Monday, May 22, 2006

22 Mei 2006

Pada hari Sabtu tanggal 13 Mei yang lalu saya berkesempatan untuk menghadiri acara pernikahan teman saya, Mbak Rini, di Ujung Berung, tempat kediaman keluarga suaminya berada. Masih terpatri dengan jelas dalam benak saya kejadian seminggu sebelum pernikahan itu. Ba’da Magrib, dia menelpon saya yang sedang dalam perjalanan pulang dan meminta saya mampir ke tempat kosnya karena ada yang mau dititipkan. Tempat kos Mbak Rini berjarak kurang lebih lima ratus meter dari tempat kos saya. Saat saya tiba di tempat kosnya, dia telah menanti saya di pintu dengan antusias tapi seperti menyembunyikan sesuatu. Saya curiga. Setelah bertanya-tanya sebentar pada saya di sofa ruang tamu, dia menyuruh saya berbalik membelakangi dia karena dia mau mengeluarkan ‘titipan’ yang dia maksud. Tapi saya mencuri lihat dan kecurigaan saya benar.

Saya memonyongkan bibir karena merasa sebal. Yang dia keluarkan adalah undangan pernikahan berwarna ungu gelap yang cantik. Bagaimana tidak sebal? Seminggu sebelumnya teman saya yang lain, Teh Nia, datang ke tempat kos saya, untuk menyerahkan benda yang serupa: undangan pernikahannya, untuk tanggal 7 Mei. Mereka tidak pernah bercerita sedikitpun kalau mereka akan menikah. Yang ada adalah mereka ‘mau menitipkan sesuatu’ dan menyerahkan ‘titipan’ itu dengan senyum yang malu-malu. Iiiiiiiiiiiiiiih, saya enggak dianggap sama sekali!

Bayangin gitu loh, kami cukup dekat dan..., not even a word! Mereka tidak bercerita sedikitpin kalau selama tiga-empat bulan terakhir mereka dikenalkan pada orang dan..., tuing..., tuing..., mereka sepakat untuk menikah. Rasa sebal saya tidak dalam artian ‘benci’. Rasa sebal saya ini disebabkan karena mereka tidak bercerita sedikitpun pada saya. Selebihnya, saya merasa sangat bahagia. (Catatan: Mbak Rini dan Teh Nia teman satu kos. Dulu sewaktu saya tingkat satu, saya satu kos dengan mereka)

Oke. Singkat cerita, saya pergi ke Ujung Berung bersama Teh Depi dan adiknya karena saya tidak tahu tempatnya. Teh Depi dan adiknya adalah teman satu kos Mbak Rini juga. Setibanya saya di tempat kos mereka, saya mengetahui kalau Bunda dan Almar akan ikut juga. Siapa Bunda? Bunda adalah sebutan untuk putri dari pemilik kos Mbak Rini dkk. Bunda bersama suami dan kedua putranya tinggal di rumah kos itu. Almar adalah putra Bunda yang pertama. Umurnya belum lagi enam tahun. Almar mirip Bunda.

Bunda berperawakan tinggi dan kurus. Wajahnya mungil dan kulitnya putih. Orangnya ternyata sangat ramah dan sayang pada putranya. Saya langsung menyenangi Bunda. Sepanjang jalan menuju Ujung Berung, kami menjalin keakraban. Almar sendiri adalah anak yang manis. Dia tidak takut terhadap orang yang asing baginya dan mudah lekat pada orang lain. Dengan manja dan ceria dia meluluhkan hati orang-orang yang melihatnya.

Kala kami tiba di mesjid tempat akad nikah Mbak Rini berlangsung, akad sudah hampir selesai. Kami tiba terlambat. Karena tidak mau mengganggu acara, kami menunggu di luar. Saya bertemu dengan banyak teman lama di sana. Kami saling bertukar kabar dan rindu. Dalam suasana bahagia itu, kami saling bercerita tentang kisah-kisah pernikahan yang bahagia dari kenalan-kenalan kami. Almar tidak mau ketinggalan. Saya sempat menggodanya dengan bermain kepiting-kepitingan jemari saya dan mencubiti pipinya. Yang lain turut memelintir jarinya untuk meniru saya. (Itu lho, jari tangan ditumpangkan ke atas jari lainnya yang lebih besar. Misal, jari kelingking ditumpangkan ke atas jari manis dan seterusnya). Setelah itu Bunda nyeletuk, “Yang paling jago melintir jarinya berarti siap nikah ya bentar lagi?” Perkataan itu ditujukan ke saya karena saya yang berhasil memelintir semua jari saya di kedua tangan. Teman-teman saya tertawa dan saya hanya mesem-mesem.

