Wednesday, April 27, 2005

Mom: In Memoriam


Image hosted by Photobucket.com


Semalam, aku tiba-tiba ingat Mama. Dan aku ingat kalau sekarang adalah bulan April. Pikiranku pun melayang pada hari Ibu, lima tahun yang lalu…


Jum’at, 20 Desember 2000. Mothers’ Day. Aku ditinggalkan oleh Mama untuk selama-lamanya. Aku tidak berada di sampingnya saat malaikat mencabut ruhnya. Adik perempuanku yang menyaksikannya. Hanya beberapa menit selepas azan Subuh. Setelah sebelumnya Mama tampak memandangi satu titik di langit-langit kamar rumah sakit. (Bibiku mengatakan bahwa mungkin saja saat itu Mama sedang menyaksikan film tentang seluruh kehidupan yang telah dijalaninya di dunia). Aku tidur di rumah malam itu. Dan aku baru mengetahui jam tujuh pagi.

Ya, hanya delapan bulan semenjak Mama pulang dari poliklinik sambil menangis hebat. Dan itu terjadi di bulan April. Kala itu kami, anak-anaknya, tidak mengerti apa yang terjadi. Yang kami tahu Mama hanya menangis. Lalu kemudian menelpon Papa yang sedang bekerja. Malam harinya baru kami ketahui bahwa Mama mengidap kanker mulut rahim.

Semenjak itu, konsultasi dengan dokter spesialis, kemoterapi, melakukan perjalanan pulang-pergi ke RSCM, berjalan di lorong RSCM Jakarta, menebus obat, menjadi bagian dari keseharian kami. Aku kembali terkenang pada masa-masa itu ketika aku berjalan di lorong RSHS Bandung. Dan ari mata pun menitik. Tidak ada yang dapat menandingi memori itu.

Dua hari sebelum wafatnya Mama, Mama memaksa untuk dipulangkan. Para suster tidak mengizinkan. Kondisi Mama bertambah parah. Kanker di rahim yang hanya stadium I sudah berhasil diangkat. Namun belakangan ketahuan bahwa kanker itu sudah menjalar hingga ke kaki (bahkan sudah stadium IV! Riwayat perawatan Mama pun disimpan oleh professor bagian kanker, karena kanker Mama termasuk yang baru jenisnya…). Tapi Mama orang yang keras hati. Maka dengan berat hati Mama diperbolehkan pulang. Bahkan Papa pun tidak diberi tahu (yang kemudian beliau sangat marah karenanya). Papa sedang bekerja saat itu.

Kami pulang ke Bekasi menggunakan taksi. Sopir taksi yang kami stop tampak enggan untuk mengangkut kami awalnya. Kondisi Mama sangat payah dan tampaknya menyulitkan bagi si sopir. Saat sampai di rumah pun kami tidak bisa langsung masuk karena kuncinya tidak ditinggalkan Papa di rumah. Karena kebaikan hati tetangga depan rumah, Bibi dan Mama bisa menunggu tanpa harus kepanasan di depan rumah.

Lantas esoknya Mama ingin kembali ke rumah sakit lagi. Tentu saja itu membuat hati Papa jeri. Apalagi para suster yang berada di paviliun bagian kanker. Dan keesokan paginya Mama meninggalkan dunia selama-lamanya.

Barangkali Mama ingin melihat rumah untuk yang terakhir kalinya...



Aku sayang pada Mama, terlepas dari semua kekurangannya. Sungguh, aku kehilangan Mama di saat aku belum memahami benar keadaanku. Dan itu yang menyebabkanku merasa belum mengenal Mama dengan baik.

Yang lekat di dalam ingatanku hanyalah Mama yang keras. Dan itu yang menjadi penyebab dari kurang dekatnya aku dengannya semasa aku remaja. Namun dibandingkan Papa, aku masih lebih dekat dengan Mama. Aku mengumpamakannya dengan tokoh wanita dalam novel Sidney Sheldon, Ratu Berlian. Gambaran Mamaku kurang lebih seperti itu. Namun bila kugali lebih dalam, banyak aspek dari Mama yang ternyata luput dari perhatianku selama beliau masih ada.

Aku mengabaikan fakta bahwa Mama sangat menyayangi anak-anaknya dengan caranya sendiri. Mama pun sebenarnya punya kelembutan hati. Aku teringat saat aku hendak mengikuti lomba baris-berbaris di Bandung. Aku harus berangkat jam empat pagi. Dan Mama mengizinkan aku pergi walau sebelumnya sangat menentang kegiatanku selama latihan (soalnya aku pulang malam terus). Lalu aku teringat lagi ketika aku bangun jam dua malam karena mau belajar untuk ujian di pagi harinya. Mama pun keluar kamar dan menanyakan keadaanku, menemani diriku sejenak.

Dulu perhatian seperti itu rasanya biasa saja. Namun kini kusadari kalau perhatian seperti itu sungguh berarti....

Aku senantiasa berdoa seperti ini pada Allah bila aku ingat Mama: Aku berharap agar semua penderitaan di akhir hayatnya menjadi penggugur dosa-dosanya., Allah melapangkan serta menerangi kuburnya, dan memeberikan tempat terbaik di sisiNya.
Aku sempat terpikir untuk menelusuri masa lalu orangtuaku, bagaimana mereka bertemu, bagaimana kehidupan mereka ketika kami masih kecil-kecil, dan perjalanan usah mereka. Dan saat aku ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan teman baikku, aku mendapat potongan sejarah itu.

Rumah Bibiku (kami, keponakannya, memanggil beliau Bu Dara) baru saja direnovasi. Barang-barang (terutama buku-buku) sedang ditata-ulang. Gudang pun sedang ditata-ulang. Bu Dara memintaku untuk memilah-milah mana barang-barang yang tidak terpakai lagi. Di tengah barang-barang itu, kutemukan surat-surat berharga dari aset yang pernah dimiliki orangtuaku. Aku menekuri semuanya. Walau hanya surat-surat bank dan lain-lain, benda-benda itu sangat berharga buatku. “Biar kamu tahu sejarah orangtua kamu, Les. Simpan ya…” komentar Bu Dara.

Yang kemudian terngiang dalam kepalaku adalah lagi Kasih Ibu.


I love you Mom…

No comments: