Jauh.

Entahlah, mungkin karena Pram, atau mungkin karena keindahan karyanya, atau karena kepergiannya, atau karena dua catatan beriring tentang kepergian Irwan, adik Sang Pejalan Jauh, tiba-tiba hati ini diselimuti kabut kesenduan. Tanpa bisa dicegah--seperti biasanya--hati berujar, "Bagaimana kau mengingat kematian?"

Apakah itu teguran untuk diri ini, atau sekedar judul pembuka dari memori-memori yang mengiringinya, aku tidak tahu. Karena kemudian slide-slide dalam warna sephia diprojeksikan ke salah satu sudut benakku. Slide-slide itu berisi memori di masa lalu yang entah bagaimana, hadir...

Bagaimana aku mengingat kematian?

Mungkin dengan memori tentang seorang kawan bernama Novi.

Aku masih bisa melihat wajahnya dengan jelas. Saat itu hari Ulangan Umum di SMP 19 Bekasi. Keheningan saja yang hadir, dan tentu saja, asap tak kasat mata yang melayang dari kepala-kepala pemikir muda di kelas itu. Jam tangan kugeletakkan di meja. Lalu...

"DIT-DIT...DIT-DIT!"

Peringatan itu memecah kesunyian kelas. Pukul sepuluh tepat. Tapi tidak ada yang bergerak. Semua kepala masih tertunduk. Entah kenapa, setelah mendengar peringatan itu, aku bertatapan dengan seorang teman lain, di meja di sebelah depan, baris sebelah kananku. Seolah suara itu begitu berarti. Dan mengapa kami memilih untuk bertatapan di jam sepuluh tepat itu, setelah sekian hari ujian dalam kelas yang sama, dan entah berapa kali bunyi peringatan jam, kami belum tahu. Kami lalu kembali menekuri soal-soal. Keheningan kembali berkuasa.

Tapi nampaknya tahta keheningan tidak pernah bisa lama berkuasa hari itu. Selang setengah jam kemudian, Andi, sang Ketua OSIS, salah satu sobat kentalku, memasuki kelas dan membawa kabar duka itu.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah berpulang ke rahmatullah, teman kita semua, Novi, di RSU Bekasi, jam sepuluh... Kepada teman-teman yang hendak melayat setelah ujian ini, dipersilakan untuk berkumpul di bawah."

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Bahkan pikiran pun tidak bisa melintas. Aku dan temanku tadi kembali berpandangan. Tanpa kata-kata, kami kembali bertatapan. Seketika itu juga kami mengerti, mengapa kami bertatapan sebelumnya. Kami mengerti.

Aku, yang sudah selesai mengerjakan ujianku, segera keluar stelah pengumuman selesai. Aku terdorong untuk mencari udara segar. Posisiku sebagai sekretaris Osis memungkinkan hal itu. Saat kutatap kejauhan, melintasi padang alang-alang di samping sekolah, aku bisa berpikir kembali. Kemarin, baru kemarin, aku masih bersamanya, tersenyum, mengerjakan ujian di kelas yang sama. Dia duduk di belakang. Aku masih ingat sweater merah yang dikenakannya, dia memang terlihat sakit. Namun hari ini, dia sudah tiada...

Bagaimana aku mengingat kematian?

Entahlah. Saat itu aku tidak bisa mengerti. Seolah yang terjadi saat itu tidak nyata, hanya ada dalam pikiranku saja. Namun aku tidak berlama-lama. Aku pun mengikuti temanku untuk berkeliling ke kelas-kelas lain , mengulangi berita yang semakin menyayat hati ketika disampaikan. Tanpa perlu susah payah, rombongan kelas dua, dari OSIS, guru-guru, anggota Paskibra SMP 19 Bekasi, teman-teman yang kenal Novi, berkumpul di depan kantor TU. Kami berangkat ke rumah duka.

Di rumah duka, aku tidak bisa mengeluarkan air mata. Entah..., kurasa kesedihanku lebih dalam dari sekedar air mata.

Novi dimakamkan di TPU Cilincing, Jakarta Utara. Tempat yang sentimental. Aku selalu merasa sentimentil bila pergi ke sana. Entah karena ingatan tentang Novi, entah karena kenyataan bahwa ibuku pun dibaringkan di hamparan tanah yang sama, tujuh tahun yang lalu.

Bagaimana aku mengingat kematian?

Mungkin dengan kesenduan lembut yang hadir memenuhi benakku saat kuingat Novi. Mungkin dengan kerinduan yang kerap membayang ketika kuingat Umi...

Entahlah...

