Tuesday, June 28, 2005
Lucu Ya?
Lucu ya, uang Rp 20,000-an kelihatan begitu besar
bila dibawa ke kotak amal masjid, tapi begitu
kecil bila kita bawa ke supermarket .
Lucu ya, 45 menit terasa terlalu lama untuk
berzikir tapi betapa pendeknya waktu itu untuk
pertandingan sepakbola .
Lucu ya, betapa lamanya 2 jam berada di Masjid,
tapi betapa cepatnya 2 jam berlalu saat menikmati
pemutaran film di bioskop.
Lucu ya, susah merangkai kata untuk dipanjatkan
saat berdoa atau sholat,tapi betapa mudahnya cari
bahan obrolan bila ketemu teman.
Lucu ya, betapa serunya perpanjangan waktu di
pertandingan bola favorit kita, tapi betapa
bosannya bila imam sholat Tarawih bulan
Ramadhan kelamaan bacaannya.
Lucu ya, susah banget baca Al-Quran 1 juz saja,
tapi novel best-seller 100 halamanpun habis dilalap.
Lucu ya, orang-orang pada berebut paling depan
untuk nonton bola atau konser, dan berebut cari
saf paling belakang bila Jumatan agar bisa cepat
keluar.
Lucu ya, kita perlu undangan pengajian 3-4 minggu
sebelumnya agar bisa disiapkan diagenda kita, tapi
untuk acara lain jadwal kita gampang diubah
seketika.
Lucu ya, susahnya orang mengajak partisipasi
untuk dakwah, tapi mudahnya orang berpartisipasi
menyebar gossip.
Lucu ya, kita begitu percaya pada yang dikatakan
koran, tapi kita sering mempertanyakan apa yang
dikatakan Al Quran.
Lucu ya, semua orang penginnya masuk surga
tanpa harus beriman, berpikir, berbicara ataupun
melakukan apa-apa.
Lucu ya, kita bisa ngirim ribuan jokes lewat
email, tapi bila ngirim yang berkaitan dengan
ibadah sering mesti berpikir dua-kali.
Monday, June 27, 2005
Pensieve
Kamis, 23 Juni 2005.
Seminggu ini saya jarang menulis lagi. Menulis catatan harian dijalankan sih. Tapi tetap saja kepala saya hang, pikiran saya terasa penuh, beban menggelayuti hati, dan mood untuk menulis turun. Sebuah gejala khas dari saya bila sedang ada satu masalah yang belum dituliskan.
Apalagi kalau seminggu lebih tidak menulis di diari. Keadaan saya lebih parah. Semua memori dari pengalaman yang saya jalani akan berputar-putar di dalam kepala saya, mencari tempat untuk berdiam. Padahal saya tidak selalu sempat untuk menulis panjang lebar. Akhirnya saya tidak bisa berpikir dengan jernih dan konsentrasi saya terganggu.
Lalu saya teringat pada pensieve. Pensieve adalah benda yang ada dalam dunia Harry Potter. Benda ini berupa mangkuk dari batu dan di dalamnya terdapat semacam cairan berwarna keperakan. Tempat ini digunakan untuk menampung memori-memori dari pengalaman kita. Bila kita ingin melihat lagi memori itu, maka kita bisa masuk ke dalam alam memori kita di dalam pensieve, dan kita akan melihat memori itu layaknya kita mengalami kembali peristiwanya. Cara menyimpan memori kita pun sederhana. Kita tinggal menempelkan tongkat sihir ke kepala kita, lalu kita akan menarik selarik benda seperti rambut yang keperakan, lalu benda itu kita masukkan ke dalam pensieve. Dan permukaan cairan di dalam pensieve akan bergoyang seperti pemukaan air tenang yang disentuh. Berkuranglah satu beban pikiran.
Di kala sibuk akan hal lainnya, tapi pada saat yang sama saya ingin mengeluarkan beban pikiran, rasanya saya butuh pensieve. Itu pun kalau benar ada, bukan?
Rasanya kecepatan gerak pikiran saya ini harus diimbangi dengan kecepatan yang sama dari menulis. Tapi masalah saya adalah waktu untuk menulis. Kadang ide hanya bisa ditulis dalam bentuk poin-poin saja, tanpa bisa diutuhkan menjadi sebuah esai. Di kala liburan seperti ini, saya bisa dengan santai menulis sampai larut malam. Tapi nantinya, di masa kuliah, saya rasa saya tidak akan bisa melakukannya sesantai sekarang. Kuliah harus diprioritaskan.
Sudahlah, ini hanya keluhan tentang kurangnya waktu menulis.
Bahagia & Berbagi
Pada awalnya aku menggunakan dunia sebagai ukuran kebahagiaan. Impianku berupa hal-hal yang dapat dilihat secara kasat mata. Aku benar-benar memimpikannya, memikirkannya di setiap waktu luangku. Namun ketika aku sudah mendapatkannya, seringkali aku malah tidak merasakan kebahagiaan yang kubayangkan akan kurasakan bila aku mendapatkan impian itu.
Kemudian aku beralih ke hal-hal yang tidak kasat mata. Aku menyadari bahwa "berbagi" pun bisa menjadi sumber kebahagiaan bagiku: Ketika aku memutuskan untuk memberikan snack yang kudapat dari talkshow di Sabuga pada seorang pengemis di dekat Salman dan ketika aku menyaksikan orang lain berbagi:
Minggu, 19 Juni 2005
Sekarang hampir jam dua belas siang. Matahari bersinar dengan cerah dan menyebabkan udara begitu panas. Aku sedang berada di angkot Antapani-Ciroyom, dalam perjalanan pulang dari mengajar privat. Ketika angkot mendekati Istana Plaza, aku melihat sebuah momen yang membuatku tersenyum.
