Ini memang aneh dan saya sendiri belum tahu mengapa saya bisa begitu. Sampai sekarang saya belum mengetahui dengan pasti kenapa saya hanya cenderung pada hal-hal itu. Tapi keinginan itu timbul begitu kuatnya dan terus-menerus meneror saya dengan hasrat ingin memiliki. Saya benar-benar ingin memiliki ketiga hal itu dan hidup saya rasanya tidak lengkap tanpa ketiga hal itu. Hanya tiga hal itu yang sampai saat ini bisa membuat saya punya keinginan sebesar itu. Setelah saya memiliki dua hal pertama, saya merasa hidup saya cukup. Saya tidak ingin yang macam-macam lagi. Kalaupun ada keinginan, rasanya tidak sebesar ketiga hal itu.
Oke, oke. Tapi apa sih yang kamu omongin, Les?
Anda boleh tertawa. Semenjak saya kuliah, tiba-tiba saja saya punya tiga impian yang mendesak saya terus-menerus. Okelah, saya terobsesi untuk memiliki tiga hal ini. Apa saja? Pertama ponsel, kedua komputer, dan ketiga—piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip...
Maaf, maaf. Karena kebijakan intern, yang ketiga tadi disensor. Hal ketiga tadi tidak bisa disebarluaskan di media yang dapat diakses oleh khalayak umum seperti ini. Harap dimaklumi karena hal ketiga berkaitan dengan masalah pribadi. Hanya kalangan tertentu yang dapat mengetahuinya. Bila Anda punya kepentingan mendesak sehingga harus mengetahui hal yang ketiga, silahkan menghubungi penulis.
Alhamdulillah, benda pertama yang saya impikan saya peroleh di semester kedua tingkat satu. Meski saya diberi yang bekas dan sudah tidak seberapa sempurna, entah kenapa, ponsel Nokia 8210 itu benar-benar sesuai dengan yang saya butuhkan. Meski di sekitar saya saat itu sedang gencar-gencarnya ponsel dengan layar berwarna (polikromatik) beredar, saya tidak peduli. Saya benar-benar mendapatkan apa yang saya butuhkan: ponsel yang ringan, tipis, kapasitas penyimpanan nomor telepon 250 nama (plus kapasitas di kartu SIM 250 nomor juga), baterai tahan lama, menu yang pas dengan kebutuhan saya, warna layar ponsel yang putih terang (bukan biru yang bikin sakit mata), dan ada fasilitas untuk membuat dering telepon sendiri.
Saya memiliki ponsel itu hingga tingkat tiga semester pertama. Entah mengapa, pada semester itu Papa tiba-tiba menelpon dan mengatakan akan mengganti ponsel saya dengan yang lebih ‘canggih’. Saya tidak menyangka kalau saya akan diberikan ponsel baru. Saya tidak meminta sama sekali. Tapi saya senang saja. Siapa sih yang mau menolak untuk dibelikan ponsel yang lebih gress? Oke. Barangkali ada yang menolak. Tapi saya sih tidak.
Nokia seri 6610. Itulah yang Papa berikan pada saya. Layar polikromatik dengan ukuran pixel yang besar, bahkan lebih besar dari ponsel-ponsel merk lain yang dilepas ke pasaran pada saat yang sama dengan N6610, dering poliphonik, ada radio, ada fasilitas GPRS untuk koneksi ke internet (belum pernah saya gunakan), waktu pengisian baterai hanya satu setengah jam untuk empat hari, tapi tidak ada kamera. Seri N6610i yang ada kameranya. Dengan tambahan beberapa fasilitas lainnya, saya merasa yang saya dapatkan itu lebih dari cukup. Fitur MMS jarang saya gunakan. Saya tidak punya keinginan sedikitpun untuk memiliki ponsel berkamera. Teknologi yang ada sekarang belum cukup untuk membuat hasil jepretan ponsel berkamera cukup bagus. Saya lebih senang bila saya memiliki kamera digital sendiri, terpisah dari fungsi ponsel. Lagipula biaya yang dikeluarkan lebih murah. Apalagi sekarang banyak sekali merk yang menawarkan produk kamera digital plus ukuran pixel yang semakin besar dengan harga yang makin terjangkau (5 megapixel menjadi mainstream saat ini).
