Thursday, May 24, 2007

Bagaimana Kau Mengingat Kematian?

Berawal dari blog pejalanjauh. Ketika melihat komentar Sang Pejalan Jauh ini, saya tertarik untuk bersua ke blognya. Melihat catatan-catatan perjalanannya, kesan tertinggal di hati ini. Kemudian aku terhenti di catatan tentang Bukan Pasar Malam dan Sang Pengguratnya, Pramoedya Ananta Toer. Pun kemudian aku melihat catatan tentang Irwan Kurniawan, adik dari Sang Pejalan Jauh.

Entahlah, mungkin karena Pram, atau mungkin karena keindahan karyanya, atau karena kepergiannya, atau karena dua catatan beriring tentang kepergian Irwan, adik Sang Pejalan Jauh, tiba-tiba hati ini diselimuti kabut kesenduan. Tanpa bisa dicegah--seperti biasanya--hati berujar, "Bagaimana kau mengingat kematian?"

Apakah itu teguran untuk diri ini, atau sekedar judul pembuka dari memori-memori yang mengiringinya, aku tidak tahu. Karena kemudian slide-slide dalam warna sephia diprojeksikan ke salah satu sudut benakku. Slide-slide itu berisi memori di masa lalu yang entah bagaimana, hadir...

Bagaimana aku mengingat kematian?

Mungkin dengan memori tentang seorang kawan bernama Novi.

Aku masih bisa melihat wajahnya dengan jelas. Saat itu hari Ulangan Umum di SMP 19 Bekasi. Keheningan saja yang hadir, dan tentu saja, asap tak kasat mata yang melayang dari kepala-kepala pemikir muda di kelas itu. Jam tangan kugeletakkan di meja. Lalu...

"DIT-DIT...DIT-DIT!"

Peringatan itu memecah kesunyian kelas. Pukul sepuluh tepat. Tapi tidak ada yang bergerak. Semua kepala masih tertunduk. Entah kenapa, setelah mendengar peringatan itu, aku bertatapan dengan seorang teman lain, di meja di sebelah depan, baris sebelah kananku. Seolah suara itu begitu berarti. Dan mengapa kami memilih untuk bertatapan di jam sepuluh tepat itu, setelah sekian hari ujian dalam kelas yang sama, dan entah berapa kali bunyi peringatan jam, kami belum tahu. Kami lalu kembali menekuri soal-soal. Keheningan kembali berkuasa.

Tapi nampaknya tahta keheningan tidak pernah bisa lama berkuasa hari itu. Selang setengah jam kemudian, Andi, sang Ketua OSIS, salah satu sobat kentalku, memasuki kelas dan membawa kabar duka itu.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah berpulang ke rahmatullah, teman kita semua, Novi, di RSU Bekasi, jam sepuluh... Kepada teman-teman yang hendak melayat setelah ujian ini, dipersilakan untuk berkumpul di bawah."

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Bahkan pikiran pun tidak bisa melintas. Aku dan temanku tadi kembali berpandangan. Tanpa kata-kata, kami kembali bertatapan. Seketika itu juga kami mengerti, mengapa kami bertatapan sebelumnya. Kami mengerti.

Aku, yang sudah selesai mengerjakan ujianku, segera keluar stelah pengumuman selesai. Aku terdorong untuk mencari udara segar. Posisiku sebagai sekretaris Osis memungkinkan hal itu. Saat kutatap kejauhan, melintasi padang alang-alang di samping sekolah, aku bisa berpikir kembali. Kemarin, baru kemarin, aku masih bersamanya, tersenyum, mengerjakan ujian di kelas yang sama. Dia duduk di belakang. Aku masih ingat sweater merah yang dikenakannya, dia memang terlihat sakit. Namun hari ini, dia sudah tiada...

Bagaimana aku mengingat kematian?

Entahlah. Saat itu aku tidak bisa mengerti. Seolah yang terjadi saat itu tidak nyata, hanya ada dalam pikiranku saja. Namun aku tidak berlama-lama. Aku pun mengikuti temanku untuk berkeliling ke kelas-kelas lain , mengulangi berita yang semakin menyayat hati ketika disampaikan. Tanpa perlu susah payah, rombongan kelas dua, dari OSIS, guru-guru, anggota Paskibra SMP 19 Bekasi, teman-teman yang kenal Novi, berkumpul di depan kantor TU. Kami berangkat ke rumah duka.

Di rumah duka, aku tidak bisa mengeluarkan air mata. Entah..., kurasa kesedihanku lebih dalam dari sekedar air mata.

Novi dimakamkan di TPU Cilincing, Jakarta Utara. Tempat yang sentimental. Aku selalu merasa sentimentil bila pergi ke sana. Entah karena ingatan tentang Novi, entah karena kenyataan bahwa ibuku pun dibaringkan di hamparan tanah yang sama, tujuh tahun yang lalu.

Bagaimana aku mengingat kematian?

Mungkin dengan kesenduan lembut yang hadir memenuhi benakku saat kuingat Novi. Mungkin dengan kerinduan yang kerap membayang ketika kuingat Umi...

Entahlah...

2 comments:

zen said...

“Bukanlah masa depan yang hilang dari kematian tapi masa silamlah yang hangus bagi orang-orang yang masih hidup di lingkaran si mendiang.”

setelah melafalkan innalillahi, saya selalu menggumamkan kutipan Kundera itu.

senangnya tulisan saya ada yang baca!

za said...

Mengapa masa silam harus hangus bagi mereka yang ditinggalkan, Zen?

Novi meninggal karena apa Les? Kecelakaan/sakit? Whoo, kamu dulu sekretaris OSIS ya. Menangis memang tidak bisa dipaksa/direncanakan. Ia datang begitu saja.