Di sebelah kiri Istana Plaza terdapat deretan ruko. Angkot yang kutumpangi merayap pelan melewati ruko-ruko itu karena angkot sedang mendekati perempatan. Dan mataku terpaku pada sesosok Pengemis tua yang sedang mengangkat tangannya untuk meminta sedekah.
Sebenarnya pemandangan itu biasa saja bila tidak ada seorang Nenek yang berada di dekatnya. Rupanya Pengemis tua itu sedang meminta sedekah pada si Nenek. Maka Nenek itu berhenti dan merogoh dompetnya untuk mencari uang. Lalu diberikanlah uang sekedarnya pada Pengemis itu. Setelah itu si Nenek berjalan kembali dengan tertatih-tatih.
Aku terharu dan tanpa sadar senyumku merekah. Betapa pedulinya Nenek itu pada si Pengemis. Nampaknya usia bukanlah penghambat bagi si Nenek untuk beramal. Dan usia bukan juga dinding bagi kepekaan terhadap sesama manusia.
Kebahagiaan pun merasuk ke dalam hatiku tanpa bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Keindahannya lebih dari yang kata-kata mampu lukiskan. Yang bisa kulakukan adalah tersenyum simpul.
Kenapa aku bahagia menyaksikan itu? Kenapa manusia bahagia bila mereka bisa berbagi pada orang-orang yang dicintainya maupun orang asing?
Kebahagiaan orang lain pun menjadi sumber kebahagiaan bagiku. Senang rasanya bila bisa melihat orang lain bahagia dengan pencapaiannya. Atau bila aku bisa membantunya dalam mencapai impiannya. Tak ada harapan untuk mendapat balasan, karena balasannya sudah langsung kudapat pada saat itu juga: Kebahagiaan melihat mereka bahagia.
Seperti yang baru saja aku alami tadi.
Aku sedang berjalan dengan pelan menuju jurusan Matematika. Ketika aku berada di dekat gedung Sipil-Fisika, aku berjalan dengan meniti pinggiran selokan. Aku sedang tidak terlalu bersemangat hari ini.
Kemudian aku mendapati seorang laki-laki sedang berjalan melewatiku. Kuperhatikan baik-baik penampilannya: Celana pendek selutut, kaus kaki hitam menutupi betis, sepatu kets, jaket, kacamata, dan topi. Bukan kombinasi yang biasa kulihat di ITB. Terlebih lagi, dengan tidak mengurangi rasa hormatku pada Allah yang telah menciptakannya dan pada dirinya sebagai manusia, aku mendapati kalau dia memiliki wajah yang tampak bodoh. Dia tampak kebingungan dan seperti mencari-cari sesuatu.
Penampilan yang tidak biasa kalau dia anak ITB. Seculun-culunnya anak ITB, rasanya aku belum pernah melihat yang seperti itu.
Lalu aku berpikir dia anak SMU yang mau mendaftar SPMB. Tapi setelah berada di dekat gedung Informatika, dia tidak berjalan menuju ruangan pendaftaran, dia malah menuju kantin Borju. Pada saat yang sama, aku sedang menuju jurusan. Aku berjalan mendekatinya.
Lalu dia menegurku sambil menunjukkan selembar kertas kecil. Di situ tertulis "Kokesma ITB. ...stiker ITB..." Intinya, nampaknya dia sedang disuruh untuk membeli stiker ITB oleh seseorang. Dan aku kemudian mengetahui kalau dia bisu. Memang aku mengatakan dia "menegurku". Tapi dia menegurku dengan erangan khas orang-orang bisu. Ternyata itulah alasan dia tampak lain dari yang lain.
Aku berkata sambil menunjuk ke arah utara, "Di sana. Ayo, saya tunjukkan." Maka aku pun terus berjalan dan dia mengikutiku. Sepanjang jalan, aku menyadari bahwa orang-orang yang lewat memperhatikannya juga. Apalagi dia berjalan di dekatku. Tapi aku memilih untuk tidak peduli pandangan mereka. Tidak ada salahnya bukan menolong orang lain, seaneh apapun penampilannya?
Aku menuntunnya ke Kokesma melewati KBL. Jadi, setelah itu, aku bisa langsung berputar ke jurusan. Sesampainya di Kokesma, aku menunjukkan konter tempat penjualan stiker di Kokesma. Aku tidak langsung pergi, tapi aku melihat-lihat dulu majalah Tempo yang dijual di situ. Lalu petugas di Kokesma yang tampak bingung dengannya bertanya padaku, apa yang mau dibelinya. Aku mengatakan kalau dia diberi petunjuk di kertas itu. Baru petugas itu mengerti. Aku pun beranjak dari situ. Baru beberapa langkah aku dipanggil oleh laki-laki tadi dan dia mengerang berterima-kasih. Aku membalasnya dengan senyuman.
Sambil berjalan ke jurusan, yang tidak jauh dari Kokesma, aku berpikir tentang kebahagiaan, tentang berbagi, tentang keberadaan manusia yang tidak semuanya sempurna, tentang langkah kakiku yang menjadi lebih mantap saat itu, dan tentang betapa aku tidak sabar untuk menceritakannya pada Anda...
Friday, June 24, 2005
Wanita
Bukan dari tulang ubun dia dicipta
Sebab berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja
Tidak juga dari tulang kaki
Karena nista menjadikannya diinjak dan diperbudak
Tetapi dia dicipta dari tulang rusuk
Dekat ke tangan untuk dilindungi
Dekat ke hati untuk dicintai...
