Friday, November 24, 2006

Tukang Loak, Buku, dan Nilai

"Botol-besi-koran-buku-bekaaaaaaaaaaaaaaaaas! Botol-besi-koran-buku-bekaaaaaaaaaaaaaaaaaaas!"
Kira-kira begitulah teriakan dari tukang-tukang loak yang lewat saban hari di depan kos saya.

Saya jarang menjual sesuatu pada tukang loak. Paling-paling kalau saya lagi rajin beli Kompas, saya bakal rajin juga ngejual koran bekas. Biasanya dapet lima kilo sekali jual. Lumayan juga.

Satu kali saya berniat menjual koran. Saya panggil tukang loak yang lewat. Kali ini tukang loaknya yang masih muda yang lewat. Saya keluarkan koran-koran, tukang loak itu mengikatnya dengan tali rafia, kemudian dikeluarkannya timbangan tangan (yang dari besi tebal berwarna kuning), ditimbangnya koran, dan keluarlah berapa jumlah kiloan koran itu. Terakhir kali saya menjual, harga koran bekas sekitar tujuh ratus sekilo. Kalau tidak salah.

Tukang loak itu memberi saya uang sebanyak empat ribu rupiah. "Oh, bentar. Saya ambil dulu kembaliaannya." Saya segara berlari ke atas (kamar kos saya dua lantai; iya, 'kamar', bukan 'rumah') untuk mengambil uang recehan. Pintu di bawah saya biarkan terbuka sedikit.

Pintu di lantai bawah kamar kos saya terdiri dari dua lapis. Pertama pintu luar yang terdiri dari jaring kawat yang dianyam berbentuk belah ketupat di setengah bagian atas dan jajaran papan kayu di cat hijau di bawahnya. Pintu sebelah dalam adalah pintu kayu yang dilapis seng dan dicat hijau juga. Pintu dalam ini yang saya biarkan terbuka lebar. Jadi yang saya katakan 'terbuka sedikit' adalah pintu luar. Di antara kedua pintu itu dipasang kain lapisan gorden yang berlubang-lubang (seperti kain kasa dengan lubang besar) berwarna kuning muda. Sekarang sih warnanya tidak jelas. Tujuan dipasangnya kain itu adalah menjaga privasi saya dari orang-orang yang lewat di depan kos saat saya membuka pintu dalam. Maklum, pintu itu langsung menuju sebuah gang.

Saat saya kembali ke bawah dan mau menyerahkan uang, tukang loak itu berkata, "Neng, buku enggak (dijual), Neng?"

Saya langsung bergidik. Detik itu juga terbayang oleh saya kalau mungkin tukang loak ini melihat ke dalam, melalui kain berlubang-lubang itu, dan melihat ada tumpukan buku-buku yang sudah setinggi pinggang saya. Saat itu dia memang tidak berdiri di depan pintu, melainkan di samping pintu, jadi dia tidak sedang melihat ke dalam. Jadi saya tidak punya bukti kalau dia mungkin saja mencuri lihat ke dalam.

Saya tidak menjawab pertanyaan itu. Saya serahkan kembalian uang koran dan saya ucapkan terima kasih.

"Ya, Neng. Kalo ada mah buku juga, Neng."

Saya menjawab 'tidak' dengan pelan. Saya merapatkan pintu kawat dan menguncinya. Tukang loak itu berlalu. Saya masih terpaku di depan pintu dengan perasaan sedikit ngeri yang belum hilang.

Bukan kemungkinan kalau tukang loak itu melihat ke dalam kosan saya yang saya khawatirkan. Saya tidak merasa terancam kalau ada yang melihat ke dalam, toh isinya kardus-kardus, meja yang ada piring-gelas-sendok, tempat sepatu, dan tumpukan barang dalam kardus lagi. Bukan itu. Yang membuat saya ngeri adalah perkataannya tentang buku itu.

