Saya melangkahinya dengan hati-hati. Mayat mereka hampir gak bisa dikenali lagi, termutilasi, terkoyak, hancur hingga hampir gak berbentuk. Dengan seksama saya memeriksa mayat-mayat itu. Ekspresi prihatin gak bisa saya simpan. Jumlah mereka gak sedikit. Banyak sekali. Terutama di musim hujan seperti belakangan ini. Dan terutama sekali ketika hujan turun.
Mereka mencoba untuk menyelamatkan diri dari banjir yang melanda tanah tempat tinggal mereka. Hujan yang turun dengan deras telah menyebabkan kadar air meningkat tajam, membuat lapisan teratas tanah gak ubahnya sebuah danau besar. Dingin, gelap, lembab. Liang-liang yang tadinya hangat dan nyaman, tiba-tiba menjadi ancaman besar. Merekapun melarikan diri.
Tapi apa daya. Dalam upaya pelariannya, mereka terbunuh dengan kejam. Kaki-kaki tak bermata yang lalu-lalang di sepanjang koridor Aula Barat-Sipil. Akibatnya, tak sedikit korban yang berjatuhan. Gak jarang saya menjumpai salah satu dari pelarian yang sudah termutilasi itu sedang terseok-seok menyeret tubuhnya, mencoba mencapai tempat berlindung. Tapi tubuh yang sudah lemah itu tidak punya sisa daya lagi. Matilah dia di tengah pandangan tak peduli atau pekikan jijik.
Cacing-cacing itu yang sedang saya bicarakan. Saban kali hujan, mereka akan keluar dari kegelapan tanah menuju tempat-tempat tinggi yang kering, demi sebuah kelangsungan hidup. Naluri yang membawa mereka ke atas permukaan tanah. Tapi naluri itu bisa salah. Mayat-mayat cacing itu telah membuktikan kalau di permukaan tanah, mereka tidak menemukan keselamatan yang diharapkan.
Kadang, kalau saya lewat Aula barat dan menemui salah satu dari mahluk mungil itu (yang diameternya bisa sebesar jari kelingking orang dewasa kadang), saya akan ngambil daun atau ranting atau apapun yang bisa saya gunakan untuk mengangkat tubuhnya. Kemudian saya meminggirkannya ke tepian jalan atau kemanapun yang menurut saya aman bagi mereka. Hanya itu ikhtiar maksimal yang bisa saya lakukan untuk mereka. Dan itu sudah cukup. Hanya setiap kali saya lewat Aula barat dan pas ada cacingnya. Bisa mati saya kalau saya tak hentinya memikirkan cacing-cacing di seantero Bandung yang keluar-dari-tanah-agar-terhindar-dari-banjir-tapi-malah-terinjak. Gak usah deh. Cukup di tempat yang bisa saya jangkau aja.
Ah, tapi dengan demikian saya udah lega. Saya udah melakukan apa yang bisa saya lakukan. Alhamdulillah saya belum pernah (dan tidak berharap untuk melakukannya) menginjak cacing yang sedang berupaya menyelamatkan diri. Sungguh, hati saya pedih kalau saya udah nyebabin kematian salah satu dari mereka, meski saya gak sengaja.
Saya kadang gak habis pikir dengan orang yang nginjek cacing-cacing itu. Kehadiran cacing-cacing itu tentu mencolok mata karena warnanya beda banget dari aspal atau ubin. Yah, bisa jadi mereka memang lagi sibuk berpikir jadi gak lihat jalan yang sedang dilewati. Lumrah. Tapi..., tidakkah mereka punya semacam kepedulian atau kesensitifan? Please deh, tega bener!
Terus terang, cacing-cacing itu bisa keinjek karena yang nginjek kurang (atau malah enggak) peduli dengan hal-hal yang jauh ‘lebih kecil’ darinya. Entah apa yang dipedulikannya. Urusan negara atau hidup-mati mungkin. Tapi kalau urusan itu lebih penting daripada kehidupan mahluk lain, sampai nyawa mahluk lain harus hilang, itu sama saja dengan:nol besar.
Entahlah. Saya pikir kalau kita, manusia, sebagai mahluk yang diberi anugerah akal, seharusnya memiliki kesadaran lebih tinggi dari mahluk-mahluk ‘rendahan’ semacam cacing, yang baru sadar dengan kehadiran ‘yang lain’ kalau bersinggungan dengan tubuhnya. Coba aja kita teriak-teriak di atas cacing atau melambai-lambai, cacing itu akan cuek bebek. Tapi kalau kita sentuh, baru dia bereaksi. Itu apalagi kalau bukan bukti bahwa cacing lebih ‘rendah’ dari kita? Jadi, untuk mengetahui keberadaan ‘yang lain’ saja sangat minim inderanya, bagaimana dia mau memikirkan jalur yang aman ketika dia lewat? Nah, kita sebagai manusia seharusnya peka terhadap kekurangan cacing itu. Maksudnya, kalau kita memang menghargai kehidupan (kita), kenapa kita gak menghargai hidup si Cacing yang juga punya hak untuk terus hidup? Pikiran saya yang pesimis malah lebih tajam lagi pertanyaannya: jangan-jangan kita hanya peduli pada hidup kita, enggak pada hidup orang lain, apalagi hidup dari mahluk ‘rendahan’? Jangan-jangan kita mahluk yang super-duper egois?
Duh, bukannya mau nyalahin siapa-siapa sih. Lagian siapa yang (sengaja-gak sengaja) nginjek, saya gak tau. Tapi melihat jasad-jasad cacing itu, saya trenyuh. Kasihan mereka. Jumlah mereka mungkin lebih banyak dari jumlah manusia, tapi tetap saja perlakuan yang mereka terima bukan perlakuan yang pantas. Gak tegalah saya.
Pesan moral:
Hal-hal kecil yang (kita anggap) tidak signifikan sebenarnya sangat signifikan. Kita hanya perlu waktu sejenak untuk memikirkan seberapa penting hal itu untuk kita. Bukan hanya sebatas cacing, tapi bisa jadi sebuah keadaan atau orang lain yang kita anggap ‘kecil’ sebenarnya berarti sangat besar. Kitanya aja yang mungkin gak sadar. Kalau hal itu udah dipikirin sebentar, lalu dipikirin lagi di lain waktu, dan kemudian kita mendapati hal itu tidak signifikan, mungkin emang gak signifikan juga. Jadi jangan maksa, hehehe...
No comments:
Post a Comment