Tuesday, May 31, 2005

(Proyek) Kebersihan Kampus

[Artikel ini sudah dimuat di harian Pikiran Rakyat Bandung pada tanggal 31 Mei 2005. Yang saya taruh di blog ini adalah versi aslinya. Yang dimuat di PR sudah diedit. Namun ternyata tidak banyak yang dirubah..]

Saya tidak ingat persis kapan tempat sampah dengan tutup berwarna merah-kuning-hijau (di langit yang biruuu…) itu mulai dipasang di kampus saya. Tapi bila dikira-kira, ya, di semester ganjil tahun 2003. Di semester sebelumnya, saya bersama kelompok dalam mata kuliah Pengetahuan Lingkungan, membu at makalah yang idenya sama seperti yang baru terealisasi sebagian itu: Pengelolaan sampah semenjak dibuang (tempat sampah terpisah), hingga akhir yang baik. Tempat sampah dengan tutup warna-warni itulah salah satu realisasi dari mimpi kami tentang kebersihan di kampus. Rupanya pada saat yang bersamaan, pihak kampus punya ide yang sama.

Masing-masing tempat sampah mencerminkan jenis sampah yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Yang tutupnya hijau untuk sampah organik, yang tutupnya merah untuk sampah kertas, dan yang tutupnya kuning untuk sampah plastik/botol/cup. Tempat sampah ini disebar di seantero kampus, di tempat-tempat strategis. Setiap hari mobil pengangkut sampah berkeliling kampus untuk mengosongkan tempat-tempat sampah itu, dan mengumpulkannya di TPS kampus, persis di depan gedung jurusan saya.

Sayang. Sungguh, sayang! Tempat sampahnya saja yang baru dipisah. Begitu sampah-sampah diangkut dari tempatnya, mereka langsung tercampur-baur tanpa peduli suku dan ras lagi di bak belakang mobil pengangkut! Tak terkira banyaknya saksi mata yang menyaksikan ritual itu setiap pagi. Tempat sampah yang memisahkan jenis sampahnya itu nampaknya masih berupa “pemanis” saja.

Padahal bila pihak kampus mau berupaya sedikit saja, sampah-sampah yang sudah dipisahkan itu bisa sangat bermanfaat. Misalnya sampah organik. Lahan kampus saya yang dipenuhi oleh berbagai tanaman bisa dijadikan “konsumen” dari pupuk organik yang bisa dihasilkan dari sampah-sampah organik itu. Cukup sediakan sedikit lahan untuk pemrosesan, dan sedikit ramuan, ditunggu beebrapa waktu, jadilah pupuk organik. Dan biaya untuk pupuk bisa dikurangi.

Misalnya lagi sampah kertas. Orang Indonesia masih belum bisa dikalahkan dalam mempertinggi nilai sampah kertas. Buktinya bisa dilihat di tukang-tukang gorengan di seluruh negeri ini. Maka, mengapa tidak dimanfaatkan saja hal itu? Bila tidak berguna untuk keperluan kampus, ya dijual saja. Dan bila mau repot sedikit, mahasiswa departemen Teknik Kimia bisa diberdayakan. Entah mendaur ulang kertas itu atau membuat suatu produk dari kertas bekas.

Sama halnya dengan sampah plastik. Pemisahan yang sudah dilakukan di level tempat sampah sebenarnya mempermudah pekerjaan dinas kebersihan kampus. Sampah-sampah plastik itu bisa dijual ke bandar penampungan sampah plastik. Mungkin uang yang diperoleh tidak seberapa. Tapi sekecil apapun nominalnya, uang tetap uang. Dan siapa bilang potensi yang satu ini tidak menguntungkan? Setiap hari kampus saya menghasilkan sampah yang tidak sedikit (saya tahu karena lokasi TPS-nya memungkinkan saya untuk mengamati fluktuasi sampah harian).

Di dalam makalah kelompok saya, terdapat ide tentang dibuatnya instalasi pengolahan limbah kampus. Yang mengelola adalah pihak kampus bekerja-sama dengan mahasiswa berbagai departemen di kampus. Entah itu mahasiswa Teknik Kimia, Teknik Lingkungan, Biologi, Teknik Industri, Teknik Mesin, Matematika, atau yang lainnya. Selain menguntungkan kampus karena masalah sampah bisa teratasi, instalasi pengolahan limbah ini bisa dijadikan media untuk menerapkan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari di bangku kuliah. Hitung-hitung buat tugas akhir. Nilai ekonomis sampah pun menjadi lebih tinggi dan rantai manfaat sampah lebih panjang. Sampah bermanfaat, dapat uang pula! Begitulah kira-kira.

Instalasi semacam ini bisa dijadikan model bagi instalasi pengolahan limbah masyarakat, tentu saja dengan skala yang lebih besar. Masalah sampah yang menimpa kota-kota berpenduduk padat seperti Jakarta dan Bandung bisa teratasi seandainya pengelolaannya lebih cerdas. Seperti yang sudah diterapkan di Jepang. Saya ingat betul cerita dosen Pengetahuan Lingkungan saya sewaktu tingkat satu. Beliau bercerita bahwa setiap hari, sampah yang diambil dari rumah-rumah penduduk di salah satu distrik di Jepang, berbeda-beda. Saya tidak ingat persis urutannya, tapi ada hari dimana yang diambil hanya sampah kertas, besoknya sampah plastik dan botol, besoknya lagi sampah kayu. Kemudian ada hari khusus dimana sampah yang diambil adalah sampah elektronik dan baterai bekas (Tingkat konsumsi barang elektronik orang Jepang sangat tinggi, rusak sedikit langsung dibuang. Harga barang elekronik murah di sana). Ada pula hari khusus untuk mengambil sampah minyak goreng bekas (minyak goreng bekas bila dibuang ke saluran air akan mempercepat kerusakan pipa). Dan yang menarik, bila sampah yang tersedia di depan rumah penduduk tidak sesuai dengan yang seharusnya diambil hari itu, sampah-sampah itu akan dibiarkan saja tidak diambil. Suatu bentuk kedisiplinan yang luar biasa!

Setelah hari pengambilan yang khusus itu, penanganannya istimewa pula. Sampah tidak hanya menjadi barang yang ditinggikan nilainya, tapi juga bermanfaat dalam segi ekonomis bagi masyarakat. Nilai ekonomis disini tidak sekedar keuntungan berupa profit, tapi juga keuntungan berupa kebersihan lingkungan. Coba hitung berapa biaya yang bisa dihemat dari pengelolaan sampah seperti ini? Karena dikelola dengan baik, masalah seperti yang terjadi di Leuwigajah tidak terjadi dan masyarakatnya terhindar dari penyakit yang disebabkan lingkungan yang jorok. Biaya kesehatan dan perawatan keindahan kota dihemat sekaligus.

Itu di negara orang. Kapan ya di negara kita seperti itu? Yah, karena mimpi itulah saya bersemangat sekali dalam menggembar-gemborkan ide ini lewat tulisan (bila kesempatannya ada). Bila di tingkat negara belum bisa, di tingkat propinsi belum bisa, di tingkat kotamadya belum bisa, maka saya harap di kampus saya bisa terlaksana. Tidak perlu langsung yang besar-besar. Yang penting bisa mengakomodir sampah kampus dan kreativitas mahasiswa dengan baik. Lokasinya juga tidak perlu di dalam kampus. Yang penting strategis.

Judul di atas bukannya ditulis tanpa maksud. “Proyek” saya beri tanda kurung karena saya belum tahu apakah pihak rektorat sudah mengagendakan ide di atas atau belum. Yah, barangkali saya hanya bisa bermimpi saat ini...

6 comments:

ikram said...

Wah Ales, jadi juga ngirim tulisan ke PR? Selamat ya!

Now that everybody knows sampah itu dchampour baoer lagge dissana.. Warna2 itu masih punya pengaruh nggak?

Unknown said...

Enggak tau ya...

Kayak pagi ini (1 juni '05) ales jalan dari sbm ke jurusan, ales liat banyak banget sampah storyfoam di TPS. Bercampur baur dengan kayu, daun2, palstik, kertas....

Sebel deh liatnya. Bikin sakit mata. Berceceran sampe keluar dari bak besar itu..

ikram said...

Di jalan-jalan, saya pernah lihat spanduk himbauan memisahkan sampah "menuju Bandung bermartabat".

Tapi ada logo MKGR-nya di sebelah kanan spanduk. Idiiih, buat apa juga ya.

za said...

Asyik dimuat. Udah nanya2 honor, sekarang tinggal mau nraktir atau mau beliin buku :P

Unknown said...

Bleh! :p
Salah, Q! Ales pake uangnya untuk beli flashdisk 256MB. Alhamdulillah kebeli juga...

Andriana Yuni said...

numpang mampir ya :) salut sama tulisan Ales :)

I can only say that if only the thought you have was pandemic....,

sebagai org yg concern masalah lingkungan, dan juga tentu saja sebagai org yg menyaksikan fenomena kedisiplinan sampah di Jepang, menurutku... dasar utama realisasi proyek itu adalah shift of lifestyle. Membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengaturan masalah sampah. Pun pentingnya keberlangsungan ekosistem kita.

Met belajar ya... jadi agen perubah (atau pengubah ya :D) Bahasaku kok kacau ya :D