Gara-gara baca blognya Ikram, saya jadi inget pengalaman di bank Mandiri waktu mau buka tabungan...
Saya baru aja dari Simprug, itu loh, daerah di deket Pondok Hijau di Jakarta Selatan. Jauhnya bukan main dari Priuk. Saya yang naik bis harus capek badan dan capek hate gara-gara nyariin daerah yang namanya Simprug itu. Udah tau jauh, ngapain ke sana?
Dulu, sewaktu SMA, saya pernah ikutan lomba menulis esai dalam acara Jakarta Book Fair 2000. Karena menang, saya dapet hadiah berupa tabungan sebesar Rp 300,000.-. Yang nyeponsorin adalah Bank Mandiri, jadi tabungannya dibuat dari teller di stan Mandiri yang memang ada di pameran buku itu. Di buku tabungan tertulis 'Bank Mandiri cabang Simprug'. Waktu itu yang kebayang adalah Simprug itu adalah daerah perkantoran di seberang Senayan (maklum, belom kenal betul Jakarta waktu itu).
Setelah tahu kalo saya gak tau sama sekali Simprug itu dimana, saya bergerilya seharian di Jakarta Selatan.
Ok, ok. Gak seharian dan gak di seluruh Jaksel. Di sekitar Pondok Hijau aja.
Setelah ketemu banknya, saya kuras tabungan yang tersisa, terus saya pulang.
I'm coming back home...
Sampe di Priuk, saya langsung ke bank Mandiri cabang Yos Sudarso dan buka tabungan baru. Huf, bakal aman deh uangku sekarang.
Ngapain saya mindah-mindahin rekening? Begini, Jakarta Selatan itu jauh. Sementara aktivitas saya di Priuk. Jadi saya pikir lebih baik saya mindahin tabungan. CAPEK kalo harus bolak-balik Simprug-Priuk cuma untuk ngurus tabungan.
Sesampainya di sana bank Mandiri Yos Sudarso, saya ke bagian customer service dan langsung minta formulir pembukaan rekening. Hanya perlu sekejap untuk saya terpesona.
Yang melayani saya itu seorang mbak-mbak yang berwajah manis. Wulan namanya. Matanya coklat jernih seperti batu ambar. Wajahnya mungil, kulitnya putih, orangnya ramah. Baru kali itu saya ketemu pegawai bank yang simpatiknya gak dibuat-buat sama sekali. Tulus. Keliatan kalo pribadinya memang bagus banget. Gak bosen-bosen saya memperhatikan Mbak Wulan ini (oke, saya perempuan normal dan kekaguman saya sebatas normal, oke?).
Tutur katanya lembut dan menyenangkan. Pokoknya seneng banget dilayani oleh Mbak Wulan itu. Setelah saya beres mengisi semua form dan buku tabungan saya jadi, saya pulang dengan hati lapang.
Sebulan kemudian saya baru sempat pulang ke Priuk lagi untuk ngambil kartu ATM. ATM saya baru jadi seminggu dari tanggal pembukaan rekening saya. Tapi karena saya masih kuliah di Bandung dan baru bisa pulang empat minggu setelahnya, saya baru ke Mandiri, ya empat minggu kemudian.
Masuk ke bank, saya langsung masuk ke bagian pengambilan ATM. Setelah menunggu beberapa lama, saya dipanggil. Yang melayani adalah seorang mbak yang lumayan cantik. Tapi kemudian...
"Hmmm...," katanya, sambil nyari amplop berisi kartu ATM saya, "...udah sebulan gak diambil ya, Mbak??" nadanya menyalahkan. Saya jadi ikutan merasa bersalah. Si Mbak gak senyum sama sekali. Tapi saya tau kalo saya masih BERHAK ngambil ATM saya sebulan setelah tanggal pembuatan karena batasnya enam bulan.
"Ini, silahkan tanda tangan di sini." Saya tanda tangan.
Dia merobek amplop ATM dan menunjukkan bagian yang ada nomor PIN saya. "Ini nomor PIN-nya," dia menunjukkannya dengan cepat sekali dengan cuma menyorongkan tangannya trus langsung ditarik lagi. Matanya gak memandang sekalipun ke saya. Lalu si Mbak nyerahin amplop itu.
"Makasih," kata saya. Saya berlalu dengan gondok. Tapi dalam hati saya mencoba untuk menerima bahwa mungkin suasana hati si Mbak lagi gak enak.
Fuuuuh, orang memang gak bisa diprediksi. Ternyata gak gampang untuk menemukan orang seperti Mbak Wulan yang ramah itu. Meski di bank sekaliber bank Mandiri sekalipun.
