Wednesday, August 15, 2007

Memberi Nilai Lebih, Dimanapun

Apa sih yang bisa dilakukan seseorang dengan ijasah PGA (Pendidikan Guru Agama) di Jakarta?

--Syaiful Jamil


Dari siang, banyak orang sudah hilir mudik di kantor YPM Salman ITB. Hari itu, tanggal 9 Agustus 2007, banyak orang bersiap untuk pergi ke Jakarta. Anggota asrama putra, asrama putri, aktivis dari unit kegiatan mahasiswa, peserta National Leadership Youth Camp (NLYC) tanggal 3-7 Agustus, pengurus mesjid, manajer-manajer lembaga. Mas Samsoe Basaruddin bertanya padaku, “Enggak ikut ke pengajian KALAM?” Aku menjawab tidak.

Sebenarnya aku sudah punya janji temu sore itu jam lima. Aku sudah menundanya dua kali. Sebenarnya tidak apa bila kuundur, tapi aku ragu. Aku beraktivitas seperti biasa lagi di kantor YPM. Namun jam tiga, seorang anggota asrama putra mengajakku. Aku berpikir kembali.

Eeerrrgh. Gimana ya? Pengajiannya malam. Baru selesai jam setengah sepuluh. Kemudian rombongan langsung kembali ke Bandung. Padahal besok pagi aku harus mengurus acara jam tujuh. Gimana ya?

Entah mengapa, instingku mendorongku untuk ikut. Hatiku ragu. Tapi kemudian kubulatkan tekad. Selama ini aku belum pernah mengikuti pengajian Keluarga Alumni Mesjid Salman yang diadakan sebulan sekali itu. Sebelumnya, aku akan senang sekali untuk ikut. Tapi tidak hari itu. Pekerjaanku banyak. Namun toh kubatalkan janji temu hari itu menjadi hari Jumat.

Aku berangkat bersama Masri (FT’03), Ghina (El’04), dan Mas Syarif (pengurus mesjid Salman, dosen Elektro), menggunakan mobil Mas Syarif. Kami berangkat pukul empat. Rencananya kami akan tiba pukul setengah tujuh di Komplek Perumahan Mensekneg, Slipi. Tapi Jakarta malam itu sedang dalam keadaan macet-macetnya. Ada sebuah bank yang terbakar di sisi tol Cawang-Priok. Entahlah, namanya juga Jakarta. Satu bisul di jalur jalan saja membuat seluruh jalur jalan raya terganggu. Parah lagi.

Alhasil, kami tiba pukul delapan kurang lima belas. Yang naik bis sewaan tiba pukul setengah sembilan. Yang naik bis bercerita, “Kami mah udah pasrah deh tadi.”

***

Di sana, di rumah dinas sementara Mensekneg baru, Hatta Rajasa, pengajian bulan ini diadakan. Tapi Bang Hatta sedang ke Semarang bersama Pak Presiden, jadinya tidak bisa menyambut tamu. Begitu masuk rumah dan beramah-tamah dengan anggota KALAM, aku dan Ghina langsung ke tempat makanan. Lapar. Setelah selesai makan, kami bergabung dengan peserta pengajian KALAM di ruang tengah. Acara sudah dimulai.

Pembicara yang diundang kali ini adalah Pak Syaiful Jamil (maaf kalau ada salah eja nama), Meneg BUMN baru. Setelah sambutan dari Bang Mus (Muslimin Nasution), Pak Syaiful dipersilakan menyampaikan materinya, tentang ‘BUMN Untuk Kesejahteraan Rakyat’. Segera setelah saya mendengar penuturannya Pak Syaiful selama lima menit, saya tidak menyesal karena telah datang ke pengajian KALAM malam itu.

Dia bercerita tentang latar belakangnya sebagai lulusan PGA. “Aslinya saya ini penceramah, bukan intelek. Saya bisa ada di sini semata karena saya telah memperoleh pendidikan. Pendidikanlah yang dapat menaikkan derajat seseorang. Tidaklah saya bisa berada di sini (menjabat posisi menteri dalam dua bidang) tanpa pendidikan.”

Tapi bukan itu yang menjadi topik utama pembicaraannya. Pak Syaiful bercerita panjang lebar tentang keadaan BUMN saat ini. Tanpa ragu, Pak Syaiful menceritakan betapa carut-marutnya kondisi BUMN dan betapa BUMN tinggal menunggu waktu kematian saja bila tidak segera diobati. Selama ini, BUMN Indonesia yang merupakan warisan dari Belanda dijalankan secara birokratis. Padahal sesungguhnya BUMN tidak ubahnya perusahaan. Namun karena tidak dijalankan dengan semestinya, seperti layaknya korporasi, semakin lama BUMN makin lemah.

