Tuesday, June 14, 2005

Relativitas Nilai Uang

12 Juni 2005

Di tengah kuliah Geometri, di suatu siang yang tenang di kampus, saya terlibat percakapan yang seru dengan seorang teman saya di deretan bangku paling depan. Percakapan kami lakukan dalam bahasa inggris karena isinya case sensitive. Paling tidak untuk kami berdua.

Siapa teman saya itu? Tidak perlu menyebut namanya di sini. Tapi dia adalah teman seangkatan saya, tetangga satu komplek di Priok, teman yang terkenal sangat sanguinis, dan kami berdua akrab serta cocok satu sama lain.

Jadi, pembicaraan kami adalah mengenai relativitas nilai uang. Awalnya dia bertanya pada saya, “Can you believe that i could spent only about 400 grand per month for my needs? But it’s beyond the expenses for room rent, 400 grand. So, totally i spend about 700-800 grand per month.”

Dan saya berkata, “Yes, i believe that. Because i experienced that too before. With room rent that cost 125 grand per month or 1,5 millions a year, i spend 500 grand per month.”

“Wow, that’s cheap! Maybe because your room rent is cheap, huh? Ok, i’ll explain my condition. One day, my father and i had a conversation. My father said that he’s broke now. He aleady retired, so he must recondition their budget in order to make everyone in this family happy. So we bargain and we agreed that i will receive 500 grand per month since then. Can you imagine? My room rent cost 400 grand. So i must find a way to cover my expenses every month.”

Dan saya berkomentar sambil tersenyum sedikit geli, “Now you know how it feels to gain money by your own hand, huh?”

Sambil terus mengobrol, saya teringat pada diri saya sendiri sewaktu TPB. Waktu itu saya dikenal sebagai “wiraswastawati” oleh teman-teman sekelas dan sekos saya. Saya mendapat julukan itu karena saya giat berjualan kue-kue di kelas selama hampir dua semester. Untungnya tidak seberapa, tapi kalau ditotal, labanya cukup untuk uang makan siang satu kali yang agak mewah buat saya.

Setelah tingkat dua, saya tidak melakukan kegiatan berjualan lagi karena 1) Saya mau istirahat dari berjualan, 2) Pesaingnya sudah banyak, antara lain teman yang sedang saya ajak bicara dan teman dari himpunan, 3) Saya sudah mendapat pekerjaan sebagai guru privat yang penghasilannya lebih besar daripada berjualan kue, 4) Kondisi keuangan saya sudah membaik. Tapi saya paham betul apa yang dirasakan teman saya itu.

Bagaimana rasanya? Seperti ini: Bila jam makan siang sudah tiba, saya makan di kantin Salman dan membeli nasi bungkus karena harganya jauh lebih murah daripada makan di tempat. Dan saya sudah menyiapkan sendok dari rumah. Nasi yang saya beli itu saya makan di kantin Salman juga. Saya menebalkan muka dari pandangan teman-teman dan pegawai kantin Salman. Semua itu demi penghematan!

Kalau cerita teman saya lain lagi. Saya mengetahui keadaannya dari tangan kedua, bukan dari dia langsung. Jadi temannya itu bercerita bahwa satu saat mereka makan bersama di warung Indomie. Waktu mau makan, dia dihadapkan oleh dua pilihan, mie goreng atau mie rebus. Akhirnya dia memilih mie rebus yang berkuah. Dengan begitu dia tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membeli minuman!

Saya tertawa geli sekali waktu mengetahui itu. Geli padanya sekaligus geli pada diri sendiri. Tapi tawa saya benar-benar geli tanpa ada muatan sinis.

Sekarang keadaan saya sudah lebih longgar. Dulu sewaktu TPB, penghematan itu saya lakukan karena uang yang saya peroleh tiap bulan tidak cukup untuk membeli buku. Padahal saya adalah monster buku. Maka saya menerapkan strategi itu. Tapi jumlah uang bulanan itu sendiri tidak terlalu besar, sih.

Kenapa saya menceritakan ini? Ada beberapa alasan yang mendorong saya menulis tentang ini. Pertama karena saya sudah lama punya ide untuk menulis tentang ini. Kedua karena saya membaca tulisan teman saya, Teh Ika, yang bertemakan “Relativitas Nilai Uang”. Dan yang terakhir adalah karena suatu peristiwa yang saya alami pagi ini.

Saya sedang berada di warung yang dimiliki pemilik kosan saya untuk membeli nasi. Saya ke situ sambil membawa tempat air minum untuk diisi ulang. Saat berada di dalam (saya boleh masuk ke dalam untuk mengisi air minum), ada pemuda yang berbelanja di warung itu. Lalu saya mendapati bahwa yang dia beli adalah sebungkus rokok entah merek apa, yang harganya 7200 rupiah. Lantas di kepala saya terputarlah semua memori dan ide tentang relativitas nilai uang.

Saya membandingkan harga sebungkus rokok itu dengan nasi bungkus yang baru saja saya beli. Harga nasi setengah porsi dengan gulai telur rebus dan sayur tumis dihargai 2200 rupiah. Sementara rokok seharga 7200 itu akan terbakar habis ke udara. Nasi itu membantu saya mengisi hari dan memberi gizi. Sementara rokok itu membantu pemuda itu menambah penyakit bagi dirinya, orang lain, dan lingkungan (saya memang anti rokok). Dengan uang 2200 rupiah perut saya kenyang pagi ini. Dengan uang 7200 pemuda itu belum tentu kenyang. Dan uang 7200 itu nilainya kira-kira sama dengan uang makan saya satu hari!

Anda boleh tidak percaya. Tapi di kampus saya ada yang bisa hidup dengan uang 150 sampai 200 ribu sebulan. Saya tahu dan dekat dengan orangnya. Sementara itu pada saat yang sama, banyak mahasiswa yang pengeluarannya sebulan di atas satu juta rupiah. Saya pun tahu orangnya.

Saya tidak bermaksud menyalahkan mahasiswa yang mempunyai kelonggaran seperti itu. Saya pun tidak iri. Tapi saya hanya berpikir-pikir betapa luar biasa nilai uang itu! Nilai uang itu relatif, tergantung ada di tangan siapa uang itu. Dan mahasiswa yang punya budget 150-200 ribu sebulan itu baik-baik saja tanpa merasa kesusahan atau bagaimana (Alhamdulillah teman saya itu mendapat beasiswa sehingga dia bisa mendapat sedikit kelonggaran).

Jadi suatu uang bisa sangat berharga bagi satu orang, tapi tanpa arti bagi orang lain. Lantas saya punya satu pertanyaan. Bukankah orang-orang yang punya standar tinggi terhadap nilai uang (maksudnya serba terbatas), lebih banyak jumlahnya di negeri ini? Tidak bisakah orang-orang dengan standar tinggi terhadap nilai uang dijembatani dengan orang-orang yang punya kondisi lebih lapang dalam harta?

Kepekaan itu tidak bisa datang begitu saja. Kepekaan harus dilatih. Keadaan yang saya ceritakan itu tidak kasat mata. Tapi ia akan kasat mata manakala kita berhenti sejenak dan memperhatikan. Atau mendengarkan...

No comments: