Tidak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik dan rindunya
pada pohon berbunga itu
Puisi ini begitu menyentuh saya.
Mungkin karena mengingatkan saya pada diri sendiri.
[Re-upload, posting lamanya bertanggal 18 Oktober 2006]
Apa yang harus saya lakukan?
Entahlah, tampaknya kehidupan saya sedang berada dalam area 'simpul mati'...
Menurut salah satu guru SMU 1 Sindang yang lain, anggaran untuk pendidikan di APBD Indramayu mencapai 39%.
Apa sih yang bisa dilakukan seseorang dengan ijasah PGA (Pendidikan Guru Agama) di Jakarta?
--Syaiful Jamil
Dari siang, banyak orang sudah hilir mudik di kantor YPM Salman ITB. Hari itu, tanggal 9 Agustus 2007, banyak orang bersiap untuk pergi ke Jakarta. Anggota asrama putra, asrama putri, aktivis dari unit kegiatan mahasiswa, peserta National Leadership Youth Camp (NLYC) tanggal 3-7 Agustus, pengurus mesjid, manajer-manajer lembaga. Mas Samsoe Basaruddin bertanya padaku, “Enggak ikut ke pengajian KALAM?” Aku menjawab tidak.
Sebenarnya aku sudah punya janji temu sore itu jam lima. Aku sudah menundanya dua kali. Sebenarnya tidak apa bila kuundur, tapi aku ragu. Aku beraktivitas seperti biasa lagi di kantor YPM. Namun jam tiga, seorang anggota asrama putra mengajakku. Aku berpikir kembali.
Eeerrrgh. Gimana ya? Pengajiannya malam. Baru selesai jam setengah sepuluh. Kemudian rombongan langsung kembali ke Bandung. Padahal besok pagi aku harus mengurus acara jam tujuh. Gimana ya?
Entah mengapa, instingku mendorongku untuk ikut. Hatiku ragu. Tapi kemudian kubulatkan tekad. Selama ini aku belum pernah mengikuti pengajian Keluarga Alumni Mesjid Salman yang diadakan sebulan sekali itu. Sebelumnya, aku akan senang sekali untuk ikut. Tapi tidak hari itu. Pekerjaanku banyak. Namun toh kubatalkan janji temu hari itu menjadi hari Jumat.
Aku berangkat bersama Masri (FT’03), Ghina (El’04), dan Mas Syarif (pengurus mesjid Salman, dosen Elektro), menggunakan mobil Mas Syarif. Kami berangkat pukul empat. Rencananya kami akan tiba pukul setengah tujuh di Komplek Perumahan Mensekneg, Slipi. Tapi Jakarta malam itu sedang dalam keadaan macet-macetnya. Ada sebuah bank yang terbakar di sisi tol Cawang-Priok. Entahlah, namanya juga Jakarta. Satu bisul di jalur jalan saja membuat seluruh jalur jalan raya terganggu. Parah lagi.
Alhasil, kami tiba pukul delapan kurang lima belas. Yang naik bis sewaan tiba pukul setengah sembilan. Yang naik bis bercerita, “Kami mah udah pasrah deh tadi.”
***
Di sana, di rumah dinas sementara Mensekneg baru, Hatta Rajasa, pengajian bulan ini diadakan. Tapi Bang Hatta sedang ke Semarang bersama Pak Presiden, jadinya tidak bisa menyambut tamu. Begitu masuk rumah dan beramah-tamah dengan anggota KALAM, aku dan Ghina langsung ke tempat makanan. Lapar. Setelah selesai makan, kami bergabung dengan peserta pengajian KALAM di ruang tengah. Acara sudah dimulai.
Pembicara yang diundang kali ini adalah Pak Syaiful Jamil (maaf kalau ada salah eja nama), Meneg BUMN baru. Setelah sambutan dari Bang Mus (Muslimin Nasution), Pak Syaiful dipersilakan menyampaikan materinya, tentang ‘BUMN Untuk Kesejahteraan Rakyat’. Segera setelah saya mendengar penuturannya Pak Syaiful selama lima menit, saya tidak menyesal karena telah datang ke pengajian KALAM malam itu.
Dia bercerita tentang latar belakangnya sebagai lulusan PGA. “Aslinya saya ini penceramah, bukan intelek. Saya bisa ada di sini semata karena saya telah memperoleh pendidikan. Pendidikanlah yang dapat menaikkan derajat seseorang. Tidaklah saya bisa berada di sini (menjabat posisi menteri dalam dua bidang) tanpa pendidikan.”