Bener ya, ternyata jadi pekerja yang berada di frontline susah-susah-gampang. Meski cuma senyum aja, kita perlu usaha keras. Apalagi kalo lagi ada masalah. Repotnyaaa. Tapi yang saya alami cuma satu itu aja. Sebelumnya saya belum pernah ketemu pagawai bank Mandiri sejutek Mbak tadi. Tapi sekalinya nemu, saya langsung merasa gak enak.
Wah, kalo SPG/teller kayak gitu semua, mana ada pelanggan yang mau datang lagi? Semoga aja enggak.
It's the way you make me feel...
Wednesday, December 28, 2005
Wednesday, December 21, 2005
Janji Joni
Jadi ceritanya saya mau bercerita tentang nonton di bioskop.
Sudah bertahun-tahun semenjak saya pergi ke bioskop untuk yang terakhir kalinya. Seingat saya, terakhir kalinya saya ke bioskop adalah ketika di SD kelas empat. Saya baru datang ke bioskop lagi tahun ini, sekitar bulan Agustus kemarin.
Kenapa saya jarang ke bioskop? Bukannya saya tidak mampu untuk membeli tiket bioskop, tapi saya pikir lebih baik saya menonton di komputer atau di TV saja kalau saya mau melihat film-film tertentu. Atau saya menyewa DVD/VCD dan saya tonton di rumah. Lebih hemat. Saya bisa membeli buku atau pulsa lebih kalau saya tidak ke bioskop.
Satu hari saya diajak teman saya dari unit kegiatan untuk menonton film Batman Begins. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya setuju karena yang ikut menonton lumayan banyak. Yah, hitung-hitung mempererat hubungan pertemanan. Bertahun-tahun tidak duduk di kursi bioskop membuat saya kaget juga. Saya tidak terbiasa dengan lebar layar bioskop dan sound system yang sedemikian menggelegarnya. Film Batman Begins menjadi film yang berkesan buat saya, selain karena efek yang ditimbulkan dalam bioskop.
Semenjak itu saya jadi memperhatikan peredaran film yang ada di bioskop.
Kali lain, saya menonton film Janji Joni di komputer teman saya. Sebelum menonton itu, saya punya satu prasangka jelek pada film-film dan sinetron-sinetron Indonesia di kepala saya (selain Petualangan Sherina). Apalagi setelah hebohnya film Buruan Cium Gue itu. Pokoknya film Indonesia itu enggak sebanding deh dengan film barat yang lebih profesional penggarapannya, lebih bagus akting pemainnya, lebih baik jalan ceritanya, dan "lebih-lebih" lainnya.
Tapi setelah film Janji Joni selesai, saya berkesimpulan kalau film itu bagus juga. Oke, saya memang sudah keliru karena memperumum masalah yang kurang tepat kalau diperumum. Seharusnya saya lebih objektif dan optimis kalau para sineas Indonesia sedang berupaya mengembangkan film Indonesia menuju film-film yang lebih baik.
Karena film Janji Joni itu juga saya jadi tahu kalau ada pekerjaan semacam pengantar film. Bukannya yakin, saya malah mempertanyakan keberadaan profesi itu. Bener gitu?
Sewaktu saya sedang antri untuk membeli tiket film Harry Potter 4, saya baru ngeh kalau ada petugas berpakaian hijau yang mondar-mandir dari arah studio 2 ke studio 7 di bioskop BIP sambil membawa gulungan film yang dibungkus tas kain sederhana. Oh, pikir saya, ternyata beneran ada pekerjaan sebagai pengatar film itu. Tapi yang di BIP itu enggak seperti si Joni di Janji Joni yang harus bolak-balik ke dua bioskop.
Dalam film Janji Joni juga diceritakan tentang pita film yang kadang suka memberikan tanda-tanda tertentu kalau mau habis gulungannya. Trus salah satu tokoh yang menyebalkan dalam film itu ngomel-ngomel tentang 'pita film yang udah stretch kalau filmnya diputar untuk hari kedua dan seterusnya'.Dan diceritakan juga kalau penonton kecewa karena filmnya terputus di tengah jalan gara-gara Joni terlambat sampai di bioskop. Saya berpikir kalau hal-hal itu juga cuma ada di film. Saya lagi-lagi bersikap skeptis.