Kenapa Kita Jatuh Cinta: Fakta-fakta
# Fakta 1
11 Fakta Yang Mempengaruhi Pilihan Seseorang Dalam Jatuh Cinta:
1) Kemiripan, dalam sikap, latar belakang, kepribadian, minat
2) Kedekatan geografis, sama-sama berada dalam suatu lingkungan yang berdekatan, keakraban
3) Karakteristik kepribadian dan penampilan yang menarik
4) Kasih sayang yang timbal balik/fakta bahwa orang lain menyukai kita
5) Kebutuhan yang terpuaskan
6) Getaran fisik dan emosional, karena baru saja mengalami peristiwa yang “luar biasa”, pengalaman dengan hal yang tidak biasa
7) Pengaruh sosial, norma-norma sosial, dan persetujuan orang-orang dalam siklus sosial kita
8) Isyarat khusus dalam suara, tatapan, gerak tubuh, cara berjalan, dari orang yang disukai
9) Kesempatan untuk berdua, tanpa gangguan
10) Kesiapan untuk masuk dalam sebuah hubungan
11) Misteri, dalam situasi atau diri seseorang
# Fakta 2
Jatuh cinta adalah proses positif dan berenergi yang menyebabkan perubahan fisiologis dan psikologis. Arthur Aron menunujukkan pengaruh cinta yang positif pada konsep diri orang-orang. Lagipula, mereka merupakan cakupan dan tingkatan definisi diri mereka, mungkin sebagai hasil dari kekaguman pasangan mereka terhadap aspek-aspek tertentu dalam kepribadian mereka yang mereka diabaikan/tidak mereka hargai. Dengan kata lain, jatuh cinta membantu mengembangkan kepercaya-dirian dan meningkatkan kepribadian. Jelas sekali, jatuh cinta adalah pengalaman positif yang harus dirasakan.
Teman Baik
Sebelum membaca tulisan berikut, sebaiknya Anda membaca tulisan ini dulu.
Teman baik adalah cahaya. Teman baik adalah harta yang tak ternilai.
Teman baik sungguh sulit didapat saat ini. Yang menjadi teman baik sebelum kita mengenal mereka lebih jauh lebih sulit lagi didapat. Karena kelangkaan itulah, saya berusaha agar saya menjadi teman yang baik. Bahkan menjadi teman yang baik sebelum saya mengenal orang lain lebih dekat.
Kadang saya menemukan orang-orang yang saya anggap kaku dan tidak ramah. Tapi saya tidak berkecil hati. Saya akan terus berusaha mendekati mereka. Saya menyadari kalau sikap mereka bukannya tanpa alasan. Hanya saja kadang kita tidak tahu alasannya. Barangkali alasannya serupa dengan yang saya alami: Mereka melihat dunia sebagai tempat yang menyakitkan dan tidak ramah.
Saya berpendapat bahwa sudah menjadi tugas kita, orang-orang yang bisa melihat sisi indah dunia, untuk mengulurkan tangan pada mereka. Mereka bukannya ingin terus-menerus menutup diri. Hanya saja mereka tidak tahu atau mengerti bagaimana caranya keluar dari pemikiran itu. Mereka tidak tahu kalau kepedihan yang mereka alami adalah salah satu cara Allah menempa mereka agar mereka menjadi orang yang kuat. Hanya itulah satu-satunya cara mereka untuk tetap bertahan menghadapi dunia: Dengan menarik diri dari orang lain. Secara total maupun tidak.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah, selarik senyum saja merupakan ibadah dan sedekah. Yang namanya ibadah adalah amalan yang mendapat ganjaran dariNya. Dan ganjarannya tidak hanya datang kepada yang memberi, tapi juga pada yang menerima.
Dengan tersenyum pada orang yang tidak kita kenal, siapa yang tahu, barangkali kita baru saja menyelamatkannya dari kehancuran harga diri yang amat sangat. Dengan menegurnya, barangkali kita bisa membantunya memberi perasaan diterima dan dihargai. Dengan memanggil namanya, barangkali dia akan menyadari kalau dia tidak sendiri; masih ada teman baik yang bisa menyertainya.
Tentu kita tidak selalu sadar akan akibat itu. Tapi yakinlah, Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Thursday, June 23, 2005
Kenapa Kita Jatuh Cinta
Buka-buka blog temen, nemu satu tulisan tentang dia yang lagi jatuh cinta. Tapi sebenernya dia sendiri gak tau dengan jelas apakah dia bener-bener jatuh cinta atau enggak. Membaca tulisannya, saya jadi teringat dengan apa yang saya sendiri alami baru-baru saja.
Coba tebak, apa kira-kira yang baru-baru ini terjadi dengan saya?
Saya baru-baru ini "merasa" jatuh cinta pada seseorang. Kenapa saya katakan "merasa", akan saya jelaskan.
Awalnya biasa saja (seperti lirik lagu saja ya?). Tapi kemudian saya merasa sangat kehilangan dia kalau dia datang dan kemudian langsung pergi. Lalu saya jadi sering memikirkan dia. Sebuah kegiatan "memikirkan seseorang" yang rasanya sudah lama sekali tidak saya lakukan. Semenjak saya memilih untuk hanya menerima seseorang dalam hati saya, ketika dia dan saya sudah berjanji dalam ikatan pernikahan.
Padahal ketika ngobrol langsung atau bersosialisasi dengan dia, kok saya tidak merasakan perasaan malu atau sungkan. Justru saya merasa nyaman saja berbicara dengannya, tanpa ada perasaan ingin "jaga imej" di depan dia.
Itulah yang membuat saya heran. Kalau saya "merasa" jatuh hati padanya, kenapa saya tidak merasa "deg-degan" atau bagaimana bila di dekatnya? Bener gak sih saya jatuh hati padanya? Atau cuma sebuah perasaan yang berlebihan?
Karena penasaran, akhirnya saya mencari tahu lebih banyak tentang "Mengapa Kita Jatuh Cinta (Pada Seseorang)". Dan seolah dimudahkan oleh Allah, dalam pencarian saya itu, saya menemukan sebuah buku dari taman bacaan teman saya.
Dari buku itu saya menemukan banyak sekali analisis psikologi tentang alasan-alasan seseorang jatuh cinta. Sebuah buku yang disebut buku ”aneh” oleh teman saya tadi. Tapi dari buku itu saya bisa lebih mengerti kenapa seseorang jatuh cinta. Ada banyak alasan mengapa kita jatuh cinta. Namun saya akan membahas beberapa saja.
Alasan pertama kita jatuh cinta adalah karena kita melihat bayangan diri kita pada orang itu. Maksudnya, kita mendapati kesamaan dalam sikap, perilaku, kesukaan, minat, dan banyak faktor lain. ”Bayangan diri” kita ini juga berarti kita melihat sebuah kemiripan fisik orang itu dengan kita sendiri, atau orang tua kita. Yang notabene kita akrabi dan membuat kita nyaman karena sudah kita kenal dengan diri kita sendiri atau orang tua.
Yang kedua adalah karena kita melihat adanya ”lawan” dari diri kita. Maksudnya, bila kita misalnya adalah orang yang pendiam dan tertutup, maka dia adalah orang yang ramai dan terbuka. Ini disebut daya tarik dari hal yang berlawanan.
Hanya dua hal itu yang saya bicarakan. Saya mendapati bahwa hal yang ”mirip” dan hal yang ”berlawanan” merupakan faktor yang mendominasi alasan kita jatuh cinta. Dan kita seringkali tidak menyadarinya. Dan saya menekankan bahwa kemiripan bukan hanya pada fisik semata, tapi juga pada perilaku dan minat. Tapi jangan mengabaikan fisik lho. Karena saya sering sekali menemukan pasangan yang mirip wajahnya walaupun dari rautnya saja, walaupun orang tidak melihat kemiripannya.
Menarik bukan? Atau ada salah satu dari Anda sudah mengetahuinya?
Saya langsung menganalisis dirinya setelah selesai membaca buku itu. Dan saya mendapati beberapa hal yang memang mirip dengan diri saya darinya. Dan saya tidak mengingkari bahwa saya memang jatuh hati padanya. Namun toh tidak saya sebutkan siapa orangnya, selain hanya pada diary saya.
Barangkali Anda akan heran membaca pertanyaan berikut: Saya lega juga saya bisa jatuh cinta lagi. Kenapa? Setelah sekian lama tidak merasakan hati berbunga-bunga, ada semacam kesegaran yang saya rasakan dalam dada ini. Seperti disiram air dingin ketika sedang kegerahan. Jujur saja, sudah lama tidak ”memikirkan seseorang”, saya merasa ada kedataran perasaan yang tidak bisa saya jelaskan. Bukan kehampaan, tapi kedataran perasaan.
Jatuh hati punya resiko memang. Dan saya merasakan resiko itu. Rasiko yang paling jelas adalah patah hati. Yah, namanya juga menyukai seseorang, harus siap patah hati kan?
Saya mendapati bahwa tampaknya dia sedang menyukai seseorang. Namanya juga dihijab oleh Allah, saya tidak tahu siapa yang dia kejar saat ini. Tapi saya tidak mau berlama-lama dalam patah hati. Saya sudah tahu resiko jatuh hati, maka saya tidak boleh meratapi diri ketika patah hati. Itu pilihan saya sendiri.
Mengenai ”jaga imej”, teman saya berkomentar: Kalau kita jatuh cinta pada seseorang, dan kita tidak merasa sungkan atau jaga imej, berarti orang yang kita sukai itu cocok untuk kita. Nah lho? Kalau begitu, saya benar-benar jatuh hati padanya? Nampaknya iya...
Monday, June 20, 2005
Terang Bulan
Belakangan ini hujan mulai mengguyur
Tapi di malam hari umumnya cuaca cerah. Tidak setiap malam udara dingin, tapi hamper tiap malam berangin. Bila langit cerah, bintang-bintang dan bulan akan tampak ketika mereka sedang menghias langit. Jernih…sekali.
Dulu, ketika aku masih tinggal di alamat jalan Wiranta no.79B, aku menempati kamar di lantai dua. Letak kamar itu di bagian belakang rumah. Suasana rumah penduduk di sekeliling kosan tidak terlalu terang. Namun keadaan itu merupakan keuntungan besar buatku. Sedikit cahaya dari permukaan bumi membantuku melihat cahaya dari langit malam dengan jelas.
Selama semester kedua di tingkat satu, aku melewatkan banyak malamku untuk memandangi langit yang cerah. Aku betah berlama-lama duduk di teras. Malah aku kadang berbaring di atas tembok yang membatasi teras itu dengan atap bagian depan rumah. Kulakukan ritual itu baik di masa sibuk maupun di masa tenang kuliah.
Pemandangan yang kusaksikan sungguh luar biasa. Dengan pemandangan langsung tanpa penghalang ke langit, aku menyaksikan pergerakan bumi dan pergantian posisi bintang dan bulan. Bila bulan baru terbit dari timur, bulan terasa sangat besar dan dekaaaat... sekali. Aku pun hapal posisi bintang-bintang. Kadang aku mencoba untuk menghubungkan bintang-bintang yang berdekatan, mencoba untuk membuat rasi bintang baru, dan membayangkan bentuk yang bisa terjadi dari hubungan itu.
Sambil memandangi bulan dan bintang, aku merenungi hari-hariku. Kadang aku hanya duduk tanpa memikirkan apa-apa, hanya ingin merasakan momen-momen yang bergerak dengan lambat di bawah bintang dan bulan.
Walau angin malam bertiup kencang, aku tidak kapok. Biar tidak sakit, aku sudah mempersiapkan diri dengan pakaian yang berlapis-lapis. Baju, sweater, lalu jaket. Untuk bawahan, aku memakai dua lapis celana panjang. Kadang aku memakai kaus kaki.