Karena pasangan pengantin sudah mau keluar dari mesjid, Bunda mengajak kami ke rumah mertua Mbak Rini sekaligus tempat walimahan berlangsung. Rumah itu tidak jauh dari mesjid. Dengan santai kami berjalan beriringan. Sesampainya kami di depan rumah, kami mengisi buku tamu dan menempati tempat duduk yang tersedia. Tamu-tamu sudah banyak yang datang, dari kalangan kerabat, kolega, teman, dan tetangga. Di sana saya bertemu lebih banyak lagi teman saya. Kami bertukar cerita. Saya juga menggoda putri salah satu teman saya yang nampaknya sudah lupa pada saya. Umurnya baru empat tahun kurang. Namanya Icha. Dulu dia anak yang ceria dan ramah. Tapi entah kenapa sekarang dia menjadi pemalu dan sering cemberut. Caranya cemberut itu lucu. Dengan setengah menundukkan kepala, dia menatap sekeliling melalui bulu dari mata bulat-besarnya dan memasang bibir berkerut. Hahaha..., meski demikian dia mirip sekali ayahnya. Tapi mata bulat-besarnya itu mirip mata ibunya.

Satu grup munsyid naik ke atas panggung. Setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi sebentar, mereka mulai mendendangkan satu nasyid. Saya yang duduk di deretan bangku paling depan dapat melihat mereka dengan jelas. Saya masih bercengkerama dengan teman-teman saya. Hari ini cerah sekali. Matahari jam sebelas kurang bersinar dan menyelusup melalui sela-sela tenda dan atap rumah. Sinar itu ada yang jatuh mengenai pangkuan saya. Debu-debu mengambang dengan lambat. Pemandangan itu tampak indah sekali. Seperti permata kecil-kecil yang berkilau. Almar yang duduk di belakang saya sedang digoda oleh teman saya. Saya berbalik untuk melihatnya. Saya turut tertawa bersama teman saya. Lalu saya menghadap ke panggung lagi. Kemudian dalam benak saya berkelebat segala rasa, bahagia, dan harap. Kilatan-kilatan bayangan pernikahan, bersanding dengan pasangan, menjadi orangtua, mempunyai anak, menari di depan mata saya. Mata saya menghangat. Dada saya dipenuhi rasa haru.

Di sepanjang perjalanan tadi, ada rasa lapang dan hangat yang menyelimuti saya. Mendengar panggilan ‘bunda’ adalah penyebabnya. Entah kenapa, panggilan itu begitu menyenangkan. Ada keakraban, kemesraan, dan rasa sayang dalam sebutan itu. ‘Bunda’ terasa begitu istimewa dan memberi kesan yang mendalam bagi jiwa saya. Sebutan ‘Mama’ atau ‘Ibu’ tidak demikian berkesannya. Saya menyeka air mata yang menggenang. Ah..., saya tidak dapat menjelaskan seutuhnya perasaan saya. Yang bisa saya jelaskan hanya haru dan bahagia. Sedetik kemudian saya seperti dapat merasakan bayi saya yang saat ini belum ada di dalam perut ini. Betapa besar cinta saya terhadapnya. Bagaimana tidak? Dia nantinya akan berasal dari tubuh saya, tumbuh di dalam diri saya, dalam dirinya mengalir darah yang sama, saya curahkan seluruh jiwa-raga saya untuknya, dan dia pernah sangat dekat dengan saya. Bagaimana mungkin saya tidak akan mencintai dia? Sungguh, saya ingin dipanggil ‘Bunda’.

Lalu teman saya dan suaminya datang. Pasangan itu datang ke rumah dengan mobil. Begitu mereka turun, saya melihat teman saya dituntun oleh ibu keduanya (ibu mertua). Terlihat bekas-bekas tangis di sembap matanya. Ah..., terlepas dari itu, dia terlihat sangat cantik dan anggun. Dengan balutan kebaya putih dan hiasan kepala yang indah, dia tampak luar biasa. Berbeda dari kesehariannya yang sederhana dengan jilbab lebarnya. Pengantin wanita memang bisa menjadi sangat cantik di hari pernikahannya.