Nah, ketika saya sedang menonton film Narnia yang pertama di BIP hari Senin lalu, saya mendapati hal yang serupa. Untungnya film enggak putus di tengah jalan. Tapi sempet ada potongan iklan yang muncul secara cepat sebelum film berlanjut. Penonton sempat mengeluarkan teriakan 'bhuuuuuuu'. Pada kesempatan lain ketika film diputar, gambar yang diproyeksikan tidak tajam. Beberapa lama kemudian gambar tajam lagi.
Apa yang saya alami sendiri itu paling tidak memberi saya bukti bahwa yang diceritakan di film Janji Joni tidak fake. Yah, artinya dalam penilaian saya film Indonesia cukup kompeten dalam segi isi, tidak sekedar mengandalkan wajah tampan atau cantik dari aktor-aktrisnya.
Akhirnya saya mendapat pengetahuan baru dan pelajaran bahwa saya harus banyak-banyak 'membaca' sekitar saya agar pikiran saya tidak sempit.
Sudah bertahun-tahun semenjak saya pergi ke bioskop untuk yang terakhir kalinya. Seingat saya, terakhir kalinya saya ke bioskop adalah ketika di SD kelas empat. Saya baru datang ke bioskop lagi tahun ini, sekitar bulan Agustus kemarin.
Kenapa saya jarang ke bioskop? Bukannya saya tidak mampu untuk membeli tiket bioskop, tapi saya pikir lebih baik saya menonton di komputer atau di TV saja kalau saya mau melihat film-film tertentu. Atau saya menyewa DVD/VCD dan saya tonton di rumah. Lebih hemat. Saya bisa membeli buku atau pulsa lebih kalau saya tidak ke bioskop.
Satu hari saya diajak teman saya dari unit kegiatan untuk menonton film Batman Begins. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya setuju karena yang ikut menonton lumayan banyak. Yah, hitung-hitung mempererat hubungan pertemanan. Bertahun-tahun tidak duduk di kursi bioskop membuat saya kaget juga. Saya tidak terbiasa dengan lebar layar bioskop dan sound system yang sedemikian menggelegarnya. Film Batman Begins menjadi film yang berkesan buat saya, selain karena efek yang ditimbulkan dalam bioskop.
Semenjak itu saya jadi memperhatikan peredaran film yang ada di bioskop.
Kali lain, saya menonton film Janji Joni di komputer teman saya. Sebelum menonton itu, saya punya satu prasangka jelek pada film-film dan sinetron-sinetron Indonesia di kepala saya (selain Petualangan Sherina). Apalagi setelah hebohnya film Buruan Cium Gue itu. Pokoknya film Indonesia itu enggak sebanding deh dengan film barat yang lebih profesional penggarapannya, lebih bagus akting pemainnya, lebih baik jalan ceritanya, dan "lebih-lebih" lainnya.
Tapi setelah film Janji Joni selesai, saya berkesimpulan kalau film itu bagus juga. Oke, saya memang sudah keliru karena memperumum masalah yang kurang tepat kalau diperumum. Seharusnya saya lebih objektif dan optimis kalau para sineas Indonesia sedang berupaya mengembangkan film Indonesia menuju film-film yang lebih baik.
Karena film Janji Joni itu juga saya jadi tahu kalau ada pekerjaan semacam pengantar film. Bukannya yakin, saya malah mempertanyakan keberadaan profesi itu. Bener gitu?
Sewaktu saya sedang antri untuk membeli tiket film Harry Potter 4, saya baru ngeh kalau ada petugas berpakaian hijau yang mondar-mandir dari arah studio 2 ke studio 7 di bioskop BIP sambil membawa gulungan film yang dibungkus tas kain sederhana. Oh, pikir saya, ternyata beneran ada pekerjaan sebagai pengatar film itu. Tapi yang di BIP itu enggak seperti si Joni di Janji Joni yang harus bolak-balik ke dua bioskop.
Dalam film Janji Joni juga diceritakan tentang pita film yang kadang suka memberikan tanda-tanda tertentu kalau mau habis gulungannya. Trus salah satu tokoh yang menyebalkan dalam film itu ngomel-ngomel tentang 'pita film yang udah stretch kalau filmnya diputar untuk hari kedua dan seterusnya'.Dan diceritakan juga kalau penonton kecewa karena filmnya terputus di tengah jalan gara-gara Joni terlambat sampai di bioskop. Saya berpikir kalau hal-hal itu juga cuma ada di film. Saya lagi-lagi bersikap skeptis.
Nah, ketika saya sedang menonton film Narnia yang pertama di BIP hari Senin lalu, saya mendapati hal yang serupa. Untungnya film enggak putus di tengah jalan. Tapi sempet ada potongan iklan yang muncul secara cepat sebelum film berlanjut. Penonton sempat mengeluarkan teriakan 'bhuuuuuuu'. Pada kesempatan lain ketika film diputar, gambar yang diproyeksikan tidak tajam. Beberapa lama kemudian gambar tajam lagi.