Bagi tukang loak, tumpukan buku itu mungkin sangat bernilai karena jumlah kiloannya akan sangat banyak dan mungkin dia akan mendapat banyak sekali keuntungan dari menjual buku. Nilai buku itu mungkin hanya sekedar beratnya kertas dari buku itu. Tapi bagi saya, buku sangat berharga! Tidak akan saya menjual buku-buku yang sudah saya beli dan kumpulkan dengan susah payah. Nilainya pun tidak sekedar jilidan kertas yang di dalamnya tercetak huruf-huruf. Ada dunia di dalam buku-buku itu. Buku merupakan makanan bagi pikiran saya, layaknya makanan bagi tubuh agar saya tetap hidup sampai sekarang. Buku terlalu berharga untuk dikilo oleh tukang loak atau ditangani oleh orang yang tidak mengerti betapa saya cinta buku.

Sudah dua kali saya mengalami hal itu. Dua kali juga saya bergidik. Haaaah, dari kejadian itu saya belajar bahwa nilai sesuatu itu bisa sangat jauh jaraknya. Buku yang bagi para bookworm dan kalangan terpelajar sangat berharga, menjadi sekedar kumpulan kertas yang dikilo dan setelah dijual akan menghasilkan uang yang 'lumayan' (yang sebenarnya tidak terlalu besar). Meski kalau dipikir-pikir saya semestinya bisa memaklumi keadaan tukang loak itu, entah mengapa saat itu saya merasa ngeri tanpa bisa saya cegah.

Semoga saja tidak terjadi lagi untuk yang ketiga kalinya.

Monday, November 20, 2006

Tempat Sampah, Kesadaran, dan Etika

Tahu tidak, di kampus saya ada tempat sampah baru! (Horeeeeeeee! Tempat sampah baru!) Iya, betul, setelah tempat sampah dengan dengan tutup-tiga-warna itu, ada tempat sampah bulat dengan tiga warna (tempat sampahnya yang tiga warna; gak ada tutupnya). Kalau tempat sampah yang lama itu tulisannya "sampah organik", "sampah kertas", dan "sampah plastik", sekarang tulisan di tempat sampah yang baru itu adalah "sampah yang dapat membusuk”, “sampah logam, kaca, dll”, dan “sampah yang tidak dapat membusuk”. Oh iya, saya tidak ingat persis namanya, jadi saya kira-kira aja nama tempat sampah tadi sesuai dengan yang saya bisa ingat.

Kalau mau tau tempat saya melihat di mana, datang aja ke deket gedung Farmasi. Anda berjalan dari arah gedung PLN punya Elektro ke arah Sostek. Di pinggir jalan tempatnya. Kedua jenis tempat sampah itu berdampingan, jadi Anda bisa melihatnya dengan mudah karena mencolok.

Begitu saya berjalan dengan dua orang teman saya ke daerah situ selepas kuliah Sejarah Matematika, saya melihat lagi tempat sampah baru itu. Saya nyeletuk, “Hmmm, parah juga ya? Sangking tidak cerdasnya, perlu ada tempat sampah baru dengan label baru yang lebih mudah dimengerti supaya mereka tau di mana mereka mesti menempatkan sampahnya.” Saya merujuk ‘mereka’ pada mahasiswa atau orang-orang di kampus ITB yang masih menjadikan buang-sampah-sembarangan sebagai gaya hidup.

Saya memang tidak tahu apa tujuan dari penempatan tempat sampah baru itu. Lagipula tempat sampah itu baru saya liat di tempat itu. Jadi ada kemungkinan tempat sampah itu ada hubungannya dengan departemen Farmasi.

Terlepas dari ada-tidaknya hubungan tempat sampah baru dengan Farmasi, saya tergelitik untuk melanjutkan komentar saya.

Hari sabtu yang lalu, saya menghadiri EO School di GKU baru. Sepanjang jalan—dari perpustakaan pusat ke GKU baru—saya melihat sampah berserakan di sudut-sudut yang strategis untuk tersembunyi. Saya yang sedang lemas cuma bisa terdiam melihat itu. Saya tidak marah, saya tidak kesal. Saya hanya prihatin dan bertanya-tanya, kok bisa ya begini?

