Tuesday, May 10, 2005

Membaca & Menulis

[Ini adalah tulisan yang belum sempurna. Masih ada kemungkinan untuk saya edit lagi. Tapi nikmati saja dulu tulisan ini...]

Membaca
Melatih seorang anak untuk gemar membaca semenjak dia bisa membaca sangat penting. Kenapa? Karena membaca sendiri itu sangat penting, baik secara harfiah-membaca teks, maupun “membaca” makna di dalam semua peristiwa hidup. Bukankah perintah membaca sudah ada sejak 14 abad yang lalu?

Aku berpijak dari fenomena yang ada di negeri ini. Contohnya adalah kabar yang kudapat dari koran PR. Ada sekelompok pemuda dari daerah Bandung coret yang menjalani ritual “aneh” karena terlalu banyak menonton acara mistik di televisi. Mereka mengenakan kaus hitam bergambar salib terbalik dan wanita telanjang. Dan mereka menjalankan suatu kegiatan yang mirip pembaptisan. Aku tidak tahu apa kelanjutan berita itu. Aku sungguh prihatin.

Ketika seseorang baru mulai menjalani kebiasaan membaca, dia berada dalam level membaca yang paling rendah (berdasarkan pemikiranku): Dia menerima apapun yang dibacanya. Karena apa-apa yang dibacanya itu baru diketahuinya. Pada tahap ini, dia masih belum mengetahui apapun tentang apa yang akan dibacanya. Dengan kata lain, tahap ini dia mulai membaca dengan ilmu sebanyak "nol". Namun, dari kegiatan di level awal ini, dia akan memeproleh pengetahuan dasar yang harus diketahuinya. Oleh karena itu bimbingan orang terdekat dalam pemilihan jenis bacaan penting sekali.

Setelah tahap ini, dia akan berada pada tahap kedua, yaitu diferensiasi minat. Maksudnya, ketika kebiasaan membaca itu sudah melekat, jumlah buku yang dibaca sudah n-buah. Yang jelas sudah lebih dari satu. Maka kemudian seseorang mulai menentukan jenis buku apa saja yang sesuai dengan dirinya. Dia akan memilah-milah bacaan dan informasi yang ada di dalam bacaan. Dia menjadi lebih kritis terhadap informasi yang didapat.

Kemudian, dia akan mencapai tahap yang teratas. Pada tahap ini, membaca sudah menjadi kebutuhan baginya. Dan pola yang terjadi pada saat membaca secara sadar maupun tidak sadar terbawa dalam kehidupannya sehari-hari: Dia akan memperlakukan peristiwa dalam hidupnya layaknya “buku” yang perlu dibaca, kemudian dipahami maknanya, ditelaah isinya, lantas diambil hikmah atau hal-hal yang sesuai dengannya.

Kemampuan membaca sekelompok pemuda yang diberitakan itu masih berada pada level terendah. Mereka menerima begitu saja apa-apa yang ditanyangkan di televisi tanpa mempertimbangkan baik-buruknya. Pengetahuan mereka masih "nol besar" tentang apa-apa yang harus diterima dan mana yang hanya sampah. Dan itulah juga yang terjadi pada sebagian besar generasi muda saat ini. Dengan minimnya pengetahuan yang mereka peroleh, mereka harus menjalani masa yang penuh dengan tekanan perubahan yang sangat cepat.

[Ah, jadi ngalor ngidul...]

Menulis
Menulis membantu kita menyusun semua pengalaman atau ilmu yang bertaburan dalam benak dan pikiran kita selama satu periode waktu. Menulis membantu kita mereka ulang peristiwa.

Dengan menulis, kita mengambil jarak reflektif dari pengalaman kita. Dengan jarak itu, kita bisa menganalisis apa yang kita alami dari “jauh”. Menganalisis sesuatu dari “jauh” sangat membantu kita dalam menyelesaikan masalah. Dengan mudah kita melihat bentuk masalah yang kita hadapi dan besar daya rusaknya bila kita ada "jauh" dari masalah itu, bukan ketika berada di dalam "lingkaran badai”.

Sejak aku mendapat diary untuk yang pertama kalinya (bergambar pemandangan di bawah laut yang indah sekali), aku menuliskan pengalaman harianku. Semakin lama, kemampuan refleksi-diriku bertambah. Menulis membantuku dalam hal mengenali dan menganalisis diri sejak awal. Oleh karena itu, salah satu contohnya, aku menjadi orang yang tidak percaya begitu saja pada penampilan fisik.

Aku sangat memperhatikan kapasitas intelektual seseorang, kepribadiannya, buku-buku bacaannya, dan aspek-aspek non-fisik lainnya. Sementara di luar sana, jutaan orang tenggelam dalam pemujaan pada hal-hal yang semu: Kebagusan rupa, kekayaan, jabatan, titel, ketenaran, dan lain-lain. Bukannya aku menyalahkan orang-orang yang menginginkan itu. Tidak! Sama sekali tidak! Aku pun menginginkan hal-hal semacam itu; hasrat itu sangat manusiawi. Namun harap diperhatikan frase "tenggelam dalam pemujaan”. Itulah yang tidak aku setujui.

Orang-orang yang “tenggelam dalam pemujaan” tidak bisa memisahkan apa yang menjadi keinginannya dengan apa yang menjadi kebutuhannya. Setidaknya pada saat mereka tenggelam itu. Di situlah manfaat dari kemampuan dan kebiasaan menulis. Pengambilan jarak reflektif yang diasah lewat menulis akan berimbas pada pola pikir seseorang. Pola pikir itulah yang membantu gerak hatinya. Gerak hati akan berujung pada perbuatan tertentu, sesuai gerak hatinya. Bukankah orang berbuat sesuai dengan apa yang dipahami dan sesuai dengan keadaan/kemampuannya?

Disitulah pentingnya kebiasaan menulis. Menurutku…

[Aku tidak tahu teori psikologi, sosiologi, atau bidang ilmu apa saja yang berkaitan dengan pernyataanku dalam tulisan ini. Semua ini murni sari pemikiranku sendiri. Jadi aku tidak bisa mencantumkan suatu sumber yang dapat menguatkan pernyataanku. Yah, barangkali sudah banyak orang yang berbicara sepertiku sebelumnya. Tapi yang jelas aku belum membacanya. Untuk sementara, anggap saja ini tesis pribadiku…]

2 comments:

za said...

Boleh juga tesis strata pembagian kamu akan membaca. BTW, aku pernah nulis artikel seperti ini, kurang lebih mirip. Tapi tinjauannya lain.

Have a visit here then. Then email me for your feedback.

Unknown said...

Hmmmm....

[Udah dibaca....]

Ntar Ales baca lebih detail dan pikirkan lebih lanjut. Soalnya Ales lagi kensen untuk nge-blog tulisan lain..