Bodoh vs Bijaksana

Saya berkesempatan membaca buku terbaru dari Rhenald Kasali yang berjudul Re-Code Your Change DNA pada tanggal 20 Mei 2007, tepat pada hari Kebangkitan Bangsa. Saya terserap sepenuhnya pada buku itu. Sayangnya, saya hanya bisa menyelesaikan separuh dari buku ketika teman yang meminjamkannya hendak pergi.

Sebenarnya saya bisa menyelesaikannya dengan cepat seandainya saya tidak membaca sambil mencatat. Mencatat yang saya maksud adalah mengetikkan hal-hal penting yang saya peroleh dari buku itu ke dalam sebuah file. Itu kebiasaan saya; mencatat hal-hal penting dari buku yang saya baca. Banyak sekali ide, kutipan, dan kisah yang menarik serta menginspirasi di sana. Salah satunya tentang saat kita bodoh, kita berpikir untuk menguasai orang. Saat kita bijak, kita akan berpikir untuk menguasai diri sendiri.

Setelah berpikir cukup panjang, saya mendapatkan sebuah pemikiran menarik tentang Bodoh vs Bijaksana. Ide tentang Bodoh vs Bijaksana ini tidak langsung didapat setelah berpikir tentang ‘saat kita bodoh, kita berpikir untuk menguasai orang’ dan seterusnya. Saya melewati berbagai pemikiran lain tentang manajemen dan bisnis dulu. Ketika tiba pada topik cara-cara yang diterapkan dalam bisnis, baru saya terpikir tentang Bodoh vs Bijaksana. Berikut ini hasil olah-pikir saya.

Saya menimbang-nimbang..., kemudian memutuskan bahwa antonim dari ‘bodoh’ adalah ‘bijaksana’. Demikian pula sebaliknya, lawan kata ‘bijaksana’ adalah ‘bodoh’. Bila dilihat sekilas, pendapat saya akan dianggap tidak tepat, bahkan ngawur. Secara umum kita mengetahui bahwa lawan kata ‘bodoh’ adalah ‘pintar’. Tadinya saya berpendapat demikian. Tapi hasil pemikiran saya malah menunjukkan kalau lawan kata ‘bodoh’ bukan hanya ‘pintar’. Lawan kata ‘bijaksana’ bukan sekedar ‘tidak bijaksana’. Ada alasan yang logis (dan saya sendiri baru menyadarinya) untuk kesimpulan itu dan saya akan menceritakannya untuk anda.

Dalam kata ‘bodoh’, terkandung makna ‘ketidaktahuan’. ‘ketidaktahuan’ adalah makna yang paling dasar dari ‘bodoh’. Ternyata, makna ‘ketidaktahuan’ dari kata ‘bodoh’ tidak lantas menyebabkan ia memiliki lawan kata ‘pintar’. ‘pintar’ tidak sekedar ‘tahu’, tapi ada kandungan makna ‘kemampuan berpikir yang tinggi’ di sana. Dari sini kita memperoleh fakta baru bahwa dalam kata ‘bodoh’, terkandung makna ‘kemampuan berpikir yang rendah’. Karena makna ini, memang tepat bila ‘bodoh’ memiliki lawan kata ‘pintar’.

Sekarang saya minta anda untuk mengingat-ingat. Kapan anda menyebut seseorang bodoh? Jawaban dari pertanyaan barusan tentu lebih dari satu. Kita akan menyebut seseorang bodoh ketika orang itu tidak tahu apa-apa dan/atau lamban berpikir. Itu baru dua.


Sekarang saya akan bertanya lagi. Kapan tepatnya anda mengumpat pada orang (entah di dalam hati maupun secara verbal) dan menyebutnya bodoh? Ternyata, kala kita sedang kesal pada seseorang, kita menyebutnya bodoh tidak melulu lantaran dia tidak tahu atau lamban berpikir. Kita menyebutnya bodoh karena orang itu melakukan tindakan yang ceroboh, dan/atau kurang hati-hati, dan/atau tidak cermat dan/atau kurang pertimbangan. Dari sini, saya mendapati bahwa kata ‘bodoh’ tidak hanya mengandung aspek ketidaktahuan dan rendahnya kemampuan berpikir, tapi juga mengandung 'kecerobohan', 'ketidakhati-hatian', 'ketidakcermatan', dan 'kurang pertimbangan'.

Apakah dalam kata ‘pintar’ terkandung kemawasan, kehati-hatian, dan kecermatan? Ternyata, sepengetahuan saya, tidak. Seseorang boleh pintar, tapi belum tentu dia mawas diri, hati-hati, cermat, dan penuh pertimbangan. Sementara itu, orang yang bijaksana sudah tentu pintar dan... mawas diri, hati-hati, cermat, serta penuh pertimbangan. Demikianlah aspek-aspek dalam makna ‘bijaksana’ yang saya ketahui.

