Thursday, April 28, 2005

Asrama, Kucing, dan Gossssip!


Image hosted by Photobucket.com


Asrama
Aku tinggal di sebuah tempat kos di Bandung. Lokasinya di jalan Wiranta nomor 56. Biasanya sih aku menggunakan angkot Caheum-Ledeng bila hendak ke kampus. Teman-temanku sering heran, kok aku kos jauh-jauh begitu. Ah, well, alasannya panjang. Dan disini aku gak berniat membahas itu.

Jarak yang ditempuh untuk sampai ke tempat kosku lebih dekat bila dimulai dari jalan Ahmad Yani. Patokannya adalah STT Tekstil. Jalan Wiranta ada persis di seberangnya.

Kosan aku terpisah dari rumah induk. Maksudnya tidak satu pintu. Jadi seperti kontrakan gitu deh. Tempat kosku terletak di belakang rumah Pak Albert, pemilik kosan. Letaknya di sebuah gang kecil yang memanjang sejajar dengan jalan Wiranta. Di situlah aku tinggal selama dua tahun ini. Tempatnya yang nyaman membuatku enggan pindah, walau aku tinggal hanya sendiri. Di sebelah kananku dihuni oleh pria yang sama-sama mengontrak dari Pak Albert dan di sebelah kiriku ada asrama mahasiswa (pria) Tora-tora, Sulawesi Tengah.

Sekarang penghuni asrama sebelah tinggal sedikit. Aku mendapat info bahwa mahasiswa baru dari Tora-tora enggan memanfaatkan fasilitas gratis di asrama, dan memilih untuk mengontrak/kos sendiri. Wah, aku sih mau saja kalau ada asrama gratis buat mahasiswi dari Lampung…


Kucing
Di asrama sebelah ada dua ekor kucing. Dua-duanya berwarna kuning-putih, berekor panjang, dan kurus. Bedanya, yang satu ekornya mempunyai lingkaran menyerupai cincin yang jelas, satunya tidak. Lalu yang satu akrab denganku, bahkan hampir tiap hari mampir ke tempatku, yang satunya agak pemalu dan jarang keluar dari asrama.

Tadinya kucing kecil di asrama ada tiga ekor. Yang satu meninggal ketika masih berumur sebualn lebih. Aku menemukan mayatnya di depan pagar tetangga sebelah kananku. Malam sebelumnya hujan deras. Barangkali dia kedinginan dan gak bisa masuk lagi ke asrama karena belum bisa manjat dinding belakang asrama. Lantas aku menyingkirkan mayatnya itu ke tempat yang layak.

Kucing-kucing itu lahir dari seekor kucing betina yang sudah ada di asrama semenjak dia kecil. Jadi, kucing-kucing kuning itu generasi kedua dari kucing penghuni asrama. Aku mengetahui persis bagaimana sejarah kucing di asrama sebelah. Mulai dari saat belum ada kucing sama sekali, lalu satu malam yang bikin resah-karena mendengar suara kucing kecil mengeong entah darimana, kemudian ketahuan bahwa suara itu berasal dari sebelah (ada yang memungut kucing), hingga kemudian ditemukan lagi seekor kucing putih, lalu kucing putih pergi entah kemana, dan kucing yang akan menjadi induk kucing-kucing kuning akhirnya dewasa dan beranak.

Si induk kucing ini berekor panjang seperti anak-anaknya. Tapi warna bulunya itu gak jelas: Dasarnya hitam-abu dengan bercak putih-kuning kecil-kecil yang tersebar tidak merata. Persis seperti pensil warna berwarna hitam yang dicoretkan tidak merata hingga memenuhi kertas, lalu dibubuhi abu-abu, kemudian diberi aksen kuning dan putih. Jadinya warna kuning dan putih itu memenuhi bagian-bagian kertas yang tidak dipenuhi warna hitam.

Tapi anak-anaknya tidak ada satupun yang mengikuti ibunya!

Barangkali ikut bapaknya. Bapaknya itu kayaknya yang warna kuning-putih dan berekor panjang juga. Eh…, sebenarnya ada dua sih kucing yang warnanya kuning-putih yang beredar di sekitar tempat kosku. Yang satu itu yang baru aja disebutin, yang mukanya lumayan. Yang satunya lagi yang tampangnya mirip preman: Muka lebar, badan penuh bekas luka, buluk deh bulunya, dan ekornya pendek. Wallahu’alam…

Anak kucing yang meninggal itu warnanya juga gak jelas: Putih dengan sedikit kuning pucat atau kuning pucat sekali? Putih bukan, kuning juga bukan. Wallahu’alam lagi.

