Monday, April 11, 2005

Ups! Kok Buang Sampah Sembarangan?

Ada satu hal yang saya senangi betul dari kampus di jalan Ganesa 10. Hal itu adalah kehijauan dan keasrian yang sangat terasa bila seseorang memasuki kampus ini. Dimana-mana terdapat pohon yang besar dan rindang, yang dapat memberi kesejukan di hari yang terik. Dan juga terdapat berbagai tanaman rambat dan hias di setiap sudut-sudutnya.

Kebersihan kampus ini pun terjaga dengan baik. Tempat-tempat sampah disediakan di tempat yang mudah terlihat dan terjangkau. Bahkan kini pihak kampus menyediakan tempat sampah yang “mengklasifikasikan” sampah yang bisa dimasukkan ke dalamnya (itu lho, yang warna tutupnya merah-kuning-hijau, di langit yang biru…). Jenis sampahnya dada tiga, yaitu sampah kertas, sampah plastik/kaleng, dan sampah organik. Bahkan, ada petugas-petugas kebersihan yang memang “beroperasi” setiap pagi dan sore; sebelum jam kuliah, selama jam kuliah di pagi hari, dan sore hari. Klop deh! Kampusnya bersih dan hijau. Pihak kampusnya care terhadap masalah kebersihan. Kurang apa lagi, coba?

Ada yang kurang! Yaitu kesadaran akan “pentingnya menjaga kebersihan” sekelompok mahasiswa yang kuliah di situ. Benar lho. Bukan diada-adain. (Kata “sekelompok” saya ketik miring untuk menegaskan bahwa tidak semua mahasiswanya begitu. Jadi bagi yang sudah punya kesadaran lingkungan yang bagus, jangan merasa tersindir ya!).

Saya sering merasa miris dan prihatin ketika menyaksikan sebuah ruangan kuliah penuh dengan sampah kertas dan plastik (sampah dari yang kuliah di ruangan tersebut sebelumnya). Padahal saya tahu betul kalau ada petugas yang membersihkan ruangan itu setiap pagi, siang, dan sore. Dan, tempat sampah tersedia.

Lantas saya berpikir, apakah berat untuk sekedar berjalan menuju tempat sampah atau menyimpan sampah sampai menemukan tempat sampah terdekat? Saya rasa tidak.

Orangtua saya tinggal di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Rumah orangtua saya berada agak jauh dari jalan raya, jadi, saya harus berjalan dulu ke dalam komplek. Setiap kali saya ke sana, saya akan melewati sebuah jembatan yang melintasi sebuah sungai. Dan pemandangan yang saya saksikan di kali itu sungguh memilukan hati saya.
Di sungai tersebut, sampah menggunung serta airnya hitam dan bau (memangnya ada sungai di Jakarta yang tidak hitam dan bau?). Dan di sungai itulah sebagian dari masyarakat (kecil) kita mencari nafkah. Entah menjadi petugas yang membersihakan sampah dari sungai tersebut, atau menjadi “pemulung air” dengan mencari sampah yang layak daur ulang.

Demi sesuap nasi mereka menjalani pekerjaan itu. Padahal tidak ada akomodasi dan asuransi kesehatan yang disediakan oleh pemerintah bagi lapangan pekerjaan macam itu. Coba Anda bayangkan, bagaimana rasanya berkubang di air sungai yang hitam dan bau, yang airnya setinggi pinggang sampai leher, hanya untuk memilah-milah sampah? Jauh-jauh membicarakan asuransi kesehatan, penghasilan dari profesi ini pun tidak menjanjkan sama sekali! Jadi, bagi para pekerja –pekerja itu, keselamatan dan kesehatan diri ada di urutan yang entah keberapa. (Jujur saja, saya sih tidak sanggup untuk menjalani hal itu).

