Tuesday, April 04, 2006

Sebesar Apa Cita-citamu, Kawan?

Sebesar apa cita-citamu, Kawan?

Ada temanku yang bercita-cita untuk menjadi penulis terkenal. Ada yang bercita-cita untuk bisa berkeliling dunia. Ada yang ingin menjadi ahli Biologi yang mumpuni. Ada yang berharap agar bisa pergi ke Inggris dan menonton MU di Menchester. Kemudian salah seorang temanku bercerita kalau ibunya masih bercita-cita untuk meraih Nobel. Bagiku, mereka punya cita-cita yang luar biasa.

Bagaimana dengan cita-citamu sendiri, Kawan?

Aku yakin cita-citamu juga tinggi. Barangkali engkau bercita-cita untuk menjadi aktris atau aktor yang aktingnya mampu memukau penonton dan dipuja oleh jutaan penggemar. Atau mungkin engkau ingin menjadi pemimpin besar yang dihormati rakyatnya. Mungkin engkau ingin menjadi penegak hukum dan mampu menebarkan keadilan ke segala penjuru bumi. Atau kau ingin menjadi pemain sepakbola tangguh seperti David Beckham? Atau barangkali kau berharap bisa mengalahkan Valentino Rossi di sirkuit balap suatu hari nanti?

Apapun cita-citamu, kejarlah Kawan. Jangan pernah menyerah pada halangan atau rintangan yang menghampiri langkahmu. Ingatlah, Kawan, pemenang adalah orang yang mampu berdiri di saat dia tidak mampu.

Cita-citaku? Engkau barusan berkata kalau kau ingin tahu cita-citaku? Ah, cita-citaku tidak sebesar engkau, Kawan. Cita-citaku sederhana. Aku tidak berharap bisa menjadi orang terkenal dan kaya raya. Aku tidak bermimpi untuk menjadi pemimpin bijaksana yang mampu mengatur negara. Aku tidak berkeinginan untuk menjadi orang karismatik yang menjadi inspirasi bagi jutaan penggemarnya. Akupun tidak sanggup untuk membayangkan akan mendapat hadiah Nobel. Bahkan untuk bermimpi meraih juara di perlombaan olahraga daerah saja tidak, apalagi memperoleh medali emas di Olimpiade.

Tidak, Kawan. Aku tidak mampu bercita-cita seperti kalian. Aku menyadari keterbatasanku. Aku tidak sehebat kalian. Jadi, aku hanya bercita-cita untuk bisa membangun keluarga yang bahagia serta dapat memberi perlindungan bagi anak-anakku nanti. Hanya itu, Kawan. Hanya itu.

Aku tidak berharap nanti aku bertemu dengan orang yang sempurna. Asalkan kami sempurna satu sama lain, itu sudah cukup bagiku. Dalam komitmen dan cinta yang kuat, aku ingin kami merasakan yang lain rasakan. Aku berharap kami bisa saling mengisi hari-hari yang tidak bisa diduga isinya, saling menghibur di kala duka, turut bahagia bila suka. Aku pun berharap kami bisa menjadi partner yang saling membantu bila yang lain mengalami kesulitan. Bersama-sama, kami mengarungi kehidupan yang bagaikan samudra dalam dan ganas ini.

Kemudian aku ingin agar aku mampu menjadi orangtua yang baik bagi anak-anakku. Orangtua yang melindungi selagi mereka lemah, yang menuntunnya kala mereka belajar untuk berjalan di dunia ini, membantunya berdiri ketika mereka tersandung, melepasnya ketika mereka harus terbang tinggi di langit—yang artinya mereka mesti meninggalkanku, dan mendoakan mereka di manapun mereka hinggap.

Aku ingin hadir di sisi mereka di setiap ‘saat pertama’ mereka. Yaitu saat mereka membuka mata pertama kalinya, saat mereka menjeritkan tangis pertama mereka, saat mereka bisa berdiri pertama kalinya, saat mereka memasuki sekolah pertama kalinya, saat mereka meraih piala lomba lari pertamanya, saat mereka membuat karya tulis pertamanya, saat mereka merasakan cinta pertamanya, saat mereka memutuskan untuk mengejar impiannya, dan saat mereka memulai hidup barunya. Aku ingin menyaksikan tiap momen pertumbuhan mereka.

Aku pun ingin menjadi teman bagi mereka, mendengarkan keluhannya, merasakan pedihnya luka mereka, menyemangatinya ketika mereka lemah, membantu kesulitan-kesulitannya, dan menghiburnya kala mereka gundah. Aku tidak ingin mereka merasakan yang pernah kualami. Cukup aku saja yang merasakan sakitnya diabaikan, sendirian tanpa dukungan, dan remuk karena tanpa perlindungan. Aku ingin memberi yang terbaik untuk mereka, Kawan. Aku ingin mereka menjadi manusia yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan. Aku tidak ingin mereka hidup dalam kebencian dan kemarahan. Aku ingin mereka bahagia.

Tidak ada yang bisa membuatku bahagia selain tawa dan kebahagiaan mereka. Tiada yang lebih membuatku pilu daripada tangis dan lara mereka. Tidak ada yang membuatku bangga daripada keberhasilan dan kehormatan mereka. Tiada yang dapat membuatku lebih terpuruk daripada kejatuhan dan kegagalan mereka. Kutumpukan semua harapku pada mereka. Mereka luka, akupun luka. Mereka terbang, akupun terbang. Mereka menangis, tangisku lebih hebat. Merekalah belahan jiwaku, Kawan.

Ada saatnya mereka akan pergi ke seberang lautan, terpisah dari diri dan hatiku. Hal itu tidak dapat dicegah, Kawan. Saat itu pasti akan tiba. Aku tentu akan berada dalam kesepian saat itu terjadi. Kalau aku mau egois, aku bisa saja mengikat mereka agar mereka tidak pergi kemana-mana. Tapi, ah..., bukankah aku yang lebih dulu hadir di dunia ini seharusnya mengerti kalau ada saatnya mereka harus pergi? Bukankah itu memang mesti terjadi? Bukankah dulu pun aku telah dilepas dengan rela oleh orangtuaku? Pada saatnya nanti, mereka akan kembali ke dalam pelukanku. Kalaupun mereka tidak kembali, aku tetap akan mendoakan yang terbaik bagi mereka. Tetap yang terbaik untuk mereka, Kawan.

...

Sebesar apa cita-citamu, Kawan?

Apapun cita-citamu, Kawan, janganlah ragu untuk menggantungkannya setinggi langit dan bintang. Aku yakin, cita-citamu besar dan mulia. Jadi janganlah berkecil hati, apapun cita-citamu.

Cita-citaku? Yakinlah, Kawan, cita-citaku sederhana. Aku hanya ingin membangun keluarga yang tidak akan terlupakan oleh anak-anakku. Hanya itu. Sederhana, bukan?


No comments: