Monday, December 18, 2006

Tugasmu

Tugasmu bukan menemukan cinta.
Tugasmu hanyalah mencari dan menemukan
semua benteng dalam dirimu yang kamu bangun
dan menghalangimu tuk menemukan cinta.

Rumi

Allah, kadang aku bertanya, betapa Kau kadang sangat usil dan iseng. Bukannya aku bermaksud kurang sopan atau tidak bersyukur. Itu adalah sebuah pujian bagiMu. Betapa Kau Maha Jenaka ketika kau menjadikan sebuah sms berisi kutipan dari Rumi itu sampai padaku dalam keadaanku yang seperti ini.... Akupun hanya bisa tersenyum karena pilihan waktuMu untuk menyampaikannya, pilihan kata-kata indah yang Kau beri untukku, yang Kau bawa masuk langsung ke hatiku, memberinya rasa hangat dan membuat perenungan yang dalam. Maha Suci, Maha Bijaksana, Maha Indah Engkau ya Rabbku....
















[Apa kau mendapatkannya juga?]

Balada Tukang Becak

Tadi pagi saya bertemu seorang tukang becak di dekat pasar Balubur. Saat itu saya sedang bergegas menuju Salman untuk sarapan. Becaknya sedang di tarik olehnya.

Sesampainya saya di samping taman Ganesa, tukang becak menyusul. Saya baru dapat mengamati tukang becak itu dengan jelas. Tapi yang pertama kali saya perhatikan adalah becak yang sarat muatan, penumpangnya yang sedang makan cemilan dengan santai, dan badan penumpang itu yang lebih subur dari si Tukang Becak.

Tukang becak itu kurus kering, berkulit mengkerut dan mengkilat karena dimakan cuaca, sudah berusia lanjut, sangat pantas kalau disebut seorang kakek. Dan seorang kakek dengan penampilan seperti itu sudah tidak cocok untuk bekerja sebagai penarik becak yang bebannya kadang dapat sangat berat. Tapi entahlah, tukang becak itu tetap menarik penumpang dan tidak banyak berkomentar tentang nasib yang mungkin tidak banyak berubah selama sekian puluh tahun.

Berbagai pikiran berkelebat dalam benak saya. Sungguh tidak dapat diingkari iba yang menyelinap di hati ini. Iba yang sama dengan yang muncul ketika melihat kaum harafisy* di negeri ini. Lalu benak saya melakukan pembandingan dengan kaum lain, kaum 'pengemis'. Kaum yang sebut terakhir ini bukanlah mengacu pada kaum papa, tapi kaum yang 'bermental pengemis'. Biasanya mereka sehat, kuat, dan kesempatan masih bermurah hati untuk menampakkan diri di setiap sisi dan sudut jalan yang mereka lalui. Tapi apa daya, segala godaan dari kesempatan itu tidak membuat mereka tergiur. Satu hal yang menghalangi pandangan mata kaum ini: malas.

Entahlah, saya tidak tahu. Dunia kadang begitu paradoks. Di satu sisi banyak orang bekerja sampai tumpah ari mata dan darah, tapi kesempatan tidaklah bermurah hati pada mereka. Di sisi lain, kesempatan bermurah hati pada sebagian orang, namun orang-orang itu malah mengabaikannya.

Bagaimana dengan saya? Saya mendapatkan banyak karunia dan saya mengucap syukur atas itu. Sekarang saya sedang beranjak ke tingkatan 'syukur dengan berbuat'. Makna syukur yang terkandung dalam Al Quran bukanlah sekedar 'mengucap syukur', tapi 'berbuat syukur', yaitu dengan menggunakan semua potensi yang ada untuk meninggalkan jejak bagi kemajuan diri, keluarga, umat, kemanusiaan, dan apapun yang membuat dunia ini lebih baik.

Berbuat sesuatu untuk para harafisy seperti tukang becak renta tadi. Atau berbuat sesuatu bagi tukang minyak tanah yang sudah teramat sangat renta, langkahnya sudah miring, matanya sudah tidak menatap dengan lebar, yang beberapa waktu lalu masih saya dengar suaranya lewat depan kos saya, tapi sekarang entah ke mana. Atau berbuat untuk sepasang suami istri pengangkut sampah di komplek tempat kos saya berada. Sang Suami (lagi-lagi) sudah renta. Paling hanya sanggup mendorong gerobak dengan sekenanya dan mengambil sampah yang ringan. Dia bertugas dibantu istrinya yang jauh lebih muda, masih lebih kuat, berbadan tambun, yang kebagian menarik gerobak sampah kuning sarat sampah, yang jalannya sudah bungkuk-tertatih lagi akibat menarik gerobak selama bertahun-tahun sambil merendahkan badan.

Saya terus-menerus bertanya pada diri saya, apa yang dapat saya lakukan untuk harafisy. Tidak akan berhenti saya hingga saya menemukan jawabannya. Dan jawaban itu tidak tunggal. Setelah saya menemukan satu hal kongkrit yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki kehidupan mereka, saya akan mencari hal lain yang bisa berkontribusi pada peningkatan taraf hidup harafisy. Takkan berhenti.

[Ya Rabb, tunjukilah aku jalan yang kucari itu. Karena Engkaulah Maha Mengetahui, lagi Maha Pemberi Petunjuk...]

Friday, November 24, 2006

Tukang Loak, Buku, dan Nilai

"Botol-besi-koran-buku-bekaaaaaaaaaaaaaaaaas! Botol-besi-koran-buku-bekaaaaaaaaaaaaaaaaaaas!"
Kira-kira begitulah teriakan dari tukang-tukang loak yang lewat saban hari di depan kos saya.

Saya jarang menjual sesuatu pada tukang loak. Paling-paling kalau saya lagi rajin beli Kompas, saya bakal rajin juga ngejual koran bekas. Biasanya dapet lima kilo sekali jual. Lumayan juga.

Satu kali saya berniat menjual koran. Saya panggil tukang loak yang lewat. Kali ini tukang loaknya yang masih muda yang lewat. Saya keluarkan koran-koran, tukang loak itu mengikatnya dengan tali rafia, kemudian dikeluarkannya timbangan tangan (yang dari besi tebal berwarna kuning), ditimbangnya koran, dan keluarlah berapa jumlah kiloan koran itu. Terakhir kali saya menjual, harga koran bekas sekitar tujuh ratus sekilo. Kalau tidak salah.

Tukang loak itu memberi saya uang sebanyak empat ribu rupiah. "Oh, bentar. Saya ambil dulu kembaliaannya." Saya segara berlari ke atas (kamar kos saya dua lantai; iya, 'kamar', bukan 'rumah') untuk mengambil uang recehan. Pintu di bawah saya biarkan terbuka sedikit.

Pintu di lantai bawah kamar kos saya terdiri dari dua lapis. Pertama pintu luar yang terdiri dari jaring kawat yang dianyam berbentuk belah ketupat di setengah bagian atas dan jajaran papan kayu di cat hijau di bawahnya. Pintu sebelah dalam adalah pintu kayu yang dilapis seng dan dicat hijau juga. Pintu dalam ini yang saya biarkan terbuka lebar. Jadi yang saya katakan 'terbuka sedikit' adalah pintu luar. Di antara kedua pintu itu dipasang kain lapisan gorden yang berlubang-lubang (seperti kain kasa dengan lubang besar) berwarna kuning muda. Sekarang sih warnanya tidak jelas. Tujuan dipasangnya kain itu adalah menjaga privasi saya dari orang-orang yang lewat di depan kos saat saya membuka pintu dalam. Maklum, pintu itu langsung menuju sebuah gang.

Saat saya kembali ke bawah dan mau menyerahkan uang, tukang loak itu berkata, "Neng, buku enggak (dijual), Neng?"

Saya langsung bergidik. Detik itu juga terbayang oleh saya kalau mungkin tukang loak ini melihat ke dalam, melalui kain berlubang-lubang itu, dan melihat ada tumpukan buku-buku yang sudah setinggi pinggang saya. Saat itu dia memang tidak berdiri di depan pintu, melainkan di samping pintu, jadi dia tidak sedang melihat ke dalam. Jadi saya tidak punya bukti kalau dia mungkin saja mencuri lihat ke dalam.

Saya tidak menjawab pertanyaan itu. Saya serahkan kembalian uang koran dan saya ucapkan terima kasih.

"Ya, Neng. Kalo ada mah buku juga, Neng."

Saya menjawab 'tidak' dengan pelan. Saya merapatkan pintu kawat dan menguncinya. Tukang loak itu berlalu. Saya masih terpaku di depan pintu dengan perasaan sedikit ngeri yang belum hilang.

Bukan kemungkinan kalau tukang loak itu melihat ke dalam kosan saya yang saya khawatirkan. Saya tidak merasa terancam kalau ada yang melihat ke dalam, toh isinya kardus-kardus, meja yang ada piring-gelas-sendok, tempat sepatu, dan tumpukan barang dalam kardus lagi. Bukan itu. Yang membuat saya ngeri adalah perkataannya tentang buku itu.

Bagi tukang loak, tumpukan buku itu mungkin sangat bernilai karena jumlah kiloannya akan sangat banyak dan mungkin dia akan mendapat banyak sekali keuntungan dari menjual buku. Nilai buku itu mungkin hanya sekedar beratnya kertas dari buku itu. Tapi bagi saya, buku sangat berharga! Tidak akan saya menjual buku-buku yang sudah saya beli dan kumpulkan dengan susah payah. Nilainya pun tidak sekedar jilidan kertas yang di dalamnya tercetak huruf-huruf. Ada dunia di dalam buku-buku itu. Buku merupakan makanan bagi pikiran saya, layaknya makanan bagi tubuh agar saya tetap hidup sampai sekarang. Buku terlalu berharga untuk dikilo oleh tukang loak atau ditangani oleh orang yang tidak mengerti betapa saya cinta buku.

Sudah dua kali saya mengalami hal itu. Dua kali juga saya bergidik. Haaaah, dari kejadian itu saya belajar bahwa nilai sesuatu itu bisa sangat jauh jaraknya. Buku yang bagi para bookworm dan kalangan terpelajar sangat berharga, menjadi sekedar kumpulan kertas yang dikilo dan setelah dijual akan menghasilkan uang yang 'lumayan' (yang sebenarnya tidak terlalu besar). Meski kalau dipikir-pikir saya semestinya bisa memaklumi keadaan tukang loak itu, entah mengapa saat itu saya merasa ngeri tanpa bisa saya cegah.

Semoga saja tidak terjadi lagi untuk yang ketiga kalinya.

Monday, November 20, 2006

Tempat Sampah, Kesadaran, dan Etika

Tahu tidak, di kampus saya ada tempat sampah baru! (Horeeeeeeee! Tempat sampah baru!) Iya, betul, setelah tempat sampah dengan dengan tutup-tiga-warna itu, ada tempat sampah bulat dengan tiga warna (tempat sampahnya yang tiga warna; gak ada tutupnya). Kalau tempat sampah yang lama itu tulisannya "sampah organik", "sampah kertas", dan "sampah plastik", sekarang tulisan di tempat sampah yang baru itu adalah "sampah yang dapat membusuk”, “sampah logam, kaca, dll”, dan “sampah yang tidak dapat membusuk”. Oh iya, saya tidak ingat persis namanya, jadi saya kira-kira aja nama tempat sampah tadi sesuai dengan yang saya bisa ingat.

Kalau mau tau tempat saya melihat di mana, datang aja ke deket gedung Farmasi. Anda berjalan dari arah gedung PLN punya Elektro ke arah Sostek. Di pinggir jalan tempatnya. Kedua jenis tempat sampah itu berdampingan, jadi Anda bisa melihatnya dengan mudah karena mencolok.

Begitu saya berjalan dengan dua orang teman saya ke daerah situ selepas kuliah Sejarah Matematika, saya melihat lagi tempat sampah baru itu. Saya nyeletuk, “Hmmm, parah juga ya? Sangking tidak cerdasnya, perlu ada tempat sampah baru dengan label baru yang lebih mudah dimengerti supaya mereka tau di mana mereka mesti menempatkan sampahnya.” Saya merujuk ‘mereka’ pada mahasiswa atau orang-orang di kampus ITB yang masih menjadikan buang-sampah-sembarangan sebagai gaya hidup.

Saya memang tidak tahu apa tujuan dari penempatan tempat sampah baru itu. Lagipula tempat sampah itu baru saya liat di tempat itu. Jadi ada kemungkinan tempat sampah itu ada hubungannya dengan departemen Farmasi.

Terlepas dari ada-tidaknya hubungan tempat sampah baru dengan Farmasi, saya tergelitik untuk melanjutkan komentar saya.

Hari sabtu yang lalu, saya menghadiri EO School di GKU baru. Sepanjang jalan—dari perpustakaan pusat ke GKU baru—saya melihat sampah berserakan di sudut-sudut yang strategis untuk tersembunyi. Saya yang sedang lemas cuma bisa terdiam melihat itu. Saya tidak marah, saya tidak kesal. Saya hanya prihatin dan bertanya-tanya, kok bisa ya begini?

Hari senin minggu sebelumnya (6 Nopember), saya kuliah Manajemen Inovasi. Dalam kuliah itu tiba-tiba saja tercetus dalam benak saya kalau ternyata yang namanya ’etika dasar’ itu masih harus diajarkan di bangku kuliah. Contoh ’etika dasar’ adalah membuang sampah pada tempatnya, berjalan di trotoar bukannya di badan jalan, tidak merusak tanaman, tidak mencorat-coret tembok, kursi, atau meja, tidak memberi cap kaki di tembok, tidak membuang tissu di kamar mandi. Itu yang bersifat fisik. Yang bersifat non-fisik adalah tidak menyontek PR atau ujian, berkompetisi dengan sehat (tanpa cara curang—menjatuhkan orang lain), mengucapkan terima kasih, meminta maaf bila berbuat salah, memberi penghargaan atas prestasi yang diraih orang lain, dan sebagainya. Saya mendapatkan pemahaman itu ketika Pak Gede Raka bercerita tentang etika manusia intelek dalam kuliahnya dua minggu lalu. Dengan mengambil contoh di ITB sendiri, pak Raka bercerita panjang lebar tentang etika-etika dasar yang saya sebutkan tadi.

Ketika kesadaran akan etika dasar yang masih harus diajarkan di perguruan tinggi itu muncul, saya terkejut. Bagi saya, etika-etika semacam itu sudah saya dapatkan jauh sebelumnya; ketika saya sekolah dasar. Saya mendapatkannya dari orangtua dan guru SD saya. Memang tidak ada kurikulum atau buku acuan yang digunakan waktu itu, tapi saya menjadi manusia yang punya etika dasar sejak SD. Jadi ketika saya menyaksikan etika-etika itu masih harus diberitahukan Pak Raka dalam kuliahnya, saya heran.

Saat saya mencoba untuk memikirkannya lebih jauh, saya teringat fakta bahwa pendidikan di Indonesia itu lebih condong pada pelatihan-kemampuan-otak-kiri. Jadi kalau kita mau merujuk pada definisi ’pendidikan’ yang sebenarnya, pendidikan kita itu ’bukan pendidikan’. Ya, hanya pelatihan. Tapi saya tidak akan membahas itu. Lain kali saja. Yang hendak saya tekankan adalah kenyataan bahwa model pendidikan semacam itu akhirnya membuat banyak etika dasar tidak sampai pada mayoritas generasi muda Indonesia. Mereka cerdas tapi tidak mengerti etika dasar dan tidak punya empati. Sebenarnya tidak tepat kalau dikatakan tidak punya empati. Yang lebih tepat adalah empati mereka dibiarkan layu hingga hampir mati. Saya katakan ’hampir’ lho. Empati mereka belumlah mati. Tapi karena sudah terbiasa untuk tidak berempati, syaraf empati mereka menjadi sangat kering.

Kondisi itulah yang menyebabkan banyak sekali mahasiswa di perguruan tinggi terjorok ini (saya katakan PT terjorok karena di daeah depan gerbangnya berserakan kotoran kuda dan burung tapi rektoratnya cuek bebek; masa’ halaman depan tempat menyambut tamu kotor didiamkan saja?) dapat membuang sampah di jalanan dengan sangat ringan. Kalau orang-orang dalam kelompok 4% terbaiknya saja begini, bagaimana dengan orang dalam kelompok 96% sisanya? Au ah, gelap!

Lantaran empatinya hampir kering, sampah yang diletakkan dengan sangat manis di pinggir jalan itu tidak membuat mahasiswa-pembuang-sampah-sembarangan terganggu matanya. Ah, biarkan saja tukang sapu yang ngurus. Fuuuh, sebuah bentuk keacuhan. Itu sudah biasa kok, sudah menjadi bagian hidup sehari-hari, jadi mereka tidak menjadikannya bahan pemikiran. Lagipula hal itu tidak ada dalam daftar penilaian dosen. Jadi nilai ujian maupun IP saya tidak akan terpengaruh. Mungkin begitulah pikir mereka.


Oke, saya memang tidak bisa tidak sinis kalau membicarakan hal ini.


Saya berpikir lagi. Kalau etika dasar saja belum mapan terintegrasi dalam diri mereka, bagaimana dengan etika lanjutan? Bagaimana mereka akan menguasainya? Haaah, sudahlah. Saya jadi capek sendiri di titik ini.

Itulah realita. Sampah yang mesti dibuang di tempatnya saja masih harus diajari. Pendidikan yang diterapkan di Indonesia tidak menyertakan kemampuan untuk belajar tentang hal-hal non-fisik semacam itu dalam kurikulumnya. Itulah sebabnya sampai hari ini saya masih saja ngedumel tentang mental-pembuang-sampah.

Au ah, gelap!

Tuesday, November 07, 2006

Apa Kabar?

Apa kabar dunia?
Tampaknya kau cerah sekali hari ini
Buktinya kau tetap berhias mentari
Dan dedaunan menari-nari

Tahukah kau kalau pagi ini aku berlari?
Kukejar sapa yang tak bersua
Senyum pun kurenda
Demi hangat yang kupinta

Hari yang fitri telah bersua
Segala noda telah terbang tinggi
Semua maaf menyinari
Putih hati menghampiri

(Semoga Sahabat semua beroleh berkah Ramadhan & kemenangan di hari yang fitri. Mohon maaf lahir dan batin.)

Abis Kemping, Item...

"Eh, ntar jangan lupa ya tanggal 2... Itu loh, ada mukhoyam..."

Sayup-sayup saya mendengar pembicaraan di antara teman-teman saya di
Asrama Putri Salman. Saya sedang berada di kamar Euis dan masih
terkantuk-kantuk setelah subuh. Itu dua minggu sebelum lebaran 1427H.

"Les, dirimu mo ikut gak? Yah, biasanya juga dirimu memang ikut kegiatan Asrama kan?"

Saya diajak oleh Euis untuk ikut. Kalimat kedua dari pertanyaan dia itu
bukannya menunjukkan rajinnya saya dalam kegiatan Asrama, tapi lebih
pada penekanan bahwa saya akrab dengan anak-anak Asrama Putri Salman.
Lho, kok? Bingung ya? Begini, saya ini bukan penghuni asrama, tapi saya
sangat akrab dan dekat dengan semua penghuninya sehingga saya hampir
selalu ikut atau dimintai bantuan dalam kegiatan asrama.

Maka, tanggal 31 Oktober saya kembali ke Bandung untuk bisa hadir di technical meeting
kemping Asrama Putra-Putri Salman ini. TM-nya sendiri tanggal 1
November. Tanggal 2-nya, saya datang jam tujuh pagi ke mesjid Salman
dan langsung ke gedung Asrama Putri.

Karena panitia, saya berangkat duluan bersama tumpukan barang-barang seperti tenda, sleeping bag, kompor, bahan makanan, senter, lentera, galon air, tas-tas panitia, dan lain-lain. Penuh sesak. Tiga orang panitia perempuan di bangku paling belakang mobil Kijang, dua orang panitia laki-laki di bangku tengah dengan barang-barang berat, dan ibu pembina (Bu Tati) yang ikut mengantar di samping supir. Perjalanan cukup 'nyaman' kalau tida mau dibilang sumpek. Kaki terlipat selama dua jam kurang. Tapi semua itu terbayar begitu mobil memasuki kawasan perkemahan Gunung Puntang.

Udara sejuk dan bersih langsung menyergap. Kesegarannya seolah menghibur raga yang mulai mengeluh karena udara Bandung makin panas sejak bulan Agustus (sampia sekarang belum nampak mau hujan). Air jernih dan alirannya di sungai mengalun bagai musik ceria. Subhanallah, suasana yang biasa nampak di pegunungan itu jadi luar biasa.

Mobil berhenti di gerbang dan salah satu panitia, Nanang, turun untuk memberitahukan tibanya kami pada penjaga bumi perkemahan. Cukup lama mereka berdiskusi di pos satpam. Kesempatan itu kami--panitia perempuan-- gunakan untuk turun dan menghirup udara. Kami berjalan ke sungai yang ada di sisi kanan jalan. Bu Tati mencuci tangannya di sungai. Brrrrrrrrrr, airnya dingin sekali. Jauh lebih dingin dari air di Bandung.

Setelah sepuluh menit, kami meneruskan perjalanan ke lokasi kemping kami. Kami segera menurunkan barang-barang untuk kemudian mendirikan tenda. Selain itu, kami sempat beristirahat, minum sirup dan makan bekal yang dibawa. Kami bersiap-siap di lokasi kemping sembari menanti peserta tiba di pos satpam depan, tempat kami berhenti di awal tadi. Peserta diberangkatkan dari Salman perkelompok dan diberi ongkos. Mereka diminta untuk mencari cara pergi ke BuPer Puntang sendiri. Rata-rata mereka tiba jam 12 di pos satpam. Di sana mereka istirahat makan siang dan solat. Setelah itu mereka diminta menyusuri sungai dari titik di dekat pos satpam menuju 'atas', lokasi kemping.

Tak lama datang Pak Agung Wiyono, salah satu pembina asrama Salman, bersama istri dan anak-anaknya. Pak Agung nantinya akan memberi pengarahan di apel sore. Putrinya, Ami, akan turut membantu panitia. Adik Ami, Wicak, ternyata ikut juga. Tinggal satu orang lagi, Ibnu adik Ami yang paling bungsu. Tampaknya setelah dibujuk dia mau ikut kemping. Dan memang kemudian keluarga Pak Agung turut bermalam di lokasi kemping setelah menyewa tenda.

Setelah peserta sampai di lokasi, mereka diberi tenda, satu lentera badai, satu kompor gas mini, satu tabung gas kecil, dan jatah setengah liter minyak tanah. Mereka amesti mendirikan tenda, mempersiapkan makan malam. Di sore hari mereka apel. Kegiatan selanjutnya adalah bebersih diri, solat, makan malam, baru kemudian acara kebersamaan digelar.

Malam itu cuaca agak mendung. Jaket tidak mampu melindungi badan ini dari dinginnya udara yang menusuk. Kaus kaki yang basah membuat kaki hampir tidak bisa dirasakan lagi. Segalanya gelap dan tidak terlihat kecuali di sekeliling api unggun, lentera, petromaks. Haaaah, repot kalau punya mata udah minus... Serba gelap dan saya jadi kikuk saat bergerak. Tapi malam itu menyenangkan. Peserta mulai menyesuaikan diri dengan suasana yang mereka hadapi.

Hari kedua adalah hari yang diisi dengan kegiatan jurit malam (caraka malam) pada dini hari, kegiatan bebersih, masak, materi, diskusi, olahraga di sore hari, lalu materi dari kang Bryan di malam hari (beliau alumni asrama putra Salman entah tahun berapa; sekarang beliau jadi dosen di Teknik Fisika ITB; lulusan Jepang). Materi yang dibawakannya menarik. Tentang pengalamannya ketika dulu menjadi penghuni asrama Salman, pengalamannya di Jepang, dan beberapa hal tentang peran pemuda bagi perkembangan bangsa ini. Malam kedua ini langit cerah dan bulan bersinar dengan terang. Aku tidak perlu berjalan dengan kikuk pun menggunakan senter...

Hari ketiga, saya terbangun di tenda pada pukul satu pagi. Udara dingin sekali. Karena keterbatasan sleeping bag, saya berbagi dengan Euis. Alhasil sleeping bag itu tidak bisa ditutup rapat. Jadilah saya terbangun karena kedinginan. Acara mereka pukul tiga pagi di hari ketiga adalah kompetisi kelompok dalam bentuk perang-perangan. Itu hanya untuk peserta dari asrama putra. Peserta asrama putri mengadakan acara tukar kado yang dipandu Euis.

Saya bangun jam lima dan membuat susu plus jahe. Setelah mempersiapkan sarapan untuk panitia dan briefing untuk kegiatan hiking ke Curug Siliwangi (dua jam setengah perjalanan ke atas), panitia membereskan tenda. Peserta juga melakukan hal yang sama. Semua barang pribadi dan perlengkapan kemping harus sudah dipak untuk nantinya dititip ke salah satu warung di dekat lokasi kemping. Jam delapan kami ke lokasi kemping lagi. Kami bersiap untuk naik ke atas, ke Curug Siliwangi.