Setelah menimbang-nimbang dengan teliti, saya sampai pada kesimpulan sementara bahwa lawan kata ‘bodoh’ adalah ‘pintar’ dan ‘bijaksana’. Jadi ada dua lawan kata dari ‘bodoh’, yang penggunaannya bergantung pada konteks pembicaraan kita. Tapi, mengingat dalam kata ‘bodoh’ terkandung makna-makna yang tidak tercakup oleh lawan katanya yang ‘pintar’, saya menobatkan ‘bijaksana’ sebagai lawan kata ‘bodoh’ yang tepat.

Saya menduga-duga apa yang membuat nominasi untuk lawan kata dari ‘bodoh’ tidak tunggal. Apakah karena bahasa Inggris yang lebih detil dalam istilah itu yang memberi pengaruhnya pada bahasa Indonesia, sementara pilihan kata dalam bahasa Indonesia terbatas?


Entahlah, saya tidak bisa gegabah, meskipun hanya menduga. Saya memikirkan topik Bodoh versus Bijaksana ini hanya berdasarkan pada wawasan yang saya peroleh, hingga saat ini. Hanya menggunakan common sense. Besar kemungkinannya ahli linguistik atau bahasa akan protes.

Tapi... kesenangan mengulik-ulik makna kata, struktur, dan relasinya mengasyikkan buat saya. Kegiatan ini membawa saya menyelam masuk ke kedalaman sebuah makna kata. Yah, paling tidak saya bisa lebih kritis dalam berbahasa dan berbicara; tidak sekedar asal jeblak aja.



Oh ya, saya berharap anda tidak bosan dengan ulik-ulik bahasa yang saya lakukan belakangan ini. Saya punya semacam kekhawatiran, para pembaca akan mual-mual atau bahkan mati kebosanan karena topik yang saya pilih untuk pikirkan dan tulis. Semoga saja anda senang membacanya. :D

Tuesday, April 24, 2007

Kapan Harus Menginggris

SUMBER: Kompas, 13 April 2007

[Pengantar: Dosen mata kuliah Karir Dalam Matematika saya, bu Indah, sangat kritis terhadap bahasa. Beliau sering bercerita tentang beragam kekeliruan dalam berbahasa di kalangan orang Indonesia, bahkan di kalangan dosen dan mahasiswa yang 'katanya' intelek. Hari Jumat lalu, beliau membawa file tulisan ini dan menampilkannya di depan kelas. Saya tertarik untuk mengutipnya juga di sini; bagi-bagi informasi. Semoga saja kita lebih mawas dalam berbahasa, tidak sekedar berbicara "asal keren". Silahkan dinikmati...]


Jauh sebelum kami berkunjung di Indonesia beberapa bulan yang lalu, saya sudah memutuskan untuk tak cepat terbawa emosi ketika melihat bahasa Indonesia dan bahasa Inggris bergaul dengan ria dan liar. Saya sudah yakin pergaulan ini menjadi-jadi dan tak kenal batas kewajaran.

Tak ada gunanya, saya berkata kepada diri sendiri, menjadi kebakaran jenggot hanya karena sejumlah kosakata dan bentuk tata bahasa Inggris berdansa di tengah-tengah kata dan gramatika Indonesia. Tak ada gunanya, saya berkata pula, menggaruk kepala yang sudah gundul guna mencari alasan perihal ini. Tak ada gunanya perduli.

Sebelum berangkat saya bahkan punya pikiran bahwa saya sendiri bisa ikut-ikutan nginggris guna tampil lebih keren. Setidaknya sesekali biar anggota keluarga lain tak terlalu malu. Dengan demikian, situasi bahasa tak akan menjengkelkan , tapi mungkin malah menyenangkan.



Tak ada gunanya, saya berkata pula, menggaruk kepala yang sudah gundul guna mencari alasan perihal ini.

Itu teorinya. Praktiknya lain. Sesudah beberapa hari di Indonesia, saya sudah yakin bahwa saya tak bakal bisa menyelipkan kata-kata Inggris ke dalam kalimat berbahasa Indonesia. Mengapa? Apakah memang tidak bisa berbahasa Inggris? Ya bisa, tapi saya tak bisa mengerti persisnya kapan dan dalam situasi bagaimana saya harus nginggris.

Mungkin sekarang sebagian pembaca mengatakan: “Lo, itu kan easy sekali!” Bisa juga pembaca lain bilang: “Lo, that’s mudah sekali!” Ada juga yang berkata: “Lo, itu kan very mudah!” Yang benar menurut logika bahasa Inggronesia, saya tidak tahu. Mungkin semua benar, atau semua salah.

