Bila Anda pernah mengunjungi Bandung Indah Plaza, Anda tentu akan mendapati pemandangan berikut: Ada seorang anak kecil yang berbaring di pinggir jalan, di sebelah pintu masuk BIP untuk kendaraan bermotor. Pakaiannya kumal, badannya sangat kotor, dan di depan pembaringannya terdapat kaleng berisi uang recehan. Di setiap waktu, orang akan mendapati dia menangis dengan keras, meminta perhatian. Entah ada di mana orangtuanya. Sungguh suatu pemandangan yang memilukan bagi pejalan kaki di sekitarnya. Karena itulah keping demi keping mengalir masuk ke dalam kalengnya. Kemudian di satu waktu pada hari itu, dia akan pindah ke sisi lain dari BIP, yaitu ke pinggir pintu masuk utama dari BIP. Dan dia pun melanjutkan aksi yang serupa dengan di tempat sebelumnya.
Pengemis anak-anak sudah menjadi pemandangan yang lumrah di tempat-tempat keramaian di pusat kota. Jumlah mereka meningkat seiring dengan pertambahan jumlah pengangguran di kota Bandung. Anak-anak ini telah dijadikan alat untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka atau yang mengurus mereka. Konsekuensinya, masa kecil mereka diisi dengan kehidupan jalanan yang keras dan kadang kejam bagi seorang anak kecil. Semua itu demi memproleh penghidupan yang lebih baik, yang saat ini juga dirasakan oleh mayoritas penduduk negeri ini. Saya dan teman-teman pernah berusaha untuk menelusuri keseharian mereka. Tidak dipungkiri bahwa masyarakat kadang bersikap skeptis terhadap mereka. Mengapa? Salah satu alasannya adalah fakta bahwa pengemis di kota besar bisa memiliki rumah mewah di kampungnya, hanya dari mengemis. Namun apakah semua pengemis begitu? Bagaimanakah kehidupan mereka selama menjadi pengemis? Apakah benar-benar seburuk penampilan mereka? Siapakah yang telah memanfaatkan mereka sebagai alat pencari uang?
Kegiatan para pengemis anak-anak dimulai di pagi hari, jauh sebelum Ujang menggelar dagangannya, dan berakhir di malam hari, jauh setelah Ujang pulang ke rumah. Ujang adalah salah satu pedagang rokok yang mangkal di depan BIP. Dia datang jam sembilan pagi, di saat pusat perbelanjaan baru buka. Ujang tidak tahu kapan pengemis-pengemis itu datang. Yang jelas, para pengemis tersebut sudah berada di “pos”-nya masing-masing setiap pagi.
Salah satu dari pengemis anak-anak itu bernama Nur. Nur adalah seorang siswa kelas dua sekolah dasar yang berlokasi di Sukajadi, di dekat kontrakan yang menjadi tempat tinggalnya. Bapaknya adalah buruh serabutan, sementara ibunya berjualan. Dia tidak menyebutkan lebih jauh tentang keluarganya. Setiap hari, seusai sekolah, Nur diantar Ibunya ke BIP. Bila dari sekolah penampilan Nur tidak ubahnya seorang siswa sekolah dasar, maka ketika sudah sampai di BIP Nur bukanlah lagi siswa SD. Ibunya sudah mempersiapkan pakaian “dinas” bagi putrinya: Kumal, tidak pernah dicuci, dan membuat penampilan Nur sebagai pengemis anak-anak sangat meyakinkan. Setelah berganti baju, Nur mulai beroperasi di sekitar BIP. Setelah pekerjaannya selesai, dia pun dijemput kembali oleh ibunya. Penghasilannya? “Kalo lagi rame mah bisa dapet lima puluh ribu, Teh”, akunya.
Ada lagi anak yang bernama Udin. Bersama adiknya yang bernama Ncep, Udin menjadi pengemis juga atas suruhan orangtuanya. Orangtuanya tidak bekerja lagi. Oleh karena itu mereka menggantungkan penghasilannya pada Udin dan Ncep. Hal yang sama juga dialami oleh Siti, Dina, Sotar, Bambang, Ijal, Deni, dan masih banyak lagi anak-anak lain. Karena sulitnya mencari pekerjaan dan mengetahui bahwa penghasilan yang didapat dari mengemis lumayan, maka menjamurlah praktek-praktek eksploitasi anak oleh orangtua mereka sendiri. Khususnya di BIP.