Perjalanannya? Menanjak, tidak bisa saya rasakan betul, berganti-ganti antara sejuk dan gerah, melelahkan. Saya memang belum pernah bisa menikmati perjalanan ke alam kalau dilakukan bersama banyak orang. Perhatian saya akan teralih ke banyaknya orang ketimbang suasana alam yang perawan. Saya lebih suka soliter atau berada dalam kelompok di bawah lima orang untuk melakukan perjalanan ke alam.

Tapi ujungnya menyenangkan. Curug Siliwangi itu bagus. Dia bukanlah air terjun yang besar; alirannya kecil. Tapi yang membuatnya istimewa adalah efek dari aliran itu. Air dalam aliran yang kecil itu jatuh dari ketinggian dalam bentuk serpihan-serpihan embun dan membuat udara sangat sejuk. Karena tingginya titik air sungai terjun dan kecilnya airnya aliran, efek itu terjadi. Kira-kira tingginya... berapa ya? Seratus meter kurang? Ah, tidak tahu. Kalau video rekaman hiking itu sudah jadi--atau foto-foto kegiatan itu, saya akan upload ke sini. Selama kurang lebih setengah jam kami di sana. Berfoto, menikmati air yang lebih dingin dari air di bawah (lokasi kemping), berbincang-bincang sebentar, mendapat masukan dari Kang Yudha selaku pembina asrama, makan, lalu turun lagi.

Perjalanan turun lebih mudah dan ringan. Tapi kaki memang udah gak mau kompromi lagi. Pegel banget. Semua peserta juga begitu. Kami langsung mencari tempat-tempat strategis untuk duduk dan minum. Muka-muka kusut memenuhi warung. Jam dua. Rencananya peserta akan dipulangkan jam tiga. Mereka mengambil tas dan barang bawaan. Kami, panitia, menanti mobil dari Salman.

Selama hampir satu jam kami menanti mobil. Begitu datang, mobil langsung disesaki dengan berbagai barang dan panitia lagi. Bedanya, kali ini kardus bahan makanan dan galon air sudah tidak ada isinya. Panitia sudah kuyu. Lebih enak tiduran di dalam mobil selama perjalanan ke Bandung.

Begitu keluar dari BuPer, satu pengalaman tidak bisa saya lupakan. Jalan menuju ke bawah berkelok-kelok seperti ular. Cuaca sore yang cerah dan udara yang hangat menyambut. Tenang. Ladang sayur dan hamparan padi menguning di sepanjang perjalanan. Jendela mobil yang dibuka mempersilakan angin untuk mampir membelai kami. Rumah dan kebun kami lalui bergantian. Semakin ke bawah, udara makin terasa gerah. Namun damai. Damai begitu kuat merengkuh benak saya. Berada dalam perjalanan itu bagaikan mengambang dalam arus lambat dari waktu. Serasa tidak berakhir. Kelokan jalan itu seakan tetap berkelok hingga saat yang tak terkira. Tenang. Lepas semua kepenatan saya.

Dan ketika kaki menginjak area mesjid Salman, perjalanan tadi bagaikan mimpi yang tercerabut dari tidur saya. Ah, memang selama di sana saya bagaikan bermimpi. Tipisnya oksigen membuat pikiran saya tidak bisa mencerna yang saya alami di Puntang secara penuh.

Mungkin lain kali saya bisa lebih menikmatinya lebih baik lagi.

Wednesday, October 18, 2006

Hujan Bulan Juni

Tidak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik dan rindunya
pada pohon berbunga itu


Puisi ini begitu menyentuh saya. Mungkin karena mengingatkan saya pada diri sendiri.


[Have I told u that I miss you?]

Idealisme versus Realita

Siang ini, persis sebelum saya menuliskan ini, saya berbicara dengan salah satu sahabat saya di Matematika ITB. Dia biasa dipanggil Acung. Nama aslinya sih Rangga Ganzar. Tapi karena rambutnya tegak ('rancung' dalam bahasa sundanya), maka jadilah dia dipanggil Acung. Kami terlibat pembicaraan mengenai tawaran yang diberikan salah satu dosen Aljabar pada Acung untuk kuliah di Nanyang, Singapura. Sebelumnya dia bertanya pada saya apakah dia sebaiknya menerima tawaran itu atau tidak. Saya sih menyarankan dia untuk menerima saja tawaran S2 itu. Ketika saya tanya, dia bilang dia sudah menerima tawaran itu.

Dalam pembicaraan sebelumnya, saya sempat memberi saran--meski setengah bercanda tetap saja serius isinya--agar dia kembali ke Indonesia setelah lulus. Yah, dia itu pintar, jadi saya berharap dengan kesederhanaannya dia bisa menjadi orang yang mempercerah masa depan Indonesia. Tapi kemudian dia menolak mentah-mentah. Dia menceritakan alasannya.

Sekitar bulan Juni dia ikut International Mathematical Chalenge 2006 di Ukraina. Rombongan dari Indonesia sempat mampir di Turki dan ke Istambul. Mereka juga sempat mengunjungi The Blue Mosque yang terkenal itu. Ketika Acung mau menyempatkan solat di dalamnya, tiba-tiba ketua rombongan, pejabat dari Diknas, meminta rombongan untuk pulang ke hotel. Usut punya usut, ternyata Bapak itu kehabisan baterai kamera dijitalnya. Jadi dia mau mengambil ke hotel. Acung kecewa lantaran Bapak itu memikirkan kepentingan pribadinya aja.

"Tau gak Les, dia itu gak lebih dari tukang bawa duit aja. Dia gak berharga apa-apa selain itu. Bayangin, bahasa inggris aja gak bisa. Jadi kerjaan dia di sana itu cuma jalan-jalan aja. Acung baru tau kalo pejabat-pejabat di departemen Pendidikan itu begitu."

Yah, saya tau dia baru saja kecewa berat. Saya juga tau kalau ini adalah pengalaman pertamanya. Dia masih shock. Karena itulah saya menyarankan dia untuk kembali ke Indonesia setelah kuliah di luar negeri. Saya tau betul potensi dia, makanya saya merasa sangat sayang kalau dia tidak memberikannya untuk perbaikan negara ini.

Pun ketika siang ini dia kembali menegaskan kalau dia tidak akan kembali ke Indonesia--lebih baik tetap di luar negeri dan mencari orang luar (menikahi, maksudnya) yang muslim--saya tetap menyemangatinya. Terbersit kekecewaan yang dalam dalam hati saya karena sikap dia itu. Saya tidak menyalahkannya. Realita yang ada di negara ini terlalu menyakitkan bagi orang-orang seperti Acung yang dibesarkan dalam tatanan nilai-nilai yang tinggi. Bahkan ketika saya menyodorkan buku Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir?, dia tetap saja kukuh dengan pendiriannya untuk tinggal di luar negeri.

...
Keberhasilan-keberhasilan Asia menunjukkan kalau Asia punya 'pool of talent' yang paling besar dan berpotensi untuk berbagi dengan dunia. Seolah-olah, kenyataan ini adalah kekalahan bagi Asia. Kebanyakan mereka tidak mau pulang ke negaranya. Keajaiban ekonomi Taiwan terjadi karena turut dibantu mahasiswa-mahasiswa yang kembali pulang. Pertumbuhan industri software komputer yang meledak di India juga telah dibantu oleh 'brain drain' yang balik ke kandang....

Ah, kalau saya mengalami keterkejutan serupa dengan Acung baru di saat saya kuliah sekarang, barangkali saya juga akan bersikap demikian. Tapi jalan hidup saya telah membawa saya ke sebuah sikap dengan kadar pragmatis yang cukup untuk membuat saya bersemangat membantu perubahan negeri ini. Saya sudah lama sadar kalau saya hanya melarikan diri dari kenyataan ini (dengan mengomel, kabur ke luar negeri, atau mengasingkan diri), tidak akan banyak yang berubah. Saya sadar kalau satu hal kecil sangat berarti. Pepatah 'sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit' begitu benar untuk keadaan negara ini. Semangat perbaikanlah yang harus ditumbuhkan dalam diri-diri generasi muda Indonesia. Karena bagaimanapun, Indonesia sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun lagi adalah Indonesia yang dibangun oleh tangan-tangan kita sekarang. Kita akan memberi Indonesia seperti apa untuk anak-anak kita kalau kita sendiri cuek bebek dari sekarang? Yang saya pikirkan sih bukan diri saya, tapi anak-anak saya nanti. Saya sih ingin yang terbaik bagi anak-anak saya.

Haaaah, belakangan ini isu perbaikan bangsa ini sedang berputar-putar di sekitar saya. Mau tidak mau saya memperhatikannya. Mungkin perhatian saya juga didorong oleh faktor umur saya yang memang sudah bisa menikah dan sedang sering memikirkan bagaimana menjadi ibu.

Mengenai teman saya tadi, saya hanya bisa berharap agar Tuhan membimbing dia untuk menjalani jalan yang terbaik. Amin.


Ngiri

Saya sedang iri pada orang lain. Tapi irinya gak termasuk dengki. Iri yang saya rasakan adalah tipe yang membuat diri kita jadi terpacu untuk mendapatkan hal serupa tapi dengan usaha yang baik. Apa ya sebutan rasa iri seperti itu? Wah, sudah deh, ntar gak jadi ngobrolin tentang masalahnya kalo membahas ‘iri’ saja.

Saya iri pada dua pasangan suami-istri, Asma Nadia-Isa dan Helvy Tiana Rosa-Tomi. Bukan kebetulan kalau saya iri pada dua keluarga Asma dan HTR yang notabene kakak-beradik. Saya sudah membaca kumpulan tulisan Asma (Rumahku Surgaku) dan HTR (Risalah Cinta) tentang keluarga mereka. Karena mereka mendokumentasikan kehidupan mereka, saya jadi kenal mereka lebih dekat. Jadi saya wajar kalau saya ngiri pada mereka. Tulisan-tulisan itu merupakan catatan dari kehidupan dan perasaan nyata yang mereka alami sendiri, jadi keirian saya tidaklah pada sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keberadaannya.

Apa sih tepatnya yang membuat saya iri? Saya iri pada bagaimana mereka menjalani hidup mereka dalam keluarga. Mulai dari pemikiran, perasaan, interaksi terhadap pasangan masing-masing, hingga bagaimana mereka membesarkan buah hati. Kehidupan rumah-tangga yang mereka jalani menjadi inspirasi dan model untuk saya.

Kalau ditanya apakah saya baru menemukan model rumah tangga yang ideal—lantaran saya iri pada mereka—saya akan menjawab ‘tidak’. Saya bukannya baru tahu model keluarga yang saya harapkan. Semenjak saya SMA, sejak saya sudah lebih komperehensif dalam memandang multi-peran yang disandang diri, saya sudah menyusun potongan-potongan gambaran keluarga seperti apa yang hendak saya bangun. Gampangnya, dari dulu ‘kutahu yang kumau’. Dengan adanya catatan dari pasangan Asma-Isa, HTR-Tomi, termasuk juga orangtua salah seorang sahabat saya—Teh Yuti, dan pasangan suami-istri yang keduanya sahabat saya, Elma-Kang Firman, gambaran tentang keluarga ideal itu semakin lengkap dengan contoh-contoh nyata di depan saya.

Pasangan-pasangan yang saya sebutkan itu memberi arti pada sebuah frase yang disebut ‘berkah dalam pernikahan’. Relasi mereka harmonis. Mereka menunjukkan bagaimana cara menyayangi pasangan jiwa. Mereka membesarkan anak-anak (kecuali Elma-Kang Firman, Elma baru hamil anak pertama) dengan cinta, kasih sayang, dan kelembutan. Anak-anak itu mendapat perhatian dan pendidikan terbaik. Mereka pun dididik untuk menjadi manusia seutuhnya. Dan lihatlah, anak-anak itu menjadi cahaya dan kebanggan bagi orangtuanya. Anak-anak itu menjadi sumber kebahagiaan lain selain relasi di antara pasangan suami-istri. Kemudian secara utuh, keluarga yang mereka miliki menjadi inspirasi bagi orang lain. Coba, bagaimana mungkin sebuah keluarga bisa menjadi inspirasi kalau bukan keluarga yang hebat dalam arti yang sebenarnya dan menyeluruh?