Mertua saya senang membuat kue. Beliau tentu saja punya koleksi resep dari sejumlah sumber. Salah satu sumber ini sebuah tabloid wanita. Di situ saya menemukan resep “ cake wortel”. Bukan “kue carrot”, “wortel cake”, “carrot kue”. Di koran yang Anda sedang pegang sekarang saya juga melihat ada hotel yang menyediakan “ruang meeting”. Mengapa tidak “room pertemuan”? Dan lebih penting lagi, bagaimana cara tahu yang mana yang “benar”?



Di koran yang Anda sedang pegang sekarang saya juga melihat ada hotel yang menyediakan “ruang meeting”. Mengapa tidak “room pertemuan”?

Jika pernah membuka situs Kompas di internet (www.kompas.com), Anda mungkin pernah melihat tulisan kecil-kecil di bagian bawah, yang menyediakan sejumlah informasi mengenai koran ini. Saya kira mungkin terdapat beberapa kunci bahasa Inggronesia di sana, koran terbesar di negeri ini.

Di sana orang dapat membaca tentang sejumlah “Subject” seperti “nasional”, “internasional”, dan “hiburan”. (Menarik juga sebuah subyek disuguhi dengan kata sifat.)Di sana ada juga rubrik “Interes”, entah bahasa apa itu. Adapun “Kontak Jodoh”, “Informasi Kerja”, dan (tiba-tiba) “News by Email”. Kemudian ada informasi “Tentang Kami”, “Iklan”, dan (lagi-lagi tiba-tiba) “Subscribe”. Yang paling menarik ialah rubrik yang disuguhi hampir terakhir:”Elektronik Edisi”. Kedua kata ini sudah dalam bentuk bahasa Indonesia, tapi susunanya mengikuti pola Inggris. Barang tentu susunan Indonesia yang lebih lumrah dipakai ialah “Edisi Elektronik”.

Seperti sudah saya katakan, saya tidak akan kebakaran jenggot hanya karena pergaulan bebas ini. Dan memang jenggot saya masih nempel seperti sebelum berangkat. Namun, saya benar-benar tak mengerti kenapa kedua bahasa ini harus bergaul dengan begini karena hasilnya hanya kebingungan dan ketidakjelasan. Setidaknya bagi saya yang tak bisa memahami bahasa hibrida ini. Nanti kalau ada mata kuliah bahasa Inggronesia akan saya follow dengan senang hati. Sampai later!

ANDRE MÖLLER
Pengamat Bahasa, Tinggal di Swedia

Monday, April 23, 2007

Hikayat Laut nan Rendah Hati

[Puisi yang sama ditaruh di blog Friendster. Waktu itu Blogger susah diakses sih, jadinya ke Friendster aja.]

Kubertanya pada Robbi

Tentang menjadi rendah hati

Kudapati diri ini

Terlampau tinggi hati


Lama dinanti...

Jawab tak kunjung menghampiri

Dia hendak menguji diri

Sejauh apa kusungguh hati


Liku jalan kulewati

Tidaklah seindah meniti pelangi

Hingga satu hari

Sebuah ilham mendekati:

Jadilah laut, ilham mengawali

Laut luas nan dalam

Laut megah lagi perkasa

Tapi dia rebah di tempat terendah

Semata agar semua sungai tak sungkan

tuk bermuara padanya

Jadilah laut, kata ilham itu lagi

Tak semua air sungai jernih

Madu, racun, susu, darah, air mata, cinta

Semua mengalir di dalamnya

Namun kala mereka melebur dengan laut

Mereka menjadi satu: air laut segar nan jernih

Hilang semua kedirian mereka

Yang ada hanyalah suci


Penantian berhenti, jiwaku menari

Bagai sejuta kupu-kupu terbang tinggi

Kumantapkan hati tuk satu janji:

Ku kan menjadi laut yang rendah hati...

Bandung, 5 Febuari 2007

Thursday, April 19, 2007

Bahasa Menunjukkan Budaya

Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya menganggap bahwa sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Contohnya saja, orang Eskimo yang memiliki berbagai istilah untuk menamai berbagai bentuk salju, atau orang Arab yang mempunyai puluhan nama untuk buah kurma mulai dari yang masih di pohon, yang baru dipetik, sampai yang telah kering.

Whorf, pencetus dari Linguistic Relativity Hypothesis

Setelah saya membaca tulisan barusan di sebuah buku karangan K.H. Shiddiq Aminullah, Drs., MBA, saya seolah tersadar. Oh, pantes, pikir saya. Pantes aja dalam bahasa Inggris kerap ditemukan teks yang menunjukkan kalau seorang anak dapat memanggil nama kecil dari kakak atau orangtuanya, seolah-olah mereka itu teman saja, bukan orangtua dan anak. Tak hanya di teks, di film-film mereka juga kerap ditemui.

