Aku merindukanmu
Pada gelak tawa dan ceria yang kau berikan
Pada kejujuran yang kau pancarkan
Pada diam yang kau siapkan saat kuingin didengarkan
Aku merindukanmu
Karena hikmah yang kau ilhamkan
Karena penerimaan tanpa syarat yang kau tawarkan
Karena doa dan dorongan yang kau limpahkan
Aku merindukanmu
Kucari kehadiranmu di ruang-ruang kosong
Kucari jejak-jejakmu di jalan yang kutapaki
Kucari bayangmu dalam mimpi
Aku merindukanmu sahabat...
[For teh Yuti and Euis Asriani: miss you guys already...
and always!]
Wednesday, December 02, 2009
Monday, November 16, 2009
Non-Invertible
Cinta bertepuk sebelah tangan itu seperti
fungsi non-invertible: kita tidak akan pernah
mendapatkan hasilnya bila fungsi itu dibalik.
Sampai kapanpun.
Dengan kata lain, fungsi balikannya tidak ada.
Apalagi bila coba-coba memaksakan nilai y
invers dengan mensubtitusi nilai x...
Sia-sia.
...
fungsi non-invertible: kita tidak akan pernah
mendapatkan hasilnya bila fungsi itu dibalik.
Sampai kapanpun.
Dengan kata lain, fungsi balikannya tidak ada.
Apalagi bila coba-coba memaksakan nilai y
invers dengan mensubtitusi nilai x...
Sia-sia.
...
Perjuangan.Itu.Indah
"Life is not about how to survive the storm.
It's about how to dance in the rain..."
Kisah
“Alam semesta terdiri atas
kisah, bukan atom.”
Mampukah aku merangkai atom-atom itu menjadi kisah?
Sunday, October 25, 2009
One of My Favourites
Two animals meet each other in the forest.
Asks the first animal: “What kind of creature
are you?”
Answers the second animal: “I’m a wolfdog.”
“What is a wolfdog?”
“Well, my daddy is a wolf and my mommy is
a dog, so I’m half wolf, half dog, a wolfdog.
And what kind of animal are you?”
“I’m a dragonfly.”
“You’re kidding...”
(Dragonfly: capung; but when we separate it into
dragon: naga + fly: lalat, well, you get it...)
Tuesday, October 13, 2009
Mereka Sang Penakluk Pasar Global
Jangankan Anda, seorang Arifin Sudarmo (42 tahun) yang
jelas-jelas berprofesi sebagai konsultan inkubasi bisnis
agro saja awalnya meragukannya. Apa pasal? Saat mengikuti
sebuah seminar agrobisnis di akhir September 2007 lalu,
di sebelahnya duduk seorang peserta dari PT Agarindo
Bogatama. Kenalan barunya ini menyebut perusahaannya
sebagai produsen tepung agar-agar terbesar kedua
di dunia--hanya kalah dari Algas Marinas asal negara Cile.
Bahkan orang ini meyakini bahwa dalam waktu dekat
perusahaannya yang asli Indonesia ini akan segera
menyalip Algas Marinas.
Merek tepung agar-agar perusahaannya adalah Swallow.
Tanpa bekal keahlian di bidang agar-agar, Efendy Tjoeng
(64 tahun) merintis produksi agar-agar secara modern di
Indonesia. Dan PT Agarindo Bogatama akhirnya berhasil
menjadi produsen dan pemasok tepung agar-agar terbesar
kedua di dunia setelah 36 tahun berjuang membesarkan
Swallow Globe Brand.
Awalnya Effendy mengimpor dari Algas Marinas. Kemudian
dia mengemasnya di pabrik di Pluit, Jakarta Utara. Lalu mulai
tahun 1972 perusahaan yang awalnya bernama PT Dunia
Bintang Walet ini meluncurkan merk berikutnya yang harganya
lebih murah: Swallow Star. Pada tahun 1980-an menyusul
merk Swallow Matahari, Swallow Rumput, dan Swallow Lili.
Merk-merk ini diluncurkan untuk mengepung pasar dan
menawarkan produk yang harganya lebih terjangkau.
Lalu pada tahun 1985, PT AB bekerja sama dengan BPPT
untuk meneliti potensi rumput laut dan wilayah yang cocok
untuk budi daya produk ini di berbagai wilayah di Indonesia.