Hari senin minggu sebelumnya (6 Nopember), saya kuliah Manajemen Inovasi. Dalam kuliah itu tiba-tiba saja tercetus dalam benak saya kalau ternyata yang namanya ’etika dasar’ itu masih harus diajarkan di bangku kuliah. Contoh ’etika dasar’ adalah membuang sampah pada tempatnya, berjalan di trotoar bukannya di badan jalan, tidak merusak tanaman, tidak mencorat-coret tembok, kursi, atau meja, tidak memberi cap kaki di tembok, tidak membuang tissu di kamar mandi. Itu yang bersifat fisik. Yang bersifat non-fisik adalah tidak menyontek PR atau ujian, berkompetisi dengan sehat (tanpa cara curang—menjatuhkan orang lain), mengucapkan terima kasih, meminta maaf bila berbuat salah, memberi penghargaan atas prestasi yang diraih orang lain, dan sebagainya. Saya mendapatkan pemahaman itu ketika Pak Gede Raka bercerita tentang etika manusia intelek dalam kuliahnya dua minggu lalu. Dengan mengambil contoh di ITB sendiri, pak Raka bercerita panjang lebar tentang etika-etika dasar yang saya sebutkan tadi.

Ketika kesadaran akan etika dasar yang masih harus diajarkan di perguruan tinggi itu muncul, saya terkejut. Bagi saya, etika-etika semacam itu sudah saya dapatkan jauh sebelumnya; ketika saya sekolah dasar. Saya mendapatkannya dari orangtua dan guru SD saya. Memang tidak ada kurikulum atau buku acuan yang digunakan waktu itu, tapi saya menjadi manusia yang punya etika dasar sejak SD. Jadi ketika saya menyaksikan etika-etika itu masih harus diberitahukan Pak Raka dalam kuliahnya, saya heran.

Saat saya mencoba untuk memikirkannya lebih jauh, saya teringat fakta bahwa pendidikan di Indonesia itu lebih condong pada pelatihan-kemampuan-otak-kiri. Jadi kalau kita mau merujuk pada definisi ’pendidikan’ yang sebenarnya, pendidikan kita itu ’bukan pendidikan’. Ya, hanya pelatihan. Tapi saya tidak akan membahas itu. Lain kali saja. Yang hendak saya tekankan adalah kenyataan bahwa model pendidikan semacam itu akhirnya membuat banyak etika dasar tidak sampai pada mayoritas generasi muda Indonesia. Mereka cerdas tapi tidak mengerti etika dasar dan tidak punya empati. Sebenarnya tidak tepat kalau dikatakan tidak punya empati. Yang lebih tepat adalah empati mereka dibiarkan layu hingga hampir mati. Saya katakan ’hampir’ lho. Empati mereka belumlah mati. Tapi karena sudah terbiasa untuk tidak berempati, syaraf empati mereka menjadi sangat kering.

Kondisi itulah yang menyebabkan banyak sekali mahasiswa di perguruan tinggi terjorok ini (saya katakan PT terjorok karena di daeah depan gerbangnya berserakan kotoran kuda dan burung tapi rektoratnya cuek bebek; masa’ halaman depan tempat menyambut tamu kotor didiamkan saja?) dapat membuang sampah di jalanan dengan sangat ringan. Kalau orang-orang dalam kelompok 4% terbaiknya saja begini, bagaimana dengan orang dalam kelompok 96% sisanya? Au ah, gelap!

Lantaran empatinya hampir kering, sampah yang diletakkan dengan sangat manis di pinggir jalan itu tidak membuat mahasiswa-pembuang-sampah-sembarangan terganggu matanya. Ah, biarkan saja tukang sapu yang ngurus. Fuuuh, sebuah bentuk keacuhan. Itu sudah biasa kok, sudah menjadi bagian hidup sehari-hari, jadi mereka tidak menjadikannya bahan pemikiran. Lagipula hal itu tidak ada dalam daftar penilaian dosen. Jadi nilai ujian maupun IP saya tidak akan terpengaruh. Mungkin begitulah pikir mereka.


