20 April 2006
Saya menghidupkan radio pada pukul tujuh pagi. Frekuensinya belum berubah, masih tetap di MQ FM. Well, saya memang jarang mendengarkan radio. Jadi maklum saja bila saya hanya mendengarkan MQ FM.
Oke, intinya saya mendengarkan radio pagi ini. Setelah mendengarkan beberapa saat, saya mengetahui bahwa yang sedang tema acara Risalah Pagi kali ini adalah tentang fasilitas yang didapat PTN versus PTS. Seorang narasumber sedang diwawancarai oleh penyiar. Beliau ditanya tentang bagaimana seharusnya pemerintah memperlakukan PTS. Dengan ‘eeeee’, ‘mungkin’, ‘jadi sebagaimana yang kita tahu’, beliau menjawab. Untuk pertanyaan yang satu ini, Bapak ini masih menjawab dengan benar. Namun ketika ditanya ‘bukankah dengan banyaknya PTS yang ada biaya pendidikan di PTS menjadi murah?’, jawaban beliau membuat saya bingung.
“Jadi, saat ini pendapatan masyarakat tidak meningkat. Pada akhirnya pendidikan di Indonesia akan menjadi seperti di zaman penjajahan dulu, dimana yang kaya saja yang bisa masuk sekolah. Nah, yang tidak mampu akhirnya hanya bisa masuk ke PT di daerah. Ditambah lagi dulu ketika orang Malaysia belajar di kita pada tahun 70-an, mereka benar-benar mengembangkan pendidikan di sana. Nah, kita sebagai tempat bergurunya tidak mengembangkan pendidikan sejak tahun 70. Oleh karena itulah kita tertinggal jauh.”
Saya sendiri tidak yakin apakah urutan kalimatnya benar. Namun kurang lebih begitulah jawaban Bapak itu. Saya benar-benar bingung atas jawaban beliau. Apa hubungannya dengan mahal-murahnya biaya pendidikan di PTS?
Untuk setiap kalimat dari jawaban Bapak itu, saya bisa menebak pertanyaan yang cocok baginya. Yang jelas semua kalimat tadi tidak menjawab pertanyaan penyiar sama sekali! Setelah mendengar jawaban Bapak itu, saya teringat sebuah peristiwa yang saya alami di suatu hari Jumat.
Saat itu masih pagi di mesjid Salman. Pedagang-pedagang kaki lima yang mendadak muncul di hari Jumat sudah menggelar dagangannya. Saya sedang berada di depan hamparan kaus kaki murah (seribuan) dan memilih mana yang hendak saya beli. Kemudian saya mendengar percakapan si pedagang kaus kaki dengan pedagang lainnya. Dari obrolan mereka saya mendengar kalau pihak yang bertanggungjawab atas ketertiban dan kebersihan jalan Ganesa plus jalan Gelap Nyawang memberi peringatan pada pedagang. Saya yang tertarik dengan perbincangan itu bertanya pada kedua pedagang itu, masalahnya apa. Yang menjawab adalah teman si Pedagang Kaus Kaki.
“Jadi, Neng, menurut yang ada, kita ini mesti mengerti bahwa ternyata menurut kondisi...”
Setelah itu saya tidak mengerti sama sekali apa yang dia bicarakan. Beneran! Sangking tidak nyambungnya jawaban dia dengan pertanyaan saya, otak saya sampai hang (error: data type mismatch). Saya sudah mencoba bertanya lebih spesifik dan mudah, tapi jawabannya tetap saja begitu membingungkan. Beberapa kali saya bertanya hal yang sama, jawabannya juga sama. Akhirnya si Pedagang Kaus Kaki yang menjawab dan saya mendapat informasi apa yang terjadi.
Nama penanggungjawab ketertiban dan kebersihan dua jalan itu (kalau tidak salah) adalah Forum Ganesa. Mereka mendapati selokan di sisi mesjid Salman penuh sampah ketika pasar Jumat sudah usai di sore hari. Bila hal itu masih terjadi, mereka mengancam akan melarang pedagang berjualan di hari Jumat. Si Pedagang Kaus Kaki mengeluhkan perbuatan oknum pedagang yang masih meninggalkan sampah di selokan. Padahal surat edaran ke setiap pedagang sudah disampaikan dan sudah ada penyosialisasian peraturan kebersihan itu.
Saya mengangguk-angguk dengan sepenuhnya mengerti. Ternyata mudah saja. Kemudian saya melanjutkan memilih-milih kaus kaki. Dalam kepala saya, saya masih memikirkan si pedagang yang satu lagi. Entah karena dia memang tidak mengerti pertanyaan saya atau dia mencoba untuk membuat saya terkesan, sehingga dia menjawab pertanyaan saya dengan berputar-putar. Ah, saya memakluminya saja.