Belum lagi adanya orang-orang tidak kompeten yang menjalankan BUMN. Bukan sekedar ‘ada’, tapi ‘banyak sekali’. Pak Syaiful menceritakan keadaan di PTPN. Selama ini, kepala bagian keuangan PTPN tidak ubahnya bendahara saja. Bendahara hanya menyimpan dan mengeluarkan uang. Tapi tidak mengelola keuangan perusahaan. Ketika Pak Syaiful meminta seluruh staf terbaik bidang keuangan dari dalam PTPN untuk diseleksi menjadi Manajer Keuangan, tidak satupun memenuhi syarat.

Ditambah lagi dengan keadaan di TELKOM, Pertamina, dan PLN. Mengenai Pertamina, Pak Syaiful bercerita tentang Medco. Medco makin lama akan menjadi saingan yang serius bagi Pertamina. Produksi minyak Medco perhari jauh lebih besar daripada yang dihasilkan Pertamina. Ladang minyaknya tersebar di beberapa negara asing. Dan kecepatan serta perkembangan usaha minyak Medco jauh lebih tinggi dari pada Pertamina yang sudah berdiri sejak lama. Maksudnya, berapa sih umur Medco? Berapa sih umur perusahaan minyak Medco?

***

Selain BUMN, Pak Syaiful pun membahas tentang situasi politik (tapi berkaitan dengan BUMN), tentang kekuatan Cina yang luar biasa saat ini (punya uang 1,300 milyar dolar AS tanpa utang), tentang pengalamannya sekolah di AS (beliau doktor di bidang pasar modal), dan kehidupannya sendiri. Sungguh panjang tulisan ini kalau mau diceritakan semua kata-katanya. Tapi salah satu bagian yang berkesan bagiku adalah ketika dia bercerita tentang teman kuliahnya di AS.

Satu kali temannya hendak pindah apartemen. Di AS, dalam hal sewa apartemen, bila ketika kita masuk apartemen kosong, keluar juga harus kosong kembali. Nah, saat itu Wayne Wide, teman Pak Syaiful sedang beberes. Namun dia bukan sekedar membereskan barang-barangnya saja—ini yang membuat Pak Syaiful heran. Lampu-lampu yang sudah rusak diganti kembali, bak cuci yang penyok diganti dengan baru, karpet yang sudah usang diganti dengan yang baru, dinding di seluruh penjuru apartemen dicat. Ketika ditanya Pak Syaiful apakah ini termasuk dari bagian perjanjian, jawab Wayne adalah tidak.

Pak Syaiful lebih heran lagi mendengar jawaban itu. Maksudnya, buat apa sih repot-repot mengeluarkan uang untuk sesuatu yang bukan kewajiban kita. Dia bertanya kenapa Wayne melakukan itu, yang menghabiskan sekitar 200 dolar untuk semua perbaikan di apartemen yang hendak ditinggalkannya.

Jawab Wayne sederhana: “Saya punya satu prinsip. Dimanapun saya berada, saya harus memberi nilai lebih.”

Sejak itu, cerita Pak Syaiful, diri Pak Syaiful berubah. Wayne, yang bukan muslim, yang barangkali tidak pernah mendengan hadis Rasul tentang “hari ini harus lebih baik dari kemarin” dan seterusnya, mengatakan dengan gamblang tentang sebuah prinsip yang dianjurkan Rasul. Pengalaman itulah yang memberi semangat pada Pak Syaiful untuk berbuat yang terbaik dan lebih baik lagi di manapun dia berada. Termasuk ketika menjabat sebagai Menneg BUMN. Memberi nilai lebih.

Mendengar penuturan Pak Syaiful Jamil, dari pukul delapan hingga sebelas malam, menyadarkan saya. Kesadaran ini muncul bersamaan dengan memori tentang aksi demo yang pertama kali (dan yang terakhir) saya ikuti. Saya langsung kapok dan tidak pernah mau ikut aksi lagi. Memori itu, berbaur dengan pengetahuan baru tentang keadaan BUMN, tentang rumitnya pekerjaan yang harus diselesaikan penyelenggara negara seperti Pak Syaiful, yang tidak sesederhana pendapat para mahasiswa (yang kebanyakan hanya pengamat saja), menjadikan segala protes itu tidak berarti. Sungguh mahasiswa tampak ‘tidak tahu apa-apa’ malam itu.