Yang terjadi di sungai itu baru salah satu diantara puluhan tempat di Jakarta. Dan hal ini adalah akibat dari reaksi berantai yang panjang dan terjadi terus-menerus sampai sekarang:
Seseorang membuang sampah sembarangan. Entah itu sedikit atau banyak. Ke darat maupun ke air (baca: ke jalan atau ke saluran air/sungai). Kalau yang melakukan itu hanya satu orang, mungkin bukan masalah (ini bukan pembenaran untuk membuang sampah sembarangan lho). Kemudian, yang terjadi persis seperti pepatah “sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Air sungai meluap di kala musim hujan, akibat dari tersumbatnya saluran-saluran air oleh sampah. Banjir melanda daerah tersebut. Penyakit pun mewabah dengan cepat. Pemerintah disalahkan oleh masyarakat. Dicap tidak becus mengurusi kebersihan wilayah. Pemerintah menyerang balik. Masyarakat disalahkan atas kebiasannya membuang sampah seenaknya. Dan seterusnya, dan seterusnya….

Coba Anda cari tahu berapa jumlah penduduk di Jakarta saja. Dan kalikan dengan jumlah rata-rata produksi sampah yang dihasilkan per orang per hari. Maka Anda akan mendapatkan jumlah sampah yang pengalinya berukuran ton kilogram! (Dan itu salah siapa?.) Itu yang terjadi di Jakarta sampai sekarang. Dan saya tidak bermaksud untuk mencari kambing hitam. Sekarang, bagaimana dengan Kota Kembang? Tanda-tanda menuju ke arah sana sudah terlihat. Apalagi tanda itu dikuatkan oleh peristiwa di Leuwigajah bulan lalu. (Sungguh, lho, saya gak tau kalau ada tempat yang namanya Leuwigajah sebelum terjadi peristiwa longsornya TPA Leuwigajah!).

Memang ini bukan masalah di beberapa tempat saja. Secara umum, kesadaran masyarakat Indonesia akan lingkungan masih rendah (kalau mengambil rata-rata, yang sudah sadar lingkungan akan merasa dirugikan karena disama-ratakan, hehehe…). Alasannya kadang-kadang agak klise: “Bagaimana mau mikirin sampah, mikirin perut aja udah repot!”.

Namun, “urusan perut” rasanya kurang tepat untuk dijadikan sebagai alasan bagi penyebab masalah kebersihan ini. Yang lebih tepat mungkin adalah karena terbiasanya seseorang untuk membuang sampah seenaknya kemudian kurang peduli akan akibatnya!
Setelah dirunut-runut, faktor mental (kebiasaan) sangat berperan di sini. Jadi, kalau ingin mendapat hasil yang signifikan dari permasalahan sampah, ya harus ada kerjasama dari pihak pemerintah dan masyarakat. Mungkin pemerintah bisa melakukan himbauan atau kampanye (yang serius dan berkesinambungan tentunya) tentang pentingnya menangani sampah dengan benar. Bahkan kalau mau yang lebih serius lagi, kampanye ini seharusnya ditargetkan kepada kelompok masyarakat yang berusia muda sejak dini. Supaya di masa mendatang, generasi selanjutnya sudah sadar seluruhnya akan pentingnya kebersihan.

Mulailah dari sekarang, agar kita bisa menuai hasilnya nanti. Masih saja, ketika saya menyaksikan (live dari tempat kejadian perkara) seseorang mahasiswa membuang sampah ke jalan (di kampus Ganesa 10), saya akan teringat tentang sebuah sungai di Tanjung Duren. Saya juga akan berpikir dengan sedih.” Cakep-cakep kok buang sampah sembarangan?”.

(Untuk semua yang merasa sudah saya sindir habis-maaf ya…: Kalau bukan kita, siapa lagi?)

1 comment:

ikram said...

Tong sampahnya sih memang tiga warna, tiga divisi. Tapi sampe di ujung sana, dicampur lagi sampahnya... gimana dong?

Btw, salam kenal.