Bila penghuni kosan sedang lengkap, kami bercengkerama di teras atas sambil makan atau minum. Kami membicarakan banyak hal dan berbagi bersama. Sekarang penghuni kosan itu sudah berpencar. Tiga orang sudah lulus dari STT Tekstil. Dua orang lagi sedang menyusun TA. Dua orang sedang kuliah lagi, satu mengambil D4 di Unpad, satu lagi mengambil PGTK di UPI. Satu orang sudah menikah sebelum masa kontrakan habis dan sekarang sudah mempunyai satu orang putri berusia satu tahun lebih. Dan satu orang yang terakhir (dan termuda) adalah aku. I really miss them a lot!
Mengingat kenangan indah membuat hatiku hangat, tenang, dan nyaman. Melihat langit yang cerah dan dihiasi bulan pun membuatku merasa tenang. Aku merindukan tempat kos-ku yang lama. Tempat di mana aku bisa memandangi langit dengan bebas. Tempat kos yang sekarang memang nyaman dan personal. Tapi tempat ini tidak mempunyai teras yang bisa digunakan untuk memandangi langit sambil berbaring. Jadi aku harus bisa puas dengan jendela yang ada di kamarku.
Di bawah terang bulan, aku senantiasa teringat masa-masa indah yang kujalani bersama teman-teman satu kos yang lama. Di dalam keheningan malam, aku merasakan hangat memenuhi dadaku.
Hidupku Pada Sebuah Kanvas
Pada mulanya aku adalah sebuah kanvas putih. Belum ada apa-apa di atasku. Lalu Lampung selama dua belas tahun pertama memberi goresan sketsa kasar dari diriku. Lulisanku masih berupa kerangka dasar. Ditambah sapuan samar warna pastel untuk latar belakangnya. Tapi hitam dan putih masih mendominasi kanvas.
Semarang memberi sedikit aksen pada kanvas. Ada biru di sudut atas, kuning di sebagian besar kanvas, merah muda di ujung-ujungnya, dan hijau di samping kiri-kanan.
Bekasi menegaskan warna-warna pastel bagi latar belakang. Lukisanku mulai terlihat jelas, namun belum tegas. Masih belum terlihat garis-garis raut wajahku. Entah aku tersenyum atau ekspresiku datar saja. Lalu ada warna hitam yang menaungi sekelilingku. Belum banyak detil.
Jakarta menambah jelas latar belakangku. Garis-garis dipertegas. Warna biru tua, merah cerah, ungu, memberi aksen pada kanvas. Hijau dengan berbagai variasinya menutupi sudut-sudut kanvas. Namun tetap saja, masih banyak ruang kosong pada kanvas.
Bandung mempertegas raut wajahku. Ada sedikit tarikan sudut bibir ke atas. Warna hitam ditutupi oleh warna biru langit. Lukisanku terlihat cerah. Ada sedikit bayangan hitam. Latar belakangnya kini lebih hidup. Namun lukisanku masih juga belum sempurna. Ruang-ruang kosong masih tetap ada. Bahkan terdapat ruang kosong itu berada di sebelahku, seakan menunggu sebuah sketsa baru. Meskipun lukisanku mulai jelas dan senyumku tampak lebar, lukisanku belum utuh, masih terlihat seperti diselimuti kabut.
Kapankah lukisanku akan sempurna? Aku belum tahu. Yang kutahu, aku harus tetap melengkapi gambar itu....
Tuesday, June 14, 2005
Kita Di Masa "Saat Ini"
Dari delapan buah film yang saya pinjam di minggu pertama, saya akan membahas satu film berjudul "The Butterfly Effect".
Secara singkat, film yang dibintangi Ashton Kutcher ini bercerita tentang seorang pria yang sering mengalami blackout di masa kecilnya. Dia tidak ingat apapun yang terjadi pada saat blackout itu.
Setelah mengalami berbagai kesedihan di masa kecilnya, dia menjalani kehidupan sebagai mahasiswa bahagia tanpa blackout selama tujuh tahun. DIa senang sekali. Sampai kemudian suatu malam dia berkencan dan teman kencannya itu menemukan buku-buku jurnal hariannya sejak kecil. Gadis itu mengeluarkan beberapa dan meminta Ashton untuk membaca salah satu dari catatan itu. Kemudian saat dia membaca catatan itu, tiba-tiba sekeliling dia menjadi bergetar dan hilang. Dan dia mendapati dirinya berada di dalam masa yang diceritakan di catatan harian itu.
Dia dapat menguasai dirinya dan mengendalikan bahkan mengubah apa-apa yang sudah terjadi pada masa kecilnya itu. Dan begitu dia sudah mengubah kejadian di masa kecilnya, dia terbangun dalam keadaan hidup yang berbeda dari keadaan sebelum dia mengubah masa lalunya.
Cerita itu berjalan bolak-balik antara masa lalu dan masa kini Ashton. Berkali-kali perubahan dia lakukan. Dan berkali-kali juga jalan nasibnya berubah. Termasuk jalan nasib tiga orang temannya yang turut menjadi bagian dari cerita. Tapi jalan nasib mereka tidak semua bahagia ketika Ashton mengubah satu bagian dari masa lalunya.
Akhirnya, untuk yang terakhir kalinya, Ashton memutuskan untuk mengubah masa lalunya di kala Ashton berkenalan dengan teman perempuannya. Akhirnya mereka semua berakhir bahagia.
Itu cerita dalam film. Setelah saya menontonnya, saya berpikir, tentu saja hal itu tidak akan terjadi di alam nyata.