Ketika diwawancarai, para pengemis itu menjawab dengan kejujuran dan kepolosan khas anak-anak. Dengan terus terang mereka menceritakan keadaan mereka sehari-hari ketika mengemis. Dan itu wawancara bukannya tanpa hambatan. Contohnya ketika mewawancarai Udin dan Ncep. Entah darimana datangnya, seorang Ibu dengan raut wajah tidak senang mendatangi salah satu teman kami. Agar kegiatan wawancara tidak terganggu, salah seorang dari wartawan mengajak Ibu tersebut untuk mengobrol. Dari pembicaraan diketahui bahwa Ibu itu adalah orangtua dari Udin dan Ncep. Dia curiga melihat ada orang asing yang mendekati anak-anaknya. Khawatir pekerjaan anak-anaknya terganggu. Namun akhirnya Ibu tersebut menunjukkan sikap respek saat mengetahui niat baik dari kami. Ibu tersebut kemudian malah menceritakan kondisi para pengemis di situ.
Pengemis yang berada di sekitar BIP rata-rata bertempat tinggal di Ciumbeuleuit-Cihampelas dan Sukajadi. Kedua area ini merupakan tempat yang banyak dihuni oleh komunitas pengemis. Pengemis-pengemis tersebut berkelompok berdasarkan asal daerah. Ada kelompok yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan ada kelompok yang memang merupakan penduduk Bandung. Ibu ini berasal dari Jawa Tengah dan bertempat-tinggal di Sukajadi.
Sementara itu, dari para pengemis diperoleh fakta-fakta yang lebih dalam. Mereka, seperti umumnya anak-anak yang hidup di jalanan, mempunyai perilaku yang kasar. Namun mereka masih menunjukkan sikap hormat ketika diwawancarai. Wajar saja mereka bisa berperilaku begitu karena mereka dikelilingi oleh komunitas “hitam”: Preman, gerombolan pengamen biasa maupun punk, dan geng-geng jalanan yang tidak kasat mata karena berbaur dengan pengunjung BIP yang memang memenuhi pinggir jalan. Pedagang rokok seperti Ujang mengeluhkan kenakalan para pengemis itu. Mereka sering memaksa agar diberikan permen. Namun akhirnya mereka mencuri dari Ujang. Sekedar sebutir-dua butir permen memang. Ujung-ujungnya dibiarkan juga karena Ujang tidak mau berurusan lebih jauh dengan orangtua mereka. Soalnya orangtua mereka juga kadang meminta rokok tanpa membayar. Ujang hanya mau memberi yang harganya murah. Kalaupun meminta yang harganya mahal, Ujang memberi potongan harga.
Yang lebih mengenaskan lagi, pelecehan seksual merupakan makanan sehari-hari bagi sebagian dari para pengemis anak-anak itu. Pengemis anak-anak memang sangat mudah untuk mendapat perlakuan tidak senonoh dari orang yang lebih dewasa. Pertama karena kelamnya kehidupan mereka. Yang kedua karena mereka sendiri tidak terlalu mengerti apa yang terjadi dengan diri mereka. Usia mereka yang rata-rata masih dalam usia sekolah dasar tidak memungkinkan mereka untuk memahami lebih jauh. Yang mereka pahami adalah bahwa mereka mendapat uang dari “jasa” yang mereka berikan. Walaupun jumlahnya tidak sebanding dengan apa yang mereka korbankan.
Contohnya adalah pengemis anak-anak perempuan. Beberapa dari mereka tinggal diajak oleh seseorang, kemudian mereka dibayar seribu rupiah. Masih belum diketahui dimana tempat “aktivitas” itu biasa berlangsung. Contoh yang lainnya adalah ketika Udin menunjuk teman laki-laki di sebelahnya. Udin mengatakan bahwa temannya itu sudah biasa disodomi oleh pengamen punk yang ada di perempatan jalan Riau-Merdeka, tak jauh dari BIP. “Dia mah dibayar juga mau, Teh”, tuturnya pada kami.
Uang yang bisa diberikan untuk para pengemis tersebut sudah tidak bersisa lagi. Tidak bisa tidak, wawancara harus diakhiri. Satu hari yang diisi bersama para pengemis anak-anak di BIP pun masih menyisakan banyak pertanyaan: Apakah mereka pernah berpikir untuk protes atas eksploitasi terhadap diri mereka? Atau justru mereka tidak berpikir tentang itu dan menikmati kehidupan mereka? Tidak adakah tindakan dari pihak yang berwenang di kota ini terhadap mereka? Apakah penghasilan dari mengemis benar-benar mencukupi kebutuhan mereka? Sungguh, satu hari bersama Nur dan teman-temannya tidak cukup untuk menjawab semua itu…
No comments:
Post a Comment