Hasilnya, dipilihlah daerah Palopo, Sulawesi Selatan,
seluas 1000 hektar. Hal ini dilakukan untuk melepaskan diri
dari ketergantungan impor. Setlah ada jaminan pasokan
bahan baku, kemudian mendirikan pabrik, pada periode
1997/1998 PT AB 100% berhenti mengimpor tepung
agar-agar.
Pada tahun 2007, produsen terbesar di dunia memiliki total
produksi 2000 ton per tahun. Posisi kedua dipegang PT AB
dengan total produksi 1500 ton. Posisi ketiga adalah Inafood
dengan total produksi sekitar 1000 ton. Tapi tahun 2008,
posisi ini sudah berubah karena PT AB siap meningkatkan
kapasitas produksinya menjadi 200 ton/tahun. Tahun
2009/2010 PT AB mengupayakan agar produksinya mencapai
3400 ton. Mereka siap menjadi yang terbesar di dunia.
Oh ya, apakah anda kenal dengan M.C.Chuang dan ketiga
putra-nya, John, Joseph, dan William yang asli Garut?
Mungkin tidak. Tapi saya yakin anda tahu Ceres. Ya,
Ceres adalah perusahaan produsen cokelat tersohor
yang pabriknya bisa ditemui di daerah Bandung Selatan.
Inilah beberapa fakta tentang M.C.Chuang dan
keluarganya: Di tahun 1950-an, M.C. Chuang sudah
memasarkan cokelat dengan merek Silver Queen. Pada
saat yang sama, sebuah perusahaan yang awalnya dimiliki
orang Belanda, NV Ceres, yang kemudian dijual ke
orang Indonesia semasa Jepang menduduki negeri ini,
jatuh ke tangannya. Beliau juga belajar mengolah cokelat
dari sumber yang tidak main-main, pengelola cokelat Van
Houten.Ilmu itu digunakan untuk memperbaiki proses
pembuatan Silver Queen. Ngomong-ngomong,lisensi
produksi dan pemasaran Van Houten masih dipegang
keluarga Chuang hingga hari ini.
Tak perlu analisis canggih untuk menyimpulkan kehebatan
Grup Ceres yang berawal dari sebuah home industry
berskala kecil dan ditangani dengan sederhana di Garut.
Kunjungi saja para peritel. Dari yang kelas raksasa macam
Carrefour atau Giant, hingga kelas Indomaret, Alfamart,
kios-kios di terminal, warung-warung di kompleks
perumahan, atau toko kelontong di pasar tradisional.
Di semua tempat itu, Anda akan dengan gampang
menemukan berbagai produk keluaran mereka. Silver
Queen, Ritz, Delfi, Chunky Bar, wafer Briko, Top,
biskuit Selamat, dan tentunya merek meises yang
terkenal itu, meises Ceres.
Belum lagi pasar bahan baku cokelat (cocoa ingredient)
yang mereka garap. Bidang ini bersifat B2B (industrial),
jadi kliennya adalah kalangan korporasi yang memerlukan
cokelat untuk produknya, entah itu susu, es krim,
atau cokelat batangan. Perusahaan-perusahaan
cokelat dan confectionary dunia seperti Nestle,
Cadbury, dan Mars adalah sebagian dari deretan
pelanggannya, bersama dengan kalangan pemilik
restoran, bakery seperti Dunkin' Donuts dan
Bread Talk, serta hotel-hotel.
Semula kantor pusatnya di Bandung. Karena bisnis grup ini
terus berkembang pesat, kantor pusatnya kini dipindah ke
Singapura, bernaung di bawah bendera Petra Foods Pte. Ltd.
Petra Foods sudah mencatatkan sahamnya di Singapore
Stock Exchange, dan lagipula, dunia lebih mengenal grup
Ceres dengan nama Petra Foods. Dengan omset tahun 2007
Petra Foods sebesar US$ 836,61 juta dan laba bersih
US$ 24,70 juta, Petra Foods dinobatkan sebagai Raja
Cokelat no.3 di dunia, hanya kalah dari raksasa Mars
Group (M&M) dan Hershey, keduanya asli Amerika.
Dan kemungkinan sebagian besar dari Anda tidak kenal
perusahaan perkebunan dan pemrosesan buah nanas bernama
PT Great Giant Pineapple (GGP). Areal perkebunannya berada
di Terbanggi Besar 77, Lampung Tengah, dan merupakan areal
penanaman nanas terbesar di dunia, luasnya 80 ribu hektar.
Pangsa pasarnya terbesar ketiga di dunia, hanya kalah dari
Dole dan Del Monte yang sudah ada ratusan tahun di pasar.