Yang saya dengar pagi ini di radio tidak berbeda jauh dari yang saya dengar di samping mesjid Salman itu. Dua orang dengan keadaan yang berbeda latar belakang pendidikannya (saya yakin pedagang itu bukan lulusan universitas), ternyata memiliki kapasitas yang serupa. Saya menyimpulkan itu dari cara mereka berdua menjawab pertanyaan.
Saya mencoba menganalisis mengapa si Narasumber menjawab dengan cara yang membingungkan dan berputar-putar seperti itu. Bisa jadi beliau tidak menguasai masalah PTN versus PTS ini secara keseluruhan. Atau mungkin dia mencoba menutupi pendapatnya yang salah mengenai ‘jumlah PTS yang semakin banyak membuat biaya kuliah PTS secara umum makin murah’. Sebelumnya dia berpendapat kalau biaya pendidikan PTS mahal dan tidak terjangkau secara keseluruhan. Yang manapun penyebabnya, tidak terlalu menjadi masalah buat saya. Yang jelas saya berkesimpulan bahwa narasumber itu tidak terlalu cerdas dan tinggi jabatannya (saya tidak mendengarkan dari awal sih, jadi saya tidak tahu narasumber itu siapa dan apa jabatannya).
Namun cerita ini belum selesai. Di akhirn sesi diskusi, si Penyiar menyebutkan nama narasumber pertama itu. Inisialnya adalah DT (bukan Daarut Tauhid lho). Yang berikutnya saya dengar dari penyiar membuat saya bengong.
“Ya, barusan kita telah berbincang dengan Pak Profesor Doktor... (nama narasumber)... Msi, ketua forum rektor dan rektor Universitas Pasundan....”
Haaaaah?! Jadi orang yang saya setarakan dengan pedagang di pasar Jumat itu punya gelar ‘Profesor Doktor’ ?!
Saya shock. Saya tidak menyangka sama orang dengan gelar ‘Profesor Doktor’ punya cara menjawab yang persis sama dengan pedagang kaki lima. Detik itu juga saya bertanya-tanya, benarkah gelar yang dimiliki narasumber itu? Atau jangan-jangan...?
Saya sempat berpikir kalau mungkin narasumber itu kurang bisa berkomunikasi dengan baik meski intelek. Tapi kembali prasangka baik saya itu dimentahkan oleh fakta bahwa beliau adalah ketua Forum Rektor. Bagaimana mungkin beliau menjadi ketua Forum itu kalau kemampuan komunikasinya cemen? Sekali lagi saya meragukan gelar yang disandangkan pada namanya itu. Masa’ orang yang punya gelar ‘Profesor’ tidak punya kejernihan dalam berpikir, menjawab dengan berputar-putar, dan penuh ‘eeee’, ‘mungkin’, dan kawan-kawannya?
Kenapa saya bersikeras untuk meragukan narasumber itu? Karena setelahnya saya mendengar narasumber kedua yang merupakan ketua (kalau tidak salah, lagi) Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta wilayah IV, Jawa Barat dan Banten. Namanya Prof. Jawadahlan (semoga saya tidak salah menyebut atau mengeja namanya). Bapak yang satu ini menjawab dengan runtun, kata-katanya jelas, menjawab sesuai dengan pertanyaan, dan tidak berputar-putar. Itu baru yang namanya intelek! Demikian pula seorang mahasiswi yang menelpon ke MQ. Dia memaparkan pendapatnya mengenai PTS dengan sangat baik (meski di awal dia menggunakan kata ‘mungkin’). Jauh sekali keadaan mereka berdua dari narasumber pertama!
Hhhhhhh... Pengalaman saya ini bisa Anda sambungkan ke mana saja. Bisa ke masalah ‘gelar yang jauh dari kapasitas intelektual’, ‘ketua Forum Rektor yang tidak menguasai masalah’, atau bahkan ‘penyakit di kalangan pejabat yang sering tidak jujur atas keadaan sebenarnya’. Yang jelas satu hal yang mau saya garis-bawahi: gelar yang disandang oleh narasumber pertama itu benar-benar tidak pantas untuk disandang. Tapi dengan satu catatan, saya baru mendengar beliau berbicara sekali, secara tidak langsung lagi. Jadi pendapat saya bisa jadi tidak adil. Semoga saja nantinya saya mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih jauh profil pejabat di bidang pendidikan ini. Kita lihat saja, apakah pendapat saya yang didapat dari pengamatan sekilas ini benar atau tidak.
1 comment:
Memang bisa banyak kemungkinan, tapi patut dipertanyakan juga kualitas profesor tersebut...dulu waktu kuliah, sya pernah kuliah dengan seorang profesor sebagai dosennya, lulusan luar negeri...tapi, tidak sedikit pun, materi yang dia sampaikan bisa diterima dan dimengerti...kadang, kami bertanya...beneran nih profesor??? Jauh sekali dengan penyampaian salah satu dosen lainnya yang masih sarjana...:), jelas dan amat mudah dipahami...
Post a Comment