Apa yang saya alami sendiri itu paling tidak memberi saya bukti bahwa yang diceritakan di film Janji Joni tidak fake. Yah, artinya dalam penilaian saya film Indonesia cukup kompeten dalam segi isi, tidak sekedar mengandalkan wajah tampan atau cantik dari aktor-aktrisnya.
Akhirnya saya mendapat pengetahuan baru dan pelajaran bahwa saya harus banyak-banyak 'membaca' sekitar saya agar pikiran saya tidak sempit.
Thursday, December 15, 2005
Heran
Saya sering mendapati orang terheran-heran dengan saya. Mereka heran dengan apa mereka sebut ‘wawasan luas’ yang saya miliki. Semenjak saya SMP (ketika saya sudah mulai bisa berpikir dan menimbang dengan benar) hingga sekarang, saya sering mendapat keheranan itu. Padahal saya pikir itu biasa saja.
Contoh yang paling dekat adalah ketika saya mengikuti Latihan Mujahid Dakwah 159 dari Salman pada 21-24 Oktober yang lalu. Ketika kami, para peserta LMD, sedang menikmati makan malam bersama, saya sempat disangka anak jurusan Biologi. Apa pasalnya? Sambil makan, saya berbicara dengan salah seorang panitia dan menyarankan agar susu murni tidak diberikan pada peserta sebagai ta’jil untuk berbuka puasa. Saya bilang kalau kasein dalam susu adalah bagian yang sulit dicerna. Kalau susu diberikan pada saat berbuka, perut biasanya akan kaget. Bagi yang memiliki lambung yang kuat tidak masalah. Tapi bagi yang tidak, perutnya bisa terkena diare.
Para peserta yang semeja dengan saya rupanya mendengar dengan seksama dan beberapa orang bertanya beberapa hal lebih lanjut. Lantas mereka bertanya apakah saya dari jurusan Biologi. Saya jawab, “Matematika”. Mereka terkejut. Hal itu terlihat jelas dari wajah mereka setelah mengatakan kalau saya dari jurusan Matematika. Beberapa jam setelah itu ada satu orang peserta yang bertanya, darimana saya bisa mendapat ‘pengetahuan yang luas’ itu. Saya bilang kalau saya mendapatkannya dari membaca (tampaknya saya membaca dua atau tiga kali lebih banyak dari mereka). “Waaaaah,” katanya. Saya menambahkan kalau pengetahuan saya tentang kesehatan semacam itu berguna sekali di masa mendatang, terutama nanti kalau kita menjadi orangtua dan harus membesarkan anak-anak. Dia manggut-manggut mendengar saya berkata begitu.
Saya masih ingat sampai sekarang, satu momen di tengah pelajaran Geografi di SMP. Si Ibu sedang membahas potensi ekonomi beberapa daerah di Indonesia. Saat itu, Ibu Guru bertanya apakah ada yang tahu siapa pengusaha kuda yang lumayan tersohor di Indonesia. Murid satu kelas saling menengok ke kiri dan ke kanan. Mereka semua angkat bahu. Tidak ada yang tahu. Akhirnya mata si Ibu mengarah ke saya. Saya langsung berkeringat dingin. Saya tahu kalau si Ibu akan melihat saya karena saya adalah si Rangking Satu (saya tidak terlalu bangga akan hal itu; masalahnya, setiap kali ada apa-apa, saya yang diandalkan; padahal saya tidak selalu tahu; kan repot kalau tidak bisa menjawab).
“Eeeeeeeee...,” saya mengulur waktu sebentar. “Bob Sadino, Bu,” akhirnya saya menjawab sekenanya.
Tanpa dinyana, si Ibu Guru berkata begini, “Yaa. Betul, Les. Bob Sadino, anak-anak...”
Hah?! Bener ya? Padahal..., sumpah, gua cuma nebak-nebak.
Pada masa itu, di televisi sering disiarkan iklan yang menampilkan Bob Sadino di tengah ranch miliknya sambil berkuda. Saya lupa iklan apa. Mungkin iklan teh. Iklan dengan Bob Sadinonya itu tidak menjelaskan secara eksplisit kalau Bob Sadino adalah pengusaha kuda. Yang digambarkan adalah satu makna hidup, entah apa. Saya tidak bisa ingat secara persis, habis sudah lama sekali. Tapi dari iklan itulah saya mendapat kesimpulan sembarangan bahwa Bob Sadino adalah pengusaha kuda, bukan dari buku Geografi. Kesimpulan itu yang saya gunakan untuk menjawab pertanyaan si Bu Guru.