Awalnya GGP hanya memiliki perkebunan nanas seluas 15 ribu
hektar. Di tahun 1984, luas lahan bertambah menjadi 35 ribu
hektar dan empat lini produksi. Di tahun yang sama, GGP
mengapalkan produknya ke luar negeri untuk yang pertama
kalinya.
Produk-produk GGP berupa nanas kalengan (utama),
jus buah nanas, clarified pineapple juice atau gula,
dan tropical fruit coctail. GGP menggunakan jalur
private label, dimana GGP menjadi produsen untuk
label perusahaan lain. Nanas-nanas kalengan itu diberi
kemasan dan merek sesuai permintaan konsumen.
"Cetak label di sini. Film negatif untuk label tinggal dikirim
ke sini. Sampai ke konsumen, mereka tinggal menjual.
Barangnya sama, tapi mereknya saja yang berbeda.
Yang beda juga pilihan produknya, ada yang pilihan
atau standar," urai Lucy Willar, Manajer Pemasaran GGP.
Yang canggih dan merupakan keunggulan dari GGP adalah
teknologi dan ketatnya prosedur proses produksi yang di-
jalankannya. Kekuatannya terletak pada irigasi. Yang kedua
adalah proses produksi yang terintegrasi penuh dalam satu
area, mulai dari penanaman hingga pengiriman ke konsumen.
Dan keunggulan GGP yang ketiga adalah pemanenan yang
berkesinambungan sepanjang tahun."No single day without
pineapple," ujar Lucy bangga.
Lagipula, GGP tercatat sebagai satu-satunya perkebunan
nanas di dunia yang bersertifikasi ISO 9001:2000. Hampir
semua sertifikat keamanan dan proses produksi mereka
miliki karena masing-masing negara punya standar yang
berbeda. "Jadi istilah-nya kami ini kolektor sertifikat,
hahaha." Dari ISO sampai sertifikat Kosher, yang
menandakan kehalalan makanan bagi umat Yahudi, ada.
Kenapa GGP memilih untuk berada di jalur private label?
"Karena satu, masalah investasi. Perlu uang, maaf... Dengan
membuat merek sendiri, kami perlu beriklan setiap hari di
seluruh dunia, itu butuh banyak upaya dari segi uang dan
strategi. Kalau kami ingin jadi terbesar dari segi merek,
rasanya sulit untuk menyaingi Dole dan Del Monte.
Mereka sudah ratusan tahun di pasar, meski kualitasnya
sama. Bahkan GGP pernah juga mengemas untuk Dole
dan Del Monte," tutur Lucy.
Sederet perusahaan lain seperti Hartindo (produsen zat
fire safety yang bahannya organik dan ramah
lingkungan, bukan halon), Grup Musim Mas (bergerak
di bisnis CPO), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk,
PT Panarub Industries (mitra Adidas dalam memproduksi
sepatu bola), PT Sorini (produsen sorbitol dan
penantang serius dari perusahaan Roquette, Perancis),
PT Sari Makmur (eksportir kopi, pemasok terbesar
Starbucks), bisa dibilang tidak dikenal. Tapi prestasinya
mantap. Keberhasilan mereka bukanlah hal yang main-main.
Kualitas produk, layanan, proses produksi, manajemen
perusahaan kelas kakap mereka menjadikan mereka layak
bersanding dengan pemain kelas dunia. Kerja keras,
disiplin, fokus pada core bisnis, dan perbaikan
mutu tiada henti adalah kunci sukses mereka.
Jadi, diam-diam, produk Made in Indonesia
dipandang dengan serius oleh dunia.
Di saat sebagian orang merasa pesimis dengan nasib
bangsa ini, kehadiran pengusaha-pengusaha dengan
mental baja dan ulet tadi seperti angin segar.
Tanpa basa-basi atau niatan mencari popularitas,
rata-rata mereka bisa meraih posisi lima besar
dunia dan mengharumkan nama bangsa di kancah
dunia. Sebagian besar dari mereka bergerak di
bidang sumber daya alam atau berbasis sumber
daya alam; suatu kekayaan yang memang berlimpah
di negeri ini. Ini adalah bukti bahwa kita
bukan bangsa kelas dua. Asal punya kemauan dan
kegigihan, jadi nomor satu di dunia rasanya
bukan sekedar mimpi.
Ah..., Indonesia. Tanah air yang kucinta.
Alhamdulillah...
