Senin, 4 April 2005. Sore itu saya baru saja mengajar privat di Gegerkalong. Hari sedang hujan, angkot yang saya tumpangi sedang terjebak macet di jalan Katamso. Mobil-mobil bergerak dengan pelan bagai merayap.
Hujan makin deras saja. Tapi saya sudah menyiapkan payung dan jaket. Jaket sudah saya kenakan, payung sudah di tangan. Tinggal menunggu angkot mendekati pertigaan Katamso-Cikaso. Sambil menunggu, saya menyerahkan ongkos saya dan supir memberikan kembaliannya. Angkot itu masih merayap. Tak lama, hup…, saya turun dari angkot sembari mengembangkan payung saya.
Saya sudah berniat untuk menikmati hujan. Maksudnya berjalan dengan tenang di tengah-tengah hujan, tanpa harus terburu-buru oleh suatu pekerjaan atau janji temu. Sore itu saya merasa sangat santai. Dan saya pun memulai perjalanan saya menuju kos di bawah hujan.
Bandung saat ini sedang memasuki musim pancaroba. Namun hujan terus-menerus mengguyur kota. Walau pagi cerah, di siang atau sore harinya mesti hujan. Tapi justru saya senang. Sangat senang.
Entah mengapa, saya senang pada hujan. Hujan yang saya maksudkan di sini tidak termasuk hujan yang disertai badai. Hujan yang biasa saja, seperti yang biasa terjadi di Bandung selama ini. Barangkali karena suasana khas yang menyertai hujanlah saya senang pada hujan. Suasana yang sejuk, “ramah”, tenang, langit menjadi redup dan seterusnya, membuat saya terhanyut dan kadang tak ingin hujan berhenti.
Saya menyusuri pinggiran jalan di sisi yang ada toko-tokonya. Saya melewati bengkel, warnet, toko perlengkapan ABRI, warung kelontong, café, dan lain-lain. Payung agak disisihkan karena saya berjalan di bawah teras toko-toko itu. Baru kemudian saya berjalan di pinggir jalan setelah deretran toko itu habis. Di ujung deretan itu terdapat bengkel motor, tempat reparasi alat elektronik, dan toko pembuatan kerangka besi untuk berbagai keperluan, yang tidak punya teras untuk berlindung. Maka saya pun menggunakan payung saya kembali. Di penghabisan deretan, terdapat jalan Pramuka Raya. Saya berbelok ke situ.
Tas ransel yang saya gantungkan di dada dalam posisi yang nyaman sekarang, setelah saya perbaiki beberapa kali agar tidak membuat saya susah bernapas. Saya melewati jembatan, lalu saya mendapati komplek tempat penjualan tanaman. Saya memandangi tanaman-tanaman yang berjejer di tempat penjualan secara sekilas. Mencoba mencari-cari mawar. Kalau ada, barangkali saya akan membelinya, barangkali tidak. Namun ternyata tidak saya dapati. Saya pun berlalu. Di perempatan, saya berbelok, mengambil jalan pertama di kanan. Dari awal jalan ini, saya mengingat-ingat peristiwa yang saya alami hari ini dan mulai memikirkan kenapa saya suka hujan.
Saya pernah tinggal di empat kota yang cuacanya tidak sesejuk di Bandung: Bandar Lampung, Jakarta, Semarang, dan Bekasi. Pembandingnya adalah di kala siang hari. Udara di Bandung tidak akan membuat saya berkeringat seperti di empat kota tadi. Bahkan saya merasa nyaman. Di Jakarta, bahkan pagi hari pun saya merasa gerah (saya mengalaminya ketika sedang mudik ke sana; orang tua saya sekarang saya berdomisili di sana ). Dan, pyur…, kaki saya terbenam dalam genangan air. Karena terlalu asyik memperhatikan suasana di sekeliling saya sambil merenunginya, saya tidak memperhatikan jalan yang saya lalui. Ini pun sudah yang kesekian kalinya. Jadi saya tidak mempermasalahkannya.
Fenomena di kala hujan kadang membuat saya terdiam dan merenung. Saya sudah sering memperhatikannya. Namun entah apakah semua orang pernah menyadarinya betul-betul, saya tidak tahu. Ketika hujan tiba, jalanan menjadi lebih sepi dari orang yang berlalu-lalang di jalan. Yang bermotor menepi di tempat yang teduh. Hingar-bingar percakapan tidak terdengar, digantikan oleh suara tetesan hujan. Yang ada hanya jalanan yang lengang dan tetesan hujan. Semua mahluk seakan menyingkir dengan sukarela maupun terpaksa, mempersilakan sang hujan untuk lewat. Persis seperti yang sedang saya alami.
Padahal, hujan hanya terdiri dari kumpulan air bukan? Namun manusia tampak berupaya sekuat tenaga “melindungi diri” dari terpaan hujan ini. Ternyata dalam hujan terdapat kekuatan yang tidak bias diremehkan oleh manusia. Ah……., manusia lagi-lagi menunjukkan kelemahan dan kekerdilannya dibandingkan dengan mahluk Allah yang lain. Hanya oleh sekumpulan hujan kita menyingkir. Termasuk saya. Saya tidak akan bisa menikmati hujan kali ini bila saya tidak membungkus badan saya dengan jaket tebal untuk menahan dingin dan payung untuk menahan tetesan hujan. Betapa manusia tidak bisa sombong bila dihadapkan dengan kenyataan ini. Namun memang tidak semua orang mau mengakui kelemahan manusia yang satu ini.
Tanpa saya sadari saya sudah sampai pada jalan Wiranta, jalan tempat kosan saya berada. Saya berbelok ke kiri untuk mempersingkat jarak tempuh menuju kosan, melewati mesjid. Dan pada saat itu, di depan gerbang mesjid terdapat sekelompok pria yang nampaknya baru saja selesai menunaikan solat Asar. Mereka memblokir jalanan yang tidak terlalu lebar tersebut. Mereka memperhatikan saya. Karena merasa diperhatikan, saya segera merendahkan payung saya untuk menutupi wajah saya. Dan langkah saya pun diperlambat, menunggu mereka berjalan. Dari balik payung saya, saya menyaksikan betis-betis pria yang terlihat karena pemiliknya mengangkat sarungnya tinggi-tinggi, agar tidak basah terkena air hujan. Saya tersenyum simpul. Bukan karena bahagia! Namun lebih dikarenakan pemandangan itu saya anggap lucu. Apalagi ada yang menaikkan sarungnya hingga ke paha. Tapi saya bukan dengan sengaja memelototi orang itu. Saat itu dia sedang masuk ke rumahnya yang memang tidak jauh dari mesjid.
Masih banyak yang berjalan di depan saya, namun mereka kemudian berbelok ke kiri, ke sebuah gang. Saya kembali sendiri di jalan itu. Tak lama saya sampai di depan pintu kosan saya. Saya mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Kemudian saya masuk dan mengucapkan selamat tinggal pada hujan di luar, untuk kembali ke lubang perlindungan saya yang nyaman.
No comments:
Post a Comment