Saya tidak tahu kapan saat bagi saya akan tiba. Well, kita tidak pernah tahu apa yang Allah sediakan untuk kita di depan sana. Tapi saya tidak khawatir. Saya turut bahagia melihat teman dan orang-orang di sekeliling saya bahagia. Itu sudah cukup buat saya saat ini. Pada saatnya nanti, saya akan merasakan kebahagiaan yang serupa. Insya Allah.

Monday, May 15, 2006

Puisi (lagi) #2

Tahu nggak? Begitu saya keluar dari lab Matematika dan menyudahi sesi berinternet-ria, baru terpikir oleh saya lanjutan puisi yang baru ada 2 baris itu:

What a devilish deed,
when something's done in greed
For the world is enough for everyone's need,
but it's not enough for eveyone's greed...


Huhuhuhuhu..., keren! ^_^

Puisi (lagi)

Semalam, entah bagaimana, terpikir oleh saya sebaris kalimat:

What a devilish deed,
...




Gak lama, terpikir juga kalimat sambungannya:

When something's done in greed...

Udah. Segitu aja. Saya udah nyoba untuk membuat lagi sambungan baris ketiga dan keempatnya, tapi belom kepikir. BTW, saya juga gak tau kenapa saya menggunakan 'deed'. Padahal ya, saya gak tau persis artinya apa. Hmmm, jadi heran sendiri. Tapi udahlah, ternyata nyambung kok rimanya. Yippi!

Dan ternyata ya, artinya ini.

Hmmmm, belakangan ini saya jadi sering berpuisi dalam hati.

Thursday, May 04, 2006

Dewasa

(Satu saat, Ales yang sedang tenangnya membaca didatangi oleh Aku dan ditanyai)

Aku: Eh, Les, emang gimana sih jadi dewasa itu?

Ales: Ada apa emangnya?

Aku: Pengen tau aja pendapat kamu tentang ‘dewasa’. Abis selama ini aku gak nyangka kalo jadi dewasa itu seperti yang sekarang aku rasakan. Secara umur sih udah bisa dibilang dewasa, 21 tahun. Tapi aku kok terus-terusan ngerasa kalo aku itu gak dewasa-dewasa...

Ales: Coba tanya sama Saya. Sono gih, tanya. Tuh, dia, lagi berpikir seperti biasa.

Aku: Okeh! (Berlari dan memanggil Saya di kejauhan) Saya, Saya, kan kamu udah denger obrolan aku sama Ales. Emang dewasa itu gimana sih? Bantuin kita dong.

Saya: Hmmmm, tumben kamu mau bertanya sesuatu yang serius?

Aku: Iiiiiiiiiiih, emang aku gak bisa serius?!

Saya: Iya, deh. Jangan merajuk ya? (Kemudian Saya menjelaskan dengan lembut) Begini, kamu ingat salah satu iklan A Mild yang sering terpampang di baligo besar di pinggir jalan? Yang tulisannya kira-kira begini, “Tua itu pasti, tapi dewasa belum tentu”?

Aku: Inget, inget! Emangnya kenapa?

Saya: Yang pertama mau saya ungkapkan adalah bahwa menjadi dewasa itu tidak selalu berkorelasi dengan umur. Kamu tahu tidak kalau dulu, di zaman ortu-ortu atau om-tante kita muda dulu, menikah di umur 20 sudah termasuk lambat bagi seorang gadis. Yang normal itu sekitar umur 17-an. Sedangkan pria-prianya, ketika mereka berumur 17, sudah lumrah adanya kalau mereka sudah punya rumah atau tanah sendiri....

Aku: Trus, trus?