Entahlah, itu adalah persepsi saya. Sungguh malam itu saya menyadari betapa tidak berartinya pengetahuan mahasiswa dibandingkan dengan pengetahuan orang-orang seperti Pak Syaiful, yang sudah ditambah dengan pengalaman nyata di dalam pekerjaannya. Menjadi penyelenggara pemerintahan dan mengurus banyak orang tidaklah mudah. Tidak semudah yang ‘para pengamat’ kira.

Sungguh malam yang luar biasa. Meskipun solat magrib dan isya baru bisa dilaksanakan pukul satu malam di Bandung, meski tidur hanya dua setengah jam setelah itu, meski badan kelelahan, saya tidak menyesal. Dengan senang hati saya menanti kesempatan untuk bertemu Pak Syaiful lagi; juga dengan Pak Syaiful-Pak Syaiful lainnya. Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang memberi nilai lebih, dimanapun mereka berada.

Friday, August 10, 2007

PR Kita Masih Banyak

Di sekolah mengemudi, seseorang yang ingin bisa menyetir mobil hanya diajarkan bagaimana cara mengemudi dengan baik. Well, sebelum saya lanjutkan, saya mesti memberitahu anda kalau saya belum bisa mengemudi mobil. Saya pun belum mengambil kesempatan untuk belajar menyetir, baik lewat sekolah maupun lewat gratisan (dari temen). Jadi, opini saya berikut ini adalah opini seseorang yang tidak punya pengalaman tentang sekolah mengemudi.

Yang saya beri cetak tebal adalah 'mengemudi dengan baik'. Benar, sepanjang yang saya amati, saat seseorang belajar mengendarai mobil atau motor, dia hanya belajar bagaimana dia bisa mengemudi dengan baik. Selepas itu, ada sedikit tambahan materi tentang peraturan lalu-lintas dasar seperti 'kalau lampu merah anda harus berhenti, lampu hijau berarti anda boleh melaju terus'. Mendasaaaaaar... banget! Terakhir, bagaimana dia akan menghadapi jalan raya, bagaimana cara nyelip atau nyalip, itu dipelajari secara otodidak lewat jam terbang.

...bagaimana dia akan menghadapi jalan raya, bagaimana cara nyelip atau nyalip, itu dipelajari secara otodidak lewat jam terbang.


Salah? Tidak. Memang sejauh itulah yang seseorang butuhkan supaya dia selamat sampai tujuan dalam berkendaraan. Tapi pertanyaannya: apakah sekedar bisa mengemudi dengan baik saja cukup? Tidak. Calon pengemudi masih perlu belajar tentang bagaimana bertata-tertib dan berlalu-lintas yang
benar dan beradab.

Sejauh yang saya tahu, di sekolah mengemudi (apalagi di
perguruan mengemudi swasta--di mana pengajarnya adalah orang yang dekat dengan kita), tidak ada kurikulum baku dan standar tentang bagaimana seharusnya pengemudi kendaraan itu bertata-tertib dan berlalu-lintas yang benar dan beradab. Kalaupun belajar tentang tata tertib mendasaaaaaaaaaar... banget, ya..., mendasar banget. Seperti 'zebra-cross' itu piranti bagi pejalan kaki untuk menyebrang jalan (atau jangan-jangan ada yang tidak tahu artinya?). Cuma sampai segitu saja.

Jadi tidak heran bila lalu lintas semrawut, tingkat kecelakaan di jalan raya tinggi, dan penduduk kota Jakarta banyak yang
tua di jalan sangking lalu lintas lebih sering macet ketimbang lancarnya. Bahkan di jalan tol sekalipun!

Jadi bila banyak supir angkot yang melanggar lampu merah, motor nyelip di luar jalur seharusnya, sampai membentuk 'bisul' (terjadi di jalan raya utama Cimahi perempatan Soekarno Hatta-Pasir Koja), dan area untuk penyeberangan (zebra-cross)
dimakan oleh mobil/motor saat lampu lalu lintas sedang merah, jangan buru-buru menyebut mereka 'gila', 'goblok', 'gak tau diri', atau 'egois'. Saya justru bertanya: memangnya mereka pernah diajari tentang 'menghargai hak jalan orang lain'? Memangnya mereka itu diberitahu tentang bertata-tertib dan berlalu-lintas yang benar dan beradab saat belajar mengemudi dulu? Memangnya mereka pernah belajar tentang itu?

Saya justru bertanya: memangnya mereka pernah diajari tentang 'menghargai hak jalan orang lain'? Memangnya mereka itu diberitahu tentang bertata-tertib dan berlalu-lintas yang benar dan beradab saat belajar mengemudi dulu?


