Tuesday, July 03, 2007

Merevisi Persepsi Tentang 'Pembantu"


Siapa yang tidak pilu melihat rupa Ceriyati setelah dia melarikan diri dari majikannya?



Sang Majikan Ceriyati sendiri.

Bila Sang Majikan memiliki rasa pilu sedikit saja, tentu mereka tidak akan sampai hati meletakkan tangan di tubuh Ceriyati, sedikitpun.

Ceriyati tidak sendiri. Ceriyati bukan yang pertama. Ada ribuan Ceriyati lain di luar sana, dengan nasib tak kalah memilukan. Tapi, sampai saat ini, Ceriyati-Ceriyati itu baru bisa berpuas diri dengan perhatian Kedubes RI, penampungannya, serta jaminan kepulangan ke tanah air. Dengan banyaknya kasus tak tuntas semacam ini, lama-kelamaan kisah kehidupan TKI hanyalah berita basi. Terulang lagi..., terulang lagi.

Bila menggunakan analisis dingin, mungkin majikan Ceriyati: 1) merasa kekayaan, status, harkat, derajat, martabat, IQ-nya lebih tinggi dari pembantunya, 2) memahami makna ‘pembantu rumah tangga’ sebagai budak yang bisa diperlakukan seenaknya. Dua alasan tadi nampaknya digunakan majikan Ceriyati sebagai pembenaran dari tindakan kejamnya.

Sampai sekarang, saya tidak habis pikir: bagaimana bisa seseorang berlaku sekejam majikan Ceriyati? Saya tidak pernah bisa mengerti, bagaimana mungkin seseorang bisa meletakkan tangannya pada orang lain secara zalim? Bagaimana bisa seseorang dipandang dan diperlakukan rendah lantaran dia mengerjakan urusan rumah tangga yang belum tentu bisa dikerjaan sang Majikan?

Saya belum menemukan logika dari tindakan yang merendahkan pembantu yang bekerja mengurus rumah tangga (ataupun pemilik pekerjaan kasar lainnya). Ada yang bisa membantu?

Ada yang tahu istilah ‘pembantu rumah tangga’ dalam bahasa Melayu? Sudah sejak lama saya penasaran dengan istilahnya serta bagaimana istilah itu dimaknai di Malaysia. Sebenarnya bukan hanya istilah Melayu saja. Saya juga penasaran, istilah apa yang digunakan orang Arab untuk menyebut para TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga mereka.

Ingin tahu saja, adakah konotasi atau mungkin nilai rasa negatif. Sungguh, dari istilah ‘pembantu’ dalam bahasa Indonesia, saya tidak menemukan sedikitpun makna yang bisa membenarkan tindakan majikan Ceriyati. ‘Pembantu’ yang pembantu, orang yang bantu-bantu. Senang gak sih kalau ada orang yang membantu meringankan pekerjaan kita?

Coba tengok jabatan ‘Purek’ alias Pembantu Rektor. Pemangku jabatan itu kan ‘pembantu’ juga. Tapi kenapa ya, saya belum pernah mendengar tindakan merendahkan dari Rektor pada Purek? Bila profesi pembantu profesi yang hina, kenapa Purek tidak pernah melarikan diri ke Polisi akibat dikasari atasannya? Apalagi sampai dibuat babak belur semacam Ceriyati.

Menilik fungsinya, pelayan dan butler di rumah-rumah bangsawan atau orang kaya Inggris juga ‘pembantu rumah tangga’ kan? Mereka mengurus segala hal, mulai dari menyiapkan makanan, bebersih, menata meja makan, mengurus pakaian, hingga menerima tamu. Namun citra pelayan Inggris ini begitu terhormat dan tinggi. Kenapa sih para TKI yang bekerja di luar negeri, yang sudah memberikan pemasukan devisa cukup besar bagi RI, tidak dibantu untuk memiliki citra seperti itu?

Keprihatinan saja tidak cukup. Ucapan janji dari pemerintah tidak akan bisa mengganti pengalaman buruk yang telah didapat para TKI, secara fisik maupun psikologis. Para TKI itu bekerja mencari nafkah secara halal, bukannya korupsi atau mencuri.

Yah, paling enggak mereka dibantu dengan serius lah... Misalnya dengan memahami makna ‘pembantu rumah tangga’ yang sebenar-benarnya, tanpa mengikutsertakan persepsi serta paradigma keliru kita—apalagi kalau bukan akibat dari kesombongan?

Beneran lho, menurut saya, definisi yang kabur dari istilah ‘pembantu rumah tangga’ sedikit banyak berperan pada nasib buruk para TKI kita. Jadi, ada baiknya bila para majikan melakukan redefinisi dari ‘pembantu rumah tangga’. Bila definisinya sudah dikembalikan ke ‘jalan yang benar’, mudah-mudahan persepsi para majikan berubah. Yakinlah bahwa setiap orang berbuat sesuai dengan persepsinya. Bila sang Majikan berlaku kejam pada Ceriyati, anda bisa mengira-ngira bukan, apa yang menjadi persepsinya?



per·cep·tion [pər sépshən]

(plural per·cep·tions)

noun

1. perceiving: the process of using the senses to acquire information about the surrounding environment or situation

· the range of human perception

2. result of perceiving: the observation or result of the process of perception

· After watching the experiment closely, he noted his perceptions in his lab notebook.

3. impression: an attitude or understanding based on what is observed or thought

· a news report that altered the public’s perception of the issue

4. powers of observation: the ability to notice or discern things that escape the notice of most people

5. psychology neurological process of observation and interpretation: any of the neurological processes of acquiring and mentally interpreting information from the senses

[14th century. Via Old French from the Latin stem perception- , from percipere (see perceive).]

Microsoft® Encarta® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.

3 comments:

Anonymous said...

Mmh, ekspor 'kebodohan'.

"Tolong lakukan ini lalu tolong lakukan itu." Tapi karena 'bodoh', jadi tak mengerti dan malah mengacaukan segalanya.

Oke, sekali-dua kali. Berkali-kali? Plak! "Udah dibilangin masih belum ngerti-ngerti juga?!" (pakai bahasa setempat)

"Aaah, kupecat kau!"

Lalu memohon supaya jangan, karena uangnya masih amat dibutuhkan.

Akhirnya pemukulan masih dilangsungkan dan karena keadaan tak bertambah baik, emosi semakin menggelegak, dan pemukulan jadi bertambah sadis.

Dosen matematikaku yang dulu menjelaskan begitu. Tragis.

errick said...

kalau satu dua orang mah bisa ditolerir lah. lha yg ini banyak sekali. kemaren itu ada sekian puluh sekian majikan yg di-black list... harus dianalisis penyebabnya ini.

salam kenal teh ales (eh bener teh ales kan?)

Anonymous said...

Entah ya.

Coba bayangin orang macam apa aja yang dikirim jadi TKW. Bayangin kompetensi mereka juga. Bayangin secara umum demografi orang-orang di sana kayak gimana dan secara umum seperti apa sifat mereka.

Bangsa-bangsa pada awalnya terlahir bukan karena perbedaan genetik. Tapi karena sebagian orang tertentu enggak bisa cocok sama sebagian yang lain.