Setelah sekian lama saya tidak memikirkan kematian, akhirnya hal itu menjadi bahan renungan saya belakangan ini.
Pertama kalinya kalbu saya benar-benar tersentil oleh masalah “mati” adalah ketika saya selesai menonton dua buah film di komputer saya: The Constantine dan The Others. Keduanya bertemakan kematian.
Dalam film The Constantine, si pembuat film menggambarkan neraka sesuai dengan imajinasinya. Neraka itu isinya sama saja dengan dunia. Tapi di segala penjuru terdapat lidah api yang membuat isi “dunia” di dalam neraka itu merah membara dan panas. Orang-orang yang terdapat di dalamnya terdapat di lubang-lubang jurang di bawah jalan dan mereka digelayuti oleh mahluk neraka yang bentuknya mengerikan.
Kemudian di adegan lain dari film itu ada tokoh malaikat. Wajah dan suara malaikat itu seperti perempuan, tapi gaya berpakaiannya seperti laki-laki tulen: Berjas rapi dan kelimis. Ada juga tokoh yang merupakan pemimpin neraka. Mahluk ini digambarkan berupa pria berwajah pucat yang agak gemuk dengan wajah sinis. Dia mengenakan jas putih, namun tidak beralas kaki. Ketika tersenyum, terlihat deretan gigi kuning khas perokok (kalau yang ini saya tidak tahu apakah memang karena pemerannya memang sengaja dipilih yang demikian atau tidak ada kesengajaan).
Hal-hal itulah yang menyebabkan saya mulai memikirkan kematian: Surga, neraka, malaikat, iblis, penjaga neraka, dan kematian. Saya tidak menyetujui konsep alam gaib yang dijabarkan dalam film itu. Konsepnya bertentangan dengan apa yang telah saya yakini. Namun penggambaran dalam film itu cukup untuk mengingatkan saya tentang kematian. Tiga hari kemudian saya mendapat sentilan tentang kematian lagi.
Hari selasa malam yang lalu (24 Mei 2005), saya mendapat sms dari teman saya di Bekasi. Isi sms itu cukup singkat dan padat. Kira-kira begini: “Innalillahi wa innailaihi ro’jiun, telah meninggal dunia Pak Tegas Budi Prasojo di ICU RSU Bekasi pada pukul 19.30. Mari kita doakan beliau dan harap sebarkan (kabar ini) kepada yang lain”. Saya langsung mengirimkan sms itu kepada dua teman saya yang merupakan alumni SMU 2 Bekasi, Krisnawan dan Malazi. Tak seberapa lama kemudian saya mendapat kabar yang serupa dari dua teman yang berbeda. Dan kira-kira dua hari kemudian, saya melihat ada kabar itu di buletin board Friendster saya. Yang mengirimkannya adalah Krisnawan.
Saat dikirimi sms, saya sempat ragu, Pak Tegas? Saya mencoba memeriksa bank memori saya tentang Pak Tegas. Namun karena sudah lama tidak mendengar kabar tentang beliau, saya ragu apakah saya masih ingat siapa gerangan Pak Tegas. Pada saat yang sama, memori visual saya memunculkan gambaran seseorang dalam benak saya: Sosoknya tinggi, tegap, atletis, berkacamata, berkulit agak gelap, dan profesinya adalah guru pendidikan jasmani di SMU 2 Bekasi.
Dua hari kemudian terbukti bahwa memori visual saya lebih baik dan cepat dari memori plain text saya. Ternyata benar bahwa yang telah wafat adalah Pak Tegas yang itu! Dalam pikiran saya menari-nari berbagai kenangan tentang beliau sewaktu saya masih bersekolah di sana. Tak menyangka Allah akan memanggilnya begitu mendadak. Kami (anggota Paskibra SMUNDA) cukup dekat dengan beliau. Kehadirannya cukup berkesan bagi saya.
Lalu saya teringat tentang almarhum Trisno. Trisno adalah senior saya di Aikido ITB. Beliau wafat di awal tahun 2003. Perkenalan kami (anggota baru Aikido) terhadapnya hanya beberapa bulan. Penyakit yang dideritanya bertambah parah di hari terakhir sebelum beliau berpulang ke hadirat Allah SWT. Saya merasa sangat kehilangan. Almarhum Trisno adalah pribadi yang baik dan ramah. Ketika saya mendengar kabar itu dari teman saya sesama Aikidoka, saya sempat terbengong-bengong sebentar sebelum akhirnya menyadari dengan sepenuhnya bahwa beliau sudah tiada.
Peristiwa-peristiwa itu memaksa saya untuk menyadari bahwa kematian tidak menjemput manusia hanya di saat usia mereka sudah uzur menurut ukuran dunia. Selama ini saya berpikir kalau bagi saya senantiasa ada hari esok. Tapi kemudian saya berpikir, aku berpendapat demikian karena aku masih muda, kan? Lantas, bila masa muda itu sudah lewat, apakah pemikiranku barusan masih relevan? Itupun bila Allah memang memberi umur panjang untukku di dunia. Bagaimana nantinya bila masa tuaku tiba? Apakah aku baru berpikir tentang kematian saat itu? Saat badan sudah tidak lagi sebugar dulu? Saat pikiran tidak setajam dulu?
Manusia bisa dipanggil untuk kembali padaNya kapan saja. Kita benar-benar tidak akan dapat menghitung kapan persisnya jiwa ini terlepas dari raga. Yang dapat kita lakukan adalah berusaha sebaik mungkin agar saat itu, kita benar-benar dalam keadaan ridho terhadap Allah dan Allah pun ridho terhadap kita. Makna “ridho” di sini sangat dalam, tidak sekedar “rela” saja. Butuh pembelajaran hingga berpuluh tahun untuk bisa memahami “ridho” dalam “ridho terhadap Allah” dan “Alah ridho terhadap kita”.
Kenapa bisa sampai berpuluh tahun? Saya tidak akan menjawabnya secara langsung. Namun saya malah menanyakan ini sebagai “jawaban”: Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul pada usia berapa? Beliau diangkat ketika kebijaksanaannya sudah sejauh mana? Beliau diangkat ketika sudah mencapai kedudukan seperti apa di dalam masyarakatnya?
[Dibuat sebagai kenangan terhadap alm. Pak Tegas Budi Prasojo dan sebagai nasihat untuk jiwa ini...]
No comments:
Post a Comment