Rata-rata orang islam hapal dengan istilah ‘sakinah-mawaddah-warrahmah’ yang artinya kira-kira ‘ketenangan-kebahagiaan-kasih-sayang’. Tapi mungkin tidak banyak yang bisa menjalani pernikahan ‘sakinah-mawaddah-warrahmah’ secara nyata karena hanya memahaminya sebatas arti kata, tanpa lebih jauh memahami maknanya. Entahlah, apakah itu disebabkan oleh persepsi orang tentang pernikahan itu sebatas akibat dari ekspresi cinta (passion) atau bagaimana, saya belum tahu. Yang jelas, yang disebut pernikahan ‘sakinah-mawaddah-warrahmah’ itu berdasar pada pemahaman bahwa cinta tidak sekedar passion, cinta tidak hanya memandang fisik dan/atau ‘kepribadian’ (mobil pribadi, aset pribadi, rumah pribadi). Ada prinsip penerimaan-apa-adanya segala kelebihan dan kelemahan pasangan, ada tanggungjawab yang menyertai status ‘suami’ atau ‘istri’, ada keluarga baru yang mesti kita sayangi (keluarga mertua), ada perencanaan masa depan yang mesti dibuat, ada nafkah yang harus dipenuhi, ada emosi yang mesti diatur, ada peran baru yang mesti dijalani. Intinya, pernikahan itu tidak sekedar mesra-mesraan saja. Kemudian, yang utama dan paling penting, ada potensi ibadah di situ. Wah, insya Allah pernikahan jadi penuh berkah kalau setiap pasangan dapat memahami itu.

Tapi, hei, saya bukanlah orang yang begitu terbuainya dengan gambaran ideal rumah tangga sehingga saya mikirin yang bagus-bagusnya aja dan mengabaikan adanya bumbu-bumbu rumah tangga. Saya realistis kok. Wong kalau seseorang sama pacar yang sewaktu-waktu bisa diputus saja bisa berantem kok, apalagi sama orang yang bisa dibilang terikat sehidup-semati dan akan kita hadapi tiap hari. Yaaah, itulah tantangannya. Tinggal bagaimana kitanya aja menghadapi itu semua.

Ngiri, saya ngiri. Tapi saya berharap suatu saat saya membuat orang ngiri juga; ngiri yang sehat loh! Ngiri yang membuat orang bersemangat melakukan hal yang lebih baik dari saya. Ngiri yeeee....

Wednesday, September 13, 2006

Akar

Tadi pagi, saya baru menghidupkan radio sekitar pukul setengah sembilan. Biasanya, saya sudah tune in jam setengah tujuh. Dua-tiga hari ini saya sedang malas menghidupkan radio. Jadi, ketika saya sudah beres dengan komputer dan bersiap untuk mencuci baju--daripada mencuci dalam keheningan--mending sambil dengerin radio MQ.

Topik untuk Risalah Pagi (sebuah acara diskusi dengan tema-tema yang sedang panas saat ini) kali ini adalah 'Acara-acara di Media Menjelang Ramadhan'. Atau kurang lebih begitulah temanya. Karena saya baru dengerin jam setengah sembilan, saya cuma ngedenger narasumber ketiga (biasanya ada tiga narasumber). Pak Ma'ruf Amin sedang berbicara tentang harapannya pada acara di media televisi.

Penyiar berbicara sebentar setelah pak Ma'ruf selesai dan sebelum menerima penelpon. Dalam kalimatnya beberapa penelpon, saya cukup tergelitik ketika mendengar yang mereka sebut dengan 'penyebab dari tayangan2 gak bermutu di TV'. Mulai dari pengelola stasiun TV yang yang terlalu mengutamakan rating sampai masalah moralitas. Saya tergelitik bukan karena pendapat itu salah. Saya tergelitik lebih karena penyebab yang mereka maksud itu ya itu-itu juga, tidak jauh berbeda atau senada dengan penyebab keterpurukan pendidikan, ekonomi, dan korupsi di negeri ini. Jadi, saya berpikir kalau analisis yang diuraikan penelpon maupun penyiar sudah klise dan basi. Yaaaah, tiap tahun menjelang Ramadhan yang muncul lagi-lagi masalah beginian tanpa ada penyelesaian yang berarti. Sama juga dengan masalah pornografi, ekonomi, pendidikan yang gaaaaaaaaaaaaak ada habis-habisnya.

Tapi saya bukannya bersikap skeptis terhadap adanya usaha-usaha perbaikan. Saya juga gak pesimis. Saya pun tidak berdiam diri kalau ada yang bisa saya lakukan terhadap masalah-masalah seperti ini. Yang saya ingin katakan adalah, para pemirsa radio dan penyiarnya kurang dalam ketika membahas 'penyebab' yang mereka maksud.

Tau gak sih akar masalah dari isu seperti tayangan porno-mistis-gosip-gak-mutu di media, mental 'rating' pengelola media, pendidikan, korupsi, dan sebagainya di negeri ini? Bangsa ini gak punya harga diri! Atau seperti itulah kurang lebih para pemimpinnya.

[Sori, saya menggunakan ukuran huruf yang lebih besar bukan untuk 'gak punya harga diri' bukan untuk memojokkan saudara sebangsa sendiri--terutama yang jasanya tak terkira bagi negeri. Tapi saya kesal dengan cara negeri ini diurus di era sekarang.]

Mari kita lanjutkan lagi. Kenapa gak-adanya-harga-diri-pemimpin-Indonesia menjadi penyebab dari masalah media menjelang Ramadhan maupun di bulan lain? Ceritanya panjang. Pendahulu kita, ketika dijajah Belanda, menunjukkan harga diri yang luar biasa dan tidak mau bertekuk lutut pada mereka. Ketika Sumpah Pemuda, para pemuda menunjukkan harga diri yang luar biasa sebagai anak bangsa. Tapi sejak masa orde baru, harga diri ini digerogoti habis-habisan. Mulai deh ngutang ke negara lain. Mulai deh KKN mengakar. Mulai deh pemerintahan 'raja', bukan 'pelayan rakyat'. Mulai deh menganut gaya hidup enak dan permisif. Mulai deh penyebaran mimpi-mimpi semu lewat sinetron, majalah, gaya hidup metropolis--padahal miskin. Mulai deh silau dengan gaya hidup barat yang serba instan dan individualistis. Mulai deh nyombong ke Cina (pak Habibie). Mulai deh bertingkah konyol (Megawati dan Gusdur). Mulai deh rebutan kekuasaan dalam Pemilu. Mulai deh ketahuan korupsi, tapi teteeeeeeeeep aja gak mau ngaku (udah maling masih sok banget). Mulai deh 'mulai-mulai' lainnya.

Kita jadi sibuk dengan urusan internal intinya. Kenapa bisa begitu? Rupanya setan telah berhasil membuat kita sibuk sendiri dengan berbagai keinginan-keinginan yang gak realistis dan bukan kita banget.

(To be continued...)

Tuesday, September 05, 2006

Mengerikan!!!

Kemarin saya baru saja mengikuti kuliah Manajemen Inovasi bersama pak Gede Raka, dosen Teknik Industri ITB. Selama dua setengah jam, saya tidak mengantuk sama sekali. Seperti spons saya menyerap semua informasi yang disampaikan Pak Raka.

Salah satu fakta mengerikan dari Cina, tutur Pak Raka, adalah jumlah devisa yang mereka miliki. Bayangkan, mereka memiliki 800 milyar US dolar. Itu baru Cina daratan. Belum termasuk Taiwan dan Hongkong. Kalau dijumlah-jumlah, devisa ini setara dengan devisa Jepang, sekitar 900 milyar US dolar.

Indonesia?

Indonesia punya devisa 30 milyar US dolar. Tapi jangan lupa hutang kita sekitar 100 milyar US dolar. Jadi, kalau kita harus bayar semua hutang kita, negara ini bangkrut, krut, kruuuuuuut! Devisa yang dimiliki Cina itu bersih tanpa hutang sedikitpun. Dari duit itulah Cina membangun jalan tol sepanjang 40.000 kilometer tanpa ribut-ribut. Beda dengan kita. Baru ngebangun jalan tol sebanyak 60 kilo lebih (Cipularang), ributnya bukan main (karena menyambut peringatan KAA). Udah gitu sempet ada yang ambruk lagi. PAYAH!

Oleh karena kekayaan Cina yang begitu besarlah mereka menuntut untuk punya posisi yang nomor satu di PBB: salah satu Dewan Keamanan yang punya hak veto. Mereka juga tidak tanggung-tanggung untuk ikut pesta olahraga: peserta Olimpiade dan penyelenggara Piala Dunia.

Merasa perbandingan yang saya ambil terlalu jauh? Oke, kita liat Asia Tenggara.

Vietnam? Malaysia? Singapura? Kita tertinggal jauh dari mereka. Vietnam yang baru merdeka aja punya taraf pendidikan yang jauh di atas kita. Duuuuh, malu-maluin banget!

Jadi malu sama pemimpin Indonesia... Bukan malu jadi orang Indonesia. Indonesia mah keren potensinya, yang bodoh itu pemimpinnya. Abiiiis, gak bisa ngurus negara dengan bener. Atau jangan-jangan memang para pemimpin kita bukan orang-orang yang kompeten untuk ngurus negara ini?

[Waw, sinis banget yak tulisannya? Udah lama gak ngisi blog. Udah banyak yang terjadi. Banyak kata tak terucap. Banyak memori tak tertuang. Banyak momen yang tidak terabadikan. Semoga tidak kapok membaca blog ini ye...]

Sunday, June 18, 2006

Refreshing sebentar aja...

Saya mau ngasih tebak-tebakan nih. Jawab ya di comment kalo emang bisa.

Pecah artinya...

Hayooo, kalo bisa jago. Yang udah pernah saya kasih tebakan ini jangan ikutan ngejawab ya. Selamat menikmati...

Demam Bola

NEW YORK -- Tak seperti bola basket, sepak bola
memang kurang populer di Amerika Serikat (AS).
Tapi saat ini, antusiasme warga AS untuk
menonton sepak bola mulai meningkat. Hal itu
setidaknya terlihat dari jumlah pemirsa televisi
ESPN2 yang menonton pertandingan AS melawan
Republik Cheska di ajang Piala Dunia 2006,
beberapa hari lalu. Walau tim AS kalah, namun
tayangan pertandingan itu menempati rating
tertinggi di ESPN2 dengan jumlah pemirsa
mencapai 2,06 juta orang. Ini mengalahkan rating
tertinggi sebelumnya yakni pertandingan Argentina
melawan Pantai Gading yang ditonton oleh 1,6 juta
pemirsa.

ESPN2 adalah televisi yang berada dalam satu
grup dengan jaringan televisi kabel ESPN. Menurut
lembaga pemeringkat Nielsen, jumlah pemirsa
ESPN2 yang menyaksikan pertandingan-
pertandingan pada pekan pertama Piala Dunia
2006 meningkat 252 persen dibanding jumlah
pemirsa di ajang yang sama pada tahun 1998.
Sementara jika dibandingkan dengan Piala Dunia
2002, peningkatan itu mencapai 191 persen.
ESPN, ESPN2, dan ABC, bergabung untuk
menyiarkan seluruh pertandingan Piala Dunia 2006
di wilayah AS.

Pertama kalinya saya nonton bola (dalam arti bener-bener duduk di depan TV selama 2 jam-an untuk ngeliat pertandingan berlangsung) adalah pas Itali melawan Perancis (iya gitu?) di Piala Dunia tahun 1998. Maaf, saya bukan penggemar bola, jadi saya gak inget persis apakah Itali lawan Perancis waktu itu.

Oke, jadi motif saya nonton Itali vs Perancis itu adalah karena di tim Itali ada ALessandro Del Piero. Pemain yang punya nama yang mirip dengan saya ini membuat saya penasaran. Bener gak sih permainan bolanya sebagus namanya? Tapi motif murni kenapa saya tertarik untuk mantengin itu TV malem-malem adalah karena namanya Piero itu mirip nama saya. Hehehehe...

Tapi itu delapan tahun yang lalu. Terus terang, selama ini saya gak terlalu peduli sama bola sepak. Yang saya peduliin cuma buku, komputer, film, dan menulis. Entah kenapa, semangat Piala Dunia 2006 menular ke saya sekarang.

Buktinya? Paling enggak saya tau kalo tim Australia menggembirakan negaranya karena menang atas Korsel (atau Jepang?). Terus Argentina menang telak 6-0 atas Serbia-Montenegro. Paling enggak, kepedulian saya sudah lebih baik dari sekedar kenal Owen, Beckham, dan Piero.

