Thursday, October 20, 2005

Syukur

Sabtu, 15 Oktober 2005, 16.40 WIB

Saya hendak membuka tirai dari jendela yang berada di sisi barat laut kamar kos saya. Jendela itu memberi pemandangan langsung ke jalan di depan kos saya yang menghadap timur laut. Tapi saya tidak bisa melihat jalan di depan kos saya persis karena jendela itu berada di sisi samping kos. Sore ini langit mendung karena baru saja hujan. Oleh karena itu saya hendak membuat cahaya sore yang temaram itu masuk sebanyak-banyaknya ke dalam kamar saya. Ketika saya hendak menyibak tirai, mata saya menangkap sesuatu di luar jendela. Yang saya lihat adalah seorang bapak sedang berjalan sambil kepayahan.

Saya tertarik untuk mengamatinya. Tidak jadi menyibak tirai, saya hanya membuka sedikit agar ada celah bagi saya untuk mengamati dengan aman. Bapak itu menggendong tas selempang di bahu kanannya. Tangan kanannya memegang sebagian kain hijau yang tersembul dari dalam tas. Bapak itu rupanya penjual tirai. Dari keningnya yang berkerut, jalannya yang agak terseok, dan bibirnya yang sedikit menganga terlihat jelas bahwa bapak itu menahan lelah. Ketika dia menghilang dari pandangan dan sedang melewati depan kosan saya, saya mendengarnya mengucapkan, “Hordeng! Hordeng!”. Setelah itu dia berlalu.

Hadirnya bapak penjual tirai itu membuat saya termenung. Saya tertohok. Saya lantas membuka sebagian tirai dan beranjak ke jendela di sisi barat daya kamar untuk memandangi langit yang disaput awan kelabu-ungu.

Saya menilik keadaan saya. Saya malu bila membandingkan bapak penjual tirai tadi dengan saya. Beliau dengan kerasnya berusaha sehingga kelelahan. Tapi saya? Saya ternyata belum berupaya sekeras bapak tadi berupaya. Ketika pada yang sama ada (bahkan mungkin banyak sekali) orang di sekitar saya bersusah-payah mencari barang sesuap nasi, saya malah bersantai-santai di tengah segala kemudahan yang saya dapat. Selama ini saya tidak berusaha dengan keras hingga kelelahan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban saya. Saya lebih banyak menuruti kehendak hati. Aaaaah, saya malu.

Dulu, ketika keadaan saya tidak selonggar sekarang, saya sangat mengidamkan kelonggaran. Saya berpikir bahwa dengan adanya kelonggaran itu, saya akan lebih mudah dan giat dalam berupaya. Namun ketika kini saya berada dalam kelonggaran itu, saya justru bukannya bertambah giat, saya malah terlena dan melemah semangatnya.

Saya sedang diuji. Ujiannya tidak mudah lagi. Saya diuji dalam bentuk kenikmatan. Seperti yang dikatakan Sang Bijak, manusia akan tabah bila diuji dalam bentuk kesulitan. Namun ketika diuji dalam bentuk kenikmatan, manusia tidak tabah lagi. Persis seperti yang sedang saya alami sekarang. Saya kufur nikmat.

Selain itu, saya sedang diuji pada titik terlemah saya. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda bahwa saya akan lolos dari ujian ini. Titik kelemahan saya itu membuat saya bergantung pada sesuatu yang tidak pasti. Otomatis saya kehilangan banyak ruang dalam pikiran saya yang seharusnya digunakan untuk menjalankan kewajiban saya. Saya juga kehilangan kebiasaan untuk merenung atau berpikir tentang keberadaan saya di bumi ini. Saya menjadi gamang.

Ketika ada orang yang memuji saya, bukannya senang saya malah prihatin pada diri saya. Rasanya pujian mereka tidak pada tempatnya. Mereka tidak mengetahui betapa buruknya saya yang sebenarnya, betapa lemahnya saya, betapa menggelikannya saya, betapa tidak hebatnya saya, dan betapa rapuhnya saya. Kemudian saya berpikir bahwa tertutupinya segala kejelekan saya tidak lepas dari pertolongan Allah.

Kehadiran bapak penjual tirai itu sungguh berarti bagi saya. Lewat beliulah saya mendapat pelajaran hari ini. Sesungguhnya tidak ada yang istimewa darinya. Namun raut wajahnya yang kelelahan itu begitu menusuk hati saya. Keadaan saya yang serba santai, tidak terencana, dan tidak terarah disindir habis-habisan. Wajahnya itu seakan berkata: Lihat! Lihat baik-baik! Saya mengerahkan segala tenaga untuk menjalankan profesi saya. Sampai kapan kamu akan bersantai-santai? Menunggu ajal menjemput dulu? Setelah kamu diberi segala kelonggaran, masih juga kamu bersantai? Saya berdoa, berharap agar Allah mengaruniakannya ampunan, kesejahteraan lahir dan batin, serta keselamatan dunia dan akhirat. Amin.

2 comments:

za said...

Saya sedang diuji. Ujiannya tidak mudah lagi. Saya diuji dalam bentuk kenikmatan. Seperti yang dikatakan Sang Bijak, manusia akan tabah bila diuji dalam bentuk kesulitan. Namun ketika diuji dalam bentuk kenikmatan, manusia tidak tabah lagi. Persis seperti yang sedang saya alami sekarang. Saya kufur nikmat.

Kalau aku mendefinisikan ini, sebagai ujian level 2. Jadi lebih berat daripada level 1.

Unknown said...

Minta doanya supaya Ales lebih bijak dan kuat dalam menghadapi ujian ini dan ketika sudah melewati ujian ini...