Tapi bukan itu yang menjadi topik utama pembicaraannya. Pak Syaiful bercerita panjang lebar tentang keadaan BUMN saat ini. Tanpa ragu, Pak Syaiful menceritakan betapa carut-marutnya kondisi BUMN dan betapa BUMN tinggal menunggu waktu kematian saja bila tidak segera diobati. Selama ini, BUMN Indonesia yang merupakan warisan dari Belanda dijalankan secara birokratis. Padahal sesungguhnya BUMN tidak ubahnya perusahaan. Namun karena tidak dijalankan dengan semestinya, seperti layaknya korporasi, semakin lama BUMN makin lemah.
Belum lagi adanya orang-orang tidak kompeten yang menjalankan BUMN. Bukan sekedar ‘ada’, tapi ‘banyak sekali’. Pak Syaiful menceritakan keadaan di PTPN. Selama ini, kepala bagian keuangan PTPN tidak ubahnya bendahara saja. Bendahara hanya menyimpan dan mengeluarkan uang. Tapi tidak mengelola keuangan perusahaan. Ketika Pak Syaiful meminta seluruh staf terbaik bidang keuangan dari dalam PTPN untuk diseleksi menjadi Manajer Keuangan, tidak satupun memenuhi syarat.
Ditambah lagi dengan keadaan di TELKOM, Pertamina, dan PLN. Mengenai Pertamina, Pak Syaiful bercerita tentang Medco. Medco makin lama akan menjadi saingan yang serius bagi Pertamina. Produksi minyak Medco perhari jauh lebih besar daripada yang dihasilkan Pertamina. Ladang minyaknya tersebar di beberapa negara asing. Dan kecepatan serta perkembangan usaha minyak Medco jauh lebih tinggi dari pada Pertamina yang sudah berdiri sejak lama. Maksudnya, berapa sih umur Medco? Berapa sih umur perusahaan minyak Medco?
***
Selain BUMN, Pak Syaiful pun membahas tentang situasi politik (tapi berkaitan dengan BUMN), tentang kekuatan Cina yang luar biasa saat ini (punya uang 1,300 milyar dolar AS tanpa utang), tentang pengalamannya sekolah di AS (beliau doktor di bidang pasar modal), dan kehidupannya sendiri. Sungguh panjang tulisan ini kalau mau diceritakan semua kata-katanya. Tapi salah satu bagian yang berkesan bagiku adalah ketika dia bercerita tentang teman kuliahnya di AS.
Satu kali temannya hendak pindah apartemen. Di AS, dalam hal sewa apartemen, bila ketika kita masuk apartemen kosong, keluar juga harus kosong kembali. Nah, saat itu Wayne Wide, teman Pak Syaiful sedang beberes. Namun dia bukan sekedar membereskan barang-barangnya saja—ini yang membuat Pak Syaiful heran. Lampu-lampu yang sudah rusak diganti kembali, bak cuci yang penyok diganti dengan baru, karpet yang sudah usang diganti dengan yang baru, dinding di seluruh penjuru apartemen dicat. Ketika ditanya Pak Syaiful apakah ini termasuk dari bagian perjanjian, jawab Wayne adalah tidak.
Pak Syaiful lebih heran lagi mendengar jawaban itu. Maksudnya, buat apa sih repot-repot mengeluarkan uang untuk sesuatu yang bukan kewajiban kita. Dia bertanya kenapa Wayne melakukan itu, yang menghabiskan sekitar 200 dolar untuk semua perbaikan di apartemen yang hendak ditinggalkannya.
Jawab Wayne sederhana: “Saya punya satu prinsip. Dimanapun saya berada, saya harus memberi nilai lebih.”
Sejak itu, cerita Pak Syaiful, diri Pak Syaiful berubah. Wayne, yang bukan muslim, yang barangkali tidak pernah mendengan hadis Rasul tentang “hari ini harus lebih baik dari kemarin” dan seterusnya, mengatakan dengan gamblang tentang sebuah prinsip yang dianjurkan Rasul. Pengalaman itulah yang memberi semangat pada Pak Syaiful untuk berbuat yang terbaik dan lebih baik lagi di manapun dia berada. Termasuk ketika menjabat sebagai Menneg BUMN. Memberi nilai lebih.
