Tuesday, January 03, 2006

Melankolis

Dulu saya pernah mengikuti kuis yang ada di sebuah buku bersampul kuning. Judul buku itu Personality Plus, yang membahas tentang empat tipe kepribadian: melankolis, sanguinis, plegmatis, dan koleris.

Pada tes pribadi yang saya lakukan di SMU itu, saya memperoleh hasil bahwa saya adalah orang yang Plegmatis-Melankolis, dengan sifat plegmatis yang lebih dominan satu angka. Beberapa tahun kemudian, ketika saya sudah tingkat tiga, saya melakukan tes lagi. Hasilnya? Saya masih orang yang memiliki sifat plegmatis dan melankolis. Tapi sekarang urutannya terbalik. Saya didaulat sebagai orang yang Melankolis-Plegmatis dengan skor melankolis lebih tinggi satu angka daripada skor plegmatis. Itu menurut hasil tes dari buku kuning.

Bagaimana dengan sifat koleris dan sanguinis? Apakah saya tidak memilikinya sama sekali? Ada kok. Sifat koleris saya meningkat (terbukti dengan meningkatnya skor saya untuk ‘koleris’). Skor ‘koleris’ saya hanya dua angka di bawah ‘plegmatis’. Sanguinis? Hanya sedikit. Mungkin saya bukan tipe orang yang bisa membuat orang senang dan tertawa ya?

Dulu, ketika saya baru mengenal kata ‘melankolis’ (berarti dari buku kuning itu), saya mengira artinya adalah hanya ‘sifat yang senantiasa menuntut kesempurnaan’. Memang arti itu tidak salah, tapi saya selalu terbentur ketika membaca dan mendapati adanya kalimat ‘orang berwajah melankolis’. Saya bertanya-tanya, apakah orang itu memiliki wajah yang menyiratkan kesempurnaan? Atau wajah orang itu sempurna (saya sendiri tidak tahu bagaimana wajah orang yang semprna itu)? Apakah orang itu serius sekali? Atau apa?

Jawabannya baru saya dapatkan awal bulan Desember ini. Lama juga ya? Jawabannya tidak saya peroleh secara langsung. Saya mendengar teman saya berbicara sesuatu tentang ‘wajah melankolis’.

“Eh, ternyata Ales baru tau kalo Ales suka wajah dengan tipe seperti wajah Adrien Brody,” tukas saya pada seorang teman dekat.

“Adrien Brody? Wajahnya kan melankolis banget, seperti orang yang lagi sedih?” tanyanya dengan heran.

Detik itu juga saya mengerti, apa arti ‘orang dengan wajah melankolis’. Ya, memang. Saya menyukai orang dengan wajah sendu seperti itu.

Pada kesempatan lain, saya berbincang dengan seorang teman tentang lagu-lagu instrumental piano. Saya berkata, “Rul, dari lagu-lagunya Chopin (baca: shopang), Ales suka lagu seperti Posthumous (Nocturne no.20 in C sharp minor) atau lagu yang dimainkan Adrien Brody pas dia ketemu kamerad Jerman di film The Pianist itu. Yang nada-nadanya sedih dan minor gitu deh.”

“Hmmm, itu lagu-lagu yang melankolis... Berarti Ales orang yang melankolis dong?” komentarnya.

Dua pendapat teman saya itu meneguhkan fakta bahwa saya memang orang yang melankolis. Bukan berarti saya sedih terus sepanjang hari atau saya tidak pernah tertawa. Tapi...., bagaimana ya? Kalau saya mendengar lagu instrumental piano yang melankolis atau lagu Per Te yang dinyanyikan Josh Groban, saya merasa damai. Nada-nadanya yang tenang bisa menenangkan jiwa saya. Begitu pula kalau saya melihat wajah Brody, ada keteduhan dalam raut wajahnya. Saya baru bisa menjelaskan sifat melankolis saya dengan hal-hal yang saya sukai. Tapi dalam berpikir atau bertindak, saya belum bisa menguraikannya.

Ada yang bisa memberitahu saya tindakan apa saja yang termasuk kategori melankolis?

8 comments:

Anonymous said...

Kalo ini kunjungan yang ke-"sekian" kali...:p

Entah kenapa, saya kok gak terlalu tertarik untuk meng-"kotak-kotak"-an diri seperti itu ya? Meskipun ada sifat dominan...entah itu melankolis, plegmatis, korelis atau sanguis..tapi, menurut saya, kadang di saat tertentu...dominasi itu berpindah ke sifat yang lain. Kadang saya mikir, emang penting ya kita tahu tentang itu??

ikram said...

Iya saya juga nggak terlalu tertarik tuh.

Tindakan yang bisa dibilang melankolis .... gimana kalo tindakan yang terlalu memikirkan perasaan?

Unknown said...

Oho!
Terima kasih atas sarannya. Menurut saya, ada gunanya juga sih mengetahui hal-hal seperti itu. Bukan untuk mengkotak-kotakan diri, tapi justru membantu utuk mengenal diri sendiri.

Awan Diga Aristo said...

mmm...mengenal diri sendiri ya?? tidakkah justru jadi mengekang perkembangan diri??

sepaham sama 2 komen sebelumnya, sy juga ga terlalu mempedulikan beginian...pasalnya, agak aneh juga, misalnya waktu saya di kongres, sama anak2 kongres sy dibilang plegmatis. tapi waktu di studio plano, sy dibilang koleris berat. Nah, kalo di kosan, sy dinilai sanguinis sama temen2 kosan...(oke, jarang banget yang bilang sy melankolis, kecuali kalo abis ngedenger saya nyanyi :p karena bikin orang jadi sedih :p )

Apakah ini berarti saya manusia jenis baru?? jenis yang tidak konsisten??
Sederhananya, manusia itu berkembang, dan punya daya adaptasi yang hebat, termasuk beradaptasi mengenai masalah sikap dan tingkah laku (disesuaikan dengan kondisi dan lawan interaksinya). Mematok diri dalam salah satu pengkategorian itu, bukankah malah bisa menghambat fleksibilitas perkembangan??

tapi ada gunanya juga sih, minimal kita bisa punya perkiraan awal mengenai seseorang (kalo kita tau orang itu mengkategorikan dirinya dalam kelompok apa)..

udah kepanjangan ya?? maaf..

Anonymous said...

kalo artinya Per Te apa sih?

Anonymous said...

Well done!
[url=http://waapnyjc.com/avtw/ixii.html]My homepage[/url] | [url=http://cxnsqryy.com/nkbd/bghf.html]Cool site[/url]

Anonymous said...

hasil tes memang bisa berubah2
tergantung keseharian kita juga
aku juga suka nulis tentang kepribadian
membantu lebih kenal diri sendiri & orang lain

Tia Ayu Ajeng Sari said...

Kalau boleh tau, kira-kira saya bisa ikut tes seperti itu dimana ya? Berhubung saya sudah tidak di bangku sekolah/kuliah lagi. Terima Kasih