Setelah seminggu tidak ke jurusan dan menyentuh lab komputer beserta internetnya, akhirnya saya kembali duduk dengan manis di depan salah satu komputer lab. Dan di dalam hati saya berkecamuk berbagai perasaan.Setelah membuka-buka blog teman dan mencermati isinya, saya mendapat ide untuk menulis tulisan ini. Iya, yang judulnya Kekaguman ini.
Dalam blog seorang teman saya, dia menulis sebuah tulisan pendek yang berisi kutipan dari temannya yang "menghilang perlahan". Dia mengatakan kalau dia mengagumi temannya itu.
Dari tulisannya, ada sebuah kata yang menyentak saya. Lebih tepatnya, sebuah frase. Frase itu adalah yang saya kagumi.
Dalam pikiran saya langsung diputar semua memori peristiwa-peristiwa yang sudah saya alami selama dua puluh tahun hidup saya. Tentu saja memori yang saya bisa ingat. Dan otak saya memilah memori-memori itu dan mencari memori yang berkaitan dengan frase ”orang yang saya kagumi”.
Ternyata saya tidak terlalu mudah untuk kagum dengan sungguh-sungguh terhadap seseorang. Orang-orang yang saya maksud di sini adalah orang-orang yang sudah saya temui dan saya kenal dalam hidup saya. Ketika di awal saya kagum pada penampilan pertamanya, tak seberapa lama kemudian saya akan mendapati bahwa orang itu tidak sehebat yang dikesankannya. Barangkali karena saya perfeksionis, ketika ada orang yang tampaknya sempurna namun kemudian ketahuan dia tidak sesempurna bayangan saya, saya jadi biasa saja tuh terhadap orang itu. Tidak takut, sungkan, atau bagaimanaaaa... gitu!
Bahkan terhadap Presiden RI sekali pun. Apa ada yang salah dalam diri saya?
Bener lho. Ketika otak saya mencari orang-orang mana yang saya betul-betul kagumi, yang keluar cuma ada satu nama: Rasulullah SAW.
Sebelumnya saya luruskan beberapa hal. Otak saya mengeluarkan nama Rasulullah bukan karena saya sebagai muslim yang ”merasa harus mengagumi beliau atas tuntutan iman”. Bukan pula karena beliau memang suri tauladan yang terbaik. Tapi karena Rasulullah benar-benar membuat saya terkagum-kagum. Bahkan bila saya sedang sedih dan membayangkan bagaimana bila saya bertemu Rasul, hati saya akan makin pilu dan air mata saya menitik.
Melihat keadaan saya dan melihat realita yang ada, saya tetap saja terheran-heran. Kenapa saya heran? Contohnya begini: Anda lihat perilaku fans-fans dari selebritis? Mereka, terutama perempuan, akan menjerit-jerit, berjingkrakan, bahkan sampai pingsan ketika melihat idola mereka. Contoh lainnya adalah sekelompok orang dalam sebuah sekte agama yang mau mati bersama karena tokoh yang dikagumi mereka meminta pengorbanan mereka untuk dirinya sebagai bukti cinta.
Ya, saya heran seheran-herannya. Kenapa mereka bisa begitu buta ya? Kok kekaguman mereka samapi taraf yang membahayakan jiwa mereka sendiri ya? Tidakkah mereka melihat kalau manusia-manusia yang mereka kagumi itu juga seorang manusia seperti mereka?
Well, saya memang tidak..., tepatnya belum mengerti alasan mereka itu. Saya yang sudah mendapat pengajaran dari Allah-lewat hidup saya-tentang kekaguman yang tidak perlu, merasa beruntung dan bersyukur karena saya tidak termasuk orang yang mudah kagum terhadap manusia lain. Saya akhirnya menyadari, barangkali orang-orang yang tenggelam dalam kekaguman berlebihan seperti di atas yang disebut mabuk atau tidak sadar. Mereka tidak punya kuasa atas apa-apa yang terjadi pada hidup mereka. Yang berkuasa adalah faktor-faktor eksternal yang sangat dominan bagi mereka.
Dan hal seperti inilah coba diberantas oleh Rasulullah empat belas abad yang lalu. Ada istilah taghut dalam Al Quran. Secara sederhana, taghut adalah segala hal selain Allah yang dipuja dan disembah oleh manusia. Taghut adalah hal-hal yang membuat manusia melupakan bahwa Allah adalah Yang Maha Tinggi, satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Ketika manusia tenggelam dalam pemujaan kepada taghut, dalam realita duniawi, mereka mulai membuat kerusakan di muka bumi. Kerusakan macam apa? Minimal mereka tidak bisa lagi berpikir jernih terhadap kesalahan yang telah mereka buat. Lama-lama, keadilan akan bergeser menjadi ketimpangan. Kemudian, yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah.
Tapi patut dicatat bahwa “kebenaran” yang saya sebut di sini adalah kebenaran berdasarkan nilai-nilai tauhid yang saya yakini. Karena bila tidak saya tegaskan, “kebenaran” sendiri menjadi bahan perdebatan panjang. Seperti yang dikatakan oleh Dart Sith dalam film Star Wars episode III, ”Rightness is depends on certain point of view”. Jadi saya menggunakan sudut pandang saya.
Eh, tapi Anda jangan menyangka bahwa saya berpendapat kalau mengagumi manusia lain tidak boleh, lho! Saya juga mengagumi orang lain kok. Yang saya maksud dalam tulisan ini, sebaiknya kekaguman terhadap orang lain itu ada dalam batas yang wajar. Contohnya mengagumi orang lain kemudian menjadi kita terinspirasi untuk mencapai kebaikan atau kesuksesan seperti orang yang kita kagumi.
Eh, kok jadi ngelantur jauh ya? Hihihi… Sudah dulu deh. Nanti makin jauh ngelanturnya.
No comments:
Post a Comment