Rasanya sih tidak.


Yah, PR (pendidikan tentang bagaimana cara menjadi warga negara yang tertib dan beradab) kita masih banyak. Daripada teriak-teriak tentang ketidaktertiban orang lain, ketidakbecusan orang lain, dan ketidak-ketidak orang lain lainnya, mending kita belajar menertibkan diri sendiri. Tapi kemudian harus diterapkan, jangan sekedar dipelajari saja.

[Maaf kalau belakangan ini pemilihan kata saya terlampau blak-blakan--siapa tahu ada yang menilai demikian. ^_^ ]

Friday, August 03, 2007

Enggak Setuju

Kini, setiap kali saya mendengar istilah 'prophet' untuk merujuk Nabi atau Rasul, saya sedikit mencak-mencak.

Pasalnya begini. Coba tilik kata 'prophet'. Kata ini dekat sekali hubungannya dengan 'prophecy'. Secara harfiah (ya mau yang mana lagi?), 'prophecy' berarti 'ramalan'. Nah, kalau begitu, orang yang disebut dengan 'prophet' itu berarti 'peramal dong?

Saya tidak mengerti, bagaimana mungkin tidak pernah (setahu dan sependengaran saya) ada orang yang protes tentang ini. Lantaran katanya arti dari 'prophet' itu adalah 'nabi', maka informasi itu diterima saja bulat-bulat tanpa dipikirkan secara teliti.

Arti harfiah dari 'rasul' itu adalah 'pembawa pesan dari Yang Maha Agung'. Singkatnya 'the messenger'. Entah bagaimana istilah 'prophet' bisa dihubungkan dengan dengan 'rasul', tapi saya tetap tidak setuju kalau Rasul itu disebut 'prophet'. Terdengar ofensif di telinga saya...


prophet

proph·et

Function: noun

Etymology: Middle English prophete, from Anglo-French, from Latin propheta, from Greek prophētēs, from pro for + phanai to speak — more at for, ban
Date: 12th century

1) one who utters divinely inspired revelations: as aoften capitalized : the writer of one of the prophetic books of the Bible bcapitalized : one regarded by a group of followers as the final authoritative revealer of God's will

2) one gifted with more than ordinary spiritual and moral insight; especially : an inspired poet

3) one who foretells future events : predictor

4) an effective or leading spokesman for a cause, doctrine, or group

5) Christian Science a: a spiritual seer b: disappearance of material sense before the conscious facts of spiritual Truth

Cats

Let’s talk about cats this time.

Well, for the last four years I’ve been living in Wiranta Street. For those who don’t know where Wiranta Street is, it’s in Kelurahan Cicadas, near Cikaso Street and PPI. I live in a cozy two-stories little room, with a cheap water and electricity monthly bill. Rent it from Mr. Albert, the owner of Wiranta number 56, and pay the rent annually. The previous renter was a small family; so, officially I’m lucky to have this room for my own (or a small house, like i often call it).

Kelurahan Cicadas is a crowded neighbourhood. Yet it can be so quiet sometimes. I mean really, really quiet. This is another reason why I love this place. It will be noisy in the morning, where a lot of people go to work or students goes to school, and in the afternoon, after Asar time, when children playing with their friends and neighbours gather around in certain spot.

Now I’ll introduce you with my neighbour. On the left there is a boys dorm, for college students from Tora-tora, Middle Sulawesi. On the right there is another part of Mr Albert’s house, with three rooms, that now filled only with two male renters because the other one had moved to Cimahi after he got married. My room separated from those three so I can call my room as my small house and I call the men live in that three room as my neighbours from the next door.

The Tora-tora dorm is supervised by a man I use to call ‘Bapak from Tora-tora House’. I call him like that because I don’t know his name. Let’s just call him ‘Bapak’ for short. He has supervise Tora-tora House for around a year. He has a male cat, named ‘Manis’. Well, I think it’s name is ‘Manis’ because that’s what Bapak call it. It’s a cat with a stripped-grey fur and a white fur in it’s chest. It’s not a domestic Balinese or Javanese cat I guess; know it from its tail’s fur and behaviour. But it’s not an Angora Cat either.

I’ve been told once, that the cat are fed well by Bapak. When Bapak bought a meal for him, he choose a very decent one, often without fish or other ‘lauk’. But when he bought rice with fish or chicken, it’s guaranteed that he bought it for Manis. Bapak treat Manis better than himself. It’s more like his wife, they said, even though it’s a male cat. But why?