Belakangan saya sering berpikir, apa jangan-jangan si Ibu Guru bertanya tentang pengusaha kuda gara-gara melihat iklan itu juga ya? Entahlah. Tapi paling tidak, saya mendapatkan gambaran jelas bahwa sebagian besar siswa sekolah saya waktu itu minat membacanya sangat rendah. Yang saya maksud adalah membaca buku atau teks. Dan fakta itu berimbas pada pola pikir mereka. Buktinya iklan yang saban hari terpampang di hadapan mereka tidak membuat mereka mendapatkan sesuatu. Mereka tidak terbiasa membaca teks sehingga ‘membaca’ yang lain pun tidak bisa. Tapi lagi-lagi ini hanya kesimpulan saya yang sembarangan.
Saya bersyukur memiliki orangtua yang memiliki minat baca tinggi meski mereka hanya lulusan SMU. Wawasan mereka luas dan bahasa Inggris mereka bagus sekali. Minat membaca itu pun mereka tularkan kepada kami anak-anaknya. Mereka berlangganan majalah Tempo, Gatra, koran Kompas dan Pos Kota. Kadang mereka membeli majalah Humor (sekarang majalah itu sudah tidak pernah saya lihat lagi di pasaran). Saya jadi ikut membaca bacaan-bacaan orangtua itu. Untuk kami anak-anaknya, mereka membelikan majalah Donal Bebek dan Bobo. Ketika majalah remaja Kawanku terbit pun, Mama saya membelikannya. Belum lagi novel-novel karya Enid Blyton dan Agatha Christie yang senantiasa dibaca oleh Mama.
Saya melihat bahwa keheranan orang-orang pada saya adalah sesuatu yang wajar. Mereka melihat saya sebagai orang yang tahu banyak tentang berbagai hal. Tapi ada ‘tapi’-nya. Saya menilai bahwa orang-orang melihat wawasan yang saya miliki dengan kekaguman itu, tidak—atau mungkin belum—menyadari bahwa diri mereka sendiri pun memiliki pengetahuan yang tidak saya miliki. Yah, singkatnya, rumput tetangga lebih hijau.
Terlepas dari kekaguman orang-orang itu, saya tidak merasa bahwa wawasan yang saya miliki suatu hal yang patut dibanggakan (dan semoga saya tidak bangga karena mengatakan ini). Saya mengetahui semua itu karena saya memang ingin mengetahuinya. Lagipula saya memang membutuhkannya. Seperti sedikit pengetahuan saya tentang kesehatan dan cara kerja tubuh. Pengetahuan itu berguna sekali ketika saya sedang sakit dan membutuhkan pertolongan pertama. Saya jadi tidak terlalu tergantung pada obat-obatan kimia yang memang tidak terlalu baik untuk kesehatan bila digunakan terus-menerus. Saya pun dapat membantu teman-teman saya bila mereka sakit, tentunya sebatas yang saya mampu. Intinya, ilmu yang saya miliki itu sangat bermanfaat.
Tapi tetap saja orang heran pada saya.
Contoh yang paling dekat adalah ketika saya mengikuti Latihan Mujahid Dakwah 159 dari Salman pada 21-24 Oktober yang lalu. Ketika kami, para peserta LMD, sedang menikmati makan malam bersama, saya sempat disangka anak jurusan Biologi. Apa pasalnya? Sambil makan, saya berbicara dengan salah seorang panitia dan menyarankan agar susu murni tidak diberikan pada peserta sebagai ta’jil untuk berbuka puasa. Saya bilang kalau kasein dalam susu adalah bagian yang sulit dicerna. Kalau susu diberikan pada saat berbuka, perut biasanya akan kaget. Bagi yang memiliki lambung yang kuat tidak masalah. Tapi bagi yang tidak, perutnya bisa terkena diare.
Para peserta yang semeja dengan saya rupanya mendengar dengan seksama dan beberapa orang bertanya beberapa hal lebih lanjut. Lantas mereka bertanya apakah saya dari jurusan Biologi. Saya jawab, “Matematika”. Mereka terkejut. Hal itu terlihat jelas dari wajah mereka setelah mengatakan kalau saya dari jurusan Matematika. Beberapa jam setelah itu ada satu orang peserta yang bertanya, darimana saya bisa mendapat ‘pengetahuan yang luas’ itu. Saya bilang kalau saya mendapatkannya dari membaca (tampaknya saya membaca dua atau tiga kali lebih banyak dari mereka). “Waaaaah,” katanya. Saya menambahkan kalau pengetahuan saya tentang kesehatan semacam itu berguna sekali di masa mendatang, terutama nanti kalau kita menjadi orangtua dan harus membesarkan anak-anak. Dia manggut-manggut mendengar saya berkata begitu.