Oke, saya memang tidak bisa tidak sinis kalau membicarakan hal ini.


Saya berpikir lagi. Kalau etika dasar saja belum mapan terintegrasi dalam diri mereka, bagaimana dengan etika lanjutan? Bagaimana mereka akan menguasainya? Haaah, sudahlah. Saya jadi capek sendiri di titik ini.

Itulah realita. Sampah yang mesti dibuang di tempatnya saja masih harus diajari. Pendidikan yang diterapkan di Indonesia tidak menyertakan kemampuan untuk belajar tentang hal-hal non-fisik semacam itu dalam kurikulumnya. Itulah sebabnya sampai hari ini saya masih saja ngedumel tentang mental-pembuang-sampah.

Au ah, gelap!

Tuesday, November 07, 2006

Apa Kabar?

Apa kabar dunia?
Tampaknya kau cerah sekali hari ini
Buktinya kau tetap berhias mentari
Dan dedaunan menari-nari

Tahukah kau kalau pagi ini aku berlari?
Kukejar sapa yang tak bersua
Senyum pun kurenda
Demi hangat yang kupinta

Hari yang fitri telah bersua
Segala noda telah terbang tinggi
Semua maaf menyinari
Putih hati menghampiri

(Semoga Sahabat semua beroleh berkah Ramadhan & kemenangan di hari yang fitri. Mohon maaf lahir dan batin.)

Abis Kemping, Item...

"Eh, ntar jangan lupa ya tanggal 2... Itu loh, ada mukhoyam..."

Sayup-sayup saya mendengar pembicaraan di antara teman-teman saya di
Asrama Putri Salman. Saya sedang berada di kamar Euis dan masih
terkantuk-kantuk setelah subuh. Itu dua minggu sebelum lebaran 1427H.

"Les, dirimu mo ikut gak? Yah, biasanya juga dirimu memang ikut kegiatan Asrama kan?"

Saya diajak oleh Euis untuk ikut. Kalimat kedua dari pertanyaan dia itu
bukannya menunjukkan rajinnya saya dalam kegiatan Asrama, tapi lebih
pada penekanan bahwa saya akrab dengan anak-anak Asrama Putri Salman.
Lho, kok? Bingung ya? Begini, saya ini bukan penghuni asrama, tapi saya
sangat akrab dan dekat dengan semua penghuninya sehingga saya hampir
selalu ikut atau dimintai bantuan dalam kegiatan asrama.

Maka, tanggal 31 Oktober saya kembali ke Bandung untuk bisa hadir di technical meeting
kemping Asrama Putra-Putri Salman ini. TM-nya sendiri tanggal 1
November. Tanggal 2-nya, saya datang jam tujuh pagi ke mesjid Salman
dan langsung ke gedung Asrama Putri.

Karena panitia, saya berangkat duluan bersama tumpukan barang-barang seperti tenda, sleeping bag, kompor, bahan makanan, senter, lentera, galon air, tas-tas panitia, dan lain-lain. Penuh sesak. Tiga orang panitia perempuan di bangku paling belakang mobil Kijang, dua orang panitia laki-laki di bangku tengah dengan barang-barang berat, dan ibu pembina (Bu Tati) yang ikut mengantar di samping supir. Perjalanan cukup 'nyaman' kalau tida mau dibilang sumpek. Kaki terlipat selama dua jam kurang. Tapi semua itu terbayar begitu mobil memasuki kawasan perkemahan Gunung Puntang.

Udara sejuk dan bersih langsung menyergap. Kesegarannya seolah menghibur raga yang mulai mengeluh karena udara Bandung makin panas sejak bulan Agustus (sampia sekarang belum nampak mau hujan). Air jernih dan alirannya di sungai mengalun bagai musik ceria. Subhanallah, suasana yang biasa nampak di pegunungan itu jadi luar biasa.

