Apa yang menjadi ukuran kebahagiaan itu? Harta benda dunia? Tercapainya impian? Pangkat?
Pada awalnya aku menggunakan dunia sebagai ukuran kebahagiaan. Impianku berupa hal-hal yang dapat dilihat secara kasat mata. Aku benar-benar memimpikannya, memikirkannya di setiap waktu luangku. Namun ketika aku sudah mendapatkannya, seringkali aku malah tidak merasakan kebahagiaan yang kubayangkan akan kurasakan bila aku mendapatkan impian itu.
Kemudian aku beralih ke hal-hal yang tidak kasat mata. Aku menyadari bahwa "berbagi" pun bisa menjadi sumber kebahagiaan bagiku: Ketika aku memutuskan untuk memberikan snack yang kudapat dari talkshow di Sabuga pada seorang pengemis di dekat Salman dan ketika aku menyaksikan orang lain berbagi:
Minggu, 19 Juni 2005
Sekarang hampir jam dua belas siang. Matahari bersinar dengan cerah dan menyebabkan udara begitu panas. Aku sedang berada di angkot Antapani-Ciroyom, dalam perjalanan pulang dari mengajar privat. Ketika angkot mendekati Istana Plaza, aku melihat sebuah momen yang membuatku tersenyum.
Di sebelah kiri Istana Plaza terdapat deretan ruko. Angkot yang kutumpangi merayap pelan melewati ruko-ruko itu karena angkot sedang mendekati perempatan. Dan mataku terpaku pada sesosok Pengemis tua yang sedang mengangkat tangannya untuk meminta sedekah.
Sebenarnya pemandangan itu biasa saja bila tidak ada seorang Nenek yang berada di dekatnya. Rupanya Pengemis tua itu sedang meminta sedekah pada si Nenek. Maka Nenek itu berhenti dan merogoh dompetnya untuk mencari uang. Lalu diberikanlah uang sekedarnya pada Pengemis itu. Setelah itu si Nenek berjalan kembali dengan tertatih-tatih.
Aku terharu dan tanpa sadar senyumku merekah. Betapa pedulinya Nenek itu pada si Pengemis. Nampaknya usia bukanlah penghambat bagi si Nenek untuk beramal. Dan usia bukan juga dinding bagi kepekaan terhadap sesama manusia.
Kebahagiaan pun merasuk ke dalam hatiku tanpa bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Keindahannya lebih dari yang kata-kata mampu lukiskan. Yang bisa kulakukan adalah tersenyum simpul.
Kenapa aku bahagia menyaksikan itu? Kenapa manusia bahagia bila mereka bisa berbagi pada orang-orang yang dicintainya maupun orang asing?
Kebahagiaan orang lain pun menjadi sumber kebahagiaan bagiku. Senang rasanya bila bisa melihat orang lain bahagia dengan pencapaiannya. Atau bila aku bisa membantunya dalam mencapai impiannya. Tak ada harapan untuk mendapat balasan, karena balasannya sudah langsung kudapat pada saat itu juga: Kebahagiaan melihat mereka bahagia.
Seperti yang baru saja aku alami tadi.
Aku sedang berjalan dengan pelan menuju jurusan Matematika. Ketika aku berada di dekat gedung Sipil-Fisika, aku berjalan dengan meniti pinggiran selokan. Aku sedang tidak terlalu bersemangat hari ini.
Kemudian aku mendapati seorang laki-laki sedang berjalan melewatiku. Kuperhatikan baik-baik penampilannya: Celana pendek selutut, kaus kaki hitam menutupi betis, sepatu kets, jaket, kacamata, dan topi. Bukan kombinasi yang biasa kulihat di ITB. Terlebih lagi, dengan tidak mengurangi rasa hormatku pada Allah yang telah menciptakannya dan pada dirinya sebagai manusia, aku mendapati kalau dia memiliki wajah yang tampak bodoh. Dia tampak kebingungan dan seperti mencari-cari sesuatu.
Penampilan yang tidak biasa kalau dia anak ITB. Seculun-culunnya anak ITB, rasanya aku belum pernah melihat yang seperti itu.
Lalu aku berpikir dia anak SMU yang mau mendaftar SPMB. Tapi setelah berada di dekat gedung Informatika, dia tidak berjalan menuju ruangan pendaftaran, dia malah menuju kantin Borju. Pada saat yang sama, aku sedang menuju jurusan. Aku berjalan mendekatinya.
Lalu dia menegurku sambil menunjukkan selembar kertas kecil. Di situ tertulis "Kokesma ITB. ...stiker ITB..." Intinya, nampaknya dia sedang disuruh untuk membeli stiker ITB oleh seseorang. Dan aku kemudian mengetahui kalau dia bisu. Memang aku mengatakan dia "menegurku". Tapi dia menegurku dengan erangan khas orang-orang bisu. Ternyata itulah alasan dia tampak lain dari yang lain.
Aku berkata sambil menunjuk ke arah utara, "Di sana. Ayo, saya tunjukkan." Maka aku pun terus berjalan dan dia mengikutiku. Sepanjang jalan, aku menyadari bahwa orang-orang yang lewat memperhatikannya juga. Apalagi dia berjalan di dekatku. Tapi aku memilih untuk tidak peduli pandangan mereka. Tidak ada salahnya bukan menolong orang lain, seaneh apapun penampilannya?
Aku menuntunnya ke Kokesma melewati KBL. Jadi, setelah itu, aku bisa langsung berputar ke jurusan. Sesampainya di Kokesma, aku menunjukkan konter tempat penjualan stiker di Kokesma. Aku tidak langsung pergi, tapi aku melihat-lihat dulu majalah Tempo yang dijual di situ. Lalu petugas di Kokesma yang tampak bingung dengannya bertanya padaku, apa yang mau dibelinya. Aku mengatakan kalau dia diberi petunjuk di kertas itu. Baru petugas itu mengerti. Aku pun beranjak dari situ. Baru beberapa langkah aku dipanggil oleh laki-laki tadi dan dia mengerang berterima-kasih. Aku membalasnya dengan senyuman.
Sambil berjalan ke jurusan, yang tidak jauh dari Kokesma, aku berpikir tentang kebahagiaan, tentang berbagi, tentang keberadaan manusia yang tidak semuanya sempurna, tentang langkah kakiku yang menjadi lebih mantap saat itu, dan tentang betapa aku tidak sabar untuk menceritakannya pada Anda...
2 comments:
tulisannya menyentuh sekali... :)
11 Juli 2005
Yuhuuuuuuuuuu! Setelah seminggu lebih menghilang dari dunia maya, i'm back!
Terima kasih karena telah mengunjungi blog saya, Batari.
Entahlah. Saya kadang merasa tulisan saya itu kering tanpa isi. barangkali sebenarnya hati saya yang sedang kering ya?
Post a Comment