[This writing could not exist without the courtesy of
SWA sembada magazine, ed.25/XXIII/Nov 22nd-Dec
5th 2007 and ed.21/XXIV/Oct 9th-22nd 2008]
To Give, Share, and Inspire
[Sari Alessandra]
jelas-jelas berprofesi sebagai konsultan inkubasi bisnis
agro saja awalnya meragukannya. Apa pasal? Saat mengikuti
sebuah seminar agrobisnis di akhir September 2007 lalu,
di sebelahnya duduk seorang peserta dari PT Agarindo
Bogatama. Kenalan barunya ini menyebut perusahaannya
sebagai produsen tepung agar-agar terbesar kedua
di dunia--hanya kalah dari Algas Marinas asal negara Cile.
Bahkan orang ini meyakini bahwa dalam waktu dekat
perusahaannya yang asli Indonesia ini akan segera
menyalip Algas Marinas.
Merek tepung agar-agar perusahaannya adalah Swallow.
Tanpa bekal keahlian di bidang agar-agar, Efendy Tjoeng
(64 tahun) merintis produksi agar-agar secara modern di
Indonesia. Dan PT Agarindo Bogatama akhirnya berhasil
menjadi produsen dan pemasok tepung agar-agar terbesar
kedua di dunia setelah 36 tahun berjuang membesarkan
Swallow Globe Brand.
Awalnya Effendy mengimpor dari Algas Marinas. Kemudian
dia mengemasnya di pabrik di Pluit, Jakarta Utara. Lalu mulai
tahun 1972 perusahaan yang awalnya bernama PT Dunia
Bintang Walet ini meluncurkan merk berikutnya yang harganya
lebih murah: Swallow Star. Pada tahun 1980-an menyusul
merk Swallow Matahari, Swallow Rumput, dan Swallow Lili.
Merk-merk ini diluncurkan untuk mengepung pasar dan
menawarkan produk yang harganya lebih terjangkau.
Lalu pada tahun 1985, PT AB bekerja sama dengan BPPT
untuk meneliti potensi rumput laut dan wilayah yang cocok
untuk budi daya produk ini di berbagai wilayah di Indonesia.
Hasilnya, dipilihlah daerah Palopo, Sulawesi Selatan,
seluas 1000 hektar. Hal ini dilakukan untuk melepaskan diri
dari ketergantungan impor. Setlah ada jaminan pasokan
bahan baku, kemudian mendirikan pabrik, pada periode
1997/1998 PT AB 100% berhenti mengimpor tepung
agar-agar.
Pada tahun 2007, produsen terbesar di dunia memiliki total
produksi 2000 ton per tahun. Posisi kedua dipegang PT AB
dengan total produksi 1500 ton. Posisi ketiga adalah Inafood
dengan total produksi sekitar 1000 ton. Tapi tahun 2008,
posisi ini sudah berubah karena PT AB siap meningkatkan
kapasitas produksinya menjadi 200 ton/tahun. Tahun
2009/2010 PT AB mengupayakan agar produksinya mencapai
3400 ton. Mereka siap menjadi yang terbesar di dunia.
Oh ya, apakah anda kenal dengan M.C.Chuang dan ketiga
putra-nya, John, Joseph, dan William yang asli Garut?
Mungkin tidak. Tapi saya yakin anda tahu Ceres. Ya,
Ceres adalah perusahaan produsen cokelat tersohor
yang pabriknya bisa ditemui di daerah Bandung Selatan.
Inilah beberapa fakta tentang M.C.Chuang dan
keluarganya: Di tahun 1950-an, M.C. Chuang sudah
memasarkan cokelat dengan merek Silver Queen. Pada
saat yang sama, sebuah perusahaan yang awalnya dimiliki
orang Belanda, NV Ceres, yang kemudian dijual ke
orang Indonesia semasa Jepang menduduki negeri ini,
jatuh ke tangannya. Beliau juga belajar mengolah cokelat
dari sumber yang tidak main-main, pengelola cokelat Van
Houten.Ilmu itu digunakan untuk memperbaiki proses
pembuatan Silver Queen. Ngomong-ngomong,lisensi
produksi dan pemasaran Van Houten masih dipegang
keluarga Chuang hingga hari ini.
Tak perlu analisis canggih untuk menyimpulkan kehebatan
Grup Ceres yang berawal dari sebuah home industry
berskala kecil dan ditangani dengan sederhana di Garut.
Kunjungi saja para peritel. Dari yang kelas raksasa macam
Carrefour atau Giant, hingga kelas Indomaret, Alfamart,
kios-kios di terminal, warung-warung di kompleks
perumahan, atau toko kelontong di pasar tradisional.