Mobil berhenti di gerbang dan salah satu panitia, Nanang, turun untuk memberitahukan tibanya kami pada penjaga bumi perkemahan. Cukup lama mereka berdiskusi di pos satpam. Kesempatan itu kami--panitia perempuan-- gunakan untuk turun dan menghirup udara. Kami berjalan ke sungai yang ada di sisi kanan jalan. Bu Tati mencuci tangannya di sungai. Brrrrrrrrrr, airnya dingin sekali. Jauh lebih dingin dari air di Bandung.

Setelah sepuluh menit, kami meneruskan perjalanan ke lokasi kemping kami. Kami segera menurunkan barang-barang untuk kemudian mendirikan tenda. Selain itu, kami sempat beristirahat, minum sirup dan makan bekal yang dibawa. Kami bersiap-siap di lokasi kemping sembari menanti peserta tiba di pos satpam depan, tempat kami berhenti di awal tadi. Peserta diberangkatkan dari Salman perkelompok dan diberi ongkos. Mereka diminta untuk mencari cara pergi ke BuPer Puntang sendiri. Rata-rata mereka tiba jam 12 di pos satpam. Di sana mereka istirahat makan siang dan solat. Setelah itu mereka diminta menyusuri sungai dari titik di dekat pos satpam menuju 'atas', lokasi kemping.

Tak lama datang Pak Agung Wiyono, salah satu pembina asrama Salman, bersama istri dan anak-anaknya. Pak Agung nantinya akan memberi pengarahan di apel sore. Putrinya, Ami, akan turut membantu panitia. Adik Ami, Wicak, ternyata ikut juga. Tinggal satu orang lagi, Ibnu adik Ami yang paling bungsu. Tampaknya setelah dibujuk dia mau ikut kemping. Dan memang kemudian keluarga Pak Agung turut bermalam di lokasi kemping setelah menyewa tenda.

Setelah peserta sampai di lokasi, mereka diberi tenda, satu lentera badai, satu kompor gas mini, satu tabung gas kecil, dan jatah setengah liter minyak tanah. Mereka amesti mendirikan tenda, mempersiapkan makan malam. Di sore hari mereka apel. Kegiatan selanjutnya adalah bebersih diri, solat, makan malam, baru kemudian acara kebersamaan digelar.

Malam itu cuaca agak mendung. Jaket tidak mampu melindungi badan ini dari dinginnya udara yang menusuk. Kaus kaki yang basah membuat kaki hampir tidak bisa dirasakan lagi. Segalanya gelap dan tidak terlihat kecuali di sekeliling api unggun, lentera, petromaks. Haaaah, repot kalau punya mata udah minus... Serba gelap dan saya jadi kikuk saat bergerak. Tapi malam itu menyenangkan. Peserta mulai menyesuaikan diri dengan suasana yang mereka hadapi.

Hari kedua adalah hari yang diisi dengan kegiatan jurit malam (caraka malam) pada dini hari, kegiatan bebersih, masak, materi, diskusi, olahraga di sore hari, lalu materi dari kang Bryan di malam hari (beliau alumni asrama putra Salman entah tahun berapa; sekarang beliau jadi dosen di Teknik Fisika ITB; lulusan Jepang). Materi yang dibawakannya menarik. Tentang pengalamannya ketika dulu menjadi penghuni asrama Salman, pengalamannya di Jepang, dan beberapa hal tentang peran pemuda bagi perkembangan bangsa ini. Malam kedua ini langit cerah dan bulan bersinar dengan terang. Aku tidak perlu berjalan dengan kikuk pun menggunakan senter...

Hari ketiga, saya terbangun di tenda pada pukul satu pagi. Udara dingin sekali. Karena keterbatasan sleeping bag, saya berbagi dengan Euis. Alhasil sleeping bag itu tidak bisa ditutup rapat. Jadilah saya terbangun karena kedinginan. Acara mereka pukul tiga pagi di hari ketiga adalah kompetisi kelompok dalam bentuk perang-perangan. Itu hanya untuk peserta dari asrama putra. Peserta asrama putri mengadakan acara tukar kado yang dipandu Euis.

