Saya sedang iri pada orang lain. Tapi irinya gak termasuk dengki. Iri yang saya rasakan adalah tipe yang membuat diri kita jadi terpacu untuk mendapatkan hal serupa tapi dengan usaha yang baik. Apa ya sebutan rasa iri seperti itu? Wah, sudah deh, ntar gak jadi ngobrolin tentang masalahnya kalo membahas ‘iri’ saja.
Saya iri pada dua pasangan suami-istri, Asma Nadia-Isa dan Helvy Tiana Rosa-Tomi. Bukan kebetulan kalau saya iri pada dua keluarga Asma dan HTR yang notabene kakak-beradik. Saya sudah membaca kumpulan tulisan Asma (Rumahku Surgaku) dan HTR (Risalah Cinta) tentang keluarga mereka. Karena mereka mendokumentasikan kehidupan mereka, saya jadi kenal mereka lebih dekat. Jadi saya wajar kalau saya ngiri pada mereka. Tulisan-tulisan itu merupakan catatan dari kehidupan dan perasaan nyata yang mereka alami sendiri, jadi keirian saya tidaklah pada sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keberadaannya.
Apa sih tepatnya yang membuat saya iri? Saya iri pada bagaimana mereka menjalani hidup mereka dalam keluarga. Mulai dari pemikiran, perasaan, interaksi terhadap pasangan masing-masing, hingga bagaimana mereka membesarkan buah hati. Kehidupan rumah-tangga yang mereka jalani menjadi inspirasi dan model untuk saya.
Kalau ditanya apakah saya baru menemukan model rumah tangga yang ideal—lantaran saya iri pada mereka—saya akan menjawab ‘tidak’. Saya bukannya baru tahu model keluarga yang saya harapkan. Semenjak saya SMA, sejak saya sudah lebih komperehensif dalam memandang multi-peran yang disandang diri, saya sudah menyusun potongan-potongan gambaran keluarga seperti apa yang hendak saya bangun. Gampangnya, dari dulu ‘kutahu yang kumau’. Dengan adanya catatan dari pasangan Asma-Isa, HTR-Tomi, termasuk juga orangtua salah seorang sahabat saya—Teh Yuti, dan pasangan suami-istri yang keduanya sahabat saya, Elma-Kang Firman, gambaran tentang keluarga ideal itu semakin lengkap dengan contoh-contoh nyata di depan saya.
Pasangan-pasangan yang saya sebutkan itu memberi arti pada sebuah frase yang disebut ‘berkah dalam pernikahan’. Relasi mereka harmonis. Mereka menunjukkan bagaimana cara menyayangi pasangan jiwa. Mereka membesarkan anak-anak (kecuali Elma-Kang Firman, Elma baru hamil anak pertama) dengan cinta, kasih sayang, dan kelembutan. Anak-anak itu mendapat perhatian dan pendidikan terbaik. Mereka pun dididik untuk menjadi manusia seutuhnya. Dan lihatlah, anak-anak itu menjadi cahaya dan kebanggan bagi orangtuanya. Anak-anak itu menjadi sumber kebahagiaan lain selain relasi di antara pasangan suami-istri. Kemudian secara utuh, keluarga yang mereka miliki menjadi inspirasi bagi orang lain. Coba, bagaimana mungkin sebuah keluarga bisa menjadi inspirasi kalau bukan keluarga yang hebat dalam arti yang sebenarnya dan menyeluruh?
Rata-rata orang islam hapal dengan istilah ‘sakinah-mawaddah-warrahmah’ yang artinya kira-kira ‘ketenangan-kebahagiaan-kasih-sayang’. Tapi mungkin tidak banyak yang bisa menjalani pernikahan ‘sakinah-mawaddah-warrahmah’ secara nyata karena hanya memahaminya sebatas arti kata, tanpa lebih jauh memahami maknanya. Entahlah, apakah itu disebabkan oleh persepsi orang tentang pernikahan itu sebatas akibat dari ekspresi cinta (passion) atau bagaimana, saya belum tahu. Yang jelas, yang disebut pernikahan ‘sakinah-mawaddah-warrahmah’ itu berdasar pada pemahaman bahwa cinta tidak sekedar passion, cinta tidak hanya memandang fisik dan/atau ‘kepribadian’ (mobil pribadi, aset pribadi, rumah pribadi). Ada prinsip penerimaan-apa-adanya segala kelebihan dan kelemahan pasangan, ada tanggungjawab yang menyertai status ‘suami’ atau ‘istri’, ada keluarga baru yang mesti kita sayangi (keluarga mertua), ada perencanaan masa depan yang mesti dibuat, ada nafkah yang harus dipenuhi, ada emosi yang mesti diatur, ada peran baru yang mesti dijalani. Intinya, pernikahan itu tidak sekedar mesra-mesraan saja. Kemudian, yang utama dan paling penting, ada potensi ibadah di situ. Wah, insya Allah pernikahan jadi penuh berkah kalau setiap pasangan dapat memahami itu.
Tapi, hei, saya bukanlah orang yang begitu terbuainya dengan gambaran ideal rumah tangga sehingga saya mikirin yang bagus-bagusnya aja dan mengabaikan adanya bumbu-bumbu rumah tangga. Saya realistis kok. Wong kalau seseorang sama pacar yang sewaktu-waktu bisa diputus saja bisa berantem kok, apalagi sama orang yang bisa dibilang terikat sehidup-semati dan akan kita hadapi tiap hari. Yaaah, itulah tantangannya. Tinggal bagaimana kitanya aja menghadapi itu semua.
Ngiri, saya ngiri. Tapi saya berharap suatu saat saya membuat orang ngiri juga; ngiri yang sehat loh! Ngiri yang membuat orang bersemangat melakukan hal yang lebih baik dari saya. Ngiri yeeee....
No comments:
Post a Comment