Tadi pagi saya bertemu seorang tukang becak di dekat pasar Balubur. Saat itu saya sedang bergegas menuju Salman untuk sarapan. Becaknya sedang di tarik olehnya.
Sesampainya saya di samping taman Ganesa, tukang becak menyusul. Saya baru dapat mengamati tukang becak itu dengan jelas. Tapi yang pertama kali saya perhatikan adalah becak yang sarat muatan, penumpangnya yang sedang makan cemilan dengan santai, dan badan penumpang itu yang lebih subur dari si Tukang Becak.
Tukang becak itu kurus kering, berkulit mengkerut dan mengkilat karena dimakan cuaca, sudah berusia lanjut, sangat pantas kalau disebut seorang kakek. Dan seorang kakek dengan penampilan seperti itu sudah tidak cocok untuk bekerja sebagai penarik becak yang bebannya kadang dapat sangat berat. Tapi entahlah, tukang becak itu tetap menarik penumpang dan tidak banyak berkomentar tentang nasib yang mungkin tidak banyak berubah selama sekian puluh tahun.
Berbagai pikiran berkelebat dalam benak saya. Sungguh tidak dapat diingkari iba yang menyelinap di hati ini. Iba yang sama dengan yang muncul ketika melihat kaum harafisy* di negeri ini. Lalu benak saya melakukan pembandingan dengan kaum lain, kaum 'pengemis'. Kaum yang sebut terakhir ini bukanlah mengacu pada kaum papa, tapi kaum yang 'bermental pengemis'. Biasanya mereka sehat, kuat, dan kesempatan masih bermurah hati untuk menampakkan diri di setiap sisi dan sudut jalan yang mereka lalui. Tapi apa daya, segala godaan dari kesempatan itu tidak membuat mereka tergiur. Satu hal yang menghalangi pandangan mata kaum ini: malas.
Entahlah, saya tidak tahu. Dunia kadang begitu paradoks. Di satu sisi banyak orang bekerja sampai tumpah ari mata dan darah, tapi kesempatan tidaklah bermurah hati pada mereka. Di sisi lain, kesempatan bermurah hati pada sebagian orang, namun orang-orang itu malah mengabaikannya.
Bagaimana dengan saya? Saya mendapatkan banyak karunia dan saya mengucap syukur atas itu. Sekarang saya sedang beranjak ke tingkatan 'syukur dengan berbuat'. Makna syukur yang terkandung dalam Al Quran bukanlah sekedar 'mengucap syukur', tapi 'berbuat syukur', yaitu dengan menggunakan semua potensi yang ada untuk meninggalkan jejak bagi kemajuan diri, keluarga, umat, kemanusiaan, dan apapun yang membuat dunia ini lebih baik.
Berbuat sesuatu untuk para harafisy seperti tukang becak renta tadi. Atau berbuat sesuatu bagi tukang minyak tanah yang sudah teramat sangat renta, langkahnya sudah miring, matanya sudah tidak menatap dengan lebar, yang beberapa waktu lalu masih saya dengar suaranya lewat depan kos saya, tapi sekarang entah ke mana. Atau berbuat untuk sepasang suami istri pengangkut sampah di komplek tempat kos saya berada. Sang Suami (lagi-lagi) sudah renta. Paling hanya sanggup mendorong gerobak dengan sekenanya dan mengambil sampah yang ringan. Dia bertugas dibantu istrinya yang jauh lebih muda, masih lebih kuat, berbadan tambun, yang kebagian menarik gerobak sampah kuning sarat sampah, yang jalannya sudah bungkuk-tertatih lagi akibat menarik gerobak selama bertahun-tahun sambil merendahkan badan.
Saya terus-menerus bertanya pada diri saya, apa yang dapat saya lakukan untuk harafisy. Tidak akan berhenti saya hingga saya menemukan jawabannya. Dan jawaban itu tidak tunggal. Setelah saya menemukan satu hal kongkrit yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki kehidupan mereka, saya akan mencari hal lain yang bisa berkontribusi pada peningkatan taraf hidup harafisy. Takkan berhenti.
[Ya Rabb, tunjukilah aku jalan yang kucari itu. Karena Engkaulah Maha Mengetahui, lagi Maha Pemberi Petunjuk...]
No comments:
Post a Comment