Cerita film itu menyentak saya dengan ide bahwa apa yang kita perbuat saat inilah yang akan menentukan bagaimana masa depan kita. Kalau mengingat lagi film The Butterfly Effect, masa kini yang kita miliki harus benar-benar digunakan untuk mempertimbangkan tindakan kita. Bila kita salah dalam memutuskan pilihan mana yang akan ditempuh, tentunya masa depan kita tidak akan baik lagi.
Tapi apa sih ukuran baik-buruknya masa depan? Apakah sekedar kehidupan mapan dan nyaman seperti di The Butterfly Effect?
Apapun yang kita putuskan memang harus sangat dipertimbangkan dengan hati-hati sekali. Bila kita ingin "berakhir" dengan baik. Jadi takut ya? Iya, saya juga takut. Saya merasa kalau hidup ini jadi sangat sempit dan tidak membahagiakan ketika memikirkan "akhir" itu. Namun, saya juga teringat bahwa manusia itu tidak lepas dari skenario Allah, Yang Maha Kuasa. Apapun yang kita lakukan sudah diatur, bahkan ketika kita memutuskan sesuatu. Kita semua "diperjalankan" oleh Allah.
Kalau begitu, dimana letak nilai perjuangan kita, bila semua kehidupan ini sudah diatur? Bukankah kalau sudah diatur sedemikian rupa, kita tidak perlu lagi khawatir dengan rezeki, jodoh, mati, ilmu, ujian, dan sebagainya? Jadi kita bisa bermalas-malasan dong?
Ya tidak begitu. Dengan tidak membuka rahasia takdir, Allah berkehendak agar manusia dan semua mahluknya menjemput takdir itu. Di situlah letak nilai perjuangan hidupnya.
Jadi, saya tidak bisa hanya sekedar bermimpi dan berharap takdir baik akan datang begitu saja bukan? Ya..., begitulah.
[Sebenarnya saya agak kesulitan dalam menemukan kata-kata untuk menulis sebagian dari kalimat di tulisan ini. Silahkan dikritik. Tulisan ini adalah perenungan dan teguran bagi saya terhadap kehidupan saya sendiri...]
Relativitas Nilai Uang
12 Juni 2005
Di tengah kuliah Geometri, di suatu siang yang tenang di kampus, saya terlibat percakapan yang seru dengan seorang teman saya di deretan bangku paling depan. Percakapan kami lakukan dalam bahasa inggris karena isinya case sensitive. Paling tidak untuk kami berdua.
Siapa teman saya itu? Tidak perlu menyebut namanya di sini. Tapi dia adalah teman seangkatan saya, tetangga satu komplek di Priok, teman yang terkenal sangat sanguinis, dan kami berdua akrab serta cocok satu sama lain.
Jadi, pembicaraan kami adalah mengenai relativitas nilai uang. Awalnya dia bertanya pada saya, “Can you believe that i could spent only about 400 grand per month for my needs? But it’s beyond the expenses for room rent, 400 grand. So, totally i spend about 700-800 grand per month.”
Dan saya berkata, “Yes, i believe that. Because i experienced that too before. With room rent that cost 125 grand per month or 1,5 millions a year, i spend 500 grand per month.”
“Wow, that’s cheap! Maybe because your room rent is cheap, huh? Ok, i’ll explain my condition. One day, my father and i had a conversation. My father said that he’s broke now. He aleady retired, so he must recondition their budget in order to make everyone in this family happy. So we bargain and we agreed that i will receive 500 grand per month since then. Can you imagine? My room rent cost 400 grand. So i must find a way to cover my expenses every month.”
Dan saya berkomentar sambil tersenyum sedikit geli, “Now you know how it feels to gain money by your own hand, huh?”
Sambil terus mengobrol, saya teringat pada diri saya sendiri sewaktu TPB. Waktu itu saya dikenal sebagai “wiraswastawati” oleh teman-teman sekelas dan sekos saya. Saya mendapat julukan itu karena saya giat berjualan kue-kue di kelas selama hampir dua semester. Untungnya tidak seberapa, tapi kalau ditotal, labanya cukup untuk uang makan siang satu kali yang agak mewah buat saya.
Setelah tingkat dua, saya tidak melakukan kegiatan berjualan lagi karena 1) Saya mau istirahat dari berjualan, 2) Pesaingnya sudah banyak, antara lain teman yang sedang saya ajak bicara dan teman dari himpunan, 3) Saya sudah mendapat pekerjaan sebagai guru privat yang penghasilannya lebih besar daripada berjualan kue, 4) Kondisi keuangan saya sudah membaik. Tapi saya paham betul apa yang dirasakan teman saya itu.
Bagaimana rasanya? Seperti ini: Bila jam makan siang sudah tiba, saya makan di kantin Salman dan membeli nasi bungkus karena harganya jauh lebih murah daripada makan di tempat. Dan saya sudah menyiapkan sendok dari rumah. Nasi yang saya beli itu saya makan di kantin Salman juga. Saya menebalkan muka dari pandangan teman-teman dan pegawai kantin Salman. Semua itu demi penghematan!
Kalau cerita teman saya lain lagi. Saya mengetahui keadaannya dari tangan kedua, bukan dari dia langsung. Jadi temannya itu bercerita bahwa satu saat mereka makan bersama di warung Indomie. Waktu mau makan, dia dihadapkan oleh dua pilihan, mie goreng atau mie rebus. Akhirnya dia memilih mie rebus yang berkuah. Dengan begitu dia tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membeli minuman!
Saya tertawa geli sekali waktu mengetahui itu. Geli padanya sekaligus geli pada diri sendiri. Tapi tawa saya benar-benar geli tanpa ada muatan sinis.
Sekarang keadaan saya sudah lebih longgar. Dulu sewaktu TPB, penghematan itu saya lakukan karena uang yang saya peroleh tiap bulan tidak cukup untuk membeli buku. Padahal saya adalah monster buku. Maka saya menerapkan strategi itu. Tapi jumlah uang bulanan itu sendiri tidak terlalu besar, sih.
