Dari delapan buah film yang saya pinjam di minggu pertama, saya akan membahas satu film berjudul "The Butterfly Effect".
Secara singkat, film yang dibintangi Ashton Kutcher ini bercerita tentang seorang pria yang sering mengalami blackout di masa kecilnya. Dia tidak ingat apapun yang terjadi pada saat blackout itu.
Setelah mengalami berbagai kesedihan di masa kecilnya, dia menjalani kehidupan sebagai mahasiswa bahagia tanpa blackout selama tujuh tahun. DIa senang sekali. Sampai kemudian suatu malam dia berkencan dan teman kencannya itu menemukan buku-buku jurnal hariannya sejak kecil. Gadis itu mengeluarkan beberapa dan meminta Ashton untuk membaca salah satu dari catatan itu. Kemudian saat dia membaca catatan itu, tiba-tiba sekeliling dia menjadi bergetar dan hilang. Dan dia mendapati dirinya berada di dalam masa yang diceritakan di catatan harian itu.
Dia dapat menguasai dirinya dan mengendalikan bahkan mengubah apa-apa yang sudah terjadi pada masa kecilnya itu. Dan begitu dia sudah mengubah kejadian di masa kecilnya, dia terbangun dalam keadaan hidup yang berbeda dari keadaan sebelum dia mengubah masa lalunya.
Cerita itu berjalan bolak-balik antara masa lalu dan masa kini Ashton. Berkali-kali perubahan dia lakukan. Dan berkali-kali juga jalan nasibnya berubah. Termasuk jalan nasib tiga orang temannya yang turut menjadi bagian dari cerita. Tapi jalan nasib mereka tidak semua bahagia ketika Ashton mengubah satu bagian dari masa lalunya.
Akhirnya, untuk yang terakhir kalinya, Ashton memutuskan untuk mengubah masa lalunya di kala Ashton berkenalan dengan teman perempuannya. Akhirnya mereka semua berakhir bahagia.
Itu cerita dalam film. Setelah saya menontonnya, saya berpikir, tentu saja hal itu tidak akan terjadi di alam nyata.
Cerita film itu menyentak saya dengan ide bahwa apa yang kita perbuat saat inilah yang akan menentukan bagaimana masa depan kita. Kalau mengingat lagi film The Butterfly Effect, masa kini yang kita miliki harus benar-benar digunakan untuk mempertimbangkan tindakan kita. Bila kita salah dalam memutuskan pilihan mana yang akan ditempuh, tentunya masa depan kita tidak akan baik lagi.
Tapi apa sih ukuran baik-buruknya masa depan? Apakah sekedar kehidupan mapan dan nyaman seperti di The Butterfly Effect?
Apapun yang kita putuskan memang harus sangat dipertimbangkan dengan hati-hati sekali. Bila kita ingin "berakhir" dengan baik. Jadi takut ya? Iya, saya juga takut. Saya merasa kalau hidup ini jadi sangat sempit dan tidak membahagiakan ketika memikirkan "akhir" itu. Namun, saya juga teringat bahwa manusia itu tidak lepas dari skenario Allah, Yang Maha Kuasa. Apapun yang kita lakukan sudah diatur, bahkan ketika kita memutuskan sesuatu. Kita semua "diperjalankan" oleh Allah.
Kalau begitu, dimana letak nilai perjuangan kita, bila semua kehidupan ini sudah diatur? Bukankah kalau sudah diatur sedemikian rupa, kita tidak perlu lagi khawatir dengan rezeki, jodoh, mati, ilmu, ujian, dan sebagainya? Jadi kita bisa bermalas-malasan dong?
Ya tidak begitu. Dengan tidak membuka rahasia takdir, Allah berkehendak agar manusia dan semua mahluknya menjemput takdir itu. Di situlah letak nilai perjuangan hidupnya.
Jadi, saya tidak bisa hanya sekedar bermimpi dan berharap takdir baik akan datang begitu saja bukan? Ya..., begitulah.
[Sebenarnya saya agak kesulitan dalam menemukan kata-kata untuk menulis sebagian dari kalimat di tulisan ini. Silahkan dikritik. Tulisan ini adalah perenungan dan teguran bagi saya terhadap kehidupan saya sendiri...]
No comments:
Post a Comment