Jadi begini. Sudah lama saya mengamati kalau di dalam bahasa Inggris tidak ada istilah khusus yang mengacu pada ‘kakak’ dan ‘adik’. Yang ada hanyalah istilah sibling, sister, dan brother bagi saudara kandung, kakak maupun adik, yang notabene menyatakan kesetaraan tanpa memandang usia. Untuk membuat fokus pembicaraan menjadi lebih spesifik, kadang ditambahkan kata little di depan kata brother atau sister untuk menunjukkan ‘adik bungsu’ ataupun saudara yang lebih muda. Dan sebaliknya, untuk menunjukkan ‘kakak tertua’, ditambahkan kata eldest sebagai keterangan di depan kata sister atau brother.

Mari kita bandingkan dengan bahasa Indonesia. Dalam bahasa ini, sebutan untuk saudara kandung (ataupun orang yang bukan saudara kandung tapi kita hormati) yang lebih tua mempunyai istilah khusus yaitu ‘kakak’. Untuk saudara kandung yang lebih muda ada istilah ‘adik’. Bahkan anak tertua mempunyai istilah khusus yaitu ‘sulung’. Demikian pula anak paling kecil dalam keluarga yang biasa disebut ‘bungsu’. Namun untuk anak kedua, tengah, kakak dari bungsu, tidak ada istilah khusus. Hanya ada sebutan ‘anak ke-sekian‘ (bahasa Indonesia tidak berbeda dengan bahasa Inggris dalam hal ini). Dalam bahasa Indonesia, usia serta urutan kelahiran itu penting dan tercermin dari istilah yang ada.

Bandingkan kembali dengan istilah dalam bahasa Inggris sister-brother yang hanya mengacu pada gender dari saudara kandung, tidak pada usia. Kita mengetahui bahwa orang barat sebagai ‘pemilik’ bahasa Inggris memiliki budaya yang mengutamakan kesetaraan dari setiap individu dan isu gender merupakan isu yang mendapat perhatian lebih. Bukan berarti masalah usia saudara atau orang lain tidak diperhatikan. Yang lebih ditekankan bukanlah usia, melainkan gender dan individu itu sendiri. Sedangkan di Indonesia, hormat pada yang lebih tua atau lebih tinggi posisinya merupakan isu utama dalam budaya masyarakatnya, terlepas dari apapun bentuk penerapannya di masing-masing daerah. Bukannya gender laki-laki dan perempuan tidak mendapat perhatian, hanya saja ‘posisi’ dalam struktur masyarakat atau keluarga menjadi fokus utamanya. Contoh yang paling jelas adalah cerita dari seorang teman saya. Dia orang Batak. Katanya, meskipun seseorang itu sudah menjadi jenderal bintang lima, tapi kalau dalam keluarganya dia ada di posisi sebagai keponakan, misalnya, maka dia yang mencuci piring di dapur. Begitulah di Indonesia, posisi dalam struktur hirearkis lebih penting.

Contoh dari perbandingan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah contoh yang memadai. Dengan melihat istilah yang dipakai dalam suatu bahasa kemudian kita melihat budaya penutur bahasa tersebut, ternyata kita bisa melakukan sebuah analisis budaya dari suatu penutur bahasa. Kita pun bisa mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, kepribadiannya, bahkan mungkin kesuksesan dari masyarakat tersebut di masa yang akan datang (untuk melakukan hal yang terakhir ini tentu dibutuhkan tambahan analisis psikologi). Hanya dengan melihat istilah-istilah tertentu yang digunakannya. Ini sungguh sebuah pemikiran yang menarik.

Tapi ini bukanlah hal yang baru dalam linguistik. Chomsky sudah melakukan analisis budaya berdasarkan bahasa yang digunakan suatu masyarakat. Whorf juga sudah. Dan hipotesis dari Whorf membuka lebar mata saya terhadap keadaan itu.

Kembali ke bahasa Inggris. Saya tidak tahu apakah: 1) penggunaan istilah sister-brother itu muncul duluan baru mempengaruhi cara pandang penutur bahasa Inggris atau sebaliknya, 2) cara pandang berbasis genderlah yang mempengaruhi munculnya istilah sister-brother. Hal ini sungguh menarik untuk ditelaah lebih jauh, apalagi bagi yang memang berminat pada linguistik (seperti saya, misalnya). Mungkin ketika saya mencari yang mana yang benar antara 1) dan 2), saya akan menemukannya dalam sejarah panjang dari kebudayaan penutur bahasa Inggris. Mulai dari masa ketika daratan Eropa masih didominasi oleh bahasa Latin, lalu masa penggunaan bahasa Inggris kuno di sekitar abad 15-16 masehi, hingga penyerapan banyak istilah dari bahasa asing seperti slalom, mathematics, levitate, oleh bahasa Inggris modern, yang membuatnya menjadi bahasa gado-gado. Tapi tidak apa, saya memang senang dengan sejarah, terutama yang berkaitan dengan isu budaya serta bahasanya.