But when he bought rice with fish or chicken, it’s guaranteed that he bought it for Manis.


It’s smarter then the other two yellow-and-white-fur cats. It has a certain wit for not afraid of me (while the other two quite shy). It’s playful, and I often found it observed in front of my window. It dares to play outside Tora-tora house while the other two only play around the roof or the backyard. And you know what, it called me once.

When it called me, I was just about entering Mr. Albert’s front yard, intending to buy something from his store. And suddenly, “Miaow...” I’m a little bit startled so I searched for the sound. It came from the roof. ‘Cause it’s after Isya, you can’t expect to see everything on the roof clearly. Then I saw a pair of green-marble-eyes. And the cat shows it self. I said, “Hi.. What’re you doing up there?” I mean, I was really talk to the cat. It looked at me for a while, then disappear. That’s the first time I ever been called by a cat.




It’s not that cats don’t think. They do think in their own way—instinctively.


To make it simple, you’ll know that this cat’s smart from a quick observation. You can see that Manis ‘think’. It’s not that cats don’t think. They do think in their own way—instinctively. But, you can see through Manis eyes that it really think like human do. It understands human.

That’s why I prefer to call this cat (and any other cat, actually) with ‘him’ (or ‘her’), rather than ‘it’. I feel like he can understand human well. Very well indeed. And he pay attention to human’s activity more than any other cat. Well, I mean, you know, most cat seems so indifference to human if it’s not only cares about our food.

About two weeks before, around seven pm, I heard a sound from my window. When I turn my back to take a look, I saw Manis entered my room. But he quickly return outside when he saw me. Maybe he was curious about my wide open window. So he took a chance to observe. But maybe he didn’t expect to see me so he startled a bit and quickly return outside my window. But he didn’t run. He just play there, between my aloe vera pots, chasing a cockroach he found, then catch and smash it with his front paws. He knows that I’m watching him, but he didn’t afraid though I’m a stranger for him. He even accepted my over for rengginang. He like it maybe because it’s crunchy.
Yum... yum...

***

Now let’s take a look into Mr. Albert’s house. We’ll found another cat with different ‘intelligent’. Around January, a yellow-and white male kitten stranded in front of Mr. Albert’s house. I know because I was there when the kitten first came. It played around my leg and try to have my attention. It succeed; how could I ignore such cute kitten? That time, Tasha, the granddaugther of Mr Albert, saw the cat too. Two days later I found that the kitten was taken by Tasha and it become a Mr.Albert’s house cat. His name is ‘Jacky’.

I didn’ t really pay attention to Jacky’s growth. But as I went to Mr. Albert’s house more often—to fill my water jug—I noticed that Jacky is getting bigger. I rarely saw Jacky for he’s been locked outside at noon and placed in Mr. Albert’s small store at night to keep it safe from rats. He’s bigger than any other average cat in my neighbourhood. I can see that he has a stocky and healthy figure for his age.

He always play around people’s leg for fun. And he did that to everybody, all the time, as though he never played before. He bite my leg or scratch my flip-flop when I went to Mr. Albert’s house, every time he ‘relesed’ from the backyard. And that’s hurt. Plus, he ruined the upper part of my flip-flop; made it look more ugly and unpleasant. But he amazed me by his playful spirit and friendly behavior. I guess he see my flip-flop as a white-ugly-moving creature, teasingly enough to be attacked.

When I discussed about how Jacky could be stocky and feisty with Teh Rina, Mr. Albert’s daughter, she said, “That’s because we gave him fish two-three times a day.” Well, Mr. Albert also sell ‘nasi rames’ besides daily needs, so it’s not hard to fed Jacky with fish or even chicken. “Even us, his master, don’t eat fish that much everyday. Normally, we only eat fish or chicken or meat once a day,” she added.




“Even us, his master, don’t eat fish that much everyday..."


So that’s where all the feisty behaviour and intelligence come: two-three times daily fish++. It become my personal note that to have an intelligent and healthy cat, I have to make sure that they fed well. Just like we want the children intelligent and healthy. Food determine one’s intelligence, wether it’s human or cat.

It’s a pleasure for me, a cat lover, to find two intelligent cats near me, for I never found such cats before. So, when I found one, I’m sure that cat is either non-domestic breed and/or a domestic cat that fed well since the cat still a little kitten. Anyway, it’s hard to find a smart and healthy cat in most Indonesian area. There are so many of them, over populated (there still no cat birth control here), under-nourished. There are more cats in the street than people who cares about them. Just can’t blame anyone, huh?