Aku menyebut anak kucing yang sering main denganku itu “sombong”. Kadang-kadang suka cuek sih kalo dipanggil. Awalnya bingung mau manggil dengan sebutan apa. Akhirnya kupanggil “sombong” saja karena dia menengok kalau dipanggil, hehehehehe… .

Dia mampir ke tempatku di saat aku sudah pulang ke rumah. Kalau tidak ba’da Magrib, yaaa…, ba’da Isya. Dia kuajak masuk dan kami pun bermain-main. Kubelai-belai bulunya (setelah itu aku mengibaskan seluruh pakaianku karena bulunya banyak yang rontok dan mencuci tangan). Bila kubelai, dia akan mendengkur. Bila kucing mendengkur, itu berarti dia merasa nyaman. Hal itulah yang bisa dijadikan patokan bagi kita untuk mengetahui perasaan kucing.

Kadang bila aku tidak mendapatinya menungguku di depan pintu di malam hari, ketika aku membuka pintu di pagi hari, dia akan langsung meloncat masuk. Kalau aku baru membuka pintu ketika mau berangkat ke kampus dan sedang buru-buru, aku mengatakan padanya kalau aku mau pergi. Dan kusampaikan kalau dia bisa bermain denganku malamnya.

Aku benar-benar mengatakan itu padanya. Dia mengerti kok. Gak percaya? Binatang bisa kok memahami pembicaraan manusia…

Ngomong-ngomong, dia sekarang sudah berusia "remaja".


Gosip! Gosip! Gosip!
Baru belakangan ini saja aku mengobrol dengan Teh Rina, putri ketiga dari Pak Albert. Selama ini aku memang agak jarang berinteraksi lebih jauh dengan tetangga sekitar. Mungkin karena bukan di lingkungan ITB, kali ya? Mungkin karena aku juga pergi-pagi-pulang-malam. Dan bila di kosan pun aku lebih suka di dalam.

Dari obrolan itu, Teh Rina bercerita, “Les, si X, anak asrama, pernah nanya tentang kamu.”

“Oh ya? Nanya apa?”

Nanya nama kamu. Trus saya bilang ke dia untuk kenalan. Masak tetanggaan tapi gak kenalan…”

Aku manggut-manggut.

Trus dia heran kamu itu bawa cowok ke rumah, padahal kamu kan berjilbab. Saya bilang aja kalo itu adek kamu, bukan orang lain.”

“Ooooo…,” aku menyahut.

(Adikku yang pertama bersekolah di Sekolah Menengah Farmasi Bumi Siliwangi (Bumsil) di UPI. Selama periode tertentu, dia pernah tinggal di tempat kosku. Sekarang dia bekerja sebagai asisten apoteker di Lampung. Kabar terakhir yang kudapat darinya, dia ingin kuliah sambil bekerja…)

Aku senang juga mendapat kabar itu. Senangnya karena ketika ada yang berpotensi menimbulkan gosip, ada yang menjadi perpanjangan lidahku untuk meluruskan kabar angin tentangku. Dalam hal ini Teh Rina. Dan ternyata aku tidak terlalu “tidak dikenal”.

Semenjak itu aku rutin menyambangi Teh Rina ketika dia sedang jaga warung. Misalnya ketika aku hendak membeli nasi atau sedang perlu teman mengobrol. (Pak Albert punya warung kelontong sekaligus warung nasi, tapi hanya melayani pembelian untuk dibawa pulang, tidak untuk makan di tempat. Yang bisa makan di tempat adalah penghuni kos di kosan Pak Albert. Seperti aku contohnya. Dan tetangga sebelah kananku…). Kadang-kadang juga aku ikut nonton TV bersama dia. Baru-baru ini aku pun janjian dengan Teh Rina untuk sama-sama berbelanja di Pasar Baru.

Baguslah! Ada perkembangan, pikirku. Perkembangan dari sosialisasi dengan tetangga maksudnya...

1 comment:

Anonymous said...

[url=http://www.onlinecasinos.gd]Online casinos[/url], also known as agreed casinos or Internet casinos, are online versions of old hat ("knock about and mortar") casinos. Online casinos approve gamblers to acquire business in and wager on casino games bough the Internet.
Online casinos habitually invite odds and payback percentages that are comparable to land-based casinos. Some online casinos publish on higher payback percentages as a formula into jittery chart games, and some call for upon known payout concord audits on their websites. Assuming that the online casino is using an fittingly programmed indefinitely flow crawl with generator, detail games like blackjack comprise an established distraction tabular edge. The payout execute vocation of these games are established erstwhile the rules of the game.
Uncountable online casinos expert minus or beget their software from companies like Microgaming, Realtime Gaming, Playtech, Supranational Frolic Technology and CryptoLogic Inc.