BTW, ngulik-ngulik bahasa dan kaitannya dengan budaya memang mengasyikan ya? Terbersit dalam pikiran saya untuk mengambil S2 di bidang linguistik-budaya. Tapi di mana ya? Kalo ada yang punya info, kasih tau ya….

Tambahan dari Ernest Renan, penulis buku Sejarah Umum Bahasa-bahasa Semit:

Di antara yang mengherankan, bahasa Arab itu tumbuh dengan kuatnya dan sampai pada tingkatan yang sangat sempurna. Di tengah-tengah padang pasir dan bangsa yang gemar berkelana, bahasa tersebut mengungguli bahasa serumpun lainnya dalam kekayaan kosa kata, ketajaman arti, dan keindahan susunan bentuknya. Sebelumnya, bahasa ini tidak dikenal orang… [Dr. Malik Badri, Tafakur, 1996]

Tuesday, February 27, 2007

Belanja Cerdas

"A, saya numpang duduk lagi bentar ya?"
"Sok atuh, Neng."

Saya baru saja menyelesaikan berbelanja di toko Anda di Balubur, sebuah toko yang menyediakan ATK. Sebelumnya, saya berbelanja beberapa barang di Ganesa Stationary. Jadi, saya mau menata belanjaan dulu di keresek hitam biar saya gak kerepotan waktu menentengnya kembali ke Salman. Saya sedang berbelanja kebutuhan administrasi untuk Divisi Pelatihan.

Saya membuka bungkus dari tempat pensil plastik dan map Inter-X. Alat tulis yang saya beli di toko Anda saya masukkan ke tempat pensil itu. Penjaga toko yang barusan melayani saya turut memperhatikan kegiatan saya membongkar belanjaan di meja. Lalu dia mengambil kemasan dari tempat pensil itu. Ada label harga berlogo Ganesa Stationary. Lalu dia nyeletuk.

"Wah, murah bener, Neng, harganya," kata dia sambil menunjukkan kemasan berlabel harga itu. Di situ tertulis Rp 7,500.-. Lalu penjaga itu merogoh lemari di bawahnya dan mengeluarkan tempat pensil serupa. Di kemasannya tertulis Rp 5,000.-. Dueng!

"Walah, ternyata lebih murah. Saya pikir di Ganesa lebih murah," kata saya sembari menanyakan beberapa harga barang yang saya sudah beli di GS. Ternyata di toko Anda harga barang-barangnya lebih murah, semuanya. Saya jadi menyesal. Bayangkan saja, selisih lima ratus perak sampai seribu mungkin masih bisa ditolerir. Tapi 2500?!

"Yah, Neng, wajar lah. Kan di sana (GS, maksudnya) tempatnya eksklusif. Jadi harganya juga eksklusif."

Saya tersenyum simpul saja. Saya kadang berbelanja ke GS karena beberapa (dan ternyata hanya sedikit saja) barang harganya lebih murah daripada di Balubur. Lagipula, kadang ada barang yang cuma ada di GS. Barang yang lebih murah harganya itu adalah tinta printer Acaciana dan kertas 1 rim. Harga barang yang lain lebih mahal. Fuuuuuh..., lain kali saya akan berbelanja ke Balubur saja dulu. Kalo yang dicari gak ada, baru ke GS.

Bukannya saya gak tahu kalau di GS itu harganya lebih mahal. Tapi kadang saya suka malas berjalan lewat pasar ke deretan toko ATK di Balubur. Yah, tapi sekarang saya harus lebih mementingkan selisih harga yang jauh banget itu kan?

Ternyata dalam berbelanja kita mesti cerdas. Oh ya, satu lagi: sabar. Sabar untukmelakukan survey tempat-tempat belanja yang mungkin akan memberikan harga paling kompetitif buat pembeli, sabar dalam muter-muter waktu survey, dan sabar untuk tidak 'kalap' saat belanja. Kalau soal 'kalap', salah satu solusi yang paling ampuh adalah dengan mendaftar dulu barang yang hendak dibeli dan tidak membawa uang berlebih saat belanja. Terus kalau soal kesabaran dalam survey, itu tergantung dari seberapa penting kata 'hemat' bagi kita. Kita berhemat bukan berarti kita tidak punya uang atau miskin atau semacamnya. Tapi 'hemat' di sini lebih diartikan sebagai kecermatan dalam mengelola uang/harta, sehingga manfaatnya benar-benar maksimal.