Di semua tempat itu, Anda akan dengan gampang
menemukan berbagai produk keluaran mereka. Silver
Queen, Ritz, Delfi, Chunky Bar, wafer Briko, Top,
biskuit Selamat, dan tentunya merek meises yang
terkenal itu, meises Ceres.
Belum lagi pasar bahan baku cokelat (cocoa ingredient)
yang mereka garap. Bidang ini bersifat B2B (industrial),
jadi kliennya adalah kalangan korporasi yang memerlukan
cokelat untuk produknya, entah itu susu, es krim,
atau cokelat batangan. Perusahaan-perusahaan
cokelat dan confectionary dunia seperti Nestle,
Cadbury, dan Mars adalah sebagian dari deretan
pelanggannya, bersama dengan kalangan pemilik
restoran, bakery seperti Dunkin' Donuts dan
Bread Talk, serta hotel-hotel.
Semula kantor pusatnya di Bandung. Karena bisnis grup ini
terus berkembang pesat, kantor pusatnya kini dipindah ke
Singapura, bernaung di bawah bendera Petra Foods Pte. Ltd.
Petra Foods sudah mencatatkan sahamnya di Singapore
Stock Exchange, dan lagipula, dunia lebih mengenal grup
Ceres dengan nama Petra Foods. Dengan omset tahun 2007
Petra Foods sebesar US$ 836,61 juta dan laba bersih
US$ 24,70 juta, Petra Foods dinobatkan sebagai Raja
Cokelat no.3 di dunia, hanya kalah dari raksasa Mars
Group (M&M) dan Hershey, keduanya asli Amerika.
Dan kemungkinan sebagian besar dari Anda tidak kenal
perusahaan perkebunan dan pemrosesan buah nanas bernama
PT Great Giant Pineapple (GGP). Areal perkebunannya berada
di Terbanggi Besar 77, Lampung Tengah, dan merupakan areal
penanaman nanas terbesar di dunia, luasnya 80 ribu hektar.
Pangsa pasarnya terbesar ketiga di dunia, hanya kalah dari
Dole dan Del Monte yang sudah ada ratusan tahun di pasar.
Awalnya GGP hanya memiliki perkebunan nanas seluas 15 ribu
hektar. Di tahun 1984, luas lahan bertambah menjadi 35 ribu
hektar dan empat lini produksi. Di tahun yang sama, GGP
mengapalkan produknya ke luar negeri untuk yang pertama
kalinya.
Produk-produk GGP berupa nanas kalengan (utama),
jus buah nanas, clarified pineapple juice atau gula,
dan tropical fruit coctail. GGP menggunakan jalur
private label, dimana GGP menjadi produsen untuk
label perusahaan lain. Nanas-nanas kalengan itu diberi
kemasan dan merek sesuai permintaan konsumen.
"Cetak label di sini. Film negatif untuk label tinggal dikirim
ke sini. Sampai ke konsumen, mereka tinggal menjual.
Barangnya sama, tapi mereknya saja yang berbeda.
Yang beda juga pilihan produknya, ada yang pilihan
atau standar," urai Lucy Willar, Manajer Pemasaran GGP.
Yang canggih dan merupakan keunggulan dari GGP adalah
teknologi dan ketatnya prosedur proses produksi yang di-
jalankannya. Kekuatannya terletak pada irigasi. Yang kedua
adalah proses produksi yang terintegrasi penuh dalam satu
area, mulai dari penanaman hingga pengiriman ke konsumen.
Dan keunggulan GGP yang ketiga adalah pemanenan yang
berkesinambungan sepanjang tahun."No single day without
pineapple," ujar Lucy bangga.
Lagipula, GGP tercatat sebagai satu-satunya perkebunan
nanas di dunia yang bersertifikasi ISO 9001:2000. Hampir
semua sertifikat keamanan dan proses produksi mereka
miliki karena masing-masing negara punya standar yang
berbeda. "Jadi istilah-nya kami ini kolektor sertifikat,
hahaha." Dari ISO sampai sertifikat Kosher, yang
menandakan kehalalan makanan bagi umat Yahudi, ada.
Kenapa GGP memilih untuk berada di jalur private label?
"Karena satu, masalah investasi. Perlu uang, maaf... Dengan
membuat merek sendiri, kami perlu beriklan setiap hari di
seluruh dunia, itu butuh banyak upaya dari segi uang dan
strategi. Kalau kami ingin jadi terbesar dari segi merek,
rasanya sulit untuk menyaingi Dole dan Del Monte.