Tapi ada satu faktor yang rasanya berpengaruh juga pada kepedulian saya terhadap bola. Pertandingannya bisa disaksikan mulai jam 8 malam di Indonesia. Coba sebelum-sebelumnya, rasanya di atas jam 9 terus. Saya milih tidur enak deh dari pada melototin permainan bola. Yah, dengan dimulai jam 8 waktu Indonesia, saya bisa gonta-ganti saluran TV antara stasiun yang ada filmnya dan SCTV yang nyiarin pertandingan--selama stasiun yang nyiarin film lagi masang iklan. Jadi, saya bisa tau sedikit banyak tentang jalannya pertandingan Piala Dunia sambil mendiskusikannya dengan adik laki-laki saya atau sodara sepupu tapi tidak larut malam.

Yah, saya sama seperti warga Amerika serikat nampaknya, mulai seneng bola sepak....

Monday, May 22, 2006

22 Mei 2006

Pada hari Sabtu tanggal 13 Mei yang lalu saya berkesempatan untuk menghadiri acara pernikahan teman saya, Mbak Rini, di Ujung Berung, tempat kediaman keluarga suaminya berada. Masih terpatri dengan jelas dalam benak saya kejadian seminggu sebelum pernikahan itu. Ba’da Magrib, dia menelpon saya yang sedang dalam perjalanan pulang dan meminta saya mampir ke tempat kosnya karena ada yang mau dititipkan. Tempat kos Mbak Rini berjarak kurang lebih lima ratus meter dari tempat kos saya. Saat saya tiba di tempat kosnya, dia telah menanti saya di pintu dengan antusias tapi seperti menyembunyikan sesuatu. Saya curiga. Setelah bertanya-tanya sebentar pada saya di sofa ruang tamu, dia menyuruh saya berbalik membelakangi dia karena dia mau mengeluarkan ‘titipan’ yang dia maksud. Tapi saya mencuri lihat dan kecurigaan saya benar.

Saya memonyongkan bibir karena merasa sebal. Yang dia keluarkan adalah undangan pernikahan berwarna ungu gelap yang cantik. Bagaimana tidak sebal? Seminggu sebelumnya teman saya yang lain, Teh Nia, datang ke tempat kos saya, untuk menyerahkan benda yang serupa: undangan pernikahannya, untuk tanggal 7 Mei. Mereka tidak pernah bercerita sedikitpun kalau mereka akan menikah. Yang ada adalah mereka ‘mau menitipkan sesuatu’ dan menyerahkan ‘titipan’ itu dengan senyum yang malu-malu. Iiiiiiiiiiiiiiih, saya enggak dianggap sama sekali!

Bayangin gitu loh, kami cukup dekat dan..., not even a word! Mereka tidak bercerita sedikitpin kalau selama tiga-empat bulan terakhir mereka dikenalkan pada orang dan..., tuing..., tuing..., mereka sepakat untuk menikah. Rasa sebal saya tidak dalam artian ‘benci’. Rasa sebal saya ini disebabkan karena mereka tidak bercerita sedikitpun pada saya. Selebihnya, saya merasa sangat bahagia. (Catatan: Mbak Rini dan Teh Nia teman satu kos. Dulu sewaktu saya tingkat satu, saya satu kos dengan mereka)

Oke. Singkat cerita, saya pergi ke Ujung Berung bersama Teh Depi dan adiknya karena saya tidak tahu tempatnya. Teh Depi dan adiknya adalah teman satu kos Mbak Rini juga. Setibanya saya di tempat kos mereka, saya mengetahui kalau Bunda dan Almar akan ikut juga. Siapa Bunda? Bunda adalah sebutan untuk putri dari pemilik kos Mbak Rini dkk. Bunda bersama suami dan kedua putranya tinggal di rumah kos itu. Almar adalah putra Bunda yang pertama. Umurnya belum lagi enam tahun. Almar mirip Bunda.

Bunda berperawakan tinggi dan kurus. Wajahnya mungil dan kulitnya putih. Orangnya ternyata sangat ramah dan sayang pada putranya. Saya langsung menyenangi Bunda. Sepanjang jalan menuju Ujung Berung, kami menjalin keakraban. Almar sendiri adalah anak yang manis. Dia tidak takut terhadap orang yang asing baginya dan mudah lekat pada orang lain. Dengan manja dan ceria dia meluluhkan hati orang-orang yang melihatnya.

Kala kami tiba di mesjid tempat akad nikah Mbak Rini berlangsung, akad sudah hampir selesai. Kami tiba terlambat. Karena tidak mau mengganggu acara, kami menunggu di luar. Saya bertemu dengan banyak teman lama di sana. Kami saling bertukar kabar dan rindu. Dalam suasana bahagia itu, kami saling bercerita tentang kisah-kisah pernikahan yang bahagia dari kenalan-kenalan kami. Almar tidak mau ketinggalan. Saya sempat menggodanya dengan bermain kepiting-kepitingan jemari saya dan mencubiti pipinya. Yang lain turut memelintir jarinya untuk meniru saya. (Itu lho, jari tangan ditumpangkan ke atas jari lainnya yang lebih besar. Misal, jari kelingking ditumpangkan ke atas jari manis dan seterusnya). Setelah itu Bunda nyeletuk, “Yang paling jago melintir jarinya berarti siap nikah ya bentar lagi?” Perkataan itu ditujukan ke saya karena saya yang berhasil memelintir semua jari saya di kedua tangan. Teman-teman saya tertawa dan saya hanya mesem-mesem.

Karena pasangan pengantin sudah mau keluar dari mesjid, Bunda mengajak kami ke rumah mertua Mbak Rini sekaligus tempat walimahan berlangsung. Rumah itu tidak jauh dari mesjid. Dengan santai kami berjalan beriringan. Sesampainya kami di depan rumah, kami mengisi buku tamu dan menempati tempat duduk yang tersedia. Tamu-tamu sudah banyak yang datang, dari kalangan kerabat, kolega, teman, dan tetangga. Di sana saya bertemu lebih banyak lagi teman saya. Kami bertukar cerita. Saya juga menggoda putri salah satu teman saya yang nampaknya sudah lupa pada saya. Umurnya baru empat tahun kurang. Namanya Icha. Dulu dia anak yang ceria dan ramah. Tapi entah kenapa sekarang dia menjadi pemalu dan sering cemberut. Caranya cemberut itu lucu. Dengan setengah menundukkan kepala, dia menatap sekeliling melalui bulu dari mata bulat-besarnya dan memasang bibir berkerut. Hahaha..., meski demikian dia mirip sekali ayahnya. Tapi mata bulat-besarnya itu mirip mata ibunya.

Satu grup munsyid naik ke atas panggung. Setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi sebentar, mereka mulai mendendangkan satu nasyid. Saya yang duduk di deretan bangku paling depan dapat melihat mereka dengan jelas. Saya masih bercengkerama dengan teman-teman saya. Hari ini cerah sekali. Matahari jam sebelas kurang bersinar dan menyelusup melalui sela-sela tenda dan atap rumah. Sinar itu ada yang jatuh mengenai pangkuan saya. Debu-debu mengambang dengan lambat. Pemandangan itu tampak indah sekali. Seperti permata kecil-kecil yang berkilau. Almar yang duduk di belakang saya sedang digoda oleh teman saya. Saya berbalik untuk melihatnya. Saya turut tertawa bersama teman saya. Lalu saya menghadap ke panggung lagi. Kemudian dalam benak saya berkelebat segala rasa, bahagia, dan harap. Kilatan-kilatan bayangan pernikahan, bersanding dengan pasangan, menjadi orangtua, mempunyai anak, menari di depan mata saya. Mata saya menghangat. Dada saya dipenuhi rasa haru.

Di sepanjang perjalanan tadi, ada rasa lapang dan hangat yang menyelimuti saya. Mendengar panggilan ‘bunda’ adalah penyebabnya. Entah kenapa, panggilan itu begitu menyenangkan. Ada keakraban, kemesraan, dan rasa sayang dalam sebutan itu. ‘Bunda’ terasa begitu istimewa dan memberi kesan yang mendalam bagi jiwa saya. Sebutan ‘Mama’ atau ‘Ibu’ tidak demikian berkesannya. Saya menyeka air mata yang menggenang. Ah..., saya tidak dapat menjelaskan seutuhnya perasaan saya. Yang bisa saya jelaskan hanya haru dan bahagia. Sedetik kemudian saya seperti dapat merasakan bayi saya yang saat ini belum ada di dalam perut ini. Betapa besar cinta saya terhadapnya. Bagaimana tidak? Dia nantinya akan berasal dari tubuh saya, tumbuh di dalam diri saya, dalam dirinya mengalir darah yang sama, saya curahkan seluruh jiwa-raga saya untuknya, dan dia pernah sangat dekat dengan saya. Bagaimana mungkin saya tidak akan mencintai dia? Sungguh, saya ingin dipanggil ‘Bunda’.

Lalu teman saya dan suaminya datang. Pasangan itu datang ke rumah dengan mobil. Begitu mereka turun, saya melihat teman saya dituntun oleh ibu keduanya (ibu mertua). Terlihat bekas-bekas tangis di sembap matanya. Ah..., terlepas dari itu, dia terlihat sangat cantik dan anggun. Dengan balutan kebaya putih dan hiasan kepala yang indah, dia tampak luar biasa. Berbeda dari kesehariannya yang sederhana dengan jilbab lebarnya. Pengantin wanita memang bisa menjadi sangat cantik di hari pernikahannya.

Saya tidak tahu kapan saat bagi saya akan tiba. Well, kita tidak pernah tahu apa yang Allah sediakan untuk kita di depan sana. Tapi saya tidak khawatir. Saya turut bahagia melihat teman dan orang-orang di sekeliling saya bahagia. Itu sudah cukup buat saya saat ini. Pada saatnya nanti, saya akan merasakan kebahagiaan yang serupa. Insya Allah.

Monday, May 15, 2006

Puisi (lagi) #2

Tahu nggak? Begitu saya keluar dari lab Matematika dan menyudahi sesi berinternet-ria, baru terpikir oleh saya lanjutan puisi yang baru ada 2 baris itu:

What a devilish deed,
when something's done in greed
For the world is enough for everyone's need,
but it's not enough for eveyone's greed...


Huhuhuhuhu..., keren! ^_^

Puisi (lagi)

Semalam, entah bagaimana, terpikir oleh saya sebaris kalimat:

What a devilish deed,
...




Gak lama, terpikir juga kalimat sambungannya:

When something's done in greed...

Udah. Segitu aja. Saya udah nyoba untuk membuat lagi sambungan baris ketiga dan keempatnya, tapi belom kepikir. BTW, saya juga gak tau kenapa saya menggunakan 'deed'. Padahal ya, saya gak tau persis artinya apa. Hmmm, jadi heran sendiri. Tapi udahlah, ternyata nyambung kok rimanya. Yippi!

Dan ternyata ya, artinya ini.

Hmmmm, belakangan ini saya jadi sering berpuisi dalam hati.

Thursday, May 04, 2006

Dewasa

(Satu saat, Ales yang sedang tenangnya membaca didatangi oleh Aku dan ditanyai)

Aku: Eh, Les, emang gimana sih jadi dewasa itu?

Ales: Ada apa emangnya?

Aku: Pengen tau aja pendapat kamu tentang ‘dewasa’. Abis selama ini aku gak nyangka kalo jadi dewasa itu seperti yang sekarang aku rasakan. Secara umur sih udah bisa dibilang dewasa, 21 tahun. Tapi aku kok terus-terusan ngerasa kalo aku itu gak dewasa-dewasa...

Ales: Coba tanya sama Saya. Sono gih, tanya. Tuh, dia, lagi berpikir seperti biasa.

Aku: Okeh! (Berlari dan memanggil Saya di kejauhan) Saya, Saya, kan kamu udah denger obrolan aku sama Ales. Emang dewasa itu gimana sih? Bantuin kita dong.

Saya: Hmmmm, tumben kamu mau bertanya sesuatu yang serius?

Aku: Iiiiiiiiiiih, emang aku gak bisa serius?!

Saya: Iya, deh. Jangan merajuk ya? (Kemudian Saya menjelaskan dengan lembut) Begini, kamu ingat salah satu iklan A Mild yang sering terpampang di baligo besar di pinggir jalan? Yang tulisannya kira-kira begini, “Tua itu pasti, tapi dewasa belum tentu”?

Aku: Inget, inget! Emangnya kenapa?

Saya: Yang pertama mau saya ungkapkan adalah bahwa menjadi dewasa itu tidak selalu berkorelasi dengan umur. Kamu tahu tidak kalau dulu, di zaman ortu-ortu atau om-tante kita muda dulu, menikah di umur 20 sudah termasuk lambat bagi seorang gadis. Yang normal itu sekitar umur 17-an. Sedangkan pria-prianya, ketika mereka berumur 17, sudah lumrah adanya kalau mereka sudah punya rumah atau tanah sendiri....