Saya masih ingat sampai sekarang, satu momen di tengah pelajaran Geografi di SMP. Si Ibu sedang membahas potensi ekonomi beberapa daerah di Indonesia. Saat itu, Ibu Guru bertanya apakah ada yang tahu siapa pengusaha kuda yang lumayan tersohor di Indonesia. Murid satu kelas saling menengok ke kiri dan ke kanan. Mereka semua angkat bahu. Tidak ada yang tahu. Akhirnya mata si Ibu mengarah ke saya. Saya langsung berkeringat dingin. Saya tahu kalau si Ibu akan melihat saya karena saya adalah si Rangking Satu (saya tidak terlalu bangga akan hal itu; masalahnya, setiap kali ada apa-apa, saya yang diandalkan; padahal saya tidak selalu tahu; kan repot kalau tidak bisa menjawab).
“Eeeeeeeee...,” saya mengulur waktu sebentar. “Bob Sadino, Bu,” akhirnya saya menjawab sekenanya.
Tanpa dinyana, si Ibu Guru berkata begini, “Yaa. Betul, Les. Bob Sadino, anak-anak...”
Hah?! Bener ya? Padahal..., sumpah, gua cuma nebak-nebak.
Pada masa itu, di televisi sering disiarkan iklan yang menampilkan Bob Sadino di tengah ranch miliknya sambil berkuda. Saya lupa iklan apa. Mungkin iklan teh. Iklan dengan Bob Sadinonya itu tidak menjelaskan secara eksplisit kalau Bob Sadino adalah pengusaha kuda. Yang digambarkan adalah satu makna hidup, entah apa. Saya tidak bisa ingat secara persis, habis sudah lama sekali. Tapi dari iklan itulah saya mendapat kesimpulan sembarangan bahwa Bob Sadino adalah pengusaha kuda, bukan dari buku Geografi. Kesimpulan itu yang saya gunakan untuk menjawab pertanyaan si Bu Guru.
Belakangan saya sering berpikir, apa jangan-jangan si Ibu Guru bertanya tentang pengusaha kuda gara-gara melihat iklan itu juga ya? Entahlah. Tapi paling tidak, saya mendapatkan gambaran jelas bahwa sebagian besar siswa sekolah saya waktu itu minat membacanya sangat rendah. Yang saya maksud adalah membaca buku atau teks. Dan fakta itu berimbas pada pola pikir mereka. Buktinya iklan yang saban hari terpampang di hadapan mereka tidak membuat mereka mendapatkan sesuatu. Mereka tidak terbiasa membaca teks sehingga ‘membaca’ yang lain pun tidak bisa. Tapi lagi-lagi ini hanya kesimpulan saya yang sembarangan.
Saya bersyukur memiliki orangtua yang memiliki minat baca tinggi meski mereka hanya lulusan SMU. Wawasan mereka luas dan bahasa Inggris mereka bagus sekali. Minat membaca itu pun mereka tularkan kepada kami anak-anaknya. Mereka berlangganan majalah Tempo, Gatra, koran Kompas dan Pos Kota. Kadang mereka membeli majalah Humor (sekarang majalah itu sudah tidak pernah saya lihat lagi di pasaran). Saya jadi ikut membaca bacaan-bacaan orangtua itu. Untuk kami anak-anaknya, mereka membelikan majalah Donal Bebek dan Bobo. Ketika majalah remaja Kawanku terbit pun, Mama saya membelikannya. Belum lagi novel-novel karya Enid Blyton dan Agatha Christie yang senantiasa dibaca oleh Mama.
Saya melihat bahwa keheranan orang-orang pada saya adalah sesuatu yang wajar. Mereka melihat saya sebagai orang yang tahu banyak tentang berbagai hal. Tapi ada ‘tapi’-nya. Saya menilai bahwa orang-orang melihat wawasan yang saya miliki dengan kekaguman itu, tidak—atau mungkin belum—menyadari bahwa diri mereka sendiri pun memiliki pengetahuan yang tidak saya miliki. Yah, singkatnya, rumput tetangga lebih hijau.