Kenapa saya menceritakan ini? Ada beberapa alasan yang mendorong saya menulis tentang ini. Pertama karena saya sudah lama punya ide untuk menulis tentang ini. Kedua karena saya membaca tulisan teman saya, Teh Ika, yang bertemakan “Relativitas Nilai Uang”. Dan yang terakhir adalah karena suatu peristiwa yang saya alami pagi ini.
Saya sedang berada di warung yang dimiliki pemilik kosan saya untuk membeli nasi. Saya ke situ sambil membawa tempat air minum untuk diisi ulang. Saat berada di dalam (saya boleh masuk ke dalam untuk mengisi air minum), ada pemuda yang berbelanja di warung itu. Lalu saya mendapati bahwa yang dia beli adalah sebungkus rokok entah merek apa, yang harganya 7200 rupiah. Lantas di kepala saya terputarlah semua memori dan ide tentang relativitas nilai uang.
Saya membandingkan harga sebungkus rokok itu dengan nasi bungkus yang baru saja saya beli. Harga nasi setengah porsi dengan gulai telur rebus dan sayur tumis dihargai 2200 rupiah. Sementara rokok seharga 7200 itu akan terbakar habis ke udara. Nasi itu membantu saya mengisi hari dan memberi gizi. Sementara rokok itu membantu pemuda itu menambah penyakit bagi dirinya, orang lain, dan lingkungan (saya memang anti rokok). Dengan uang 2200 rupiah perut saya kenyang pagi ini. Dengan uang 7200 pemuda itu belum tentu kenyang. Dan uang 7200 itu nilainya kira-kira sama dengan uang makan saya satu hari!
Anda boleh tidak percaya. Tapi di kampus saya ada yang bisa hidup dengan uang 150 sampai 200 ribu sebulan. Saya tahu dan dekat dengan orangnya. Sementara itu pada saat yang sama, banyak mahasiswa yang pengeluarannya sebulan di atas satu juta rupiah. Saya pun tahu orangnya.
Saya tidak bermaksud menyalahkan mahasiswa yang mempunyai kelonggaran seperti itu. Saya pun tidak iri. Tapi saya hanya berpikir-pikir betapa luar biasa nilai uang itu! Nilai uang itu relatif, tergantung ada di tangan siapa uang itu. Dan mahasiswa yang punya budget 150-200 ribu sebulan itu baik-baik saja tanpa merasa kesusahan atau bagaimana (Alhamdulillah teman saya itu mendapat beasiswa sehingga dia bisa mendapat sedikit kelonggaran).
Jadi suatu uang bisa sangat berharga bagi satu orang, tapi tanpa arti bagi orang lain. Lantas saya punya satu pertanyaan. Bukankah orang-orang yang punya standar tinggi terhadap nilai uang (maksudnya serba terbatas), lebih banyak jumlahnya di negeri ini? Tidak bisakah orang-orang dengan standar tinggi terhadap nilai uang dijembatani dengan orang-orang yang punya kondisi lebih lapang dalam harta?
Kepekaan itu tidak bisa datang begitu saja. Kepekaan harus dilatih. Keadaan yang saya ceritakan itu tidak kasat mata. Tapi ia akan kasat mata manakala kita berhenti sejenak dan memperhatikan. Atau mendengarkan...
Friday, June 10, 2005
Film & Bahasa Asing
Semalam saya menonton tiga buah film. Yaitu The Stepford's Wifes, Resident Evil 2, dan White Noise. Semua film selesai ditonton jam setengah dua pagi. Mulai nonton jam delapan malam, diselingi istirahat sekitar dua puluh menit.
Masih ada lima film lagi yang menanti.
Saya sudah lama ingin menonton film-film yang saya sewa tersebut. Apalagi dari Zoe Corner a.k.a. Comics Corner diberikan bonus lima film lagi kalo kita minjem lima film. Tapi waktu pinjam gak nambah. Jadi rata-rata saya harus menghabiskan dua film dalam sehari selama lima hari untuk bisa menyelesaikan semua film.
Hmmm, capek juga. Tapi seneng.
Balas dendam ceritanya. Udah beres ujian dan tugasnya. Tinggal mengisi liburan dengan sesuatu yang bermanfaat. Misalnya belajar bahasa asing atau memperdalamnya. Pelajaran bahasa Jepang saya mandek karena waktunya saya prioritaskan untuk yang lebih penting. Lalu bahasa Inggris. Nilai TOEFL saya yang terakhir baru di atas 520. Itu bukan skor yang bagus untuk saya. Grammar masih kacau, menulis dalam bahasa Inggris juga blom bisa banget, apalagi kalo mau keluar negeri.
Makanya saya meminjam film-film berbahasa Inggris dan memilih untuk gak menggunakan teks melayu atau indonesia (saya minjem DVD). Alhamdulillah telinga saya sudah bisa menangkap perkataan aktor-aktris dengan baik. Jadi, walau gak ada teks, saya bisa menikmati jalan cerita dengan baik.
Bandingkan dengan dua tahun yang lalu. Membaca novel sederhana dalam bahasa Inggris saja masih seret. Namun saya memaksakan untuk terus membaca walau gak ngerti apa yang diomongin buku itu. Dalam waktu setahun, membaca teks bahasa Inggris bukan lagi masalah. Pernah saya tidak sadar kalo yang saya baca adalah teks bahasa Inggris sampai saya ditegur oleh teman saya karena dia gak ngerti apa yang dibaca, sementara saya tidak menjelaskan apa-apa ke dia karena saya pikir dia mengerti. Yah, itu yang terjadi. Saya sudah gak inget lagi kalo itu berbahasa asing karena sudah enjoy dalam membaca teks bahasa Inggris.