Aku: Trus, trus?

Saya: Coba perhatikan para pemuda atau pemudi sekarang. Di umur 17 mereka belum lagi mengenal ‘punya penghasilan sendiri yang mapan’ atau ‘menikah’. Faktor kemajuan dalam bidang pendidikan berperan besar di sini. Kalau kita mau menyebut adanya ‘kemunduran’ dalam umur kedewasaan orang zaman sekarang, barangkali benar. Itu disebabkan oleh periode muda kita yang lebih panjang. Tapi di sisi lain pemuda-pemudi menjadi lebih terdidik dibanding pendahulu-pendahulu kita. Ada konsekuensi dari kemajuan pendidikan itu. Jadi keadaan sekarang sebenarnya tidak salah, kok. Eh, ngerti apa ngerti? Panjang-panjang dijelaskan jangan cuma manggut-manggut saja.

Aku: Iya, iya (sambil sedikit merajuk dan memonyongkan bibir). Ngerti kok. Aku kan gak bego-bego amat soal itu. Trus apa lagi? Pertanyaanku belom dijawab kan?

Saya: Memang belum selesai. Inti kata-kata saya tadi adalah menjadi ‘dewasa’ itu tidak selalu ada pada umur yang orang lain anggap cocok untuk menjadi dewasa. Dewasa itu ada pada sikap. Jadi anak yang berumur belasan sudah bisa kita anggap dewasa kalau dia sudah mempunyai sikap atau kualitas tertentu yang menunjukkan kedewasaan.

Aku: Contohnya apa?

Saya: Misalnya sikap menahan diri dari keinginan atau hasrat yang datang secara impulsif. Kalau seseorang mempunyai keinginan tertentu lalu dia dengan membabi-buta berkeras agar keinginannya dipenuhi, itu yang namanya kekanak-kanakan. Sebaliknya, kalau dengan sabar dia berupaya agar keinginannya tercapai, dengan cara-cara yang baik tentunya, maka dia bisa disebut dewasa. Itu baru satu contoh kecil dan sederhana dari sikap dewasa.

Aku: Trus apalagi dong?

Saya: (Menggelengkan kepala) Nah, itu dia PR buat kamu. Kalau kamu merasa umurmu sudah cukup dewasa, maka ciri-ciri lain dari kedewasaan harus kamu cari sendiri. Kalau saya yang memberitahu semuanya, kapan kamu dewasa? (Mendekati Aku dan memeluk bahunya) Cobalah kamu belajar sendiri bagaimana dewasa itu. Hitung-hitung pelajaran atas kesabaran dan praktek langsung tentang kedewasaan buat kamu.

Aku: Ya....(Ekspresinya sedih dan kemudian terdiam sejenak. Kemudian dia bergerak tiba-tiba dari tempatnya, seakan-akan dia hendak melompat, dan berkata dengan riang). Iya, ya. Bener banget dong! Kapan aku dewasa kalo gak belajar sendiri. Waaaaaaaaaah, Saya emang top banggeth deh! Thanks berat, Saya (Aku bergerak ke arah Saya dan mencium pipinya dengan semangat).

Saya: Sama-sama, sayangku. Wish you all the best (Saya tersenyum hangat dan menatap Aku yang pergi menjauh sambil kegirangan).

Ales: Aku, Aku. Belom bisa berubah juga dia. Masih suka lompat-lompat kegirangan kayak anak kecil.

Saya: Ya tidak apa. Biarkan dia menjadi dirinya sendiri dan memelihara hati putihnya. Gadis seperti dia adalah orang yang langka di dunia yang sudah penuh dengan hati yang abu-abu atau hitam.

Ales: Kamu benar. Yuk, udahan.

Saya: Baiklah. Mau ke mana sehabis ini....

(Langkah-langkah mereka terdengar menjauh. Sambil berjalan, mereka bercengkerama dengan penuh keakraban)

Tuesday, May 02, 2006

Gak Nyambung!

20 April 2006

Saya menghidupkan radio pada pukul tujuh pagi. Frekuensinya belum berubah, masih tetap di MQ FM. Well, saya memang jarang mendengarkan radio. Jadi maklum saja bila saya hanya mendengarkan MQ FM.

Oke, intinya saya mendengarkan radio pagi ini. Setelah mendengarkan beberapa saat, saya mengetahui bahwa yang sedang tema acara Risalah Pagi kali ini adalah tentang fasilitas yang didapat PTN versus PTS. Seorang narasumber sedang diwawancarai oleh penyiar. Beliau ditanya tentang bagaimana seharusnya pemerintah memperlakukan PTS. Dengan ‘eeeee’, ‘mungkin’, ‘jadi sebagaimana yang kita tahu’, beliau menjawab. Untuk pertanyaan yang satu ini, Bapak ini masih menjawab dengan benar. Namun ketika ditanya ‘bukankah dengan banyaknya PTS yang ada biaya pendidikan di PTS menjadi murah?’, jawaban beliau membuat saya bingung.

“Jadi, saat ini pendapatan masyarakat tidak meningkat. Pada akhirnya pendidikan di Indonesia akan menjadi seperti di zaman penjajahan dulu, dimana yang kaya saja yang bisa masuk sekolah. Nah, yang tidak mampu akhirnya hanya bisa masuk ke PT di daerah. Ditambah lagi dulu ketika orang Malaysia belajar di kita pada tahun 70-an, mereka benar-benar mengembangkan pendidikan di sana. Nah, kita sebagai tempat bergurunya tidak mengembangkan pendidikan sejak tahun 70. Oleh karena itulah kita tertinggal jauh.”

Saya sendiri tidak yakin apakah urutan kalimatnya benar. Namun kurang lebih begitulah jawaban Bapak itu. Saya benar-benar bingung atas jawaban beliau. Apa hubungannya dengan mahal-murahnya biaya pendidikan di PTS?

Untuk setiap kalimat dari jawaban Bapak itu, saya bisa menebak pertanyaan yang cocok baginya. Yang jelas semua kalimat tadi tidak menjawab pertanyaan penyiar sama sekali! Setelah mendengar jawaban Bapak itu, saya teringat sebuah peristiwa yang saya alami di suatu hari Jumat.

Saat itu masih pagi di mesjid Salman. Pedagang-pedagang kaki lima yang mendadak muncul di hari Jumat sudah menggelar dagangannya. Saya sedang berada di depan hamparan kaus kaki murah (seribuan) dan memilih mana yang hendak saya beli. Kemudian saya mendengar percakapan si pedagang kaus kaki dengan pedagang lainnya. Dari obrolan mereka saya mendengar kalau pihak yang bertanggungjawab atas ketertiban dan kebersihan jalan Ganesa plus jalan Gelap Nyawang memberi peringatan pada pedagang. Saya yang tertarik dengan perbincangan itu bertanya pada kedua pedagang itu, masalahnya apa. Yang menjawab adalah teman si Pedagang Kaus Kaki.

“Jadi, Neng, menurut yang ada, kita ini mesti mengerti bahwa ternyata menurut kondisi...”

Setelah itu saya tidak mengerti sama sekali apa yang dia bicarakan. Beneran! Sangking tidak nyambungnya jawaban dia dengan pertanyaan saya, otak saya sampai hang (error: data type mismatch). Saya sudah mencoba bertanya lebih spesifik dan mudah, tapi jawabannya tetap saja begitu membingungkan. Beberapa kali saya bertanya hal yang sama, jawabannya juga sama. Akhirnya si Pedagang Kaus Kaki yang menjawab dan saya mendapat informasi apa yang terjadi.

Nama penanggungjawab ketertiban dan kebersihan dua jalan itu (kalau tidak salah) adalah Forum Ganesa. Mereka mendapati selokan di sisi mesjid Salman penuh sampah ketika pasar Jumat sudah usai di sore hari. Bila hal itu masih terjadi, mereka mengancam akan melarang pedagang berjualan di hari Jumat. Si Pedagang Kaus Kaki mengeluhkan perbuatan oknum pedagang yang masih meninggalkan sampah di selokan. Padahal surat edaran ke setiap pedagang sudah disampaikan dan sudah ada penyosialisasian peraturan kebersihan itu.

Saya mengangguk-angguk dengan sepenuhnya mengerti. Ternyata mudah saja. Kemudian saya melanjutkan memilih-milih kaus kaki. Dalam kepala saya, saya masih memikirkan si pedagang yang satu lagi. Entah karena dia memang tidak mengerti pertanyaan saya atau dia mencoba untuk membuat saya terkesan, sehingga dia menjawab pertanyaan saya dengan berputar-putar. Ah, saya memakluminya saja.

Yang saya dengar pagi ini di radio tidak berbeda jauh dari yang saya dengar di samping mesjid Salman itu. Dua orang dengan keadaan yang berbeda latar belakang pendidikannya (saya yakin pedagang itu bukan lulusan universitas), ternyata memiliki kapasitas yang serupa. Saya menyimpulkan itu dari cara mereka berdua menjawab pertanyaan.

Saya mencoba menganalisis mengapa si Narasumber menjawab dengan cara yang membingungkan dan berputar-putar seperti itu. Bisa jadi beliau tidak menguasai masalah PTN versus PTS ini secara keseluruhan. Atau mungkin dia mencoba menutupi pendapatnya yang salah mengenai ‘jumlah PTS yang semakin banyak membuat biaya kuliah PTS secara umum makin murah’. Sebelumnya dia berpendapat kalau biaya pendidikan PTS mahal dan tidak terjangkau secara keseluruhan. Yang manapun penyebabnya, tidak terlalu menjadi masalah buat saya. Yang jelas saya berkesimpulan bahwa narasumber itu tidak terlalu cerdas dan tinggi jabatannya (saya tidak mendengarkan dari awal sih, jadi saya tidak tahu narasumber itu siapa dan apa jabatannya).

Namun cerita ini belum selesai. Di akhirn sesi diskusi, si Penyiar menyebutkan nama narasumber pertama itu. Inisialnya adalah DT (bukan Daarut Tauhid lho). Yang berikutnya saya dengar dari penyiar membuat saya bengong.

“Ya, barusan kita telah berbincang dengan Pak Profesor Doktor... (nama narasumber)... Msi, ketua forum rektor dan rektor Universitas Pasundan....”

Haaaaah?! Jadi orang yang saya setarakan dengan pedagang di pasar Jumat itu punya gelar ‘Profesor Doktor’ ?!

Saya shock. Saya tidak menyangka sama orang dengan gelar ‘Profesor Doktor’ punya cara menjawab yang persis sama dengan pedagang kaki lima. Detik itu juga saya bertanya-tanya, benarkah gelar yang dimiliki narasumber itu? Atau jangan-jangan...?

Saya sempat berpikir kalau mungkin narasumber itu kurang bisa berkomunikasi dengan baik meski intelek. Tapi kembali prasangka baik saya itu dimentahkan oleh fakta bahwa beliau adalah ketua Forum Rektor. Bagaimana mungkin beliau menjadi ketua Forum itu kalau kemampuan komunikasinya cemen? Sekali lagi saya meragukan gelar yang disandangkan pada namanya itu. Masa’ orang yang punya gelar ‘Profesor’ tidak punya kejernihan dalam berpikir, menjawab dengan berputar-putar, dan penuh ‘eeee’, ‘mungkin’, dan kawan-kawannya?

Kenapa saya bersikeras untuk meragukan narasumber itu? Karena setelahnya saya mendengar narasumber kedua yang merupakan ketua (kalau tidak salah, lagi) Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta wilayah IV, Jawa Barat dan Banten. Namanya Prof. Jawadahlan (semoga saya tidak salah menyebut atau mengeja namanya). Bapak yang satu ini menjawab dengan runtun, kata-katanya jelas, menjawab sesuai dengan pertanyaan, dan tidak berputar-putar. Itu baru yang namanya intelek! Demikian pula seorang mahasiswi yang menelpon ke MQ. Dia memaparkan pendapatnya mengenai PTS dengan sangat baik (meski di awal dia menggunakan kata ‘mungkin’). Jauh sekali keadaan mereka berdua dari narasumber pertama!