Terlepas dari kekaguman orang-orang itu, saya tidak merasa bahwa wawasan yang saya miliki suatu hal yang patut dibanggakan (dan semoga saya tidak bangga karena mengatakan ini). Saya mengetahui semua itu karena saya memang ingin mengetahuinya. Lagipula saya memang membutuhkannya. Seperti sedikit pengetahuan saya tentang kesehatan dan cara kerja tubuh. Pengetahuan itu berguna sekali ketika saya sedang sakit dan membutuhkan pertolongan pertama. Saya jadi tidak terlalu tergantung pada obat-obatan kimia yang memang tidak terlalu baik untuk kesehatan bila digunakan terus-menerus. Saya pun dapat membantu teman-teman saya bila mereka sakit, tentunya sebatas yang saya mampu. Intinya, ilmu yang saya miliki itu sangat bermanfaat.
Tapi tetap saja orang heran pada saya.
Wednesday, December 14, 2005
Bookz Freak!
Ini dia blog temen Ales yang sama-sama monster buku! Namanya Nana. Dia mengulas beberapa buku yang sempet dia baca. Silahkan kunjungi ya....
Tuesday, December 06, 2005
Aku Cinta Indonesia!
Seumur-umur, belom pernah deh berurusan dengan polisi. Bukannya takut sih, tapi belom pernah aja. Nah, tanggal 3 Desember kemaren adalah peristiwa perdana dari 'Ales berurusan dengan polisi'. Gak sendirian sih, tapi berdua dengan Teh Yuti.
Jadi ceritanya pagi itu kita berdua abis lari bareng (acara rutin-gak-rutin setiap Sabtu pagi anak-anak Aksara Salman). Seperti biasa, saya pulang menumpang motor Teh Yuti. Karena helmnya cuma ada satu, ya saya gak pake helm. Biasanya, gak ada masalah dengan ketiadaan helm di kepala saya pas ngelewatin jalan layang dan perempatan Dago Stock Export. Tapi dasar nasibnya bakal ditilang, ada polisi pagi itu.
Teh Yuti nyetop motornya. Si Polisi yang masih keliatan muda dan baru keluar dari Akpol meminta SIM Teh Yuti. Motor itu diberhentiin di depan toko mainan di seberang DSE. Si Polisi nyebrang ke DSE, ke tempat temennya nongkrong sambil baca koran. Kita berdua pandang-pandangan. He? Kita diminta ke sana juga ya?
Yah, daripada bingung-bingung, kita ikutin aja tuh polisi ke seberang. Sampe di sana, si Polisi kelihatan pasang aksi untuk ngelama-lamain prosedur penilangan. Sambil nungguin si Polisi beres nulis nota penilangan, Teh Yuti nanya.
"Eh, aku bener gak ya ngasih SIM-nya? Yang diminta SIM motor kan? Aku punya dua SIM, SIM mobil dan SIM motor. Aku salah ngasih gak ya?"
GUBRAK!
Setengah gak percaya, saya nerangin kalo yang namanya SIM A itu SIM mobil dan SIM motor itu SIM C.
"Oh, aku baru tau," katanya sambil cengar-cengir.
Huahahahahahahahaha....
Padahal kita berdua saat itu lagi tegang. Tapi ada aja yang membuat kita berdua senyum-senyum. Gak lama si Polisi nanya.
"Tadi mau ke mana? Kenapa gak pake helm?"
Kita bertanya-jawab seputar itu trus si Polisi ngasih nasehat kalo naek motor itu mesti pake helm semua. Kita manggut-manggut. Trus si Polisi bilang nanya, "Tanggal 7 bisa sidang?"
"He? Tanggal 7?"
Tanpa tanda apa-apa, si Polisi kedua yang lagi baca koran nyeletuk dengan sok, "Udah, tanggal 14 aja. Biar lama sekalian!"
Teh Yuti motong, "Pak bisa cara cepet gak?"
"Cara cepet? Gini aja deh, punya 25 ribu gak?"
"Eh, 20 aja ya, Pak. Baru abis bulan nih, jadi cuma punya 20 ribu."
"Ya udah."
Uang dua puluh ribu itupun berpindah tangan. Gak lama, satu orang polisi datang naek motor (jadi, totalnya ada tiga polisi di situ). Dia berwajah lebih ramah daripada dua orang sebelumnya. Dia nanya tentang kenapa Sabuga keliatan macet. "Emangnya ada acara apa?", tanya Pak Polisi yang ramah ini.
Weleh, mana kita tau! Kita jawab seadanya aja. Trus pas kita mau pulang, kita berdua bingung. Karena abis ditilang, Teh Yuti dan saya bingung apa saya harus naik angkot atau ikut motor Teh Yuti aja. Tapi Pak polisinya bilang, kita berdua boleh naek motor kok. "Kalo ada yang nilang lagi, bilang aja udah ditilang di sini (sama polisi-polisi itu maksudnya)."
