Wednesday, October 18, 2006

Idealisme versus Realita

Siang ini, persis sebelum saya menuliskan ini, saya berbicara dengan salah satu sahabat saya di Matematika ITB. Dia biasa dipanggil Acung. Nama aslinya sih Rangga Ganzar. Tapi karena rambutnya tegak ('rancung' dalam bahasa sundanya), maka jadilah dia dipanggil Acung. Kami terlibat pembicaraan mengenai tawaran yang diberikan salah satu dosen Aljabar pada Acung untuk kuliah di Nanyang, Singapura. Sebelumnya dia bertanya pada saya apakah dia sebaiknya menerima tawaran itu atau tidak. Saya sih menyarankan dia untuk menerima saja tawaran S2 itu. Ketika saya tanya, dia bilang dia sudah menerima tawaran itu.

Dalam pembicaraan sebelumnya, saya sempat memberi saran--meski setengah bercanda tetap saja serius isinya--agar dia kembali ke Indonesia setelah lulus. Yah, dia itu pintar, jadi saya berharap dengan kesederhanaannya dia bisa menjadi orang yang mempercerah masa depan Indonesia. Tapi kemudian dia menolak mentah-mentah. Dia menceritakan alasannya.

Sekitar bulan Juni dia ikut International Mathematical Chalenge 2006 di Ukraina. Rombongan dari Indonesia sempat mampir di Turki dan ke Istambul. Mereka juga sempat mengunjungi The Blue Mosque yang terkenal itu. Ketika Acung mau menyempatkan solat di dalamnya, tiba-tiba ketua rombongan, pejabat dari Diknas, meminta rombongan untuk pulang ke hotel. Usut punya usut, ternyata Bapak itu kehabisan baterai kamera dijitalnya. Jadi dia mau mengambil ke hotel. Acung kecewa lantaran Bapak itu memikirkan kepentingan pribadinya aja.

"Tau gak Les, dia itu gak lebih dari tukang bawa duit aja. Dia gak berharga apa-apa selain itu. Bayangin, bahasa inggris aja gak bisa. Jadi kerjaan dia di sana itu cuma jalan-jalan aja. Acung baru tau kalo pejabat-pejabat di departemen Pendidikan itu begitu."

Yah, saya tau dia baru saja kecewa berat. Saya juga tau kalau ini adalah pengalaman pertamanya. Dia masih shock. Karena itulah saya menyarankan dia untuk kembali ke Indonesia setelah kuliah di luar negeri. Saya tau betul potensi dia, makanya saya merasa sangat sayang kalau dia tidak memberikannya untuk perbaikan negara ini.

Pun ketika siang ini dia kembali menegaskan kalau dia tidak akan kembali ke Indonesia--lebih baik tetap di luar negeri dan mencari orang luar (menikahi, maksudnya) yang muslim--saya tetap menyemangatinya. Terbersit kekecewaan yang dalam dalam hati saya karena sikap dia itu. Saya tidak menyalahkannya. Realita yang ada di negara ini terlalu menyakitkan bagi orang-orang seperti Acung yang dibesarkan dalam tatanan nilai-nilai yang tinggi. Bahkan ketika saya menyodorkan buku Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir?, dia tetap saja kukuh dengan pendiriannya untuk tinggal di luar negeri.

...
Keberhasilan-keberhasilan Asia menunjukkan kalau Asia punya 'pool of talent' yang paling besar dan berpotensi untuk berbagi dengan dunia. Seolah-olah, kenyataan ini adalah kekalahan bagi Asia. Kebanyakan mereka tidak mau pulang ke negaranya. Keajaiban ekonomi Taiwan terjadi karena turut dibantu mahasiswa-mahasiswa yang kembali pulang. Pertumbuhan industri software komputer yang meledak di India juga telah dibantu oleh 'brain drain' yang balik ke kandang....

Ah, kalau saya mengalami keterkejutan serupa dengan Acung baru di saat saya kuliah sekarang, barangkali saya juga akan bersikap demikian. Tapi jalan hidup saya telah membawa saya ke sebuah sikap dengan kadar pragmatis yang cukup untuk membuat saya bersemangat membantu perubahan negeri ini. Saya sudah lama sadar kalau saya hanya melarikan diri dari kenyataan ini (dengan mengomel, kabur ke luar negeri, atau mengasingkan diri), tidak akan banyak yang berubah. Saya sadar kalau satu hal kecil sangat berarti. Pepatah 'sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit' begitu benar untuk keadaan negara ini. Semangat perbaikanlah yang harus ditumbuhkan dalam diri-diri generasi muda Indonesia. Karena bagaimanapun, Indonesia sepuluh, dua puluh, tiga puluh tahun lagi adalah Indonesia yang dibangun oleh tangan-tangan kita sekarang. Kita akan memberi Indonesia seperti apa untuk anak-anak kita kalau kita sendiri cuek bebek dari sekarang? Yang saya pikirkan sih bukan diri saya, tapi anak-anak saya nanti. Saya sih ingin yang terbaik bagi anak-anak saya.

Haaaah, belakangan ini isu perbaikan bangsa ini sedang berputar-putar di sekitar saya. Mau tidak mau saya memperhatikannya. Mungkin perhatian saya juga didorong oleh faktor umur saya yang memang sudah bisa menikah dan sedang sering memikirkan bagaimana menjadi ibu.

Mengenai teman saya tadi, saya hanya bisa berharap agar Tuhan membimbing dia untuk menjalani jalan yang terbaik. Amin.


2 comments:

Yuti Ariani said...

Oi Les, mulai dari diri sendiri aja. Toh, jadi orang Indon yang tinggal di LN juga bisa mengharumkan nama Indonesia. Dan saya pikir, semua orang punya potensi untuk memajukan Indon, entah itu besar atau kecil.

Peduli, dan kemudian berbakti, tapi bentuknya bisa beda-beda.

Itung2 jadi sumber devisa kalau kerja di LN, kaya para TKW, ya... kalau Acung tentu aja TKI I-nya refer to intelek

Anonymous said...

...selamat datang di dunia nyata =)

tapi masih ada orang-orang hebat yang kembali ke kampus, dan mencoba mengembangkan bangsa.

saya melihat ada orang-orang hebat di kampus, dan menurut saya adalah hal yang hebat bahwa ada orang-orang hebat seperti itu di sini.

orang-orang dengan Prof, PhD., minimal MSc, dan levelnya sudah internasional di bidangnya, tapi tetap di kampus. dan mengajar orang-orang biasa-biasa-saja seperti saya =)

orang-orang yang lebih memilih mengajar daripada mengerjakan proyek yang nilainya berlipat gaji (euh... kadang2 ada, sih, sambil ngajar). ada juga yang mengerjakan riset dan proyek untuk membiayai subsidi agar SPP tidak mahal2 amat buat mahasiswa reguler.

kesimpulannya? di dunia ini ada orang-orang baik. ada juga orang-orang 'tidak berguna'. biasakan saja =)