Saya: Coba perhatikan para pemuda atau pemudi sekarang. Di umur 17 mereka belum lagi mengenal ‘punya penghasilan sendiri yang mapan’ atau ‘menikah’. Faktor kemajuan dalam bidang pendidikan berperan besar di sini. Kalau kita mau menyebut adanya ‘kemunduran’ dalam umur kedewasaan orang zaman sekarang, barangkali benar. Itu disebabkan oleh periode muda kita yang lebih panjang. Tapi di sisi lain pemuda-pemudi menjadi lebih terdidik dibanding pendahulu-pendahulu kita. Ada konsekuensi dari kemajuan pendidikan itu. Jadi keadaan sekarang sebenarnya tidak salah, kok. Eh, ngerti apa ngerti? Panjang-panjang dijelaskan jangan cuma manggut-manggut saja.

Aku: Iya, iya (sambil sedikit merajuk dan memonyongkan bibir). Ngerti kok. Aku kan gak bego-bego amat soal itu. Trus apa lagi? Pertanyaanku belom dijawab kan?

Saya: Memang belum selesai. Inti kata-kata saya tadi adalah menjadi ‘dewasa’ itu tidak selalu ada pada umur yang orang lain anggap cocok untuk menjadi dewasa. Dewasa itu ada pada sikap. Jadi anak yang berumur belasan sudah bisa kita anggap dewasa kalau dia sudah mempunyai sikap atau kualitas tertentu yang menunjukkan kedewasaan.

Aku: Contohnya apa?

Saya: Misalnya sikap menahan diri dari keinginan atau hasrat yang datang secara impulsif. Kalau seseorang mempunyai keinginan tertentu lalu dia dengan membabi-buta berkeras agar keinginannya dipenuhi, itu yang namanya kekanak-kanakan. Sebaliknya, kalau dengan sabar dia berupaya agar keinginannya tercapai, dengan cara-cara yang baik tentunya, maka dia bisa disebut dewasa. Itu baru satu contoh kecil dan sederhana dari sikap dewasa.

Aku: Trus apalagi dong?

Saya: (Menggelengkan kepala) Nah, itu dia PR buat kamu. Kalau kamu merasa umurmu sudah cukup dewasa, maka ciri-ciri lain dari kedewasaan harus kamu cari sendiri. Kalau saya yang memberitahu semuanya, kapan kamu dewasa? (Mendekati Aku dan memeluk bahunya) Cobalah kamu belajar sendiri bagaimana dewasa itu. Hitung-hitung pelajaran atas kesabaran dan praktek langsung tentang kedewasaan buat kamu.

Aku: Ya....(Ekspresinya sedih dan kemudian terdiam sejenak. Kemudian dia bergerak tiba-tiba dari tempatnya, seakan-akan dia hendak melompat, dan berkata dengan riang). Iya, ya. Bener banget dong! Kapan aku dewasa kalo gak belajar sendiri. Waaaaaaaaaah, Saya emang top banggeth deh! Thanks berat, Saya (Aku bergerak ke arah Saya dan mencium pipinya dengan semangat).

Saya: Sama-sama, sayangku. Wish you all the best (Saya tersenyum hangat dan menatap Aku yang pergi menjauh sambil kegirangan).

Ales: Aku, Aku. Belom bisa berubah juga dia. Masih suka lompat-lompat kegirangan kayak anak kecil.

Saya: Ya tidak apa. Biarkan dia menjadi dirinya sendiri dan memelihara hati putihnya. Gadis seperti dia adalah orang yang langka di dunia yang sudah penuh dengan hati yang abu-abu atau hitam.

Ales: Kamu benar. Yuk, udahan.

Saya: Baiklah. Mau ke mana sehabis ini....

(Langkah-langkah mereka terdengar menjauh. Sambil berjalan, mereka bercengkerama dengan penuh keakraban)

Tuesday, May 02, 2006

Gak Nyambung!

20 April 2006

Saya menghidupkan radio pada pukul tujuh pagi. Frekuensinya belum berubah, masih tetap di MQ FM. Well, saya memang jarang mendengarkan radio. Jadi maklum saja bila saya hanya mendengarkan MQ FM.

Oke, intinya saya mendengarkan radio pagi ini. Setelah mendengarkan beberapa saat, saya mengetahui bahwa yang sedang tema acara Risalah Pagi kali ini adalah tentang fasilitas yang didapat PTN versus PTS. Seorang narasumber sedang diwawancarai oleh penyiar. Beliau ditanya tentang bagaimana seharusnya pemerintah memperlakukan PTS. Dengan ‘eeeee’, ‘mungkin’, ‘jadi sebagaimana yang kita tahu’, beliau menjawab. Untuk pertanyaan yang satu ini, Bapak ini masih menjawab dengan benar. Namun ketika ditanya ‘bukankah dengan banyaknya PTS yang ada biaya pendidikan di PTS menjadi murah?’, jawaban beliau membuat saya bingung.