Pernah saya berbelanja celana putih longgar di Gazibu hari Minggu. Karena tempat itu luas banget (yah, Anda tahu lah), saya langsung bertanya harga celana semacam itu di tempat pertama saya melihatnya. Si Penjual menawarkan harga 25 ribu ditambah bumbu-bumbu bahwa dialah pemasok dari barang itu ke seluruh penjual di Gazibu. Oke, saya tidak terlalu percaya. Tapi toh saya tawar. Tapi kemudian Ibu itu memberi harga 20 ribu. Saya setuju karena saya pikir itu harga yang pantas. Lagipula, saya tidak tahu harga pasaran.

Setelah saya membeli celana itu, saya berjalan ke arah deretan angkot Ciwastra yang berwarna coklat. Lagi berjalan menuju salah satu angkot, tiba-tiba saya melihat ada yang sedang mengobral celana dan CELANA-CELANA YANG DIJUALNYA PERSIS SEPERTI YANG SAYA BARU SAJA BELI. Tebak berapa celana-celana itu diobral? 25 ribu dua potong! Aaaaaaaaaaaaargh!

Aaargh! Kenapa saya gak jalan ke situ dari tadi? Pas saya memperhatikan lebih seksama, bahan dari celana yang dijual lebih variatif dan bagus, meski warnanya hanya hitam dan putih. Yah, celana sudah dibeli, uang saya sudah keluar 20 ribu. Hhhhhh, sudahlah...

Sekarang, kalau saya memerlukan sesuatu dan berencana untuk mencarinya di Gazibu hari Minggu, saya akan datang pagi-pagi sekali dan survey mengelilingi Gazibu. Toh tidak banyak yang saya cari, jadi saya hanya melihat-lihat sekilas saja barang-barang lainnya. Apalagi masih pagi, jam enam lewat. Saya masih bisa berjalan dengan leluasa di Gazibu, tanpa terhambat oleh lautan manusia yang datang ke sana.

Yah, hikmah pengalaman saya sederhana: dalam berbelanja pun kita harus cerdas. Gak cuma tahu harga atau tahu tempat, tapi kita juga harus cermat. Ya cermat memilih, cermat menentukan prioritas. Terutama cermat dalam mencari tempat yang menjual barang yang sama dengan harga yang jauh lebih murah.

Oke, dua pengalaman berbelanja sudah membuat saya kapok untuk malas menyurvey harga barang. Lumayan lho selisih harga 2,500 untuk tempat pensil dan 7,500 untuk celana. Udah bisa beli makan siang dengan uang segitu. Atau mungkin untuk digunakan bagi hal lainnya. Lumayan banget deh. Apalagi saya mahasiswa yang menilai guna uang 7,500 itu tinggi.

Saya berharap, setelah membaca pengalaman saya, semoga Anda tidak segan untuk survey dan mencari tempat yang menjual dengan harga lebih murah. Ok?

Tuesday, February 20, 2007

Cacing-cacing di Musim Hujan

Saya melangkahinya dengan hati-hati. Mayat mereka hampir gak bisa dikenali lagi, termutilasi, terkoyak, hancur hingga hampir gak berbentuk. Dengan seksama saya memeriksa mayat-mayat itu. Ekspresi prihatin gak bisa saya simpan. Jumlah mereka gak sedikit. Banyak sekali. Terutama di musim hujan seperti belakangan ini. Dan terutama sekali ketika hujan turun.

Mereka mencoba untuk menyelamatkan diri dari banjir yang melanda tanah tempat tinggal mereka. Hujan yang turun dengan deras telah menyebabkan kadar air meningkat tajam, membuat lapisan teratas tanah gak ubahnya sebuah danau besar. Dingin, gelap, lembab. Liang-liang yang tadinya hangat dan nyaman, tiba-tiba menjadi ancaman besar. Merekapun melarikan diri.

Tapi apa daya. Dalam upaya pelariannya, mereka terbunuh dengan kejam. Kaki-kaki tak bermata yang lalu-lalang di sepanjang koridor Aula Barat-Sipil. Akibatnya, tak sedikit korban yang berjatuhan. Gak jarang saya menjumpai salah satu dari pelarian yang sudah termutilasi itu sedang terseok-seok menyeret tubuhnya, mencoba mencapai tempat berlindung. Tapi tubuh yang sudah lemah itu tidak punya sisa daya lagi. Matilah dia di tengah pandangan tak peduli atau pekikan jijik.

Cacing-cacing itu yang sedang saya bicarakan. Saban kali hujan, mereka akan keluar dari kegelapan tanah menuju tempat-tempat tinggi yang kering, demi sebuah kelangsungan hidup. Naluri yang membawa mereka ke atas permukaan tanah. Tapi naluri itu bisa salah. Mayat-mayat cacing itu telah membuktikan kalau di permukaan tanah, mereka tidak menemukan keselamatan yang diharapkan.