Mendengar penuturan Pak Syaiful Jamil, dari pukul delapan hingga sebelas malam, menyadarkan saya. Kesadaran ini muncul bersamaan dengan memori tentang aksi demo yang pertama kali (dan yang terakhir) saya ikuti. Saya langsung kapok dan tidak pernah mau ikut aksi lagi. Memori itu, berbaur dengan pengetahuan baru tentang keadaan BUMN, tentang rumitnya pekerjaan yang harus diselesaikan penyelenggara negara seperti Pak Syaiful, yang tidak sesederhana pendapat para mahasiswa (yang kebanyakan hanya pengamat saja), menjadikan segala protes itu tidak berarti. Sungguh mahasiswa tampak ‘tidak tahu apa-apa’ malam itu.
Entahlah, itu adalah persepsi saya. Sungguh malam itu saya menyadari betapa tidak berartinya pengetahuan mahasiswa dibandingkan dengan pengetahuan orang-orang seperti Pak Syaiful, yang sudah ditambah dengan pengalaman nyata di dalam pekerjaannya. Menjadi penyelenggara pemerintahan dan mengurus banyak orang tidaklah mudah. Tidak semudah yang ‘para pengamat’ kira.
Sungguh malam yang luar biasa. Meskipun solat magrib dan isya baru bisa dilaksanakan pukul satu malam di Bandung, meski tidur hanya dua setengah jam setelah itu, meski badan kelelahan, saya tidak menyesal. Dengan senang hati saya menanti kesempatan untuk bertemu Pak Syaiful lagi; juga dengan Pak Syaiful-Pak Syaiful lainnya. Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memberi nilai lebih, dimanapun mereka berada.
...bagaimana dia akan menghadapi jalan raya, bagaimana cara nyelip atau nyalip, itu dipelajari secara otodidak lewat jam terbang.
Saya justru bertanya: memangnya mereka pernah diajari tentang 'menghargai hak jalan orang lain'? Memangnya mereka itu diberitahu tentang bertata-tertib dan berlalu-lintas yang benar dan beradab saat belajar mengemudi dulu?
Kini, setiap kali saya mendengar istilah 'prophet' untuk merujuk Nabi atau Rasul, saya sedikit mencak-mencak.
Pasalnya begini. Coba tilik kata 'prophet'. Kata ini dekat sekali hubungannya dengan 'prophecy'. Secara harfiah (ya mau yang mana lagi?), 'prophecy' berarti 'ramalan'. Nah, kalau begitu, orang yang disebut dengan 'prophet' itu berarti 'peramal dong?
Saya tidak mengerti, bagaimana mungkin tidak pernah (setahu dan sependengaran saya) ada orang yang protes tentang ini. Lantaran katanya arti dari 'prophet' itu adalah 'nabi', maka informasi itu diterima saja bulat-bulat tanpa dipikirkan secara teliti.
Arti harfiah dari 'rasul' itu adalah 'pembawa pesan dari Yang Maha Agung'. Singkatnya 'the messenger'. Entah bagaimana istilah 'prophet' bisa dihubungkan dengan dengan 'rasul', tapi saya tetap tidak setuju kalau Rasul itu disebut 'prophet'. Terdengar ofensif di telinga saya...
prophet
proph·et
Function: nounEtymology: Middle English prophete, from Anglo-French, from Latin propheta, from Greek prophÄ“tÄ“s, from pro for + phanai to speak — more at for, ban
Date: 12th century1) one who utters divinely inspired revelations: as aoften capitalized : the writer of one of the prophetic books of the Bible bcapitalized : one regarded by a group of followers as the final authoritative revealer of God's will
2) one gifted with more than ordinary spiritual and moral insight; especially : an inspired poet 3) one who foretells future events : predictor
4) an effective or leading spokesman for a cause, doctrine, or group
5) Christian Science a: a spiritual seer b: disappearance of material sense before the conscious facts of spiritual Truth
But when he bought rice with fish or chicken, it’s guaranteed that he bought it for Manis.
It’s not that cats don’t think. They do think in their own way—instinctively.
“Even us, his master, don’t eat fish that much everyday..."
Siapa yang tidak pilu melihat rupa Ceriyati setelah dia melarikan diri dari majikannya?
per·cep·tion [pÉ™r sépshÉ™n]
(plural per·cep·tions)
noun
· the range of human perception
2. result of perceiving: the observation or result of the process of perception
· After watching the experiment closely, he noted his perceptions in his lab notebook.