“Jadi, saat ini pendapatan masyarakat tidak meningkat. Pada akhirnya pendidikan di Indonesia akan menjadi seperti di zaman penjajahan dulu, dimana yang kaya saja yang bisa masuk sekolah. Nah, yang tidak mampu akhirnya hanya bisa masuk ke PT di daerah. Ditambah lagi dulu ketika orang Malaysia belajar di kita pada tahun 70-an, mereka benar-benar mengembangkan pendidikan di sana. Nah, kita sebagai tempat bergurunya tidak mengembangkan pendidikan sejak tahun 70. Oleh karena itulah kita tertinggal jauh.”

Saya sendiri tidak yakin apakah urutan kalimatnya benar. Namun kurang lebih begitulah jawaban Bapak itu. Saya benar-benar bingung atas jawaban beliau. Apa hubungannya dengan mahal-murahnya biaya pendidikan di PTS?

Untuk setiap kalimat dari jawaban Bapak itu, saya bisa menebak pertanyaan yang cocok baginya. Yang jelas semua kalimat tadi tidak menjawab pertanyaan penyiar sama sekali! Setelah mendengar jawaban Bapak itu, saya teringat sebuah peristiwa yang saya alami di suatu hari Jumat.

Saat itu masih pagi di mesjid Salman. Pedagang-pedagang kaki lima yang mendadak muncul di hari Jumat sudah menggelar dagangannya. Saya sedang berada di depan hamparan kaus kaki murah (seribuan) dan memilih mana yang hendak saya beli. Kemudian saya mendengar percakapan si pedagang kaus kaki dengan pedagang lainnya. Dari obrolan mereka saya mendengar kalau pihak yang bertanggungjawab atas ketertiban dan kebersihan jalan Ganesa plus jalan Gelap Nyawang memberi peringatan pada pedagang. Saya yang tertarik dengan perbincangan itu bertanya pada kedua pedagang itu, masalahnya apa. Yang menjawab adalah teman si Pedagang Kaus Kaki.

“Jadi, Neng, menurut yang ada, kita ini mesti mengerti bahwa ternyata menurut kondisi...”

Setelah itu saya tidak mengerti sama sekali apa yang dia bicarakan. Beneran! Sangking tidak nyambungnya jawaban dia dengan pertanyaan saya, otak saya sampai hang (error: data type mismatch). Saya sudah mencoba bertanya lebih spesifik dan mudah, tapi jawabannya tetap saja begitu membingungkan. Beberapa kali saya bertanya hal yang sama, jawabannya juga sama. Akhirnya si Pedagang Kaus Kaki yang menjawab dan saya mendapat informasi apa yang terjadi.

Nama penanggungjawab ketertiban dan kebersihan dua jalan itu (kalau tidak salah) adalah Forum Ganesa. Mereka mendapati selokan di sisi mesjid Salman penuh sampah ketika pasar Jumat sudah usai di sore hari. Bila hal itu masih terjadi, mereka mengancam akan melarang pedagang berjualan di hari Jumat. Si Pedagang Kaus Kaki mengeluhkan perbuatan oknum pedagang yang masih meninggalkan sampah di selokan. Padahal surat edaran ke setiap pedagang sudah disampaikan dan sudah ada penyosialisasian peraturan kebersihan itu.

Saya mengangguk-angguk dengan sepenuhnya mengerti. Ternyata mudah saja. Kemudian saya melanjutkan memilih-milih kaus kaki. Dalam kepala saya, saya masih memikirkan si pedagang yang satu lagi. Entah karena dia memang tidak mengerti pertanyaan saya atau dia mencoba untuk membuat saya terkesan, sehingga dia menjawab pertanyaan saya dengan berputar-putar. Ah, saya memakluminya saja.

Yang saya dengar pagi ini di radio tidak berbeda jauh dari yang saya dengar di samping mesjid Salman itu. Dua orang dengan keadaan yang berbeda latar belakang pendidikannya (saya yakin pedagang itu bukan lulusan universitas), ternyata memiliki kapasitas yang serupa. Saya menyimpulkan itu dari cara mereka berdua menjawab pertanyaan.

