Tuesday, November 07, 2006

Abis Kemping, Item...

"Eh, ntar jangan lupa ya tanggal 2... Itu loh, ada mukhoyam..."

Sayup-sayup saya mendengar pembicaraan di antara teman-teman saya di
Asrama Putri Salman. Saya sedang berada di kamar Euis dan masih
terkantuk-kantuk setelah subuh. Itu dua minggu sebelum lebaran 1427H.

"Les, dirimu mo ikut gak? Yah, biasanya juga dirimu memang ikut kegiatan Asrama kan?"

Saya diajak oleh Euis untuk ikut. Kalimat kedua dari pertanyaan dia itu
bukannya menunjukkan rajinnya saya dalam kegiatan Asrama, tapi lebih
pada penekanan bahwa saya akrab dengan anak-anak Asrama Putri Salman.
Lho, kok? Bingung ya? Begini, saya ini bukan penghuni asrama, tapi saya
sangat akrab dan dekat dengan semua penghuninya sehingga saya hampir
selalu ikut atau dimintai bantuan dalam kegiatan asrama.

Maka, tanggal 31 Oktober saya kembali ke Bandung untuk bisa hadir di technical meeting
kemping Asrama Putra-Putri Salman ini. TM-nya sendiri tanggal 1
November. Tanggal 2-nya, saya datang jam tujuh pagi ke mesjid Salman
dan langsung ke gedung Asrama Putri.

Karena panitia, saya berangkat duluan bersama tumpukan barang-barang seperti tenda, sleeping bag, kompor, bahan makanan, senter, lentera, galon air, tas-tas panitia, dan lain-lain. Penuh sesak. Tiga orang panitia perempuan di bangku paling belakang mobil Kijang, dua orang panitia laki-laki di bangku tengah dengan barang-barang berat, dan ibu pembina (Bu Tati) yang ikut mengantar di samping supir. Perjalanan cukup 'nyaman' kalau tida mau dibilang sumpek. Kaki terlipat selama dua jam kurang. Tapi semua itu terbayar begitu mobil memasuki kawasan perkemahan Gunung Puntang.

Udara sejuk dan bersih langsung menyergap. Kesegarannya seolah menghibur raga yang mulai mengeluh karena udara Bandung makin panas sejak bulan Agustus (sampia sekarang belum nampak mau hujan). Air jernih dan alirannya di sungai mengalun bagai musik ceria. Subhanallah, suasana yang biasa nampak di pegunungan itu jadi luar biasa.

Mobil berhenti di gerbang dan salah satu panitia, Nanang, turun untuk memberitahukan tibanya kami pada penjaga bumi perkemahan. Cukup lama mereka berdiskusi di pos satpam. Kesempatan itu kami--panitia perempuan-- gunakan untuk turun dan menghirup udara. Kami berjalan ke sungai yang ada di sisi kanan jalan. Bu Tati mencuci tangannya di sungai. Brrrrrrrrrr, airnya dingin sekali. Jauh lebih dingin dari air di Bandung.

Setelah sepuluh menit, kami meneruskan perjalanan ke lokasi kemping kami. Kami segera menurunkan barang-barang untuk kemudian mendirikan tenda. Selain itu, kami sempat beristirahat, minum sirup dan makan bekal yang dibawa. Kami bersiap-siap di lokasi kemping sembari menanti peserta tiba di pos satpam depan, tempat kami berhenti di awal tadi. Peserta diberangkatkan dari Salman perkelompok dan diberi ongkos. Mereka diminta untuk mencari cara pergi ke BuPer Puntang sendiri. Rata-rata mereka tiba jam 12 di pos satpam. Di sana mereka istirahat makan siang dan solat. Setelah itu mereka diminta menyusuri sungai dari titik di dekat pos satpam menuju 'atas', lokasi kemping.

Tak lama datang Pak Agung Wiyono, salah satu pembina asrama Salman, bersama istri dan anak-anaknya. Pak Agung nantinya akan memberi pengarahan di apel sore. Putrinya, Ami, akan turut membantu panitia. Adik Ami, Wicak, ternyata ikut juga. Tinggal satu orang lagi, Ibnu adik Ami yang paling bungsu. Tampaknya setelah dibujuk dia mau ikut kemping. Dan memang kemudian keluarga Pak Agung turut bermalam di lokasi kemping setelah menyewa tenda.

Setelah peserta sampai di lokasi, mereka diberi tenda, satu lentera badai, satu kompor gas mini, satu tabung gas kecil, dan jatah setengah liter minyak tanah. Mereka amesti mendirikan tenda, mempersiapkan makan malam. Di sore hari mereka apel. Kegiatan selanjutnya adalah bebersih diri, solat, makan malam, baru kemudian acara kebersamaan digelar.

Malam itu cuaca agak mendung. Jaket tidak mampu melindungi badan ini dari dinginnya udara yang menusuk. Kaus kaki yang basah membuat kaki hampir tidak bisa dirasakan lagi. Segalanya gelap dan tidak terlihat kecuali di sekeliling api unggun, lentera, petromaks. Haaaah, repot kalau punya mata udah minus... Serba gelap dan saya jadi kikuk saat bergerak. Tapi malam itu menyenangkan. Peserta mulai menyesuaikan diri dengan suasana yang mereka hadapi.