3. impression: an attitude or understanding based on what is observed or thought
· a news report that altered the public’s perception of the issue
4. powers of observation: the ability to notice or discern things that escape the notice of most people
5. psychology neurological process of observation and interpretation: any of the neurological processes of acquiring and mentally interpreting information from the senses
Microsoft® Encarta® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Tapi bukan berarti yang 'tidak sopan' tidak ada. Banyak juga yang tidak mencerminkan citra orang Sunda ideal. Biasanya anak-anak muda yang rada longgar dalam tata krama. Saya terkejut ketika mendapati ada mahasiswa Institut Gajah Duduk yang berceloteh santai menggunakan kata 'anj#*&@' berkali-kali. Gille beneerrrr, komentar saya dalam hati, menurut versi orang Betawi.
Dengan semakin banyaknya yang hilang dari Bandung, saya bertanya-tanya. Apakah ini memang alami--sesuatu yang memang mesti terjadi di satu waktu, atau ini adalah akibat dari abainya manusia terhadap yang dimiliki? Saya tidak berharap penduduk Bandung baru menyesal justru ketika mereka sudah lama kehilangan. Tipikal manusia...
Oh ya, saya berharap anda tidak bosan dengan ulik-ulik bahasa yang saya lakukan belakangan ini. Saya punya semacam kekhawatiran, para pembaca akan mual-mual atau bahkan mati kebosanan karena topik yang saya pilih untuk pikirkan dan tulis. Semoga saja anda senang membacanya. :D
Tak ada gunanya, saya berkata pula, menggaruk kepala yang sudah gundul guna mencari alasan perihal ini.
Di koran yang Anda sedang pegang sekarang saya juga melihat ada hotel yang menyediakan “ruang meeting”. Mengapa tidak “room pertemuan”?
Tentang menjadi rendah hati
Kudapati diri ini
Terlampau tinggi hati
Lama dinanti...
Jawab tak kunjung menghampiri
Dia hendak menguji diri
Sejauh apa kusungguh hati
Liku jalan kulewati
Tidaklah seindah meniti pelangi
Hingga satu hari
Sebuah ilham mendekati:
Jadilah laut, ilham mengawali
Laut luas nan dalam
Laut megah lagi perkasa
Tapi dia rebah di tempat terendah
Semata agar semua sungai tak sungkan
tuk bermuara padanya
Jadilah laut, kata ilham itu lagi
Tak semua air sungai jernih
Madu, racun, susu, darah, air mata, cinta
Semua mengalir di dalamnya
Namun kala mereka melebur dengan laut
Mereka menjadi satu: air laut segar nan jernih
Hilang semua kedirian mereka
Yang ada hanyalah suci
Penantian berhenti, jiwaku menari
Bagai sejuta kupu-kupu terbang tinggi
Kumantapkan hati tuk satu janji:
Ku kan menjadi laut yang rendah hati...
Beberapa keistimewaan bahasa yang dipakai suatu bangsa tertentu membatasi cara-cara berpikir dan pandangan bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Saya menganggap bahwa sususan bahasa dan keistimewaan lain yang dimiliknya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Contohnya saja, orang Eskimo yang memiliki berbagai istilah untuk menamai berbagai bentuk salju, atau orang Arab yang mempunyai puluhan nama untuk buah kurma mulai dari yang masih di pohon, yang baru dipetik, sampai yang telah kering.
Whorf, pencetus dari Linguistic Relativity Hypothesis
Setelah saya membaca tulisan barusan di sebuah buku karangan K.H. Shiddiq Aminullah, Drs., MBA, saya seolah tersadar. Oh, pantes, pikir saya. Pantes aja dalam bahasa Inggris kerap ditemukan teks yang menunjukkan kalau seorang anak dapat memanggil nama kecil dari kakak atau orangtuanya, seolah-olah mereka itu teman saja, bukan orangtua dan anak. Tak hanya di teks, di film-film mereka juga kerap ditemui.
Jadi begini. Sudah lama saya mengamati kalau di dalam bahasa Inggris tidak ada istilah khusus yang mengacu pada ‘kakak’ dan ‘adik’. Yang ada hanyalah istilah sibling, sister, dan brother bagi saudara kandung, kakak maupun adik, yang notabene menyatakan kesetaraan tanpa memandang usia. Untuk membuat fokus pembicaraan menjadi lebih spesifik, kadang ditambahkan kata little di depan kata brother atau sister untuk menunjukkan ‘adik bungsu’ ataupun saudara yang lebih muda. Dan sebaliknya, untuk menunjukkan ‘kakak tertua’, ditambahkan kata eldest sebagai keterangan di depan kata sister atau brother.