Saya bangun jam lima dan membuat susu plus jahe. Setelah mempersiapkan sarapan untuk panitia dan briefing untuk kegiatan hiking ke Curug Siliwangi (dua jam setengah perjalanan ke atas), panitia membereskan tenda. Peserta juga melakukan hal yang sama. Semua barang pribadi dan perlengkapan kemping harus sudah dipak untuk nantinya dititip ke salah satu warung di dekat lokasi kemping. Jam delapan kami ke lokasi kemping lagi. Kami bersiap untuk naik ke atas, ke Curug Siliwangi.

Perjalanannya? Menanjak, tidak bisa saya rasakan betul, berganti-ganti antara sejuk dan gerah, melelahkan. Saya memang belum pernah bisa menikmati perjalanan ke alam kalau dilakukan bersama banyak orang. Perhatian saya akan teralih ke banyaknya orang ketimbang suasana alam yang perawan. Saya lebih suka soliter atau berada dalam kelompok di bawah lima orang untuk melakukan perjalanan ke alam.

Tapi ujungnya menyenangkan. Curug Siliwangi itu bagus. Dia bukanlah air terjun yang besar; alirannya kecil. Tapi yang membuatnya istimewa adalah efek dari aliran itu. Air dalam aliran yang kecil itu jatuh dari ketinggian dalam bentuk serpihan-serpihan embun dan membuat udara sangat sejuk. Karena tingginya titik air sungai terjun dan kecilnya airnya aliran, efek itu terjadi. Kira-kira tingginya... berapa ya? Seratus meter kurang? Ah, tidak tahu. Kalau video rekaman hiking itu sudah jadi--atau foto-foto kegiatan itu, saya akan upload ke sini. Selama kurang lebih setengah jam kami di sana. Berfoto, menikmati air yang lebih dingin dari air di bawah (lokasi kemping), berbincang-bincang sebentar, mendapat masukan dari Kang Yudha selaku pembina asrama, makan, lalu turun lagi.

Perjalanan turun lebih mudah dan ringan. Tapi kaki memang udah gak mau kompromi lagi. Pegel banget. Semua peserta juga begitu. Kami langsung mencari tempat-tempat strategis untuk duduk dan minum. Muka-muka kusut memenuhi warung. Jam dua. Rencananya peserta akan dipulangkan jam tiga. Mereka mengambil tas dan barang bawaan. Kami, panitia, menanti mobil dari Salman.

Selama hampir satu jam kami menanti mobil. Begitu datang, mobil langsung disesaki dengan berbagai barang dan panitia lagi. Bedanya, kali ini kardus bahan makanan dan galon air sudah tidak ada isinya. Panitia sudah kuyu. Lebih enak tiduran di dalam mobil selama perjalanan ke Bandung.

Begitu keluar dari BuPer, satu pengalaman tidak bisa saya lupakan. Jalan menuju ke bawah berkelok-kelok seperti ular. Cuaca sore yang cerah dan udara yang hangat menyambut. Tenang. Ladang sayur dan hamparan padi menguning di sepanjang perjalanan. Jendela mobil yang dibuka mempersilakan angin untuk mampir membelai kami. Rumah dan kebun kami lalui bergantian. Semakin ke bawah, udara makin terasa gerah. Namun damai. Damai begitu kuat merengkuh benak saya. Berada dalam perjalanan itu bagaikan mengambang dalam arus lambat dari waktu. Serasa tidak berakhir. Kelokan jalan itu seakan tetap berkelok hingga saat yang tak terkira. Tenang. Lepas semua kepenatan saya.

Dan ketika kaki menginjak area mesjid Salman, perjalanan tadi bagaikan mimpi yang tercerabut dari tidur saya. Ah, memang selama di sana saya bagaikan bermimpi. Tipisnya oksigen membuat pikiran saya tidak bisa mencerna yang saya alami di Puntang secara penuh.

Mungkin lain kali saya bisa lebih menikmatinya lebih baik lagi.