Hhhhhhh... Pengalaman saya ini bisa Anda sambungkan ke mana saja. Bisa ke masalah ‘gelar yang jauh dari kapasitas intelektual’, ‘ketua Forum Rektor yang tidak menguasai masalah’, atau bahkan ‘penyakit di kalangan pejabat yang sering tidak jujur atas keadaan sebenarnya’. Yang jelas satu hal yang mau saya garis-bawahi: gelar yang disandang oleh narasumber pertama itu benar-benar tidak pantas untuk disandang. Tapi dengan satu catatan, saya baru mendengar beliau berbicara sekali, secara tidak langsung lagi. Jadi pendapat saya bisa jadi tidak adil. Semoga saja nantinya saya mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih jauh profil pejabat di bidang pendidikan ini. Kita lihat saja, apakah pendapat saya yang didapat dari pengamatan sekilas ini benar atau tidak.

Friday, April 28, 2006

Iseng-iseng...

You Are Sunshine

Soothing and calm
You are often held up by others as the ideal
But too much of you, and they'll get burned

You are best known for: your warmth

Your dominant state: connecting



Your Brain's Pattern

Your mind is a creative hotbed of artistic talent.
You're always making pictures in your mind, especially when you're bored.
You are easily inspired to think colorful, interesting thoughts.
And although it may be hard to express these thoughts, it won't always be.


You Are Emerald Green

Deep and mysterious, it often seems like no one truly gets you.
Inside, you are very emotional and moody - though you don't let it show.
People usually have a strong reaction to you... profound love or deep hate.
But you can even get those who hate you to come around. There's something naturally harmonious about you.

Monday, April 17, 2006

Kata & Puisi

Tahukah kau, Kawan, belakangan ini aku seperti kehilangan banyak kata-kata. Well, pernyataan itu tidak berarti aku tidak bisa menulis dan berbicara. Kondisinya kurang lebih begini. Belakangan aku banyak merasakan berbagai perasaan, tapi aku tidak punya cukup kata untuk bisa mengungkapkannya. Perbendaharaan kataku tidak mampu untuk mencakupnya.

Ada kemungkinan kalau aku yang perlu menambah perbendaharaan kata dengan lebih banyak membaca. Namun bisa jadi perasaan-perasaan itu jauh lebih kaya dari untaian kata yang mampu kuungkapkan. Kalau pernyataan kedua barusan benar, maka hal itu akan kontradiktif dengan keadaanku yang sekarang ini sering tersentuh ketika membaca puisi, yang notabene menggunakan kata juga, meski hanya sedikit.

Dulu, aku tidak terlalu banyak mengonsumsi puisi. Makananku adalah esai, artikel, cerpen, cerbung, biografi, dan segala bentuk tulisan yang bercerita panjang lebar dan detail. Namun itu tidak berarti aku tidak bisa mengerti puisi. Aku hanya bisa memahami sedikit saja puisi bila dibandingkan dengan prosa. Sekarang, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku jadi akrab dengan puisi. Aku menghargai puisi lebih dari sebelumnya.

Dalam puisi, meski hanya ada untaian pendek kata-kata, tersimpan sejuta makna. Hanya dengan rangkaian sederhana, aku bisa mengerti semuanya. Hanya dengan rimanya, aku bisa memahami jiwanya. Seperti itulah keadaanku sekarang. Tidak dengan banyak kata, tapi hanya dengan sedikit kata.

Oke, aku mengerti kalau pembicaraanku mungkin agak tidak runtun. Namun harap dimaklumi karena dalam menulis ini aku sendiri sedang mencoba untuk memahami apa yang terjadi pada diriku.

Kembali lagi ke masalah puisi. Aku mencoba menebak-nebak, apakah aku sedang menapaki tahap selanjutnya dalam maqam sastra, saat aku kadang tidak dapat lagi banyak berkata dan hanya bisa berpuisi? Aku tidak tahu apakah ada hirearki semacam itu, di mana prosa berada di bawah puisi, dan aku tidak bermaksud membuat tingkatan semacam itu. Tapi jiwaku mengatakan begitu…. Ah, sebenarnya aku juga tidak yakin dengan pernyataanku barusan. Entahlah, aku sendiri belum memahami yang terjadi padaku sekarang sepenuhnya.



Kau…

Sampai di situ aku kelu

Ada rasa yang mengharu-biru

Yang sampai kini tak dapat bertemu



Sejuta asa

Tidak bisa bersua

Karena rasa ini terlalu kaya

Hingga kata pun tak mampu berbicara

Kau

Kau…

Sampai di situ aku kelu

Ada rasa yang mengharu-biru

Yang sampai kini tak dapat bertemu



Sejuta asa

Tidak bisa bersua

Karena rasa ini terlalu kaya

Hingga kata pun tak mampu berbicara

21 Tahun

21 tahun. Umurku saat ini sudah 21 tahun lebih.

21 tahun. Ternyata 21 tahun belum cukup bagiku untuk bisa mengenal diriku dengan baik.

21 tahun. 21 tahun tidak cukup untuk bisa memahami hidup dan kehidupan ini.

21 tahun. 21 tahun tidak cukup untuk bisa memahami siapa Allah itu.

21 tahun. Di umur 21 tahun ini aku kembali ke masa kanak-kanak, dimana aku menyadari bahwa aku berada di tepian samudera tak bertepi.

21 tahun. Banyak yang sudah terjadi dalam 21 tahun ini.

21 tahun. Di saat orang mengatakan kalau umur 21 tahun adalah umur puncak bagi seorang dewasa muda, aku justru merasa ada di titik nol.

21 tahun. Ternyata aku semakin tahu kalau aku tidak tahu apa-apa.

Wednesday, April 12, 2006

Nyaman

Tahukah kau, Kawan, kadang aku sering mengalami suatu keadaan hati yang aku sendiri tidak dapat menjelaskannya. Ups! Aku mungkin mesti sedikit menjelaskan. Maksudku adalah bukannya aku tidak tahu apa yang kurasakan, tapi aku tidak mengerti kenapa aku bisa merasa begitu.

Contohnya semalam. Aku terlibat dalam proyek Depdiknas semenjak bulan Febuari lalu. Proyek ini adalah proyek yang membina siswa-siswi SMP kelas 2 sepulau Jawa ini untuk menghadapi Olimpiade Fisika, Matematika, dan Biologi. Salah satu penanggungjawab proyek ini adalah ITB. Aku berperan sebagai fasilitator (atau lebih tepatnya pembina rohani dan tempat curhat) bagi mereka. bersama beberapa teman, aku mengurus berbagai keperluan teknis di luar pelajaran yang mereka terima setiap harinya, selama sepuluh hari karantina.

Semalam aku mesti datang ke P3G, asrama tempat mereka menginap, di jalan Diponegoro Bandung, untuk mengurus tutorial bagi mereka. Jam tujuh pagi ini, aku mesti melakukan presentasi kuliah. Yang menjadi masalah adalah, aku belum siap bahan sama sekali. Tutorial itu harus kuurus hingga jam sembilan malam. Sebetulnya aku agak khawatir aku tidak akan siap ketika presentasi pagi ini kalau aku pulang malam. Tapi toh aku tetap saja datang ke P3G karena tanggungjawabku.

Aku izin pulang ke teman-temanku pada pukul delapan, satu jam sebelum jadwal. Dan tahukah apa yang kurasakan ketika aku menghirup segarnya udara malam setelah keluar gedung? Ada semacam perasaan nyaman dan lapang dalam hatiku. Hatiku tenang. Perasaan itu seolah mengatakan bahwa semua hal yang ada di hari esok akan baik-baik saja, meski aku belum siap. Padahal aku belum siap sama sekali. Tapi itulah, aku tidak tahu alasan kenapa aku bisa merasa begitu sampai pagi ini terbukti bahwa dosenku memperbolehkan aku untuk presentasi minggu depan. Jadi, temanku yang presentasi lebih dulu. Perasaan itu benar.

Perasaan yang sama juga kurasakan di awal tahun ini. Saat itu aku mengikuti pelatihan untuk aktivis mesjid Salman. Sekitar seminggu sebelumnya, aku baru saja keluar dari rumah sakit karena aku terkena DB dan Tipes pada saat yang bersamaan. Selama aku mengikuti pelatihan itu, hatiku diselimuti perasaan tenang yang aneh. Jarang sekali aku merasa seperti itu. Perasaan tenang itu dapat digambarkan begini: aku tidak khawatir sama sekali. Kujalani saja detik demi detik dengan sebaiknya dan aku seolah tahu bahwa di hari-hari depan aku akan mendapat suatu kebaikan atau rezeki. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa mengetahui hal itu.

Tapi memang benar adanya. Setelah aku selesai mengikuti pelatihan itu, aku mendapat banyak kesempatan untuk lebih mengembangkan diri. Aku terlibat dalam sebuah kegiatan kepelatihan. Aku diminta (Bayangkan! Aku, diminta!) untuk terlibat dalam tim fasilitator yang insya Allah proyek yang menantinya memang banyak. Aku belum pernah diminta dan dipercaya oleh orang lain untuk melakukan sesuatu kerja tim seperti ini. Aku merasa tersanjung.

Inilah dunia yang kucari selama ini. Sebuah dunia dimana aku bisa bertemu banyak teman baru dan pengalaman baru. Aku pun bisa membagi pengalamanku kepada orang lain, suatu hal yang memang sangat ingin kulakukan dalam bentuk 'formal' sejak dulu. Aku juga dapat mengetahui banyak hal tentang diriku yang sebelumnya tidak pernah kusadari, karena aku bekerja dalam tim. Lingkup pergaulanku makin lebar. Ilmu makin banyak kudapat. Rezeki pun tak kurang-kurangnya kudapat.

Mungkin terdengar aneh kalau aku mempertanyakan kenyamanan yang kurasakan. Padahal banyak orang di luar sana ingin bisa mendapatkan kenyamanan atau ketenangan hati seperti yang kurasakan. Tapi begitulah yang kupikirkan. Aku jarang merasa seperti ini. Untuk bisa menceritakan bagaimana rasa tenang atau nyaman itu secara detail, aku tidak mampu. Yang bisa kukatakan untuk perasaan itu adalah hatiku seperti diselimuti oleh kelegaan, kelapangan, ketenangan, dan kehangatan. Tidak kurasakan beban atau penutup dalam hatiku.

Aku merasa nyaman. Tahun ini sudah dua kali kurasakan kenyamanan semacam ini. Untuk yang kedua kalinya ini, aku belum tahu apa yang menantiku di depan sana. Tapi aku yakin, bahwa semua akan baik-baik saja. Semoga memang begitu adanya. Amin.

Tuesday, April 04, 2006

Sebesar Apa Cita-citamu, Kawan?

Sebesar apa cita-citamu, Kawan?

Ada temanku yang bercita-cita untuk menjadi penulis terkenal. Ada yang bercita-cita untuk bisa berkeliling dunia. Ada yang ingin menjadi ahli Biologi yang mumpuni. Ada yang berharap agar bisa pergi ke Inggris dan menonton MU di Menchester. Kemudian salah seorang temanku bercerita kalau ibunya masih bercita-cita untuk meraih Nobel. Bagiku, mereka punya cita-cita yang luar biasa.

Bagaimana dengan cita-citamu sendiri, Kawan?

Aku yakin cita-citamu juga tinggi. Barangkali engkau bercita-cita untuk menjadi aktris atau aktor yang aktingnya mampu memukau penonton dan dipuja oleh jutaan penggemar. Atau mungkin engkau ingin menjadi pemimpin besar yang dihormati rakyatnya. Mungkin engkau ingin menjadi penegak hukum dan mampu menebarkan keadilan ke segala penjuru bumi. Atau kau ingin menjadi pemain sepakbola tangguh seperti David Beckham? Atau barangkali kau berharap bisa mengalahkan Valentino Rossi di sirkuit balap suatu hari nanti?

Apapun cita-citamu, kejarlah Kawan. Jangan pernah menyerah pada halangan atau rintangan yang menghampiri langkahmu. Ingatlah, Kawan, pemenang adalah orang yang mampu berdiri di saat dia tidak mampu.

Cita-citaku? Engkau barusan berkata kalau kau ingin tahu cita-citaku? Ah, cita-citaku tidak sebesar engkau, Kawan. Cita-citaku sederhana. Aku tidak berharap bisa menjadi orang terkenal dan kaya raya. Aku tidak bermimpi untuk menjadi pemimpin bijaksana yang mampu mengatur negara. Aku tidak berkeinginan untuk menjadi orang karismatik yang menjadi inspirasi bagi jutaan penggemarnya. Akupun tidak sanggup untuk membayangkan akan mendapat hadiah Nobel. Bahkan untuk bermimpi meraih juara di perlombaan olahraga daerah saja tidak, apalagi memperoleh medali emas di Olimpiade.

Tidak, Kawan. Aku tidak mampu bercita-cita seperti kalian. Aku menyadari keterbatasanku. Aku tidak sehebat kalian. Jadi, aku hanya bercita-cita untuk bisa membangun keluarga yang bahagia serta dapat memberi perlindungan bagi anak-anakku nanti. Hanya itu, Kawan. Hanya itu.