Saya mencoba menganalisis mengapa si Narasumber menjawab dengan cara yang membingungkan dan berputar-putar seperti itu. Bisa jadi beliau tidak menguasai masalah PTN versus PTS ini secara keseluruhan. Atau mungkin dia mencoba menutupi pendapatnya yang salah mengenai ‘jumlah PTS yang semakin banyak membuat biaya kuliah PTS secara umum makin murah’. Sebelumnya dia berpendapat kalau biaya pendidikan PTS mahal dan tidak terjangkau secara keseluruhan. Yang manapun penyebabnya, tidak terlalu menjadi masalah buat saya. Yang jelas saya berkesimpulan bahwa narasumber itu tidak terlalu cerdas dan tinggi jabatannya (saya tidak mendengarkan dari awal sih, jadi saya tidak tahu narasumber itu siapa dan apa jabatannya).

Namun cerita ini belum selesai. Di akhirn sesi diskusi, si Penyiar menyebutkan nama narasumber pertama itu. Inisialnya adalah DT (bukan Daarut Tauhid lho). Yang berikutnya saya dengar dari penyiar membuat saya bengong.

“Ya, barusan kita telah berbincang dengan Pak Profesor Doktor... (nama narasumber)... Msi, ketua forum rektor dan rektor Universitas Pasundan....”

Haaaaah?! Jadi orang yang saya setarakan dengan pedagang di pasar Jumat itu punya gelar ‘Profesor Doktor’ ?!

Saya shock. Saya tidak menyangka sama orang dengan gelar ‘Profesor Doktor’ punya cara menjawab yang persis sama dengan pedagang kaki lima. Detik itu juga saya bertanya-tanya, benarkah gelar yang dimiliki narasumber itu? Atau jangan-jangan...?

Saya sempat berpikir kalau mungkin narasumber itu kurang bisa berkomunikasi dengan baik meski intelek. Tapi kembali prasangka baik saya itu dimentahkan oleh fakta bahwa beliau adalah ketua Forum Rektor. Bagaimana mungkin beliau menjadi ketua Forum itu kalau kemampuan komunikasinya cemen? Sekali lagi saya meragukan gelar yang disandangkan pada namanya itu. Masa’ orang yang punya gelar ‘Profesor’ tidak punya kejernihan dalam berpikir, menjawab dengan berputar-putar, dan penuh ‘eeee’, ‘mungkin’, dan kawan-kawannya?

Kenapa saya bersikeras untuk meragukan narasumber itu? Karena setelahnya saya mendengar narasumber kedua yang merupakan ketua (kalau tidak salah, lagi) Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta wilayah IV, Jawa Barat dan Banten. Namanya Prof. Jawadahlan (semoga saya tidak salah menyebut atau mengeja namanya). Bapak yang satu ini menjawab dengan runtun, kata-katanya jelas, menjawab sesuai dengan pertanyaan, dan tidak berputar-putar. Itu baru yang namanya intelek! Demikian pula seorang mahasiswi yang menelpon ke MQ. Dia memaparkan pendapatnya mengenai PTS dengan sangat baik (meski di awal dia menggunakan kata ‘mungkin’). Jauh sekali keadaan mereka berdua dari narasumber pertama!

Hhhhhhh... Pengalaman saya ini bisa Anda sambungkan ke mana saja. Bisa ke masalah ‘gelar yang jauh dari kapasitas intelektual’, ‘ketua Forum Rektor yang tidak menguasai masalah’, atau bahkan ‘penyakit di kalangan pejabat yang sering tidak jujur atas keadaan sebenarnya’. Yang jelas satu hal yang mau saya garis-bawahi: gelar yang disandang oleh narasumber pertama itu benar-benar tidak pantas untuk disandang. Tapi dengan satu catatan, saya baru mendengar beliau berbicara sekali, secara tidak langsung lagi. Jadi pendapat saya bisa jadi tidak adil. Semoga saja nantinya saya mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih jauh profil pejabat di bidang pendidikan ini. Kita lihat saja, apakah pendapat saya yang didapat dari pengamatan sekilas ini benar atau tidak.