Suatu hari seorang Bapak bertanya pada anak lelakinya yang belajar di pesantren.
"Nak, kamu solat buat apa?"
Bukannya menjawab, si anak malah bertanya balik, "Saya hidup buat apa?"
Si Bapak terdiam. Maka percakapan mereka yang sangat singkat itu pun berakhir.
Saya salut dengan anak lelaki itu. Di usianya yang belia dia sudah bisa bersikap kritis dan berpandangan jauh ke depan. Kebutuhan intelektualitasnya terpenuhi dengan baik. Buktinya dia bisa membuat Bapaknya terdiam (bukan karena kalah debat) karena ketajaman pandangannya.
Yang dimiliki anak lelaki itu tidak saya miliki hingga saya kuliah di tingkat tiga universitas saya. Sama halnya juga dengan beberapa kemampuan agar kita tidak dibodohi oleh orang lain. Perkembangan saya sebagai seorang anak tidak seberapa normal. Saya terpaksa bersikap dewasa dan menghadapi kerumitan-kerumitan permasalahan orang dewasa di usia yang belia. Oleh karena itu saya tidak sempat belajar bagaimana bertata-krama yang benar, bagaimana caranya agar dekat dengan orang lain (keluarga), bagaimana menyampaikan perasaan atau ide tanpa pemaksaan, dan berbagai keterampilan "manusia beradab" lainnya.
Tapi aku diberi anugerah yang luar biasa dengan keberadaanku di kampus ini...
Di saat orang lain sedang sibuk mengejar cita-citanya, saya masih berkutat dengan pencarian makna. Kondisi ini membuat saya sebal dengan diri sendiri. Ketika saya bercerita tentang ini pada seorang teman, jawabannya lumayan menghibur dan mencerahkan:
"Les, pencarian makna kamu itu gak salah. Coba saya kasih kamu contoh. Ada anak yang diberitahu orangtuanya kalau Tuhan itu ada. Sampai dia dewasa, dia percaya Tuhan itu ada. Kalau dia percaya begitu saja tanpa berusaha mencari sendiri keberadaan Tuhan itu, maka dia bukan percaya pada Tuhan sebenarnya, tapi dia percaya sama orangtuanya. Kalau dia mencari Tuhannya dan bertanya terus-menerus, berarti dia mencoba untuk memperkuat keyakinannya bahwa Tuhan itu memang ada..."
Lalu saya juga sedang memiliki masalah lain. Saya adalah bookacholic. Dalam seminggu bisa dua buku tebal saya habiskan kalau sedang niat betul untuk membaca. Jumlah itu belum termasuk dengan koran, majalah, komik, dan buku-buku ringan. Tapi itu dulu. Semenjak dua bulan yang lalu, bacaan bukan lagi benda yang menarik buat saya.
Ketika dulu saya melihat buku, saya langsung bersemangat dan berkeinginan untuk membacanya. Sekarang meilhat buku saya tidak merasakan ketertarikan lagi. Saya merasa biasa saja. Bahkan bila saya sedang memulai untuk membaca sebuah buku--yang tipis sekalipun--baru beberapa halaman saya sudah "menyerah" karena tidak tertarik.
Gawat, membaca tidak kusukai lagi!
Saya mengklaim diri saya menjadi pragmatis gara-gara itu. Selain itu juga, saya tidak suka berpikir yang rumit-rumit sekarang. Maksudnya terhadap wacana atau permasalahan politik dunia ini. Wong mendengar berita dari radio, TV, koran, majalah saja tidak. Saya tampaknya sedang punya kecenderungan untuk mengisolasi diri dari peristiwa-peristiwa di luar kampus-tempat kos.
Saya pun bercerita pada seorang teman lain tentang ini. Kemudian dia menjelaskan bahwa ada tiga jenis orang. Pertama orang yang pragmatis, kedua orang yang idealis, dan ketiga orang yang realis. Dia berkata kalau saya itu (secara otomatis) sedang menjadi orang yang realis. Alasannya adalah pikiran saya itu sedang berkonsentrasi pada kuliah saya dan kegiatan di unit di Salman. Jadi saya jangan langsung mencap diri saya pragmatis.
Bagaimana menurut Anda? Ada apa dengan saya?
4 comments:
Kalau kupikir, proses pencarian itu harus dicari sendiri. Walau bisa juga dibantu orang lain, tapi tetep sebatas membantu. Pada akhirnya, tetap diri sendiri yang menentukan.
Pragmatis, idealis, realis... Bagiku ketiganya pasti dialami oleh tiap orang. Ingat ngga Les, cerita Salim dari kuliah sosiologi tentang buaya, perempuan yang mau menyebrangi sungai, orang yang mau menyebrangkan dengan 'syarat' tertentu dan pasangannya di sebrang sungai. Dalam lanjutan penjelasan dari kisah antik itu, masing-masing tokoh dalam cerita itu mewakili bagian dari diri manusia.
Ada kalanya manusia berpikiran praktis, seperti halnya singa yang bisa begitu garang sekaligus lemah lembut dihadapa anak-anaknya. Perubahan-perubahan pragmatis-realis-idealis hanya fase yang emnurutku terjadi terus-menerus. Bahkan kalau salah satu unsurnya hilang, ia takkan pernah mengalami proses yang disebut pencarian.
Malaikat misalnya, bisa diletakkan dalam simbol ideal, namun ia diminta tunduk pada manusia. Kenapa? Bagiku jawabannya sederhana, yaitu karena manusia harus berjuang terlebih dahulu untuk menemukan dirinya dihadapan Sang Khalik dan sesamanya.
Jadi(di matematik kan harus diakhiri dengan jadi), seorang pragmatis, sama juga artinya dengan menjadi manusia, yang ta pernah berhenti mencari :D
Enggak ngerti, Q, hubungan komentar ZQ dengan tulisan Ales...
Ya, artinya jawaban itu ada di dalam kamu sendiri. Kamu sendiri yang harus menemukan jawaban itu. Ini bukan PR/UAS yang bisa selesai biarpun kamu mencontek kerjaan orang lain.
Biarpun, misalnya Yuti, memberikan penjelasan panjang lebar, jawaban pertanyaan kamu ada di diri kamu sendiri.
Ya itulah proses pencarian.
Zaki Akhmad.
http://blog.zakiakhmad.info
Post a Comment