YA udah, kita berdua melanjtukan perjalanan. Dalam pikiran ini, berkecamuk berbagai pikiran. Mulai dari kenyataan pahit yang harus kita berdua hadapi sampai fakta bahwa kebanyakan polisi masih menganggap semua orang harus dihadapi dengan sok dan garang, hanya karena kesalahan sederhana atau bukan. Tidak ada keramahan di sana.
Aku Cinta Indonesia!
[Sinis banget yak?]
Jadi ceritanya pagi itu kita berdua abis lari bareng (acara rutin-gak-rutin setiap Sabtu pagi anak-anak Aksara Salman). Seperti biasa, saya pulang menumpang motor Teh Yuti. Karena helmnya cuma ada satu, ya saya gak pake helm. Biasanya, gak ada masalah dengan ketiadaan helm di kepala saya pas ngelewatin jalan layang dan perempatan Dago Stock Export. Tapi dasar nasibnya bakal ditilang, ada polisi pagi itu.
Teh Yuti nyetop motornya. Si Polisi yang masih keliatan muda dan baru keluar dari Akpol meminta SIM Teh Yuti. Motor itu diberhentiin di depan toko mainan di seberang DSE. Si Polisi nyebrang ke DSE, ke tempat temennya nongkrong sambil baca koran. Kita berdua pandang-pandangan. He? Kita diminta ke sana juga ya?
Yah, daripada bingung-bingung, kita ikutin aja tuh polisi ke seberang. Sampe di sana, si Polisi kelihatan pasang aksi untuk ngelama-lamain prosedur penilangan. Sambil nungguin si Polisi beres nulis nota penilangan, Teh Yuti nanya.
"Eh, aku bener gak ya ngasih SIM-nya? Yang diminta SIM motor kan? Aku punya dua SIM, SIM mobil dan SIM motor. Aku salah ngasih gak ya?"
GUBRAK!
Setengah gak percaya, saya nerangin kalo yang namanya SIM A itu SIM mobil dan SIM motor itu SIM C.
"Oh, aku baru tau," katanya sambil cengar-cengir.
Huahahahahahahahaha....
Padahal kita berdua saat itu lagi tegang. Tapi ada aja yang membuat kita berdua senyum-senyum. Gak lama si Polisi nanya.
"Tadi mau ke mana? Kenapa gak pake helm?"
Kita bertanya-jawab seputar itu trus si Polisi ngasih nasehat kalo naek motor itu mesti pake helm semua. Kita manggut-manggut. Trus si Polisi bilang nanya, "Tanggal 7 bisa sidang?"
"He? Tanggal 7?"
Tanpa tanda apa-apa, si Polisi kedua yang lagi baca koran nyeletuk dengan sok, "Udah, tanggal 14 aja. Biar lama sekalian!"
Teh Yuti motong, "Pak bisa cara cepet gak?"
"Cara cepet? Gini aja deh, punya 25 ribu gak?"
"Eh, 20 aja ya, Pak. Baru abis bulan nih, jadi cuma punya 20 ribu."
"Ya udah."
Uang dua puluh ribu itupun berpindah tangan. Gak lama, satu orang polisi datang naek motor (jadi, totalnya ada tiga polisi di situ). Dia berwajah lebih ramah daripada dua orang sebelumnya. Dia nanya tentang kenapa Sabuga keliatan macet. "Emangnya ada acara apa?", tanya Pak Polisi yang ramah ini.
Weleh, mana kita tau! Kita jawab seadanya aja. Trus pas kita mau pulang, kita berdua bingung. Karena abis ditilang, Teh Yuti dan saya bingung apa saya harus naik angkot atau ikut motor Teh Yuti aja. Tapi Pak polisinya bilang, kita berdua boleh naek motor kok. "Kalo ada yang nilang lagi, bilang aja udah ditilang di sini (sama polisi-polisi itu maksudnya)."
YA udah, kita berdua melanjtukan perjalanan. Dalam pikiran ini, berkecamuk berbagai pikiran. Mulai dari kenyataan pahit yang harus kita berdua hadapi sampai fakta bahwa kebanyakan polisi masih menganggap semua orang harus dihadapi dengan sok dan garang, hanya karena kesalahan sederhana atau bukan. Tidak ada keramahan di sana.
Aku Cinta Indonesia!
[Sinis banget yak?]
Subscribe to:
Posts (Atom)