Hari kedua adalah hari yang diisi dengan kegiatan jurit malam (caraka malam) pada dini hari, kegiatan bebersih, masak, materi, diskusi, olahraga di sore hari, lalu materi dari kang Bryan di malam hari (beliau alumni asrama putra Salman entah tahun berapa; sekarang beliau jadi dosen di Teknik Fisika ITB; lulusan Jepang). Materi yang dibawakannya menarik. Tentang pengalamannya ketika dulu menjadi penghuni asrama Salman, pengalamannya di Jepang, dan beberapa hal tentang peran pemuda bagi perkembangan bangsa ini. Malam kedua ini langit cerah dan bulan bersinar dengan terang. Aku tidak perlu berjalan dengan kikuk pun menggunakan senter...

Hari ketiga, saya terbangun di tenda pada pukul satu pagi. Udara dingin sekali. Karena keterbatasan sleeping bag, saya berbagi dengan Euis. Alhasil sleeping bag itu tidak bisa ditutup rapat. Jadilah saya terbangun karena kedinginan. Acara mereka pukul tiga pagi di hari ketiga adalah kompetisi kelompok dalam bentuk perang-perangan. Itu hanya untuk peserta dari asrama putra. Peserta asrama putri mengadakan acara tukar kado yang dipandu Euis.

Saya bangun jam lima dan membuat susu plus jahe. Setelah mempersiapkan sarapan untuk panitia dan briefing untuk kegiatan hiking ke Curug Siliwangi (dua jam setengah perjalanan ke atas), panitia membereskan tenda. Peserta juga melakukan hal yang sama. Semua barang pribadi dan perlengkapan kemping harus sudah dipak untuk nantinya dititip ke salah satu warung di dekat lokasi kemping. Jam delapan kami ke lokasi kemping lagi. Kami bersiap untuk naik ke atas, ke Curug Siliwangi.

Perjalanannya? Menanjak, tidak bisa saya rasakan betul, berganti-ganti antara sejuk dan gerah, melelahkan. Saya memang belum pernah bisa menikmati perjalanan ke alam kalau dilakukan bersama banyak orang. Perhatian saya akan teralih ke banyaknya orang ketimbang suasana alam yang perawan. Saya lebih suka soliter atau berada dalam kelompok di bawah lima orang untuk melakukan perjalanan ke alam.

Tapi ujungnya menyenangkan. Curug Siliwangi itu bagus. Dia bukanlah air terjun yang besar; alirannya kecil. Tapi yang membuatnya istimewa adalah efek dari aliran itu. Air dalam aliran yang kecil itu jatuh dari ketinggian dalam bentuk serpihan-serpihan embun dan membuat udara sangat sejuk. Karena tingginya titik air sungai terjun dan kecilnya airnya aliran, efek itu terjadi. Kira-kira tingginya... berapa ya? Seratus meter kurang? Ah, tidak tahu. Kalau video rekaman hiking itu sudah jadi--atau foto-foto kegiatan itu, saya akan upload ke sini. Selama kurang lebih setengah jam kami di sana. Berfoto, menikmati air yang lebih dingin dari air di bawah (lokasi kemping), berbincang-bincang sebentar, mendapat masukan dari Kang Yudha selaku pembina asrama, makan, lalu turun lagi.

Perjalanan turun lebih mudah dan ringan. Tapi kaki memang udah gak mau kompromi lagi. Pegel banget. Semua peserta juga begitu. Kami langsung mencari tempat-tempat strategis untuk duduk dan minum. Muka-muka kusut memenuhi warung. Jam dua. Rencananya peserta akan dipulangkan jam tiga. Mereka mengambil tas dan barang bawaan. Kami, panitia, menanti mobil dari Salman.

Selama hampir satu jam kami menanti mobil. Begitu datang, mobil langsung disesaki dengan berbagai barang dan panitia lagi. Bedanya, kali ini kardus bahan makanan dan galon air sudah tidak ada isinya. Panitia sudah kuyu. Lebih enak tiduran di dalam mobil selama perjalanan ke Bandung.

Begitu keluar dari BuPer, satu pengalaman tidak bisa saya lupakan. Jalan menuju ke bawah berkelok-kelok seperti ular. Cuaca sore yang cerah dan udara yang hangat menyambut. Tenang. Ladang sayur dan hamparan padi menguning di sepanjang perjalanan. Jendela mobil yang dibuka mempersilakan angin untuk mampir membelai kami. Rumah dan kebun kami lalui bergantian. Semakin ke bawah, udara makin terasa gerah. Namun damai. Damai begitu kuat merengkuh benak saya. Berada dalam perjalanan itu bagaikan mengambang dalam arus lambat dari waktu. Serasa tidak berakhir. Kelokan jalan itu seakan tetap berkelok hingga saat yang tak terkira. Tenang. Lepas semua kepenatan saya.

Dan ketika kaki menginjak area mesjid Salman, perjalanan tadi bagaikan mimpi yang tercerabut dari tidur saya. Ah, memang selama di sana saya bagaikan bermimpi. Tipisnya oksigen membuat pikiran saya tidak bisa mencerna yang saya alami di Puntang secara penuh.

Mungkin lain kali saya bisa lebih menikmatinya lebih baik lagi.

1 comment:

Anonymous said...

salam kenal
sekedar membagi Informasi, kami dari TENDAKU Bandung membuat dan menjual berbagai macam tenda,
menerima pemesanan tenda dengan ukuran, model & design yang variatif (sesuai pemesan).
untuk Informasi lebih lengkap silahkan hubungi kami di :
http://www.tendaku.net atau http://www.mrcamp.net
terimakasih..