Mereka sudah ratusan tahun di pasar, meski kualitasnya
sama. Bahkan GGP pernah juga mengemas untuk Dole
dan Del Monte," tutur Lucy.
Sederet perusahaan lain seperti Hartindo (produsen zat
fire safety yang bahannya organik dan ramah
lingkungan, bukan halon), Grup Musim Mas (bergerak
di bisnis CPO), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk,
PT Panarub Industries (mitra Adidas dalam memproduksi
sepatu bola), PT Sorini (produsen sorbitol dan
penantang serius dari perusahaan Roquette, Perancis),
PT Sari Makmur (eksportir kopi, pemasok terbesar
Starbucks), bisa dibilang tidak dikenal. Tapi prestasinya
mantap. Keberhasilan mereka bukanlah hal yang main-main.
Kualitas produk, layanan, proses produksi, manajemen
perusahaan kelas kakap mereka menjadikan mereka layak
bersanding dengan pemain kelas dunia. Kerja keras,
disiplin, fokus pada core bisnis, dan perbaikan
mutu tiada henti adalah kunci sukses mereka.
Jadi, diam-diam, produk Made in Indonesia
dipandang dengan serius oleh dunia.
Di saat sebagian orang merasa pesimis dengan nasib
bangsa ini, kehadiran pengusaha-pengusaha dengan
mental baja dan ulet tadi seperti angin segar.
Tanpa basa-basi atau niatan mencari popularitas,
rata-rata mereka bisa meraih posisi lima besar
dunia dan mengharumkan nama bangsa di kancah
dunia. Sebagian besar dari mereka bergerak di
bidang sumber daya alam atau berbasis sumber
daya alam; suatu kekayaan yang memang berlimpah
di negeri ini. Ini adalah bukti bahwa kita
bukan bangsa kelas dua. Asal punya kemauan dan
kegigihan, jadi nomor satu di dunia rasanya
bukan sekedar mimpi.
Ah..., Indonesia. Tanah air yang kucinta.
Alhamdulillah...
Indonesia... tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia... sejak dulu kala
Selalu dipuja-puja bangsa...
[This writing could not exist without the courtesy of
SWA sembada magazine, ed.25/XXIII/Nov 22nd-Dec
5th 2007 and ed.21/XXIV/Oct 9th-22nd 2008]
To Give, Share, and Inspire
[Sari Alessandra]
Wednesday, September 16, 2009
Meretas Masa Depan, Menjejak Masa Kini
Ada yang hilang dari hari-hari saya ketika saya tidak menulis di jurnal harian saya.
Kalau dihitung-hitung, sejak tahun 2009, yang saya lakukan adalah menempel tiket bioskop, bon pembelian, bon restoran, tiket perjalanan, dan tempelan-tempelan lainnya, yang menandakan peristiwa-peristiwa berkesan dari hari-hari saya.
Saya kadang merasa kehilangan. Tapi lebih sering merasa kalau menuliskan kegiatan harian itu tidak terlalu penting lagi sekarang. Entahlah, kadang rindu menulis, kadang tidak.
Kesibukan menelan saya. Dan saya kehilangan tempat untuk bercerita tentang hal-hal yang (mungkin) hanya saya yang mengerti.
Blog saya biarkan selama berbulan-bulan. Padahal blog adalah tempat terbaik untuk berbagi cerita tentang saya di dunia maya. Hhhhh...., jadi kangen menulis lagi.
Mudah-mudahan ini jadi awal.
Kalau dihitung-hitung, sejak tahun 2009, yang saya lakukan adalah menempel tiket bioskop, bon pembelian, bon restoran, tiket perjalanan, dan tempelan-tempelan lainnya, yang menandakan peristiwa-peristiwa berkesan dari hari-hari saya.
Saya kadang merasa kehilangan. Tapi lebih sering merasa kalau menuliskan kegiatan harian itu tidak terlalu penting lagi sekarang. Entahlah, kadang rindu menulis, kadang tidak.
Kesibukan menelan saya. Dan saya kehilangan tempat untuk bercerita tentang hal-hal yang (mungkin) hanya saya yang mengerti.
Blog saya biarkan selama berbulan-bulan. Padahal blog adalah tempat terbaik untuk berbagi cerita tentang saya di dunia maya. Hhhhh...., jadi kangen menulis lagi.
Mudah-mudahan ini jadi awal.
Subscribe to:
Posts (Atom)