Monday, May 30, 2005

Tentang Papa

[25 Mei 2005]

Kemarin baru saja aku mendapat izin untuk meminjam buku lagi dari temanku, ZA. Aku baru membaca buku P.K. Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia itu hingga bab dua. Namun desakan pikiran ini tidak mau menunggu. Ia memaksa untuk dikeluarkan.

Aku teringat Papa ketika aku membaca buku itu. Terkenang wajahnya yang sudah penuh dengan garis-garis usia tua, kulitnya yang coklat gelap karena terkena sengatan sinar matahari Jakarta setiap hari, teringat bahwa tahun ini Papa akan berusia enam puluh tahun, sama seperti usia NKRI, tak terasa air mata menggenangi wajah.

P.K. Ojong adalah peranakan orang Cina perantauan. Aku adalah keturunan ke-sekian dari generasi pertama keluarga besar Papa yang merantau ke Sumatera. Ayah P.K. Ojong adalah wirausahawan tembakau setelah sebelumnya “makan gaji" dari orang lain selama beberapa waktu. Papaku adalah wirausahawan restoran. Ayah P.K. Ojong meraih kesuksesan dari usaha tembakaunya itu. Papaku meraih kesuksesan dari usaha restoran di Bandar Lampung. Dulu, di awal tahun 80-an, ketika di awal kesuksesan restoran Papa, orang rela antri hanya untuk bisa makan di sana. Omzetnya mencapai angka tiga juta rupiah tiap hari. Padahal kurs rupiah waktu itu...

Ayah P.K. Ojong mengajarkan kerja keras, keuletan, kesederhanaan, kejujuran, kerajinan, pada anak-anaknya, meskipun pada saat itu kehidupan mereka berkecukupan. Papaku mengajarkan hal yang sama pada kami. Aku teringat bahwa satu kali aku harus menghabiskan semua nasi hingga ke butir terakhir padahal perutku rasanya sudah mau pecah. Sejak itu aku mengambil makanan secukupnya.Kami pun diajarkan untuk tidak memilih-milih makanan. Apapun yang tersedia di meja makan harus dinikmati. Oleh karena itulah kami adalah tukang makan yang lahap, hehehe...

Aku dan adik laki-lakiku, Agi, dibiasakan untuk berbelanja ke pasar Bambu Kuning. Bukan sekedar berbelanja untuk makan sendiri, tapi berbelanja bahan-bahan untuk restoran. Berapa usia kami waktu? Kalau tidak salah usiaku tujuh-delapan tahun saat aku pertama kali disuruh berbelanja. Usia Agi kurang lebih sama saat dia mulai mendapat tugas berbelanja. Tapi itu tidak berjalan begitu saja. Awalnya kami diajak untuk ikut berbelanja bila sedang libur sekolah. Kami ikut berkeliling kios-kios di pasar dan menyaksikan Mama atau pegawai restoran berbelanja. Dari situlah kami berdua paham betul fluktuasi harga sembako dan berbagai keperluan lain untuk restoran di pasar. Harga telur, cabe keriting, daging sapi, susu kental manis, gula pasir, kecap manis, sayur-mayur, buah-buahan, dan lain-lain.

Aku tidak ragu untuk berbelanja sendirian. Dan nampaknya pedagang di pasar tidak peduli dengan mudanya usiaku dan adikku. Aku dibekali uang dan daftar belanjaan plus pulpen. Bila aku mendapat barang yang dicari, kucoret nama barang itu dari daftar. Bila tidak ada, maka setelah aku mengirim barang belanjaan yang sudah kudapat dengan oplet, aku harus mencari sisa barang di pasar lain. Setelah mendapat semuanya, aku pulang ke rumah untuk melapor ke Mama.

Terkenang semua itu membuatku tersenyum. Betapa Papa memupuk kemandirian kami semenjak dini. Namun kedua adikku yang lain (kami empat bersaudara) tidak merasakan hal yang sama karena usia mereka masih sangat kecil waktu Papa masih memiliki restoran. Pelajaran itu melekat dalam kepribadianku hingga kini. Di antara teman-temanku aku dikenal sebagai orang yang tahan banting dan fleksibel terhadap kondisi apapun. Karena aku terbiasa menghadapi berbagai macam orang di pasar. Bahkan ketika pasukanku sedang istirahat latihan Paskibra sewaktu SMU, aku bisa tertidur sejenak di bawah terik matahari. Kami disuruh berbaring di tengah lapangan dan menutup wajah kami dengan topi. Bagiku, bila aku sedang lelah, aku tidak peduli medan, pokoknya aku mau tidur. Hehehe...

Terlepas dari segala keburukannya, Papa sudah memberi kontribusi yang sangat besar bagi pembentukan kepribadianku. Salah satunya adalah kejujuran. Aku akan mengatakan segala sesuatu apa adanya, sesuai dengan apa yang ada dalam pikiranku. Kecuali bila aku perlu melakukan kebohongan putih. Namun karena itu orang menyebutnya “terlalu terus terang” dan “polos”. Aku heran dengan sebutan itu. Namun setelah umurku bertambah, aku mengerti bahwa bahasa yang kugunakan dalam berterus-terang itu terlalu mentah. Kini aku sudah tahu bagaimana menyampaikan pikiranku dengan halus.

Papa. Aku sungguh ingin bertemu dengannya saat ini. Kadang kerinduan itu tidak bisa dipenuhi karena jarak. Walau sudah ada teknologi yang dapat memudahkan komunikas, kehadiran menuntut untuk ada. Aku ingin melangkah bersamanya menapaki masa lalu. Menapaki jejak-jejak yang telah dibuat oleh Papa dan Mama hingga kini, hingga kami anak-anaknya hadir di dunia ini. Menghadiri reuni keluarga, acara penikahan Paman dan Bibi di masa lalu, menghadapi masalah keluarga, dan masih banyak lagi. Aku sungguh ingin melakukan itu secepatnya.

Secepatnya...

1 comment:

Anonymous said...

wah, emang bener tuh.ales emang tahan banting. paling "alot" buat senior, mo kaya gmn jg, ales ga nangis".ck...ck...ck...
tampangnya aja cool...kas.dingin.malah kalo pertama kali ngeliat, pasti nyangkanya ales jutek.huhuhu..padahal mah, kalo ktawa merem n susah brentiinnya.tanya aja kang fany.
aneh bgt kan, orang panas" di aspal, tiduran telentang cuma ditutup topi doang eh bisa"nya loh tiddur!!!
waduh, Xena--the princess warrior-- wanita perkasa