Kadang, kalau saya lewat Aula barat dan menemui salah satu dari mahluk mungil itu (yang diameternya bisa sebesar jari kelingking orang dewasa kadang), saya akan ngambil daun atau ranting atau apapun yang bisa saya gunakan untuk mengangkat tubuhnya. Kemudian saya meminggirkannya ke tepian jalan atau kemanapun yang menurut saya aman bagi mereka. Hanya itu ikhtiar maksimal yang bisa saya lakukan untuk mereka. Dan itu sudah cukup. Hanya setiap kali saya lewat Aula barat dan pas ada cacingnya. Bisa mati saya kalau saya tak hentinya memikirkan cacing-cacing di seantero Bandung yang keluar-dari-tanah-agar-terhindar-dari-banjir-tapi-malah-terinjak. Gak usah deh. Cukup di tempat yang bisa saya jangkau aja.

Ah, tapi dengan demikian saya udah lega. Saya udah melakukan apa yang bisa saya lakukan. Alhamdulillah saya belum pernah (dan tidak berharap untuk melakukannya) menginjak cacing yang sedang berupaya menyelamatkan diri. Sungguh, hati saya pedih kalau saya udah nyebabin kematian salah satu dari mereka, meski saya gak sengaja.
Saya kadang gak habis pikir dengan orang yang nginjek cacing-cacing itu. Kehadiran cacing-cacing itu tentu mencolok mata karena warnanya beda banget dari aspal atau ubin. Yah, bisa jadi mereka memang lagi sibuk berpikir jadi gak lihat jalan yang sedang dilewati. Lumrah. Tapi..., tidakkah mereka punya semacam kepedulian atau kesensitifan? Please deh, tega bener!

Terus terang, cacing-cacing itu bisa keinjek karena yang nginjek kurang (atau malah enggak) peduli dengan hal-hal yang jauh ‘lebih kecil’ darinya. Entah apa yang dipedulikannya. Urusan negara atau hidup-mati mungkin. Tapi kalau urusan itu lebih penting daripada kehidupan mahluk lain, sampai nyawa mahluk lain harus hilang, itu sama saja dengan:nol besar.

Entahlah. Saya pikir kalau kita, manusia, sebagai mahluk yang diberi anugerah akal, seharusnya memiliki kesadaran lebih tinggi dari mahluk-mahluk ‘rendahan’ semacam cacing, yang baru sadar dengan kehadiran ‘yang lain’ kalau bersinggungan dengan tubuhnya. Coba aja kita teriak-teriak di atas cacing atau melambai-lambai, cacing itu akan cuek bebek. Tapi kalau kita sentuh, baru dia bereaksi. Itu apalagi kalau bukan bukti bahwa cacing lebih ‘rendah’ dari kita? Jadi, untuk mengetahui keberadaan ‘yang lain’ saja sangat minim inderanya, bagaimana dia mau memikirkan jalur yang aman ketika dia lewat? Nah, kita sebagai manusia seharusnya peka terhadap kekurangan cacing itu. Maksudnya, kalau kita memang menghargai kehidupan (kita), kenapa kita gak menghargai hidup si Cacing yang juga punya hak untuk terus hidup? Pikiran saya yang pesimis malah lebih tajam lagi pertanyaannya: jangan-jangan kita hanya peduli pada hidup kita, enggak pada hidup orang lain, apalagi hidup dari mahluk ‘rendahan’? Jangan-jangan kita mahluk yang super-duper egois?

Duh, bukannya mau nyalahin siapa-siapa sih. Lagian siapa yang (sengaja-gak sengaja) nginjek, saya gak tau. Tapi melihat jasad-jasad cacing itu, saya trenyuh. Kasihan mereka. Jumlah mereka mungkin lebih banyak dari jumlah manusia, tapi tetap saja perlakuan yang mereka terima bukan perlakuan yang pantas. Gak tegalah saya.

Pesan moral:
Hal-hal kecil yang (kita anggap) tidak signifikan sebenarnya sangat signifikan. Kita hanya perlu waktu sejenak untuk memikirkan seberapa penting hal itu untuk kita. Bukan hanya sebatas cacing, tapi bisa jadi sebuah keadaan atau orang lain yang kita anggap ‘kecil’ sebenarnya berarti sangat besar. Kitanya aja yang mungkin gak sadar. Kalau hal itu udah dipikirin sebentar, lalu dipikirin lagi di lain waktu, dan kemudian kita mendapati hal itu tidak signifikan, mungkin emang gak signifikan juga. Jadi jangan maksa, hehehe...