Saya jadi berpikir: Pelajaran yang saya dapat selama di LIA dari level Intermediate I samapi Advanced I kok kurang membekas ya? Justru saya blom bisa membaca teks bahasa inggris dengan baik samapi saya kuliah. Padahal les di LIA sejak kelas satu. BArangkali karena saya orang yang gaya belajarnya harus praktek langsung, baru saya berkembang dengan luar biasa cepat.
Kadang saya merasa lebih senang membaca sebuah buku dalam bahasa Inggris (bahasa ibu pengarang buku itu) karena ada hal-hal yang kadang hilang dalam proses transliterasi, karena keterbatasan bahasa kita. Dan saya berharap saya bisa segera menguasai bahasa Perancis dan Jerman (saya mulai belajar sedikit-sedikit, basic-nya bisa). Karena banyak literatur bagus yang berbahasa Perancis dan Jerman.
Semoga. Saya sedang menyusun-ulang semua rencana hidup saya. Seperti kemampuan apa saja yang akan saya perdalam, kemampuan apa saja yang sudah saya rencanakan untuk pelajari tapi belum sempat dilakukan, seberapa baik kesehatan kepribadian saya (jiwa), target-target yang harus dicapai dalam masalah duniawi, dan masih banyak lagi. Termasuk mendaftar semua buku yang pernah, sedang, dan ingin saya baca.
Mumpung liburan. Saya bisa melakukan hal-hal yang tidak akan bisa saya lakukan tanpa waktu yang benar-benar lowong. Sudah liburan... ^o^
Thursday, June 09, 2005
Sederhana Yang Tidak Sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
[Sapardi Djoko Damono]
DIserang Rasa
Aku merasa tidak berharga
Tidak ada arti dibanding orang lain
Penyesalan datang tanpa henti
Kerendah-dirian menghinggap
Tanpa ampun menggerogoti
Semua terjadi kadang karena setitik kesalahan
Atau sebongkah kekhilafan
Atau segunung kesombongan...
Diriku terasa tak punya harga
Apa yang dilakukan tiada arti
Air mata pun tidak menolong
Yang kuinginkan adalah sendiri
Tapi aku juga ingin seseorang
Seorang yang membantuku berdiri lagi
Atau aku akan melupakan semuanya lagi
Dan menumpuknya dalam jiwa
Hingga hati menghitam
Wednesday, June 08, 2005
Jejak Waktu
Minggu, 05 Juni 2005.
Seminggu terakhir ini cuaca Bandung kembali tidak menentu. Di pagi hari mendung, di siang hari cerah bahkan kadang panas menyengat, kemudian di sore hari mendung lagi. Setiap pukul enam pagi aku melihat ufuk barat daya tersaput awan tebal. Biasanya garis matahari sudah terlihat jam segitu. Tapi itu tidak berlangsung lama. Dalam sekejap, aku bisa merasakan hangatnya pelukan mentari. Sekitar jam tujuh sampai jam setengah delapan matahari berhasil keluar dari cengkeraman awan suram itu.
Kadang udara lembab. Angin bertiup kencang, membuat badan tidak enak. Padahal sekarang sudah musim kemarau.
Paling tidak sore ini cerah di daerah Cicadas. Karena aku pulang ba’da Asar, aku bisa menikmati cerahnya langit sambil memandangi awan yang menggantung.
Sambil berjalan menuju tempat kosku, aku mendapati bahwa sekarang sudah musim layangan. Kemanapun mata kuarahkan, aku melihat segi-empat kecil beterbangan menghiasi langit. Angin yang bertiup kencang di atas sana tampaknya mendukung penggemar layangan.
Semakin dekat ke kosan, aku mendapati hal yang lain. Capung-capung sekarang sering mengunjungi daerah tempat kosku. Bahkan dua hari yang lalu ada seekor capung yang masuk ke kamar tidurku. Aku baru mengetahui keberadaannya di pagi hari. Nampaknya dia masuk malam sebelumnya dan tidak bisa menemukan jalan keluar.
Sebuah ritme biasa dari kehidupan biasa yang dijalani oleh lingkunganku. Tapi bagiku semua itu tidak biasa. Aku merasakan keindahan dari semua itu. Ditambah lagi ketenangan yang biasanya datang di hari Minggu. Waktu bagai mengapung dengan tenang. Tenang. Begitu tenang. Sesuatu yang sudah lama tidak bisa kurasakan karena pikiranku selalu ramai.
Setidaknya bagiku.
Sudah lama aku tidak bisa merasakan waktu. Aku benar-benar tidak merasakan jejak waktu dalam jiwaku. Tubuhku sih merasakan jejak waktu. Tapi itu tidak seberapa kupikirkan. Selama dua tahun belakangan ini, waktu seakan tidak meninggalkan apa-apa pada jiwaku selain kebingungan dan luka. Aku menjadi pesakitan yang terkungkung dalam dunia maya di kepalaku.
Tapi pada saat yang sama waktu mengerucut ke satu titik. Titik yang membantuku keluar dari penjara jiwa ini. Titik yang membantuku menemukan dunia yang jauh lebih luas dari dunia maya dalam kepalaku.
Waktu memberi luka dan memberi penyembuhan. Suatu paradoks? Tidak, aku yakin. Tidak ada peristiwa—yang dialami manusia—yang menjadi sesuatu paradoks. Semua itu sudah diatur oleh Ynag Maha Teliti dan Sempurna. Manusia hanya belum bisa menemukan benang merah dari “paradoks-paradoks” yang mereka alami bila mereka merasakan ada paradoks dalam perjalanan nasibnya. Itulah kesimpulan yang kudapat ketika aku kembali menengok ke belakang, ke jalan yang telah kutempuh selama ini.
BTW, aku berbicara ini sesuai dengan kerangka berpikirku. Jadi sangat mungkin Anda tidak setuju denganku.