Mari kita bandingkan dengan bahasa
Bandingkan kembali dengan istilah dalam bahasa Inggris sister-brother yang hanya mengacu pada gender dari saudara kandung, tidak pada usia. Kita mengetahui bahwa orang barat sebagai ‘pemilik’ bahasa Inggris memiliki budaya yang mengutamakan kesetaraan dari setiap individu dan isu gender merupakan isu yang mendapat perhatian lebih. Bukan berarti masalah usia saudara atau orang lain tidak diperhatikan. Yang lebih ditekankan bukanlah usia, melainkan gender dan individu itu sendiri. Sedangkan di Indonesia, hormat pada yang lebih tua atau lebih tinggi posisinya merupakan isu utama dalam budaya masyarakatnya, terlepas dari apapun bentuk penerapannya di masing-masing daerah. Bukannya gender laki-laki dan perempuan tidak mendapat perhatian, hanya saja ‘posisi’ dalam struktur masyarakat atau keluarga menjadi fokus utamanya. Contoh yang paling jelas adalah cerita dari seorang teman saya. Dia orang Batak. Katanya, meskipun seseorang itu sudah menjadi jenderal bintang
Contoh dari perbandingan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah contoh yang memadai. Dengan melihat istilah yang dipakai dalam suatu bahasa kemudian kita melihat budaya penutur bahasa tersebut, ternyata kita bisa melakukan sebuah analisis budaya dari suatu penutur bahasa. Kita pun bisa mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, kepribadiannya, bahkan mungkin kesuksesan dari masyarakat tersebut di masa yang akan datang (untuk melakukan hal yang terakhir ini tentu dibutuhkan tambahan analisis psikologi). Hanya dengan melihat istilah-istilah tertentu yang digunakannya. Ini sungguh sebuah pemikiran yang menarik.
Tapi ini bukanlah hal yang baru dalam linguistik. Chomsky sudah melakukan analisis budaya berdasarkan bahasa yang digunakan suatu masyarakat. Whorf juga sudah. Dan hipotesis dari Whorf membuka lebar mata saya terhadap keadaan itu.
Kembali ke bahasa Inggris. Saya tidak tahu apakah: 1) penggunaan istilah sister-brother itu muncul duluan baru mempengaruhi cara pandang penutur bahasa Inggris atau sebaliknya, 2) cara pandang berbasis genderlah yang mempengaruhi munculnya istilah sister-brother. Hal ini sungguh menarik untuk ditelaah lebih jauh, apalagi bagi yang memang berminat pada linguistik (seperti saya, misalnya). Mungkin ketika saya mencari yang mana yang benar antara 1) dan 2), saya akan menemukannya dalam sejarah panjang dari kebudayaan penutur bahasa Inggris. Mulai dari masa ketika daratan Eropa masih didominasi oleh bahasa Latin, lalu masa penggunaan bahasa Inggris kuno di sekitar abad 15-16 masehi, hingga penyerapan banyak istilah dari bahasa asing seperti slalom, mathematics, levitate, oleh bahasa Inggris modern, yang membuatnya menjadi bahasa gado-gado. Tapi tidak apa, saya memang senang dengan sejarah, terutama yang berkaitan dengan isu budaya serta bahasanya.
BTW, ngulik-ngulik bahasa dan kaitannya dengan budaya memang mengasyikan ya? Terbersit dalam pikiran saya untuk mengambil S2 di bidang linguistik-budaya. Tapi di mana ya? Kalo ada yang punya info, kasih tau ya….
Tambahan dari Ernest Renan, penulis buku Sejarah Umum Bahasa-bahasa Semit:
Di antara yang mengherankan, bahasa Arab itu tumbuh dengan kuatnya dan sampai pada tingkatan yang sangat sempurna. Di tengah-tengah padang pasir dan bangsa yang gemar berkelana, bahasa tersebut mengungguli bahasa serumpun lainnya dalam kekayaan kosa kata, ketajaman arti, dan keindahan susunan bentuknya. Sebelumnya, bahasa ini tidak dikenal orang… [Dr. Malik Badri, Tafakur, 1996]