Aku tidak berharap nanti aku bertemu dengan orang yang sempurna. Asalkan kami sempurna satu sama lain, itu sudah cukup bagiku. Dalam komitmen dan cinta yang kuat, aku ingin kami merasakan yang lain rasakan. Aku berharap kami bisa saling mengisi hari-hari yang tidak bisa diduga isinya, saling menghibur di kala duka, turut bahagia bila suka. Aku pun berharap kami bisa menjadi partner yang saling membantu bila yang lain mengalami kesulitan. Bersama-sama, kami mengarungi kehidupan yang bagaikan samudra dalam dan ganas ini.

Kemudian aku ingin agar aku mampu menjadi orangtua yang baik bagi anak-anakku. Orangtua yang melindungi selagi mereka lemah, yang menuntunnya kala mereka belajar untuk berjalan di dunia ini, membantunya berdiri ketika mereka tersandung, melepasnya ketika mereka harus terbang tinggi di langit—yang artinya mereka mesti meninggalkanku, dan mendoakan mereka di manapun mereka hinggap.

Aku ingin hadir di sisi mereka di setiap ‘saat pertama’ mereka. Yaitu saat mereka membuka mata pertama kalinya, saat mereka menjeritkan tangis pertama mereka, saat mereka bisa berdiri pertama kalinya, saat mereka memasuki sekolah pertama kalinya, saat mereka meraih piala lomba lari pertamanya, saat mereka membuat karya tulis pertamanya, saat mereka merasakan cinta pertamanya, saat mereka memutuskan untuk mengejar impiannya, dan saat mereka memulai hidup barunya. Aku ingin menyaksikan tiap momen pertumbuhan mereka.

Aku pun ingin menjadi teman bagi mereka, mendengarkan keluhannya, merasakan pedihnya luka mereka, menyemangatinya ketika mereka lemah, membantu kesulitan-kesulitannya, dan menghiburnya kala mereka gundah. Aku tidak ingin mereka merasakan yang pernah kualami. Cukup aku saja yang merasakan sakitnya diabaikan, sendirian tanpa dukungan, dan remuk karena tanpa perlindungan. Aku ingin memberi yang terbaik untuk mereka, Kawan. Aku ingin mereka menjadi manusia yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan. Aku tidak ingin mereka hidup dalam kebencian dan kemarahan. Aku ingin mereka bahagia.

Tidak ada yang bisa membuatku bahagia selain tawa dan kebahagiaan mereka. Tiada yang lebih membuatku pilu daripada tangis dan lara mereka. Tidak ada yang membuatku bangga daripada keberhasilan dan kehormatan mereka. Tiada yang dapat membuatku lebih terpuruk daripada kejatuhan dan kegagalan mereka. Kutumpukan semua harapku pada mereka. Mereka luka, akupun luka. Mereka terbang, akupun terbang. Mereka menangis, tangisku lebih hebat. Merekalah belahan jiwaku, Kawan.

Ada saatnya mereka akan pergi ke seberang lautan, terpisah dari diri dan hatiku. Hal itu tidak dapat dicegah, Kawan. Saat itu pasti akan tiba. Aku tentu akan berada dalam kesepian saat itu terjadi. Kalau aku mau egois, aku bisa saja mengikat mereka agar mereka tidak pergi kemana-mana. Tapi, ah..., bukankah aku yang lebih dulu hadir di dunia ini seharusnya mengerti kalau ada saatnya mereka harus pergi? Bukankah itu memang mesti terjadi? Bukankah dulu pun aku telah dilepas dengan rela oleh orangtuaku? Pada saatnya nanti, mereka akan kembali ke dalam pelukanku. Kalaupun mereka tidak kembali, aku tetap akan mendoakan yang terbaik bagi mereka. Tetap yang terbaik untuk mereka, Kawan.

...

Sebesar apa cita-citamu, Kawan?

Apapun cita-citamu, Kawan, janganlah ragu untuk menggantungkannya setinggi langit dan bintang. Aku yakin, cita-citamu besar dan mulia. Jadi janganlah berkecil hati, apapun cita-citamu.

Cita-citaku? Yakinlah, Kawan, cita-citaku sederhana. Aku hanya ingin membangun keluarga yang tidak akan terlupakan oleh anak-anakku. Hanya itu. Sederhana, bukan?


Eh, ketemu lagi!

Jadi, sodara-sodara, saya memang udah lama enggak bermain di dunia maya. Apa pasal? Saya tuh lagi sibuk bermain di unit kegiatan di emsjid Salman ITB. Anyway, koneksi internet di lab jurusan saya (Matematika ITB) sempet ngadat di pertengahan bulan Maret lalu. Jadinya gitu deh, saya gak update tulisan di blog tercinta ini.

BTW, waktu itu berjalan dengan relatif ya? Maksudnya, dalam waktu dua bulan ini, saya mengalami banyak hal. Rasanya waktu itu berjalan lambat. Tapi pada saat yang sama, waktu berjalan dengan cepat juga. Emang begitu yang saya rasakan. Waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Bingung juga sih saya ngejelasinnya, tapi ya gitu deh.

Satu kalimat: Eh, ketemu lagi!

[Mhueheheheh, garing yak?]

Walah, mau ngomong apa lagi ya? Kok jadi mandeg begini? Oke deh, gini aja. Saya ngetik dulu tulisan di rumah, baru kemudian saya upload ke sini. Bubye kalo gitu.

Friday, March 10, 2006

Apel & Kedisplinan

Kamis, 09 Maret 2006.

Simak arus kesadaran saya tadi pagi, ketika saya sedang mengunyah apel sebagai bagian dari sarapan (dan pelancar pencernaan).

Apel saya tinggal setengah, menyisakan bagian yang kulitnya kuning. Apel yang saya makan itu adalah apel ‘RRT China’. Yah, paling tidak itulah yang tertulis di label harga ketika saya berbelanja di pasar swalayan malam sebelumnya. Bentuk fisik apel itu tidak berbeda dengan jenis apel yang satunya lagi—saya lupa nama apel itu. Kulitnya sama-sama kuning muda dan bersemu merah, seperti gadis muda yang sedang malu. Tapi apel-yang-saya-tidak-ingat-namanya ini harganya lebih mahal.

Saya membayangkan berapa hari yang dibutuhkan apel yang saya makan dan kawan-kawannya dari Cina untuk bisa tiba di Indonesia. Yang jelas alat transportasi yang digunakan adalah kapal laut, bukan pesawat terbang (harganya akan lebih mahal lagi kalau dikirimnya dengan pesawat). Dari pelabuhan saya melayang ke daratan Cina.

Terbayang oleh saya ada banyak kebun sayur di sana. Berdasarkan artikel yang pernah saya baca—entah di Intisari atau di mana, ada kebun yang pupuknya menggunakan tinja manusia. Sumur penampungnya berada di tengah-tengah kebun. Sumur itu terhubung langsung ke tanah perkebunan, tapi masih dalam kedalaman yang aman sehingga tidak mencemari lingkungan. Lalu gas metan yang dihasilkan oleh tinja itu akan mengambang di sumur. Tapi tergambar dalam benak saya kalau ada pipa yang dirancang sedemikian rupa sehingga gas metan bisa ditampung dan dimanfaatkan.

Hmmm, saya berpikir bahwa bisa saja apel yang saya makan ini mengandung zat-zat dari tinja itu. Tapi bukankah alam memang luar biasa? Terlepas dari jijiknya kita terhadap kenyataan itu, toh alam telah memiliki mekanisme yang membuat tinja itu bermanfaat dan unsur-unsur dari saripatinya membentuk senyawa kompleks dalam tanaman. Saat merenungkan itu, saya tidak merasakan kejijikan.

Lalu saya mencoba berhitung. Tentunya ada kebun apel yang sangat luas di Cina. Katakanlah jumlah apel yang dikirim ke pasar swalayan yang saya jambangi semalam berjumlah 300 butir sekali kirim. Saya tahu kalau buah-buahan dikirim ke sana dua kali seminggu, yaitu di hari Minggu/Senin dan hari Kamis. Dua kali kirim berarti 600 butir. Itu baru di satu pasar swalayan. Coba hitung ada berapa pasar swalayan yang ada di Bandung? Saya hanya menghitung pasar swalayan yang besar saja. Minimarket kita abaikan. Itu baru di kota Bandung. Bagaimana, misalnya, kalau kita hitung jumlah apel yang dikirim ke area Jawa bagian barat (DKI, Banten, Jawa Barat)? Perbesar lagi areanya. Bagaimana kalau se-Jawa? Ah, saya tidak bisa membayangkan berapa banyak apel jenis RRT China ini. Tapi perhitungan belum selesai. Tadi itu baru jenis apel yang saya makan. Coba hitung berapa jenis buah impor yang ada?

Wah, kalau begitu betapa banyaknya apel yang dihasilkan oleh kebun-kebun di Cina. Kalau masa panen apel sekian bulan (saya belum mendapatkan informasinya), untuk memenuhi kebutuhan pulau Jawa mungkin diperlukan masa panen sekali. Tapi itu dari satu propinsi di Cina saja. Anda tahu kan besarnya daratan Cina itu? Tak heran kalau Cina menjadi pengekspor apel terbesar di dunia, yang diikuti oleh AS dan Turki. Kemudian terbayang oleh saya pir dari Korea yang hijau dan besar, apel Wasington yang merah gelap dan menggoda, persik yang lembut...

Katakanlah butuh tiga hari supaya kontainer berisi apel-apel ini tiba dari dari Cina ke pelabuhan Tanjung Priok. Setelah itu, perusahaan pengimpornya akan mendistribusikan apel ke berbagai daerah. Saya membayangkan Bandung saja. Tentunya bisnis ini sangat besar dan menguntungkan, bukan? Setiap hari, setiap minggu, tanpa henti-hentinya aliran buah beredar. Bukan hanya buah, tapi barang-barang kebutuhan lainnya. Saya jadi ingat pasar swalayan semalam. Untuk tempat sebesar itu, dengan ribuan jenis barang yang alurnya kurang lebih sama seperti apel (tapi beda tempat produksi), mesti membutuhkan suatu manajemen yang bagus. Mengatur sedemikian banyak barang, pasokan, ketersediaan, kebutuhan, semua memerlukan kerja yang terampil. Saya membayangkan betapa menyenangkannya berkutat dalam manajemen itu. Saya jadi punya keinginan untuk ikut terlibat dalam bisnis di bidang retail atau bisnis sejenis yang memerlukan perencanaan matang dalam waktu dan segalanya.

Dari situ saya berpikir betapa pentingnya ketepatan waktu dalam bisnis retail. Bila ada satu faktor yang terhambat, maka ketersediaan barang di pasar akan terganggu. Suatu jenis barang bisa hilang. Saya tidak berbicara dalam skala mikro, tapi dalam skala makro. Maksudnya tidak hanya dalam satu pasar swalayan saja, tapi untuk seantero cabang pasar swalayan itu di Bandung. Belum lagi perusahaan retail lain. Disinilah pentingnya kedisiplinan. Tanpa itu, semua kacau. Ribuan jenis barang lho.

Saya sudah menghabiskan apel dan sebentar lagi azan Subuh berkumandang. Kemudian pikiran saya melompat ke solat lima waktu. Saya meneruskan renungan. Sebenarnya umat Islam diajarkan disiplin, bahkan diwajibkan untuk melakukan bentuk kedisiplinan setiap hari. Kenapa orang yang solatnya tepat waktu diganjar dengan pahala yang besar? Karena ada nilai besar dalam tepat waktunya itu. Saya rasa bagian dari ‘pahala’ atau ‘ganjaran’ di sini bukan sekedar sesuatu yang abstrak/tidak bisa kita rasakan saat ini di dunia, tapi juga dalam keseharian kita. Mengingat renungan saya tentang bisnis retail dan aliran apel tadi, ‘ganjaran’ bisa kita dapatkan dalam bentuk lancarnya aliran barang serta kepuasan konsumen dan tentunya, majunya usaha. Ajaran disiplin sudah terintegrasi dalam ibadah yang mesti dijalani oleh umat muslim. Saya terkagum-kagum sendiri seolah baru mengetahuinya.

Saya berhenti di titik itu karena saya mau menuliskannya. Saya ke atas (kamar kos saya terdiri dari dua lantai; asyik ya?) dan menghidupkan komputer. Baru sebentar saya mengetik, saya mesti ke kamar mandi. Saya berwudlu kemudian saya solat Subuh...