Cukup dulu deh omongan tentang ponsel. Apa keinginan keduanya?
Maaf, maaf. Keasyikan cerita tentang ponsel. Sekarang saya akan cerita tentang keinginan saya yang kedua. Benda itu adalah komputer.
Ketika saya tingkat dua, saya mengikuti kuliah yang sangat menuntut untuk mengerjakan tugas. Setiap minggu ada tugas yang mengharuskan saya menyelesaikannya dengan komputer. Bukan sekedar komputer biasa lagi. Komputernya harus dilengkapi dengan program matematika dan pengolahan data statistik. Jarang ada rental komputer yang menyertakan program statistik pada komputer-komputernya. Yang saya tahu komputer seperti itu hanya ada di lab komputer departemen Matematika ITB.
Masalahnya, saya hanya bisa menggunakan komputer di lab itu sampai jam tujuh malam. Dengan adanya kuliah dan pratikum di lab itu, otomatis kesempatan saya terbatas. Ketika saya ada kesempatan di sore hari, komputer di lab itu dipenuhi orang-orang yang main game online seperti... Walah, saya lupa apa nama game itu. Itu lho, kita menjadi seorang penembak yang notabene seorang tentara. Saya masih tidak ingat juga namanya. Yang saya ingat selain game tadi adalah Warcraft dan Ragnarok. Saya sebal bukan main melihat kenyataan itu. Saya gondok. Tapi saya bertahan dengan keadaan yang serba terbatas itu. Akhirnya semester itu berlalu. Saya senang. Saya bersyukur. Apalagi setelah mengetahui fakta bahwa satu lab (ada dua lab di departemen Matematika) yang memang sering digunakan untuk main game online terserang virus sehingga jaringannya kacau. Otomatis lab itu aman dari orang-orang tidak bertanggungjawab yang kerjaannya hanya main game melulu, bukannya menggunakan waktunya untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna.
Fiuuuuuuuh...
Satu saat, beberapa hari sebelum pernikahan sepupu saya yang anak bungsu di keluarganya, saya mendapat ilham. Pada hari itu, entah bagaimana, saya merasa jalan bagi saya untuk memiliki komputer sendiri terbuka lebar. Sangat lebar. Setelah dua setengah tahun menunggu dan berharap-harap cemas bagaimana saya bisa memiliki komputer. Saya punya tabungan yang cukup. Dengan tambahan dana dari ortu dan sedikit poci-poci ke ortu, saya diperbolehkan untuk memiliki komputer!
Yippiiiiiiiiiiiiii! Selama ini saya merasa kalau saya tidak akan bisa punya komputer. Biaya untuk sekolah adik saya di Sekolah Menengah Farmasi sedemikian besar sehingga keperluan-keperluan dengan dana yang besar bisa dibilang masih agak sulit untuk dipertimbangkan. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah... Jadi, saya punya komputer secara resmi pada akhir Mei. Setelah saya bongkar-bongkar lagi perhitungan uang saya, saya masih bisa membeli printer. Akhirnya saya membeli printer. Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah...
Kalau dihitung-hitung, jarak antara terkabulnya dua impian saya yang pertama sekitar dua tahun. Yang pertama di semester kedua tingkat satu dan yang kedua di semester dua tingkat tiga. Kalau saya boleh berharap, saya mengekstrapolasikan waktu dua impian sebelumnya dan mendapat waktu terkabulnya impian ketiga saya, yaitu sekitar satu tahun delapan bulan dari sekarang. Yah, hitung-hitung sekitar semester dua tahun kelima saya kuliah, saat saya mau lulus. (Amin!)
Apa sih impian ketiganya?
Saya sudah mengikrarkan harapan di depan Bibi saya tercinta, Bu Dara, bahwa saya berdoa dan berharap, bahwa impian saya terkabul saat saya mau lulus nanti insya Allah. Saya mengatakan pada seorang teman dekat saya lebih spesifik lagi kalau saya berharap dalam waktu dua tahun ini saya ingin mengejar impian saya yang ketiga itu. Hayooo, yang merasa dirinya ‘teman dekat’saya dan mendengar omongan saya tentang itu, ngacung!
Mohon doanya juga ya.
I’m a girl with many wishes...